Visi Keperadaban dalam Pemikiran Muhammad Iqbal

Visi Keperadaban dalam Pemikiran Muhammad Iqbal
Ammar Fauzi

Disampaikan dalam “Seminar Pemikiran Reformis Muhammad Iqbal”. Sabtu, 28/10/2017, Concorde V, Hotel Kuala Lumpur-Islamic Renaissance Front (IRF)

Bangsa di taman bunga dan rumput megahnya
itulah api hati lantunkan tembang terbarunya
Mereka tanamkan benih kelak jadilah mentari
limpahkan ratusan Rumi dan Attar Naisaburi
Bangsa Cerah itulah lahir batin La ilaha
Musik kita dipetik dengan melodi La ilaha

“Alquran adalah kitab yang menekankan tindakan daripada pemikiran”, kalimat pertama yang mengawali sekaligus menjiwai keseluruhan adikarya Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, buku hasil perenungan dan pengalaman yang sudah nyaris berusia satu abad. Ia termasuk buku langka yang menampilkan relevansi dan aktualitasnya di dunia yang, dapat dipastikan, sudah jauh berbeda berkat trias transformasi sains, industri dan teknologi.

Seperti juga para tokoh gerakan pembaharu Muslim, Iqbal menempatkan Alquran sebagai denyut urat-urat pemikirannya. Dalam setiap bab dari karyanya itu, tampak jelas kehadiran ayat-ayat sebagai referensi utama dalam menggagas dan berargumentasi. Kendati bukan mufasir dan hingga kini belum ada kalangan ahli tafsir yang menempatkan namanya dalam jajaran mufasir, tidak berlebihan bila menghargai kontribusi Iqbal sebagai pelopor tafsir ‘ilmi, penggagas metode penafsiran Alquran secara saintifik. Dalam pandangannya, begitulah semestinya memahami ayat-ayat Alquran untuk keluar dari kevakuman pemikiran agama selama lima abad terakhir ini.

Ammar Fauzi, Ph.D, presentasi Visi Keperadaban Pemikiran Muhammad Iqbal, Concorde Hotel, KL

Kalimat di awal itu juga menegaskan transparansi dan kehati-hatian Iqbal dalam mendudukkan persoalan dan mendefinisikan permasalahan yang hendak ditangani. Umumnya kalangan pakar hari-hari ini tampak tajam dan luas menggali dan menganalisis isu-isu keagamaan tanpa sempat mempertegas agama itu sendiri apa; seolah-olah semua agama berikut muatan ajaran mereka dan rejam jejak umatnya itu sama hingga, dengan sikap ilmiah ini, sudah memperlakukan semua agama dengan adil dan sama rata, tanpa ada kekhawatiran menilai mereka dengan pukul rata (generalisasi).

Kalimat di awal itu mengungkapkan keberanian, kewaspadaan sekaligus kerendahdirian Iqbal dalam mendefinisikan apa agama yang ia maksudkan. Seperti yang tampak dalam judul buku, ia mendefinisikan agama dengan Islam, satu pola definition by instance, definisi dengan contoh yang biasa dilakukan ibu guru di taman kanak-kanak. Seperti kata-kata Hamid Algar, “Sebelum membahas segala sesuatu tentang agama, biarkan saya memastikan maksud agama di sini yaitu Islam.”

Mendefinisikan agama dengan Islam adalah keberanian karena cara itu merupakan kejujuran dan penelanjangan makna sekaligus kesiapan diri bertanggung jawab; kewaspadaan karena cara itu adalah cara menghindar dari falasi generalisasi; kerendahdirian karena cara itu merupakan pengakuannya akan keterbatasan dirinya. Namun, Iqbal tidak berhenti sampai di sini. Ia lebih lugas lagi mendefinisikan Islam dengan Alquran. Dengan Alquran, Iqbal hendak meyakinkan bahwa dirinya seorang pembaharu muslim yang berupaya menghidupkan kembali pemikiran Islam dengan nafas hidayah ayat-ayat Tuhan. Dan dengan Alquran itu pula ia memastikan bahwa pengalaman hidup di dunia maju Eropa tidak mempengaruhi keyakinannya pada Alquran sebagai referensi utama dalam memahami, menilai dan mengambil keputusan.

