Wawancara Dr. Sitorus; Penyelamatan Metafisika oleh Kant

Immanuel Kant seorang filsuf telaten, disiplin dan peduli metafisika. Dia berambisi menyelamatkan metafisika dengan memanfaatkan kejayaan dan kedigdayaan matematika dan ilmu alam pada masanya. Fisika Newton dan geometri Eucledian dianggap mampu menjelaskan konsep ruang dan waktu. Namun 10 kategori Aristoteles kemudian diadopsi Kant menjadi 12 kategori pikiran (apriori) hanya berujung pada tangkapan penampakan (fenomena). Sedangkan misi utama menangkap nomena (apa adanya) dinyatakanya nihil. Berhasilkah Kant menyelamatkan metafisika? Untuk mengetahui lebih jauh filsafat Kant, Riset STFI Sadra mewancarai salah satu peneliti Immanuel Kant, Dr. Fitzerald Kennedy Sitorus, yang telah menyelesaikan program master dan doktoralnya di tempat kelahiran Kant, Jerman. 

1. Sejauh pengamatan Anda, berhasilkah usaha Immanuel Kant dalam menyelamatkan metafisika agar bisa bisa selevel dengan perkembangan ilmu alam di zamannya?

Fitzerald K Sitorus: Terimakasih. Pertanyaan ini membutuhkan uraian panjang. Pertama, kita harus lebih dulu melihat pengertian metafisika sebagaimana umumnya dipahami dalam filsafat. Kemudian, kedua, kita juga harus memahami pengertian Kant mengenai metafisika. Kita, atau orang-orang yang belajar filsafat tapi tidak mengenal Kant cukup dekat, sering salah paham mengenai apa yang dimaksud Kant dengan metafisika. Mereka beranggapan bahwa pengertian Kant mengenai metafisika sama dengan pengertian metafisika yang biasa dikenal dalam filsafat, yakni pengetahuan filosofis mengenai objek-objek yang melampaui (meta) pengalaman empiris atau indrawi (physics).

Anggapan itu keliru. Kant memiliki pengertian tersendiri mengenai metafisika yang berbeda dari pengertian umum di atas. Dan kalau Kant berbicara mengenai kemungkinan metafisika sebagai ilmu pengetahuan, maka yang dimaksud di sini adalah kemungkinan metafisika, sebagaimana dalam konsepsi Kant, untuk menjadi pengetahuan. Jadi, yang dimaksud Kant bukanlah kemungkinan pengetahuan ilmiah mengenai objek-objek yang melampaui (meta) pengalaman indrawi (physics) karena, menurut Kant, pengetahuan mengenai objek-objek demikian tidak mungkin. Sesuai dengan teori pengetahuannya, Kant mengatakan bahwa pengetahuan hanya mungkin mengenai objek-objek yang empiris atau indrawi (physics), dan itu berarti pengetahuan mengenai objek-objek metafisis, atau objek-objek yang melampaui indra, menjadi tidak mungkin. Namun, metafisika dalam arti yang dimaksud Kant adalah mungkin menjadi pengetahuan. Dan justru inilah yang hendak dicapai oleh Kant melalui filsafat transendentalnya. Pengetahuan yang dimaksud Kant di sini sama dengan pengertian pengetahuan ilmu alam pada zamannya, yakni pernyataan-pernyataan yang bersifat umum, niscaya dan objektif mengenai objek tertentu.

Nah, sekarang, apa itu metafisika? Mari kita lebih dulu melihat etimologi istilah ini. Pada awalnya, istilah ini muncul berdasarkan penyusunan karya-karya Aristoteles yang dilakukan oleh Andronikos. Karya-karya yang kemudian kita kenal dengan Metaphysics itu ditempatkan setelah (meta) karya-karya yang membahas masalah-masalah filsafat alam (physcis). Buku Physics karya Aristoteles itu membahas filsafat alam. Jadi, awalnya, arti metafisika adalah “karya-karya (yang ditempatkan) setelah karya-karya mengenai physcis.” Pengertian metafisika dulu sedemikian harfiah. Namun, pengertian yang harafiah ini kemudian berubah dalam perjalanan sejarah filsafat, sehingga metafisika dipahami sebagai ilmu pengetahuan filosofis yang membahas objek-objek yang melampaui hal-hal yang fisik atau metafisika. Kalau dalam karyanya, Physics atau filsafat alam, Aristoteles membahas materi, bentuk, gerak, atom, perubahan, potensialitas, dan lain-lain, maka dalam karya-karyanya yang ditempatkan oleh Andronikos setelah (meta) filsafat alam (physics) itu (jadi: meta physics) ia membahas tema-tema seperti ada, sebab, akibat kesatuan, banyak, perbedaan, dan lain lain.

