Haidar Bagir: Epistemologi Pengalaman Religius

Pengalaman spiritual adalah anugerah Tuhan yang kenikmatanya bisa dinikmati dengan dirasakan. Kenikmatan ini lazimnya dinikmati dengan hati. Sebagai sebuah pengalaman religius, kenikmatan jenis ini sudah membudaya di kalangan pelaku spiritual baik yang tergabung dalam tareqat maupun penempuh individu. Namun, bagaimana pengalaman subjektif ini bisa dibuktikan secara rasional dan menjadi budaya wacana akademik masih sedikit yang melakukannya. Dr. Haidar Bagir, seperti diakuinya sendiri, memposisikan diri sebagai aktifis yang berusaha memperkenalkan dan mempopulerkan wacana pengalaman religius ke tingkat akademik. Bersama Riset Sadra 02/08/2017 Dr. Haidar Bagir ditemani Dr. Khalid Al-Walid membedah buku tersebut.

Dibuka Ammar Fauzi, Ph.D selaku Ketua Divisi Riset STFI Sadra mengatakan, diskusi buku “Epistemologi Tasawuf” ini hasil kerjasama ketiga kalinya dengan MizanWacana. Setelah sebelumnya membedah “Rekronstruksi Pemikiran Iqbal”, dan “Ibnu Khaldun; Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi”. Dikatakan Ammar, diskusi ini penting karena jarang ada yang menulis buku tasawuf dilihat dari aspek burhani Filsafat Islam.

Cipta BG, MA, selaku moderator membuka diskusi dengan mengatakan pentingnya mistisisme di zaman modern. Buku ini menawarkan justifikasi rasional (epistemologi) dengan pendekatan filsafat Mulla Sadra. Dalam acara studium general di tempat ini juga sebelumnya dibahas mistisisme dari sudut pandang neorosciense oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat.

Dikatakan Cipta, belum lama ini ramai di media sosial 3 bulan lalu dari Unversitas Mataram, Jurusan Tehnik Elektro, seorang dosen-Sabar Nababan punya pengalaman ruhnya ditarik ke langit, kemudian bertemu Nabi Muhammad, Yahweh, Yesus, lalu diangkat jadi Tuhan. Demikian dikatakan Cipta BG berusaha memanaskan diskusi.

Dr. Haidar Bagir
Dr. Haidar Bagir jebolan Harvad University sebagai penulis buku membuka diskusi dengan menyentil fenomena para mahasiswa zaman sekarang. Ia mengatakan terjadi penurunan semangat belajar yang serius, mendalam dan telaten. Dikatakan Haidar, kalau mau santai-santai jangan masuk Sadra sebagai kampus Filsafat dan Tasawuf. Seorang sejawat Haidar, ketika berkunjung ke rumahnya, melihat banyak buku mengatakan, kenapa Anda belajar tasawuf dan filsafat yang lebih mudah dibanding belajar di ITB. “Saya sendiri menganggap belajar Filsafat dan Tasawuf lebih susah daripada belajar di ITB. Jadi kalau sudah tahu belajar di Sadra susah tapi masih santai, cari saja sekolah yang jurusan yang ringan sesuai dengan cita-cita kita”. Pesan Haidar.

“Buku saya ini ada beberapa lubang, saya bukan ahli filsafat, saya selalu menyebut akifis dalam memperkenalkan tasawuf sebagai ilmu. Buku ini sebenarnya separo disertasi saya. Dalam disertasi saya di UI, saya membandingkan Mulla Sadra dan Heidegger paska pembelokan. Buku ini sesuai dengan konsen saya, yakni perlunya tasawuf dikenal secara lebih rasional (burhani). Saya membandingkan konsep “Denken” Heidegger (1930) dengan ilmu hudhuri yang relevan. Kesimpulanya, pada kedua pemikir ini sangat mirip. Bedanya Heidegger berhenti antara filosofis dan sastra dimana yang dapat menemukan kebenaran adalah penyair tertentu. Dari sudut pendekatan, Heidegger lebih ke sastra. Sedang Mulla Sadra, sebagai filsuf sekaligus pelaku tasawuf, memiliki penjelasan burhani.” Haidar mencoba menjelaskan sekelumit histori bukunya.

Dikatakan Haidar, menurut Iqbal, orang yang pertama kali melakukan penelitian terhadap pengalaman religius adalah Rasulullah Muhammad pada saat mengamati pengalaman religius seorang pemuda Yahudi, Ibnu Shayyad.