Kata kunci lain yang menampilkan semangat Iqbal dalam berpikir dan berbuat ialah dekonstruksi, yakni “kebangkitan” (p. 4 & 8) dan “menghidupkan kembali” (p. 157) pemikiran Islam yang autentik seperti yang pertama kali diajarkan dan direalisasikan Nabi SAW sebagai peradaban baru atau, dalam bahasa Iqbal, dunia ideal baru (p. 153). Hidup di tengah atmosfer kemajuan peradaban Barat telah turut membulatkan cita-cita dan tekadnya untuk menggali kuburan sejarah kemegahan Islam dan membangkitkan kembali peradabannya. Kekayaan pusaka agama dan potensi umat yang ikut terkubur selama 500 tahun plus 100 tahun sekarang tampaknya membuat Iqbal gemas dan jengkel hingga ia meninjau berbagai pola pemikiran dan pola perilaku umat Islam secara kritis.

Seperti juga pemahamannya tentang sejarah sebagai ruh yang satu, tinjauan Iqbal terhadap sejarah Islam akan bersifat holistik, menyeluruh dan satu-padu; berupaya menghubungkan masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang dengan satu ruh, yaitu Alquran. Tinjauan holistik ini membentuk visi Iqbal dalam merekonstruksi pemikiran Islam sebagai peradaban. Tinjauan dan visi ini ditandai dengan gagasan-gagasan universal, fundamental, dan orisinal khas Iqbalian seperti: kedirian (khudi), kenir-dirian (bi-khudi) dan bangsa cerah (mellat-e baydha’).

Ammar Fauzi, Ph.D, presentasi Visi Peradaban Pemikiran Muhammad Iqbal, Kuala Lumpur, 28 Okt 2017

 

Empat Pilar Peradaban
Ghalibnya, peradaban dianalogikan dengan bangunan dan, karena itu pula, merekonstruksi berarti membangun kembali bangunan peradaban. Menciptakan peradaban tidak sama dengan cara membangkitkan dan membangunnya kembali tegak dan wibawa. Seperti seorang arsitek, rekonstruksi pemikiran Islam dapat dipetakan dalam kerangka empat sebab:

a. Sebab Bahan (al-‘illat al-maddiyyah) atau faktor yang merupakan medan dan lahan bagi terjadinya suatu akibat dan ia tetap berada padanya seperti: bahan-bahan material penyusun fisik bangunan.
b. Sebab Bentuk (al-‘illat al-shȗriyyah), yaitu bentuk (shȗrah) dan aktualitas (fi‘liyyah) yang muncul pada materi dan menjadi asal munculnya kesan-kesan baru padanya seperti: bentuk fisik bangunan. Kedua macam ini merupakan sebab-sebab internal (al-‘ilal al-dakhiliyyah).
c. Sebab Pelaku (al-‘illat al-fȃʻiliyyah), yaitu aktor yang darinya suatu akibat menjadi ada seperti: orang yang menciptakan bentuk pada fisik bangunan.
d. Sebab Punca (al-‘illat al-ghȃ’iyyah), yaitu motif pelaku dalam melakukan tindakannya seperti: tujuan yang dimaksud seseorang sebagai pertimbangan dalam tindakan bebasnya, dan ia berupaya merealisasi tujuan tersebut. Dua sebab macam terakhir ini merupakan sebab-sebab eksternal (al-‘ilal al-khârijiyyah).

Barangkali, pola mendeskripsikan visi peradaban Iqbal dengan kerangka empat sebab di atas ini tidak berkenan bagi Iqbal sendiri. Ini dapat dimengerti mengingat kerangka ini merupakan salah satu produk dari tradisi budaya Klasik atau, secara definitif, peripatetisme Yunani yang ditentang keras oleh Iqbal, karena sesungguhnya Alquran adalah anti-Klasik, anti-Yunani. Namun, tentu saja, ia menentang Yunani bukan karena identitas kebangsaan tradisi budaya itu, karena tradisi ini selain secara objektif telah menyebabkan stagnasi dan kematian pemikiran Islam, Iqbal mengapresiasi sejumlah gagasan dari beberapa nama filosof Yunani seperti Plato (p. 209) sejauh sesuai dengan ajaran Alquran. Karena itu pula, penentangan keras Iqbal juga mengarah pada budaya agamanya sendiri, yaitu filsafat, teologi dan, bahkan, tasawuf Islam.

Alasan lain Iqbal mendesak agar budaya Yunani mengisi ulang kuburan pemikiran Islam ialah pengaruh abstraktif, spekulatif dan teoretisnya (p. 157) terhadap nalar umat Islam yang telah membuat mereka jauh dari hal-hal konkret dan empirik (p. 158) hingga tertinggal dari dan melupakan peradaban. Untuk masalah empat sebab ini, justru Sebab Bahan dan Sebab Bentuk berlaku khusus pada akibat-akibat bendawi yang tersusun dari bahan dan bentuk. Maka, dari sisi ini, kiranya masih cukup terbuka peluang menjernihkan visi peradaban Iqbal dalam merekonstruksi pemikiran Islam dengan kerangka empat sebab tersebut.

