FTP; Aspek Kuantitatif dan Kualitatif Matematika

Matematika. Sebuah disiplin ilmu yang telah berumur ribuah tahun. Telah dibahas mulai dari Pythtagoras dan para Filsuf India klasik, diteruskan oleh ilmuan muslim abad keemasan. Kemudian masuk zaman modern diantarkan secara sempurna oleh Decartes dan Immanuel Kant. Masalahpun timbul, mulai dari pergeseran aspek kualitatif Matematika zaman klasik kemudian perkembangan teknis (teknologi) menjadikan Matematika makin kuantitatif, seiring dengan penurunan dan penghilangan aspek ketuhanan dan kemanusiaan.

Debatpun kemudian muncul-benarkah krisis ketuhanan dan kemanusiaan selalu menjurus pada problem dan menyalahkan aspek kuantifikasi sebuah ilmu, sedangkan pada saat yang sama penemuan status kualitas Matematika menjadi tak terelakan dan serba menggantung. Benarkan maudu’ matematika, “kam”yang mengacu pada aspek kuantitatas bisa sekaligus memiliki aspek kualitas. Jikapun terdapat “kualitas” dimanakah letaknya; dalam ilmu Matematika, atau orang yang sedang bermatematika. Lalu apa manfaatnya membicarakan debat tersebut, bukankah aspek manfaat praktis ilmu terkadang lebih penting daripada mencari status epistemologi dan ontologi sebuah ilmu. Jawabanpun beragam, mulai dari pengembalian pada rigisitas ilmu (maudu’, masail, mabadi), Filsafat Matematika, relevansi dengan Filsafat Wujud dan aspek kemanfaatan yang ditarik dari maad.          

Riset STFI Sadra, mencoba mencari jawaban debat tersebut dengan menggelar Forum Temu Pakar (FTP) dengan mengundang para peneliti matematika; Dr. Teguh dan Ayu, SA.g, ditemani empat perespon sekaligus, Dr. Benny, Cipta, BG, Dr. Abocci dan Ammar Fauzi, Ph.D. Berikut rekaman jalanya diskusi, dipandu oleh moderator-Della.

 Dr. Teguh Slamet Wahyudi

Teguh Slamet Wahyudi, beberapa bulan lalu telah berhasil memperoleh gelar doktor pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Bidang Agama dan Sains. Disertasinya berjudul; “Dimensi Kemanusiaan dan Ketuhanan dalam Matematika Al-Khawarizmi dan Matematika Modern” dengan promotor: Prof. Dr. Suwito, MA dan Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc. Dr. Teguh memperoleh gelar master di  STFI Sadra juga mengangkat tema tentang Matematika Khawarizwi.

Kamis 08/09/2017 atas undangan Riset STFI Sadra menjadi salah nara sumber dalam program Forum Temu Pakar (FTP) menyampaikan hasil disertasinya.

Dr. Teguh berhasil membuktikan bahwa matematika mengajarkan kesederhanaan dalam kontek dimensi kemanusiaan dan ketuhanan.

Dimensi kemanusiaan terdiri dari: a. aspek matematika dan sejarah, b. Aspek matematika dan estetika, c.aspek matematika dan bahasa. Sedang dimensi Ketuhanan terdiri dari: a.aspek ketakberhinggaan dalam matematika,   dan teologi,  b.aspek religiusitas dalam matematika

Menurut Dr. Teguh, terdapat tiga faktor utama yang melatarbelakangi pengangkatan tema disertasinya. Yaitu, sejarah, pemikiran dan kelembagaan.

Aspek Sejarah

Dr. Teguh mengatakan dari sisi sejarah,  Auguste Comte (pelopor positivisme) mengatakan sejarah pengetahuan berkembang melalui tiga tahap, yaitu (1) Tahap teologis, (2) Tahap metafisis, dan (3) Tahap positif (sains). Menurut klasifikasi ilmu Comte: matematika  merupakan disiplin paling abstrak dibandingkan dengan  fisika, kimia, biologi, dan sosiologi. Secara positivis, matematika telah dijadikan alat untuk mengukur suatu besaran; sebagai model metode ilmiah bagi ilmu-ilmu lainnya (alat bagi sains). Bagi Comte, tanpa ilmu pasti/the science of number, yaitu matematika yang bersifat deduktif dan atau statistika yang bersifat induktif, sains akan kembali menjadi metafisika. Dengan kata lain, matematika cenderung bersifat kuantitatif.