Apa artinya ini? Artinya adalah bahwa hal-hal yang dibahas setelah filsafat alam itu (meta-physics) dinamai bukan secara positif berdasarkan hal-hal itu sendiri, bukan berdasarkan objek-objek yang dibahas dalam bidang tersebut, melainkan berdasarkan apa yang bukan objek-objek itu sendiri, yakni bahwa objek-objek itu ditempatkan setelah (meta) karya-karya yang membahas filsafat alam (physics). Artinya, nama metafisika (dan objek-objek yang dibahas di dalamnya) muncul bukan secara positif dengan bertolak dari objek-objek tersebut, melainkan berdasarkan fakta literatur bahwa objek-objek tersebut dibahas setelah objek-objek fisika atau filsafat alam. Hanya karena susunan buku yang membahas objek-objek seperti ada, sebab, akibat, kesatuan, dll, ditempatkan setelah (meta) buku yang membahas filsafat alam (physics), maka objek-objek itu kemudian diringkus ke dalam sebuah nama yang disebut meta-fisika (metaphysics). Dan berdasarkan fakta ini, sekarang kita memahami metafisika sebagai cabang filsafat mengenai objek-objek yang melampaui yang indrawi.

Atas dasar penjelasan ini, kita dapat mengatakan bahwa bidang yang sekarang dikenal dengan nama metafisika adalah sesungguhnya wilayah yang tidak atau belum bernama, karena nama untuknya tidak berasal dari dia sendiri, melainkan dari fakta bahwa ia terletak di luar atau melampaui (meta) yang fisik. Masalah lain yang terjadi dalam penamaan metafisika ini adalah bahwa kita tidak tahu persis bidang-bidang atau objek apa saja yang letaknya melampaui yang physics itu? Apa saja yang termasuk dalam wilayah meta physics? Yang jelas, sejauh kata meta physics itu memaksudkan hal-hal yang melampaui yang physics maka akan sangat banyak bidang yang dapat dijadikan objek ilmu tersebut, jauh melampaui apa yang dibahas oleh Aristoteles dalam karyanya Metaphysics yang kita kenal sekarang. Seorang filsuf ahli Kant dan Idealisme Jerman, Dieter Henrich, misalnya, mengatakan bahwa tema-tema mengenai dunia, ketiadaan, kemungkinan dan keniscayaan, hakikat jiwa, bentuk dan perubahan harusnya juga menjadi tema metafisika karena tema-tema ini juga terletak di luar atau melampaui (meta) yang indrawi (physics).

Berdasarkan penalaran seperti diuraikan secara singkat di atas dan sesuai dengan filsafat pengetahuannya, maka Kant merumuskan konsepsinya mengenai metafisika dengan tetap bertolak dari arti kata meta dan physics itu sendiri. Metafisika, baginya, bukanlah filsafat yang membahas objek-objek yang melampaui yang indrawi (meta-physics) – karena pengetahuan mengenai hal-hal yang melampaui yang indrawi ini, menurut epistemologi Kant, tidak mungkin —  melainkan filsafat mengenai hal-hal yang memungkinkan (pengetahuan) mengenai yang indrawi (physics). Nah, hal-hal yang memungkinkan pengetahuan mengenai yang indrawi (physics) tentu tidak lagi indrawi, ia terletak di seberang atau melampaui (meta) yang indrawi (physics), karena itu meta physics. Jadi hal-hal yang memungkinan pengetahuan mengenai yang physics, dan hal-hal ini pasti terletak di seberang atau melampaui (meta) yang physics, itulah yang dimaksud oleh Kant dengan metafisika.