Sebab Pelaku
Sebab ini disebut juga dengan sebab efisien. Sebab Pelaku di sini mengemuka dalam rangka menjawab, siapakah yang membangun peradaban? siapa pelaku peradaban? Searah dengan penolakannya terhadap doktrin penebusan dosa dalam teologi Kristen dan doktrin determinasi dalam kalam Islam, Iqbal mengajukan manusia sebagai pelaku berkehendak bebas dan mulia. Baginya, esensi manusia terpusat sepenuhnya pada statusnya sebagai pengemban kepribadian bebas dan penentu nasib diri sendiri sekaligus penanggung resiko pikiran dan tindakannya sendiri (p. 115). Atas dasar ini, ia menafsirkan “amanat” dalam QS. Al-Ahzab [33]: 33 sebagai the trust of personality, amanat Tuhan yang tidak sanggup diemban oleh makhluk apa pun kecuali manusia. Maka, manusia adalah wakil Tuhan, dan Tuhan adalah rekan kerja manusia (p. 13).

Kehendak bebas ini menciptakan aktivitas kreatif dalam menjangkau cita-cita agung dalam dirinya sehingga, karena itu, ia makhluk yang gelisah dan siap menderita dan menyakiti diri dalam mengekspresikan diri di ruang-ruang baru (p. 12). Cita-cita dalam diri merupakan iman (pengetahuan dan perasaan) yang mengisi ruh dan ruang batin dan dijangkau dengan pengalaman religius-psikis. Agar iman dan ruh itu berkembang dan tampak di ruang-ruang baru dan konkret, manusia harus mengambil inisiatif untuk memajukan kehidupan, yakni membangun peradaban dan “hubungan-hubungan dengan realitas di hadapannya” (p. 13). Tanpa cita-cita dan insiatif, kehendak bebas dan iman manusia kehilangan nilainya; ia tak beda dengan batu dan benda mati lainnya.

Puncak kepribadian dan personalitas manusia ialah kata-kata masyhur al-Hallaj, ana al-Haqq. Yakni, sebagai wakil Tuhan, manusia adalah ruh yang satu dan berada dalam ruang kehidupan temporal dan sejarah secara kreatif. Karena itu, Iqbal menerjemahkan kata-kata al-Hallaj tadi dengan pandangannya, “Aku adalah kebenaran kreatif.”

Kebenaran absolut dan kreativitas di ruang terbatas adalah dua sayap yang melambungkan manusia terbang mencapai cita-cita agung dan the trust of personality dirinya. Personalitas ini tidak akan sempurna bahkan dalam pengalaman mistik setinggi Abdul Quddus, sufi besar dari Ganggoh. Kepuasan final seorang sufi, menurut Iqbal, hanyalah kenyamanan dalam pengalaman manunggal atau fana’ (p. 153) dan berada hanya bersama Tuhan. akan halnya dalam pengalaman profetik, seorang nabi akan kembali lagi bersama Tuhan ke dalam kancah zaman “untuk mengawasi kekuatan-kekuatan sejarah hingga menciptakan suatu dunia ideal baru” (p. 153).

Dia tidak berhenti di fana’, ketiadaan dan nir-diri (bi-khudi). Nir-diri yang sesungguhnya dicapai setelah ia menyatakan keberadaan diri (khudi). Sebelum fana’ bersama Tuhan, manusia bukan apa-apa; ia mengalami ada dan nyata seketika manunggal bersama Tuhan: “Aku adalah Kebenaran”, dan kebenarannya menjadi kreatif manakala ia kembali lagi ke dunia kreativitas dan perubahan zaman. Di situlah manusia menjadi pelaku sejarah dan peradaban dengan personalitas dan kepribadiannya (khudi).

Sebab Bahan
Sebab ini disebut juga dengan sebab material. Ditempatkan setelah sebab pelaku mengingat objek kreativitas manusia adalah alam materi dan dunia perubahan. dunia inilah yang menjadi tempat kembalinya manusia setelah berjumpa dan fana’ bersama Tuhan. Maka, sebab material bagi manusia dalam membangun peradaban ialah dunia fana yang mencakup: hal-hal konkret-empirik, waktu dan sejarah).