Dapat disebut simpulkan, pemikiran Auguste Comte tentang sejarah pengetahuan mengindikasi keterpisahan agama, metafisika, dan sains.

Aspek Pemikiran

Sedangkan dari aspek pemikiran, keterpisahan sains dari teologi dan metafisika ternyata dapat diintegrasikan. Hal ini dapat ditemukan pada sains yang dikembangkan oleh ilmuwan Muslim. Contohnya pada matematika al-Khawārizmī, dengan karyanya Al-Jabr wa al-Muqābalah.

Paradigma tauhid dalam Islam merupakan dasar integrasi pada sains, termasuk matematika. Dalam tauhid terkandung makna kesatuan (unitas), keterpaduan, dan kesalingeratan. Sedangkan dimensi kualitatif matematika dalam Islam, diantaranya adalah peran strategis matematika dalam meningkatkan potensi manusia berupa etos (sikap, semangat, dan mentalitas). Etos itu diantaranya, kejujuran, ketekunan, kedisiplinan, dan kesederhanaan.

Aspek Kelembagaan

Melalui lembaga pendidikan, matematika dapat dipelajari secara sistematis dalam rangka meningkatkan potensi manusia yang terwujud berupa etos (sikap, semangat, dan mentalitas). Ide ini dapat ditemukan pada pemikiran Ibn Miskawaih dalam Tahdhīb al-Akhlāq. Selain itu, dapat dikembangkan dari matematika al-Khawārizmī, terutama karya  Al-Jabr wa al-Muqābalah.

Pengkajian matematika dalam lembaga pendidikan ini, tidak dapat terlepas dari aspek kualitatif matematika, yaitu dimensi kemanusiaan dan dimensi ketuhanan.

Salah satu etos, yaitu kesederhanaan dapat ditumbuhkan kepada orang yang mempelajari matematika. Pemahaman bahwa matematika mengajarkan kesederhanaan dapat dianalisis secara hermeneutika-fenomenologis dari  dimensi kemanusiaan dan ketuhanan dalam matematika al-Khawārizmī dan matematika modern.

Kesimpulan ini menurut  Dr. Teguh ini dikuatkan pernyataan oleh beberapa tokoh dalam dan luar negri.Diantaranya Husain Heriyanto (2011) yang menyatakan bahwa matematika dalam peradaban Islam berguna sebagai sarana penyempurnaan potensi-potensi manusia yang tercermin pada semangat, sikap, dan mentalitas manusia. Seyyed Hossein Nasr (1989) yang menyatakan bahwa matematika dan sains berkaitan dengan aspek kualitatif, yaitu spiritual dalam bingkai Scientia Sacra. Mehdi Golshani (2003) yang menyatakan bahwa sains termasuk matematika dapat menjadi cara dalam memahami Tuhan sekaligus berperan dalam pengembangan masyarakat Islam. Teun Koetsier dan Luc Bergmans (2005), yang menyatakan bahwa pada dasarnya matematika memiliki dimensi ketuhanan.

Dr. Teguh menfokuskan penelitianya pada sumber utama: Al-Kitāb al-Mukhtaṣar fī Ḥisāb al-Jabr wa al-Muqābalah karya al-Khawārizmī  dan buku Liber Abaci karya Leonardo Fibonacci. (Dilakukan kritik eksternal dan internal). Sedangkan pendekatan penelitian: Historis, Teologis, dan Fenomenologis.

Metode penelitianya dengan cara: studi perbandingan, menganalisis persamaan dan perbedaan dimensi kemanusiaan dan ketuhanan antara matematika al-Khawārizmī dan matematika modern. Sedangkan metode hermeneutika-fenomenologis Paul Ricoeur  digunakan dalam menafsirkan data-data untuk mendapatkan kesimpulan penelitian.