Pertanyaan selanjutnya tentu adalah: apa saja hal-hal yang letaknya melampaui atau di seberang yang physics itu? Itu tidak lain dari struktur-struktur apriori yang memungkinkan pengetahuan manusia, dan pengetahuan manusia ini mesti hanya terbatas pada pengalaman atau realitas indrawi (physics). Jadi metafisika pada Kant berarti pengetahuan yang bersifat pasti dan objektif mengenai prinsip-prinsip apriori yang memungkinkan pengetahuan (mengenai yang indrawi, physics). Objek penelitian metafisika menurut Kant, dengan demikian, bukanlah objek-objek yang melampaui pengalaman indrawi (karena pengetahuan mengenai hal ini tidak mungkin), melainkan struktur-struktur apriori dalam diri subjek yang memungkinkan pengetahuan mengenai yang indrawi tersebut.

Kant menguraikan pengertiannya yang khas mengenai metafisika ini dalam berbagai tulisannya. Dalam tulisannya, Reflexion Nomor 5674, ia mengatakan bahwa metafisika adalah ilmu pengetahuan mengenai prinsip-prinsip semua pengetahuan apriori. Ia juga mendefinisikan metafisika sebagai pengetahuan akal budi murni yang berasal dari konsep-konsep belaka, atau filsafat murni. Metafisika bagi Kant, secara singkat, adalah pengetahuan apriori atau pengetahuan akal budi murni. Metafisika disebut sebagai ilmu pengetahuan apriori atau ilmu pengetahuan yang berasal dari konsep belaka, karena pengetahuan dalam ilmu ini diperoleh bukan dengan meneliti objek-objek empiris, melainkan dengan objek-objek yang memungkinkan pengetahuan empiris, dan itulah yang dilakukan Kant dalam proyek filsafat transendentalnya. Filsafat transendental tidak lain dari penelitian mengenai yang apriori (Apriorischeforschung) dan hasil penelitian filsafat transendental ini adalah pengetahuan transendental mengenai struktur-struktur apriori dalam diri manusia yang memungkinkan kita memperoleh pengetahuan mengenai yang indrawi. Pengetahuan mengenai struktur-struktur apriori inilah yang disebut dengan metafisika.

Hasil penelitian transendental ini terutama dipaparkan Kant dalam dua buku pentingnya, yakni Kritik der Reinen Vernunft (Kritik Akal Budi Murni) dan Prolegomena zu einer jeden künftigen Metaphysik, die als Wissenschaft wird auftreten können (Pengantar untuk setiap Metafisika di Masa depan yang dapat menyebut dirinya sebagai Ilmu Pengetahuan). Dalam kedua buku ini kita melihat bagaimana Kant melakukan sistematisasi atas struktur-struktur apriori yang memungkinkan kita memperoleh pengetahuan, dan itulah yang dimaksud Kant dengan ungkapan metafisika sebagai ilmu pengetahuan. Dan inilah tujuan filsafat transendental Kant, yakni untuk melakukan pendasaran baru bagi metafisika. Jadi, perlu kita ingat, Kant tidak hendak menghancurkan metafisika, sebagaimana sering secara keliru dikatakan mengenai filsuf ini, melainkan ia — melalui proyek filsafat transendentalnya — hendak memberi pendasaran baru bagi metafisika, karena metafisika tradisional Aristotelian menurutnya tidak mungkin menjadi ilmu pengetahuan.

2. Dalam filsafatnya, Kant membedakaan antara nomena dan fenomena. Lalu, apa bedanya antara nomena dengan metafisika serta bagaimana relasi keduanya?

Fitzerald K Sitorus: Fenomena menurut Kant adalah objek yang terberi kepada kita melalui panca indra kita. Apa yang dapat kita ketahui, atau apa yang terberi kepada indra kita, menurut Kant, bukanlah objek itu sendiri, melainkan fenomena dari objek itu. Itu karena pikiran kita sudah memiliki forma apriori (yang disebut kategori-kategori transendental dan menjadi objek penelitian filsafat transendental Kant) yang tidak bisa tidak langsung menangkap atau memformat objek yang kita indra sesuai dengan forma tersebut. Kita hanya bisa menangkap objek apa pun sesuai dengan forma tersebut, itulah satu-satunya cara bagi kita untuk mengetahui objek.