Ditulis tadi “dunia fana” bukan semata-mata karena fana-nya dunia, tetapi juga manusia itu sendiri dalam khudi-nya menjadi sempurna dengan memaksimalkan segenap potensi pemikiran dan perbuatannya memakmurkan dunia hingga dia fana’ dan tiada bersama Tuhan dalam dunia ini. Dengan kekuatan khudi-nya, manusia menyerap (absorb) segenap nama-nama Tuhan yang termanifestasi di unit-unit terbatas dunia fana. Penyerapan total dan ketiadaan diri inilah yang kelak disebut sebagai Nir-diri (bi-khudi).

Seseorang gagal kembali ke dunia atau gagal melompat dari khudi ke bi-khudi atau gagal terbang dengan dua sayap sakral dan profan: kebenaran absolut dan kreativitas di ruang terbatas, karena dua faktor penghambat yang disinggung di atas: (a) pola pikir spekulatif dan abstraktif (Klasik-Yunani) dan (b) pola pengalaman fana’ sufi, termasuk pola hidup asketis (zuhud). Tentang faktor pertama, Alquran adalah anti-Klasik (p. 157), dan tentang faktor kedua, Iqbal menyebutnya beda dengan kenabian. Lebih jelasnya, “Seorang sufi enggan kembali lagi dari suasana damai dalam pengalaman manunggal itu dan, jika pun terpaksa kembali, tidak akan memberi arti besar bagi umat manusia (p. 154).

Maka, pembangunan peradaban akan gagal bila dipercayakan pada sufi Ganggoh dan filosof Yunani, karena tidak menghargai dunia temporal dan hal-hal konkret sebagai bahan material peradaban. Kegagalan yang sama akan dialami oleh kalangan ulama yang berpola pikir literalis dan jumud dalam memahami dan menafsirkan teks agama. Maka, dukungan lain untuk mengolah bahan peradaban ialah ijtihad dan nalar kreatif menggali makna dari dalam teks yang berevolusi dengan dinamika sejarah dan masyarakat (p. 206).

Hai penderita tradisi imanmu
pola hidup kafir itulah penjaramu.

Sebab Bentuk
Sebab ini disebut juga dengan sebab formal, yaitu sebab yang membuat bahan baku itu menjadi konkret nyata. Jika sebab bahan tadi layaknya adonan atau sebongkah kayu yang masih baku, maka untuk berbentuk menjadi sesuatu perlu mengambil bentuk tertentu. Pada, mulanya bentuk itu ada pada sebab pelaku (manusia). Maka, ia akan membentuk sesuai dengan bentuk yang dibayangkannya dalam pikirannya. Lantas, jika sebab pelaku itu adalah Iqbal dan sebab bahan itu adalah dunia yang ia hormati untuk segera dibangun peradaban di atasnya, lalu bagaimana bentuk konkret dan model nyata peradaban yang ada dalam pikiran dan idealismenya?

Ahli sejarah peradaban dan ilmu pengetahuan percaya adanya catatan tinta emas peradaban ideal dunia Islam. Sepanjang 15 abad usia Islam, ada suatu era Abad Keemasan yang menandai kemajuan peradaban Islam, antara abad III hingga abad VIII Hijriah (Nasr, Seyyed Hossein, Sains dan Peradaban Di Dalam Islam (1986), Penerbit Pustaka, Bandung, p. 25-39).

Uniknya, Iqbal tidak merujuk abad itu. Baginya, keemasan dan kemajuan suatu era bukan ditinjau dari permukaan fakta sejarah seperti dinasti Abbasiyah di Baghdad, dinasti Umayyah di Damaskus dan di Spanyol (Gandhi, Rajmohan, Understanding the Muslim Mind, 2008, p. 62). Suatu era, seperti juga sejarah, perlu ditinjau dari lapisan-lapisan di balik apa yang tampak di permukaan peristiwa. Yakni, bukan semata-mata kemajuan yang zahir, tetapi kemajuan itu dilandasi oleh nilai-nilai batin yang dalam.

Tampaknya, ketidakpuasan ini sudah dirahasiakan oleh sebagian kalangan teosof yang mengalami langsung abad kebanggaan itu. Misalnya, komunitas esoteris Ikhwan al-Shafa di Basrah dan Baghdad abad IV. Di pengantar kompilasi risalah mereka, dinyatakan motif penulisannya karena agama telah dikotori dengan kebodohan dan bercampur dengan kesesatan (Rasa’il Ikhwan al-Shafa wa Khillan al-Wafa (2005), Beirut, vol. 1, p. 8). Tentu saja, Iqbal menolak cara mereka mengajukan teosofi sebagai solusi untuk kebusukan itu, tetapi pengamatan mereka atas realitas tersebut bisa menafsirkan sedikit banyaknya sikap Iqbal terhadap abad tersebut.