Dari penelitianya, Dr Teguh menemukan beberapa hal; Pertama, konteks dimensi kemanusiaan dalam matematika al-Khawārizmī dan matematika modern, meliputi aspek sejarah, estetika, dan bahasa. Aspek sejarah yaitu menjelaskan bahwa terjadi proses penyederhanaan ide-ide matematika, yaitu aljabar. Hal tersebut ditempuh melalui 3 tahap, yaitu retorik (the rhetorical stage) berupa ungkapan pernyataan kalimat sehari-hari, sinkopasi/penyingkatan (the syncopated stage) berupa penggunaan singkatan-singkatan, dan simbolisasi (the symbolic stage) berupa ekspresi ide-ide matematika melalui simbol-simbol abstrak.

Aspek estetika mencerminkan kesederhanaan yang terdapat dalam matematika ditinjau dari prinsip keseimbangan dalam aljabar (al-jabr dan al-muqābalah). Prinsip ini digunakan untuk mencari nilai variabel yang memenuhi suatu persamaan, yang berlaku pula pada matematika modern.

 Aspek bahasa mengungkapkan bahwa matematika merupakan bahasa komunikasi yang berlaku secara universal, karena simbol-simbol yang dipahami oleh para matematikawan merupakan hasil kesepakatan secara internasional. Simbol-simbol digunakan untuk menyederhanakan suatu pernyataan yang biasa diungkapkan dalam bahasa sehari-hari. Penyederhanaan dalam bahasa matematika itu berupa nilai (values), sesuatu yang belum diketahui (variables), fungsi (functions), dan ekspresi (expressions). Bahasa matematika tidak mengandung unsur emosi maupun afeksi sehingga memudahkan proses pembuktian, penurunan rumus-rumus matematika, dan penyelesaian persoalan kontekstual.

Perbedaan matematika al-Khawārizmī dan matematika modern dalam konteks dimensi kemanusiaan adalah ditinjau dari paradigma pengembangan matematika. Al-Khawārizmī mengembangkan matematika berdasarkan paradigma tauhid, sedangkan matematika dikembangkan berdasarkan paradigma matematika sebagai ratu dan pelayan bagi sains. Tauhid ini dapat bermakna kesatuan, kesalingeratan, juga keterpaduan. Paradigma tauhid dalam matematika al-Khawārizmī menunjukkan adanya integrasi antara aspek-aspek kehidupan seorang Muslim dengan agama.

Ayu, S.Ag

Pembicara kedua, Ayu, S.Ag, lulusan S1 STFI Sadra mempresentasikan  makalahnya berjudul “Renungan Spirit Bilangan Matematika Ihwan Al-Safa.” Dari hasil penelitianya, Ayu menarik beberapa kesimpulan dari tiga rumusan masalah yaitu teori bilangan menurut Ikhwān al-Ṣafā’, teori kosmologi menurut Ikhwān al-Ṣafā’, dan harmonisasi teori bilangan dan teori kosmologi. Beberapa poin dapat disimpulkan:

  1. Pemikiran Ikhwān al-Ṣafā’, khususnya pemikiran tentang bilangan dan kosmologi dipengaruhi oleh Pythagoras dan Neoplatonisme. Doktrin bilangan dan karakteristik bilangan yang dapat menjelaskan keseluruhan penciptaan, struktur alam, fenomena material, dan fenomena spiritual dipengaruhi oleh Pythagoras. Sedangkan dalam pemikiran hierarki emanasi yang diawali dari Pencipta, kemudian ke Akal Universal, kemudian ke Jiwa Universal dan Materi Pertama dipengaruhi oleh Neoplatonisme.
  2. Teori bilangan Ikhwān al-Ṣafā’ berada dalam lingkup ilmu matematika dalam kategori ilmu filsafat, yang merupakan ilmu terpenting dan tertinggi menurut Ikhwān al-Ṣafā’. Teori bilangan menjadi basis dari seluruh pemikiran Ikhwān al-Ṣafā’, sehingga teori bilangan menempati risalah pertama. Bilangan dibagi ke dalam bilangan bulat, pecahan, ganjil, dan genap. Setiap bilangan memiliki keunikan masing-masing, antara lain bilangan 1 memiliki keunikan khusus yang menjadi sumber dan asal usul seluruh bilangan setelahnya. Bilangan 1 tidak terbagi dan tidak memiliki bagian. Bilangan 2 memiliki keunikan genap dan menjadi awal dari pluralitas bilangan. Bilangan 3 memiliki keunikan menjadi bilangan ganjil pertama dan penyebab dari bilangan genap dan ganjil secara berselang seling. Bilangan 3 didapat dari hasil pertambahan antara bilangan 1 dan 2. Bilangan 4 yang merupakan bilangan kuadrat pertama, memiliki keunikan khusus, yaitu ilustrasi dari realitas alam yang berjumlah 4. Bilangan 4 adalah hasil penjumlahan dari bilangan 1 dan 3.
  3. Kosmologi Ikhwān al-Ṣafā’ dalam kitabnya mengkaji tentang alam yang di dalamnya mengkaji tentang segala aspek fisik maupun spiritual di alam. Alam adalah keseluruhan maujud, baik wujud spiritual di alam transenden maupun wujud fisik atau material yang mendiami seluruh alam atas dan alam bawah. Semuanya membentuk sebuah sistem kesatuan yang saling meliputi. Alam diibaratkan sebagai manusia besar yang memiliki akal partikular, jiwa partikular, dan badan material. Manusia pun diibaratkan sebagai alam kecil yang berisi kumpulan aspek spiritual berupa akal aktif universal, jiwa universal, dan materi pertama. Ketiganya membentuk sebuah sistem kesatuan yang saling terkait. Dalam kosmologi, khususnya membahas teori emanasi Ikhwān al-Ṣafā’, dimana penciptaan alam dimulai dari Tuhan, kemudian Akal Aktif Universal, Jiwa Universal, Materi Pertama, Materi Universal, dan seluruh maujud-maujud yang terdiri dari materi dan bentuk secara berangsur-angsur.
  4. Teori bilangan sangat berkorelasi erat dengan teori kosmologi Ikhwān al-Ṣafā’. Teori bilangan berhubungan dengan hierarki wujud dalam teori penciptaan. Penciptaan alam keseluruhan dari Tuhan dihubungkan dengan munculnya keseluruhan bilangan dari 1. Sehingga bilangan menjadi dasar hikmah dari tauhid keesaan Tuhan. Misalnya munculnya bilangan 2 dari pengulangan bilangan 1 sebagaimana penciptaan Akal Aktif Universal dari Tuhan. Bilangan 3 munculnya dari 1 dan 2 sebagaimana Jiwa Universal munculnya dari Tuhan dan Akal Aktif Universal. Bilangan 4 munculnya dari 1 dan 3 sebagaimana penciptaan Materi Pertama dari Tuhan dan Jiwa Universal. Tuhan menciptakan pluralitas maujud alam secara bergradasi sebagaimana munculnya pluralitas bilangan secara bergradasi dari pertambahan 1 secara terus menerus. Bilangan memiliki pola interelasi dan interdependensi antar satu dan yang lain. Pola ini menjadikan bilangan-bilangan berhubungan secara harmonis. Pola ini menjadikan seluruh maujud atau elemen alam berhubungan secara harmonis. Satu saja bilangan rusak, maka akan merusak pola seluruh bilangan yang lain. Begitu juga dengan alam, satu maujud atau elemen rusak, maka akan merusak seluruh sistem alam.

 Penanggap

Dr. Beny Susilo

Dr. Beny menanggapi presentasi dari Ayu dan Teguh mengatakan bahwa, matematika subjek matternya adalah “kam”, bersifat kuantitas yang berasal dari aksiden. Kalau ada orang bilang, “kualitas matematika”, pertanyaanya apakah berasal dari dari dalam matematika atau di luar matematika. Kalau dari “dalam matematika” dari arah mana masuk-kualitas ke dalam kuantitas. Ini pertanyaan besar?. Kalau berasal dari  luar, siapa yang memasukkanya?, apakah ilmu itu sendiri atau orang  yang  berilmu memasukkanya. Kalau datang dari luar, kita katakan itu adalah aksiden yang bersifat asing. Inilah problem utama persoalan integrasi atau Islamisasi ilmu.