Forma-forma apriori ini bagaikan kacamata hitam yang membuat semua objek yang kita indra menjadi berwarna hitam (padahal mungkin dalam kenyataanya objek itu tidak hitam). Nah, kacamata hitam itu membuat apa yang kita tangkap hanyalah objek sejauh terberi kepada kita melalui kacamata hitam tersebut (fenomena). Konsekuensinya, objek itu pada dirinya sendiri (das Ding an sich, noumena) tidak kita ketahui lagi. Noumena, dengan demikian, bukanlah sebuah istilah positif untuk mengatakan sesuatu mengenai objek. Nomena juga bukanlah sebuah objek. Ia hanyalah nama yang diberikan Kant untuk menunjukkan bahwa karena objek yang terberi kepada kita adalah objek sejauh ditangkap lewat forma apriori itu (fenomena), maka objek itu pada dirinya sendiri (noumena) kita tidak tahu lagi.

Kalau kita konsisten dengan filsafat pengetahuan Kant, kita tidak dapat mendefinisikan apa itu noumena. Kita tidak tahu apa itu das Ding an sich. Istilah ini digunakan Kant untuk mengatakan batas pengetahuan kita. Yakni, yang dapat saya tangkap hanyalah objek yang terberi kepada saya (das Ding für mich) atau fenomena, di luar itu saya tidak tahu lagi. Keberadaan noumena ini harus diterima secara logis-konseptual sebagai konsekuensi dari forma-forma apriori yang membentuk pengetahuan kita. Jadi, kalau Kant bicara panjang lebar mengenai noumena, itu bukan berarti karena dia memiliki pengetahuan positif mengenai noumena; segala perkataan mengenai noumena itu muncul sebagai konsekuensi dari keberadaan fenomena.

3. Mengacu pada Filsafat Transendental Kant, apakah ada dampak bagi pemeluk Kristen dalam melihat metafisika dan doktrin Kristen? Bagaimana relasi antara metafisika Kant dengan doktrin Kristen secara umum?

Fitzerald K Sitorus: Filsafat Kant berpengaruh dalam teologi, dan Kant juga berbicara mengenai teologi. Teologi Kant itu termasuk ke dalam teologi spekulatif atau teologi rasional, yakni diskursus mengenai Tuhan dengan bertolak bukan dari Kitab Suci, melainkan dari akal budi atau rasio. Banyak filsuf yang teologinya termasuk teologi rasional. Descartes juga berbicara mengenai Tuhan, namun semata-mata berdasarkan akal budi. Spinoza dan Leibniz juga begitu. Teologi para filsuf ini adalah teologi rasional atau spekulatif.

Bagaimana pengaruh teologi Kant dalam agama (Kristen)? Kant mengajarkan kita orang-orang beragama untuk lebih rendah hati dalam berbicara mengenai Tuhan. Kita sering melihat atau mendengar orang-orang dengan penuh arogansi berbicara mengenai Tuhan seakan-akan mereka mengetahui segala sesuatu mengenai Tuhan. Seakan-akan mereka seratus persen tahu benar mengenai Tuhan, lalu atas dasar anggapan keliru itu, mereka merasa layak mewakili Tuhan, berbicara atas nama Tuhan, lalu menghakimi orang lain yang berbicara mengenai Tuhan dengan cara yang berbeda dengan apa yang mereka ketahui mengenai Tuhan. Berhadapan dengan orang-orang seperti ini, Kant akan bertanya: pengetahuanmu mengenai Tuhan itu dari mana? Apakah Anda sungguh-sungguh memiliki pengetahuan mengenai Tuhan? Apakah Anda pernah melihat Tuhan secara empiris? Jangan-jangan, apa yang Anda anggap sebagai pengetahuan mengenai Tuhan itu sebenarnya tidak lain dari kepercayaan mengenai Tuhan, yakni bahwa Anda percaya bahwa Tuhan itu begini dan begitu, tapi Anda secara keliru menganggap kepercayaan itu sebagai pengetahuan. Begitu kira-kira sikap Kant.

