Dinamisme Pemikiran Iqbal

Oleh, Dr. Haidar Bagir
Presiden Direktur Mizan, Dosen Filsafat Mistisisme STFI Sadra, Penulis Buku,
aktif menjadi pembicara sosial dan keagamaan

Alkisah

Seribu sembilan ratus tujuh puluh delapan. Di tahun kedua saya di Institut Teknologi Bandung itulah saya mengenal Iqbal pertama kali. Iqbal adalah orang yang bukan saja telah membuka mata saya tentang rasionalitas ajaran-ajaran Islam. Lebih dari itu pemikir anak benua India ini telah berhasil menentramkan-meski barangkali terlalu dramatis, katakanlah- krisis religius seorang anak muda. Saya ingat, betapa Iqbal telah membukakan bagi saya “gerojokan” makna ayat-ayat al Qur’an bagi masa modern. Lebih dari dua dekade setelah itu, atau lima dekade setelah buku itu ditulis, saya masih merasa besarnya kekuatan intelektual yang di-“ledakkan”-kan oleh Iqbal. Bahkan sampai saat ini, saat saya berbicara sekarang, Iqbal masih membentuk cara berfikir saya.

Saya seperti ‘ditakdirkan’ untuk bersama dengan Iqbal dalam perjalanan hidup saya. Saya bertemu kembali dengan Iqbal melalui studi lanjutan dan juga lewat Mizan, penerbitan yang saya rintis bangun bersama dua sahabat. Kebetulan karena dalam studi lanjutan saya mengambil konsentrasi tasawuf dan filsafat, untuk keperluan disertasi doktoral saya melakukan penelitian mengenai perbandingan ontologi  epistimologi Heidegger dan Mulla Sadra, sampai pada akhirnya diketahui bahwa pemikiran Mulla Sadra menjadi ramuan Iqbal saat membangun konsep filsafatnya. Corak filsafat Iqbal dekat sekali dengan filsafat isyraqiyyah; sebuah sistem filsafat yang menggabungkan antara nalar dan hati atau rasionalisme dan tasawuf. Isyraqiyyah  pertama sekali dikembangkan oleh Suhrawardi al Maqtul, kemudian isyraqiyyah  berpengaruh dalam konstruksi filsafat Hikmah Muta’aliyah yang dibangun oleh Mulla. Tidak kebetulan karena pada tahun 1988 bersama Mizan, saya menerbitkan disertasi doktoral Iqbal yang berjudul Development of Metaphysics in Persia; A Contibution on The History of Muslim Philosopy. Tahun  2016 ini buku berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam, buku yang telah mempengaruhi pemikiran saya juga diterbitkan oleh Mizan dengan judul Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam.

Dalam masa-masa itu kita mengenal berbagai aliran pemikiran Islam, termasuk Ikhwanul Muslimin, neo-modernisme ala Rahman, pemikiran para intelektual Iran pasca-Revolusi, aliran Islam pasca-modernis dan, belakangan, apa yang disebut dengan Islam liberal. Tapi, rasanya pemikiran Iqbal tidak kehilangan relevansinya. Bahkan, saya tak ragu untuk menyebut Muhammad Iqbal sebagai pemikir Islam Liberal-dalam makna rasionalistik- pertama di zaman modern. Di samping juga, Iqbal merupakan salah satu pemikir Muslim yang mampu mensintesiskan dua pemikiran Barat dan Islam yang telah sekian lama dipertentangkan. Sebuah usaha yang tidak dilakukan oleh banyak ulama pemikir Islam pada zaman atau sesudah Iqbal. Upaya seriusnya itu tidak berhenti pada wilayah akademis belaka, ada sebuah upaya yang dilakukan oleh Iqbal untuk mentransformasi masyarakat Islam pada arah gerakan yang lebih baik.

Iqbal dan Sastra

Dari sekitar dua puluh satu buku yang ditulis oleh Iqbal, hanya dua yang berbentuk prosa, selebihnya adalah puisi dan sajak. Dua buku yang berbentuk prosa milik Iqbal itu adalah The Reconstruction of Religious Thought in Islam dan  Development of Metaphysics in Persia; A Contibution on The History of Muslim Philosopy.  Selebihnya, karya Iqbal dalam bentuk puisi dan sajak. Namun tak bisa dipungkiri, nama Muhammad Iqbal tetap masuk dalam jajaran pemikir yang punya andil besar dalam pembangunan intelektual Islam. Meski dalam kerja intelektualnya Iqbal lebih banyak menulis tentang puisi atau sajak.

Sastra sebagai medium untuk mengungkapkan gagasan memang tidak bisa menjangkau seluruh lapisan. Sastra sebagai ‘jembatan’  penghubung dari penyampai gagasan ke penerima gagasan bahkan akan memilih atau menyeleksi pembacanya sendiri, dengan sendirinya seperti hukum alam sastra memilih siapa pembacanya. Sekali lagi, bahasa dan pilihan diksi tentu akan memengaruhi apresiasi. Kita bisa melihat puisi yang ditulis oleh Jalaluddin Rumi atau Nurudin Abdurahman al Jami, di sana kita akan temukan sebuah pesan filosofis yang tak kalah hebat dari filsafat yang ditulis oleh Ibn Arabi dalam bentuk prosa. Namun, orang yang memelajari Rumi tidak akan gagal mendapatkan pelajaran filsafat dalam bentuk prosa Ibn Arabi.

Sebelum buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam terbit dan menjadi salah satu bukti inetelektual Iqbal dalam bidang filsafat, terlebih dahulu Iqbal menulis buku yang berisi kumpulan puisi berjudul Asrar-i Khudi  dan Rumuz-I Bekhudi yang mengulas tentang salah satu konsep fundamental filsafal Iqbal, yakni khudi (pribadi, individu, atau ego). Dalam pandangan saya buku Development of Metaphysics in Persia; A Contibution on The History of Muslim Philosopy (yang merupakan disertasi doktoral Iqbal) banyak berisi Syarh Manzhumah milik Sabziwari. Seperti yang diketahui bahwa Syarh Manzhumah adalah ringkasan yang berbentuk syair.

Kritik pada Iqbal
Saya menempatkan diri sebagai seorang murid di hadapan Iqbal, meski begitu dalam perjalanannya bukan berarti saya tak memiliki kritik apapun pada Iqbal. Menurut saya, Iqbal agak keliru saat mengatakan bahwa kemunduran Islam disebabkan banyak ulama pemikir yang mengasingkan diri dari kebisingan duniawi, sehingga tugas mereka yang harusnya mencerahkan umat menjadi kosong. Saya menyangkal apa yang dikatakan Iqbal itu, bahwa memang tidak semua ulama pemikir harus terjun dalam persoalan duniawi, karena dari mereka ada yang terpilih menjadi wali yang bertugas menjaga keberlangsugan ketenangan, dan mereka memang tidak berurusan secara langsung dengan masalah-masalah riil.

Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa hingga saat ini, saat telah terbentang jarak sekitar tujuh puluh tiga tahun setelah Iqbal meninggal dunia, menurut  saya gagasan-gagasan Iqbal tetap relevan. Saya tentu berharap bawa upaya yang telah dimulai oleh Iqbal bisa diteruskan. Mensinergikan pemikiran Barat dan Islam untuk kepentingan peradaban dan ilmu pengetahuan. Dan hubungan Barat-Islam tidak lagi dipandang secara berhadap-hadapan, tidak lagi didefinisikan dalam kerangka konflik Islam – Barat, tetapi Islam-Barat sudah bisa berkoekssitensi secara damai dan saling memperkaya peradaban umat manusia secara keseluruhan

Share your thoughts