Dr. Beny lebih condong melihat, kualitas berasal dari orang yang bermatematika yang memasukkan dari luar, dimana orang yang bermatematika tersebut mempunyai pemahaman tertentu tentang  Tuhan maupun manusia. Berkenaan dengan  berelasi dengan Tuhan, akal aktif, jiwa universal dari Ikhwān al-Ṣafā’, pertanyaanya, apakah itu iktibar akal kita atau bukan?.

Sedang “angka” adalah permisalan saja, seperti ditulis oleh Ikhwān al-Ṣafā’ “Mazhab kami ini, saudara-saudara, memikirkan seluruh yang maujudad, baik jauhar maupun arrad, mudorrobat sampai illat mereka, yaitu Allah Azza Wajala, dan kami menjelaskan tersebut dengan permisalan yang bersifat “bilangan”. Juga pembuktian secara geometris seperti yang dilakukan para hukama, Pythagoras.

Jadi ditekankan Dr. Beny sekali lagi, kalau dikatakan Matematika mempunyai kualitas ketuhanan dan kemanusiaan maka bagi yang sudah terlanjur kaku seperti saya (subjek matter Matematika; “kam”-kuantitas) sulit sekali diterima, kecuali dimasukaan dari luar (orang yang bermatematika) yang mempunyai pandangan tauhid dan antropologi tertentu.

Isarat lain, oleh Ikhwān al-Ṣafā’ dikatakan,”tujuan belajar ilmu awalnya mencintai ilmu, setelahnya mengenal, dan terakhir mengamalakan sesuai ilmu tersebut” akan tetapi ini tujuan orang yang belajar ilmu, bukan tujuan ilmu itu sendiri.

Mana lebih dulu, fisika (konkrit) atau matematika yang secara materi ditanggalkan, akan tetapi secara “definisi” masih tertinggal- dari abstraksi secara imajinal (tajarud) kemudian naik ke illahiyat (metafisika). Jadi untuk sampai pada proses dapat melihat  “illat dan maklul”, maka “illat” dalam pedagogi, anak dididik seyognyanya dari fisika menuju matematika kemudian metafisika. Jadi tidak bisa memahami keadilan Tuhan dari benda materi (fisika). Kalau dipaksakan melihat fisika sebagai akibat- kemudian loncat pada sebab (illahiyat) tanpa melalui matematika,maka illat dan maklul tidak bisa ditangkap secara sempurna.

Olehkarenanya seyognya satu disiplin ilmu meggunakan prinsip ilmu itu sendiri untuk melihat dengan jalan (metode) demonstrasi (burhan),” sesuatu bisa diketahui dari sebab itu sendiri- berawal dari sebab menuju akibat-dan tidak bisa melihat dengan menggunakan prinsip disiplin ilmu yang lain. Olehkarena dalam pendidikan anak, karena sudah teralanjur benda-benda di sekelilingnya sudah ada, maka kita mulai mengenalkan dan mengajarkan benda  (jism/fisika/inderawi), yang pada dasarnya berasal dari suatu sebab (illahiyat). Dimana sebenarnya bukan benda itu sendiri yang kita pegang akan tetapi arradnya (aksidenya). Dari “arrad” naik ke level (imajinal) Matematika kemudian menuju Metafsika.

Jika melihat ilmu dari  antar disiplin ilmu (integrasi) maka melihat dari arradnya-kualitas integrasi datang dari luar (orang yang memakai ilmu dengan wawasan tertentu). Jika kita mengajarkan anak dari matematika dulu, maka kita mengajarkan seolah matematika itu jism padahal yang kita ajarkan aksiden-aksiden dari jism tersebut. Sehingga agar terjadi integrasi ilmu pada anak didik, maka membutuhkan peta ilmu yang diarsiteki oleh filsafat, untuk dipahamkan pada anak didik.  Ilmu sebagai ilmu bersifat (rigit) adalah mandiri dalam metodenya, sedang filsafat memberi peta.