Kant sendiri mengatakan bahwa kita tidak memiliki pengetahuan objektif mengenai realitas Tuhan. Tuhan tidak mungkin dijadikan objek pengetahuan, karena Tuhan tidak empiris. Kita hanya dapat menjadikan Tuhan sebagai objek kepercayaan, yakni bahwa kita percaya bahwa Tuhan itu begini dan begitu, tapi kita tidak pernah dapat memiliki pengetahuan pasti bahwa Tuhan itu begini dan begitu. Kepercayaan dan pengetahuan adalah dua hal berbeda. Dalam hal Tuhan, kita membutuhkan iman dan kepercayaan, bukan pengetahuan. Kant sendiri mengatakan bahwa melalui filsafat pengetahuannya ia hendak memberi tempat bagi iman. Jadi Kant tidak hendak menghancurkan kepercayaan mengenai Tuhan. Justru dengan teori pengetahuannya yang mengatakan bahwa kita hanya dapat memiliki pengetahuan mengenai objek-objek indrawi itu, Kant hendak mengatakan bahwa Tuhan bukanlah objek pengetahuan. Teori pengetahuan Kant dengan demikian membuka ruang bagi iman sebagai sarana untuk “mengenal“ Tuhan.

Secara epistemologis, posisi Kant terhadap Tuhan dikenal sebagai agnostik (dari bahasa Yunani: a = tidak; gnosis = pengetahuan), yakni bahwa ia tidak memiliki pengetahuan mengenai Tuhan. Agnostik itu bukan ateis, dan juga bukan teis. Agnostik itu tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, ia juga tidak mengatakan bahwa Tuhan ada. Agnostik itu tidak membela atau menolak ateis atau teis. Agnostik itu mengatakan bahwa entah Tuhan ada atau tidak ada, saya tidak memiliki pengetahuan mengenai hal itu. Tentang Tuhan, seorang agnostik harus diam. Namun, bukan berarti Tuhan tidak bisa dijadikan objek bagi iman atau kepercayaan. Kant sendiri membuktikan keberadaan Tuhan melalui filsafat praktisnya, yakni melalui etika. Dalam teori etikanya, Kant memperlihatkan bahwa etika hanya masuk akal kalau realitas Tuhan ada. Kewajiban-kewajiban moral hanya menjadi masuk akal kalau kita menerima postulat keberadaan Tuhan.

Sebagai catatan kritis, kita bisa mengatakan bahwa Kant membicarakan Tuhan dengan cara yang tampaknya terlalu rasional. Kant memang benar manakala ia mengatakan bahwa Tuhan tidak mungkin dijadikan sebagai objek pengetahuan, sebagaimana objek-objek empiris lainnya, dan oleh karena itu kita tidak mungkin memiliki pengetahuan menyeluruh mengenai Tuhan. Tapi dalam hal pengetahuan mengenai Tuhan, Kant menyempitkan sumber-sumber pengetahuan menjadi hanya sebatas pengalaman empiris. Kant melupakan kedudukan Kitab Suci sebagai sumber pengetahuan orang beragama mengenai Tuhan.

4. Sebagian kalangan melihat bahwa pengaruh Kant sangat besar, baik yang pro dan kontra. Apa pendapat Anda terkait pengaruh Filsafat Kant terhadap berkembangnya paham relatifisme juga sekulerisme?

Fitzerald K Sitorus: Filsafat Kant itu termasuk rasionalisme, atau lebih tepat: kritisisme, yakni paham filsafat yang mengatakan bahwa sebelum kita menggunakan pikiran kita untuk mengetahui sesuatu, kita harus lebih dulu mengetahui batas-batas kemampuan pikiran itu dalam mengetahui. Kritisisme ini yang mendorong Kant untuk melakukan pengujian atau penilaian kritis terhadap banyak hal, termasuk terhadap pikiran itu sendiri. Dengan sikap kritis tersebut, ia hendak membersihkan pemikiran-pemikiran atau asumsi-asumsi kita dari argumentasi-argumentasi yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional. Kant ingin berfilsafat dan menalar sesuatu dengan cara yang semata-mata rasional. Argumentasi Kant untuk mendukung filsafat pengetahuannya Kant bisa dijadikan sebagai salah satu contoh untuk hal ini. Kalau kita melihat konsepsi Kant mengenai etika, sejarah, negara atau hak asasi manusia, maka kita akan melihat konsepsi yang sama sekali bersih dari elemen-elemen teologis, misalnya. Kant membangun konsep-konsep filsafatnya murni dari pikiran rasional itu sendiri.