Haidar menulis dalam bukunya apa itu pengalaman mistik?, kemudian pada bagian akhir menghubungkan pengalaman mistik dengan ilmu hudhuri. Diakui Haidar, batas epistemologi dan ontologi dalam tasawuf sebenarnya kabur, namun Haidar memakai pengertian epistemologi yang dipakai Aristoteles; sesuatu yang sistematis dan berurutan. Haidar memberi penekanan, ”Saya ingin menjelaskan bahwa pengalaman mistis ini tidak sepenuhnya tak terperikan (tak terkatakan). Meski kalau dijelaskan bisa mereduksi tapi tidak sepenuhnya juga tidak bisa dijelaskan. “

Haidar mengutip tiga level pengalaman mistik Mehdi Hairi Yazdi; pertama, pengalaman mistis atau religius itu sendiri tidak terperikan, tidak terlukiskan, inaffable (tidak ada unsur logika dan bahasa), kedua, bahasa mistisisme sebagai bahasa analogis, dan ketiga, metamistisisme sebagai bahasa proporsional logis. Menurutnya, konsep Ibnu Arabi kira-kira ada pada bahasa mistisisme.

Dr. Khalid Walid
Dr. Khalid Walid sebagai pembanding mengatakan, pengalaman mistik memang susah di verifikasi, namun filsafat menjadi dasar objekifikasi pengalaman mistik. Dr. Khalid menyimpulkan dari buku ini bahwa pengetahuan presensial sebagai pengetahuan hakiki.

Khalid berbagi kisah, seorang sufi mengatakan pada Ibnu Sina, “Saya tidak percaya dengan teori gravitasi, kalau saya lepaskan gelas ini dari tangan saya, berdasarkan teori Anda, gelas ini pasti jatuh, tapi gelas ini mengambang di udara. Ini menunjukkan menurut teori Anda (Ibnu Sina) gagal, gravitasi tidak ada.” Dijawab Ibnu Sina, “Gelas itu tidak jatuh karena kekuatan jiwa Anda menghalangi benda itu jatuh.” Kesimpulannya, Ibnu Sina adalah orang mengetahui (rasional) tapi tidak memahami, sebaliknya sufi memahami tapi tidak mengetahui.

Dr. Khalid mengatakan pengalaman religius itu bisa dibuktikan dengan dua dasar: ilmu husuli, hadirnya objek di luar pada orang yang mempresepsi (proses korespondensi). Sedang hadirnya esensi pada diri seseorang (hudhuri) bisa diilustrasikan seperti orang yang sedang jatuh cinta, perasaan cinta itu tidak ada di luar. Rasa sakit juga begitu.

Thabathabai, Mehdi Haeri, Mulla Sadra, berusaha membuktikan objektifitas ilmu hudhuri. Bagaimana membuktikan warna orange di luar sama terjadi pada setiap orang. Segala sesuatu yang ada di luar ada juga di dalam alam mental. Seperti film dalam sablon, dengan hasil sablon yang sudah di print. Atau gambaran rumah di luar dengan bayangan rumah dalam diri seorang arsitek.

Sedangkan ketika terjadi kesatuan objek dan subjek, yang terjadi adalah kita sendiri yang mempresepsi, dalam diri kita sendiri, dan objeknya diri kita sendiri. Ini menandakan kesatuan wujudi, antara alim dengan objek ilmu itu. Maka semakin banyak ilmu, semakin besar wujudnya. Semakin objek wujud ilmu tersebut metafisik maka kualitas jiwanya akan berkembang luar biasa. Kemudian penyingkapan akan teradi pada level tersebut.

Namun sayang sekali menurut Dr. Khalid, sebagai masukan penulis. Pertama, penulis menjelaskan aqil wa ma’qul terlalu cepat melompat, tanpa memberikan proses penyempurnaan ma’qulat (objek-objek ma’qulat) sampai pada pengetahuan presensial. Kedua, penulis seharusnya mengutip langsung buku asli “She Asl” (tiga prinsip; ditulis bahasa persia), bukan dari para komentatornya. Ketiga, penulis tidak menunjukkan referensi hadis-hadis yang relevan.

Diskusi berjalan sangat dinamis dan, seperti diakui Haidar Bagir di awal pemaparan, perlu dilakukan catatan revisi pada buku tersebut. Adapun semangat penulis membudayakan masyarakat mengkaji tasawuf dari aspek rasional perlu didukung. Upaya ini dapat memberi manfaat, di antaranya, pertama bahwa pengalaman religius itu bertingkat-tingkat sehingga masyarakat dapat mengukur sampai dimana level pengalaman religiusnya. Kedua, adanya jalan lain mencapai kebenaran selain akal. Ketiga, memberi arah pengalaman religius yang benar. (ma’ruf)

Share your thoughts