Cipta, BG MA

Persoalanan integrasi dan Matematika menurut Cipta terletak pada apakah “maudu’’ ilmu itu apa harus rijid dan khas atau bisa longgar. Mengutip Seyyed Misbah Yazdi, ilmu sekarang memang sudah sangat terdeferensiasi, tapi yang penting adalah wawasan si alimnya bukan  ilmunya. Disamping itu ada beberapa hal yang perlu dicatat.

Pertama, sebuah ilmu katakanlah matematika ketika dilempar ke komunitas matematikawan, maka matematika bukan milik individu lagi, tetapi sudah menjadi komunitas matematikan. Olehkarenanya fokusnya bukan lagi “subjek matter” Matematika yaitu “kam” tetapi para ilmuan Matematika sebagai pengguna Matematika untuk merumuskan progres epistemologi Matematika.

Kedua, persoalan integrasi ilmu menurut Cipta terlalu cair, kurang kaku, sehingga nomenklatur matematika harus diimbangi dengan pandangan hidup matematikawan itu sendiri. Matematikawan harus memiliki peta integratif ilmu- pada saat yang sama rigit pada maudu’, mabadi dan masailnya. Sehingga perkembangan matematika nampak jelas seperti pengembangan matematika dari klasik menuju modern. Matematika sebagai konstruk pemikiran, yang memilik sifat basith (sederhana) sekaligus komplek. Sehingga perjalanan wawasan tauhid matematikawan terus dalam trek integratif.

Ketiga, pentingnya kita menempatkan diskursus Filsafat Matematika, sehingga capaian dan penemuan modern dari matematika tetap progres, bisa terus dimanfaatkan dengan tanpa menghilangkan aspek integratif dari gugus ilmu.

Dr. Abocci sebagai penanggap ketiga, melihat aspek Matematika sebagai alat latihan untuk menyusun relasi dari aspek kesatuan dan keberagaman. Matematika adalah sesuatu yang bersifat iktibari, di dapat dari intiza’ dimana objek tidak ada diluar, tapi dalam diri subjek.

Ammat Fauzi  Ph.D penanggap keempat menekankan pentingnya peninjauan Matematika baik dari tradisi klasik dan modern kearah yang lebih aplikatif. Ibnu Sina sebagai pioner filsuf muslim generasi ketiga yang menguasai berbagai displin ilmu, terutama Kedokteran dan Matematika menekankan aspek kemanfaatan. Bahwa semua disiplin ilmu termasuk Matematika adalah bertujuan bagi kesempurnaan jiwa secara aktual sehingga dapat membentuk kebahagiaan ukhrowi.

Olehkarena itu aspek eskatologi menjadi bahan yang penting untuk mendefinisikan tujuan dan sisi penting dari urgensi suatu ilmu dipelajari. Sehingga baik Matematika Khawarizmi sebagai generasi pertama, dan Ikhwan Shafa sebagai generasi kedua tidak hanya dilihat dari aspek integrasi. Seolah mengatakan bahwa persoalan penting tidak hanya debat kualitas dan kuantitas Matematika tapi lebih dari itu, yaitu aspek faedahnya. Kita tidak hanya fokus pada menjawab pertanyaan dari mana kita berasal akan tetapi lebih penting lagi untuk apa hidup. Aspek keterbatasan manusia tetap saja membuat Matematika tetap saja berkembang meski kita sudah meninggal. Setidaknya terdapat tiga manfaat; lebih sempurna (ifhadoh), sama dengan dirinya (ifhadah), manfaat yang lebih rendah (riasah)-Ihwan Sahafa.

Diskusi berjalan menarik, berbobot, lancar dan inspiratif selama kurang lebih 3 jam. Diluar ruang, ketika tim Riset STFI Sadra mengkonfirmasi Dr. Beny soal kemungkinan aspek kualitatif dan kuantitatif  Matematika sekaligus dari sisi Irfan seperti yang digambarkan Dr. Seyyed Husain Nasr pada saat menganalisa aspek irfan dari seluruh disiplin ilmu zaman abad keemasan Islam, Dr. Beny menghindar dan mengatakan, perlu diskusi secara terpisah. (ma’ruf)

 

Share your thoughts