Pendekatan filsafat seperti ini yang mendorong munculnya pandangan sekularisme atau rasionalisme pada Kant. Kant seakan-akan mengeluarkan Tuhan dari struktur bangunan filsafat, tapi itu tentu saja tidak berarti Tuhan sama sekali tidak penting baginya. Tuhan tetap penting bagi Kant dan, oleh karena itu ia mengklaim dapat memberi tempat yang layak bagi Tuhan dalam struktur filsafatnya, yakni seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Kant memperlihatkan bahwa kita dapat berfilsafat mengenai banyak hal tanpa harus melibatkan elemen-elemen religius. Dan ini dapat dikatakan sebuah proses rasionalisasi atau sekularisasi, dalam arti proses perkembangan di mana elemen-elemen religius atau teologis semakin berkurang atau hilang digantikan oleh oleh elemen-elemen rasional atau sekuler.

Soal relativisme, saya pikir, Kant justru tidak mendukung perkembangan paham ini. Rasionalisme Kant itu justru memungkinkan filsafatnya bersifat universal (jadi, bukan relatif), dan itu misalnya kita lihat dalam konsepsi Kant mengenai etika atau filsafat politiknya. Artinya, karena Kant mendasarkan filsafatnya semata-mata di atas rasionalisme, maka filsafatnya berlaku dan dapat diterima oleh siapa saja yang berpikir rasional.

5. Bisa diceritakan aspek positif belajar filsafat Kant?

Fitzerald K Sitorus: Salah satu prinsip penting filsafat Kant adalah keberanian untuk berpikir sendiri, menggunakan akal budi sendiri. Itulah tanda kedewasaan dan tanda manusia yang telah tercerahkan. Semboyan terkenal Pencerahan yang juga dianut Kant mengatakan: sapere aude, beranilah berpikir sendiri. Dewasalah. Gunakan akal budimu sendiri. Kant mendorong kita untuk tidak selalu menyandarkan diri pada pendapat orang lain atau otoritas tertentu. Dalam kaitan dengan kemampuan untuk berpikir sendiri ini, Kant juga mengajak kita untuk berani berpikir kritis, menimbang dimensi positif/baik dan negatif/buruk dari sebuah pendapat. Bukanlah kebetulan jika ketiga buku utama Kant semuanya menggunakan kata kritik dalam judulnya: Kritik Akal Budi Murni, Kritik Akal Budi Praktis, Kritik Daya Pertimbangan. Karena itu, kita hendaknya tidak menganggap kritik sebagai bentuk permusuhan. Kritik bukanlah tanda antipati, melainkan bentuk apresiasi. Hanya dengan kritiklah kita bisa maju.

Mempelajari filsafat Kant membawa kita ke dalam sebuah pengalaman akan rasionalitas pemikiran. Hanya pikiran-pikiran yang rasional dan yang memiliki basis argumentasi yang kuatlah yang layak diterima. Tidak ada tempat bagi pikiran-pikiran picik dan emosional di sini, karena pemikiran demikian tidak akan membawa kita maju. Sebagai makluk rasional sudah selayaknya kita juga berusaha mempergunakan pikiran rasional kritis kita semaksimal mungkin.

Tentu sangat banyak sisi positif yang kita peroleh dengan belajar Kant, antara lain kedalaman pikiran dan analisanya, keketatannya berargumentasi, cara dia mengajukan pertanyaan yang kemudian direnungkan dalam tulisan-tulisannya, sikap kritisnya dalam menilai sebuah posisi filosofis tertentu, dan lain-lain.

6. Anda belajar cukup lama di Jerman. Kira-kira untuk kondisi sekarang, bagaimana pandangan masyarakat Jerman sendiri terhadap pemikiran Kant?

Fitzerald K Sitorus: Sosok Kant sebagai filsuf umumnya dikenal oleh masyarakat Jerman secara umum. Pemikiran-pemikiran Kant, misalnya soal etika, tetap dipelajari di sekolah-sekolah menengah. Karena itu, tidak mengherankan kalau masyarakat awam pun tahu siapa Kant, dan apa gagasannya yang paling penting. Kant juga dikenal karena gaya hidupnya yang sangat disiplin, dan orang Jerman umumnya dikenal sebagai bangsa yang sangat disiplin dan tepat waktu.

Di lingkungan para pemikir atau dunia pemikiran, filsafat Kant tetap aktual dan dinilai semakin aktual dewasa ini. Hampir dalam setiap bidang disiplin ilmu, nama dan pemikiran Kant tetap sentral: mulai dari estetika, teologi, etika, hukum, kriminologi, politik, hak asasi manusia, dan lain-lain. Dinamika sosial politik dalam dunia global sekarang membuat para ahli untuk tetap menggumuli pemikiran Kant. Diskusi-diskusi ilmiah atau filosofis dewasa ini mengenai isu-isu aktual dan berskala global, misalnya soal keadilan global (global justice), kosmopolitanisme, demokrasi global atau transnasional, perang dan perdamaian global, hak-hak asasi manusia bahkan sampai masalah pengungsi yang membanjiri Eropa membuat para ahli untuk membaca Kant lebih serius dan kreatif, karena memang pemikiran Kant menyajikan gagasan-gagasan segar dan orisionil mengenai isu-isu di atas. Buku-buku yang membahas pemikiran Kant, atau yang mencoba menggunakan filsafat Kant untuk menganalisasi fenomena kontemporer global, tetap banyak terbit hingga hari ini, baik dalam bahasa Jerman atau Inggris atau bahasa-bahasa Eropa lainnya.

Kant juga, misalnya, telah bicara mengenai pengungsi. Dia mengatakan bahwa karena dunia tempat kita tinggal ini terbatas, dan tidak bisa dijamin bahwa di bagian lain dari dunia yang terbatas ini tidak akan ada gejolak yang memaksa penduduk dari sebuah wilayah untuk mengungsi ke wilayah lain, maka setiap orang yang daerahnya mengalami konflik atau pergolakan  memiliki hak untuk mengungsi ke daerah lain yang lebih aman, dan atas dasar itu, pengungsi juga wajib untuk diterima. Kant telah berbicara mengenai hak untuk mengungsi, dan dia sampai kepada gagasan itu hanya berdasarkan refleksi akal budi praktis.

Dengan metode refleksi serupa, Kant juga, dalam tulisannya yang berjudul Perdamaian Abadi, telah berbicara mengenai pendirian sebuah lembaga internasional yang bertujuan untuk menjaga perdamaian antara bangsa-bangsa merdeka. Kant mengatakan bahwa karena perang itu merugikan maka setiap negara akan berusaha menghindari perang dan menjaga perdamaian di antara sesama mereka (agar mereka tidak terlibat dalam perang satu sama lain). Untuk memastikan agar negara-negara itu tidak saling berperang maka mereka akan membentuk sebuah lembaga federasi dari bangsa-bangsa yang tugasnya adalah untuk menjaga perdamaian di antara bangsa-bangsa. Dan tahun 1945, gagasan yang semata-mata dihasilkan melalui refleksi murni itu terbukti benar ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan.

Konflik yang terjadi di berbagai wilayah dan bangsa dewasa ini juga mendorong para pemikir ilmu sosial dan politik untuk membaca Kant kembali dan mencari tahu insight apa yang dapat ditawarkan Kant untuk mewujudkan perdamaian di antara bangsa-bangsa. Pemikiran dua filsuf sosial terkemuka dewasa ini, yakni John Rawls dan Jürgen Habermas, juga dipengaruhi oleh Kant dengan mendalam.

Sangat mengagumkan bahwa filsuf yang tidak pernah keluar sejauh 20 kilometer dari kota Königsberg kelahirannya itu mampu menghasilkan pemikiran revolusioner dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, yang jauh melampaui zamannya, dan zaman kita sekarang tetap menyaksikan aktualitas pemikiran tersebut.(mp)

3 Comments

Join the discussion and tell us your opinion.

junry alowreply
March 3, 2017 at 11:17 am

mantap

Ahmad Yanuana Samanthoreply
March 9, 2017 at 7:32 am

Salam, Mohoinijin Share di https://ahmadsamantho.wordpress.com/2017/03/09/penyelamatan-metafisika-oleh-kant/

adminreply
March 14, 2017 at 9:48 am
– In reply to: Ahmad Yanuana Samantho

slm

boleh, pk syam, semoga bermanfaat, mohon menyertakan sumber rujukan situs; riset.sadra.co.id

Reply to Ahmad Yanuana Samantho Cancel reply