Alih-alin, Iqbal justru menjadikan Turki sebagai referensi model kemajuan peradaban, tetapi bukan karena di sana ada Khilafah Utsmaniyyah seperti yang masih diperjuangkan oleh gerakan sebagian Muslimin untuk bangkit kembali, namun karena keberhasilan Attarturk mengubah negeri itu maju. Sedemikian kagumnya, kalau tidak dikatakan euforia, Iqbal dengan kekuasaan Mustafa Kemal di Turki di awal 1920 hingga ia tak kuasa tidak berkata dengan nada-nada filsafat kritik Kant, “Di kalangan bangsa-bangsa Muslim hari ini, hanya Turki yang telah terbangunkan dari tidur dogmatis dan meraih self-consciousness” (Rajmohan Gandhi, Understanding the Muslim Mind, 2008, p. 62).

Tetapi, konsistensi ini boleh jadi agak mengganggu sukacitanya pada Turki Attarturk, apalagi Turki Nato, Turki yang tidak lagi secara diam-diam menyatakan kerjasamanya dengan Israel. Dari jauh, dari negerinya sendiri, ia tetap menjaga pengamatannya di tingkatan ketajaman yang sama dengan kesaksian mata telanjang dalam mencermati perilaku Turki di bawah kekuasaan Kemal yang absolut. Kali ini, dengan nada kecewa ia mengungkapkan dalam bahasa Jalaluddin Rumi:

Semilir angin pagi masih dinanti bunga-bunga taman
Kala sakit rasuki Attaturk, jiwa damai masih dinanti sebongkah raga

Di banyak era sejarah Islam, Muslimin telah berjuang dan menang. Beberapa pemimpin mereka telah menyembunyikan ambisi pribadi mereka di balik tabir agama. Jelas, penaklukan teritorial bukanlah bagian dari program asli Islam. Iqbal menyadari betapa singkatnya kesuksesan pedang itu:

Alexander berdiri seperti selintas kilat
Dan kita semua tahu ia tiba-tiba sekarat.
Nadir Shah merampok Delhi dari harta karunnya
dan satu pukulan pedang akhiri sejarah singkatnya.

Islam era Nabi SAW. Sejauh kutipan optimistis Rajmohan Gandhi, itulah era yang menjadi dunia ideal baru Iqbal yang menemukan model demokratisnya di era Empat Khalifah (Gandhi, Rajmohan (2008), p. 62). Ada romantisme yang ditimang Iqbal untuk membangun peradaban dengan model nyata dan konket di era Nabi.

Sebab Puncak
Sebab ini disebut juga sebagai sebab final. Sebab ini berperan dalam rangka menjawab pertanyaan: untuk apa manusia membangun peradaban. Bertolak dari gagasan dunia ideal baru nabawi, peradaban itu tidak terbatas pada negeri tertentu, dan warga yang terlibat dalam dunia itu pun tidak membawa identitas darah dan ras. Wilayah geografi dan garis keturunan tidak membatasi skala peradaban. Karena ini pula, Iqbal dikenal lazim sebagai penyeru Panislamisme atau universalisme. Semangat ini, meski di satu sisi merupakan gairah melawan hegemoni Barat yang semakin mendominasi, di sisi lain adalah cita-cita kemajuan dan keunggulan global umat Islam. Dunia Islam adalah negeri semua orang Islam, negeri tanpa batas. Tidak ada ibukota selain ibunegeri, yaitu baitullah al-haram, jantung dan titik pusat dunia Islam, tanah suci yang ironisnya justru menjadi lahan subur pemikiran jumud dan literalisme dan kini dibangun megah tanpa nilai spiritual. Di balik Panislamisme ini pula Iqbal, tentu saja, menolak ide nasionalisme sebagai prinsip, bukan alat dan cara memulai langkah ke arah Panislamisme.

Namun demikian, yang unik dan identik bagi Iqbal ialah lahirnya Bangsa Cerah (mellat-e baydha’). Cerah karena bangsa ini tercerahkan oleh cahaya iman dan amal, pemikiran dan perbuatan, hidayah dan kebenaran. Bangsa ini juga dinamai sebagai Umat Adil (ummat-e adil). Adil karena umat ini menyerap nilai-nilai keutamaan secara seimbang. Namun perlu dicatat bahwa, walaupun nilai-nilai religius terbina utuh di dalamnya, ini tidak berarti manusia di dalam bangsa atau umat itu masih bergantung pada kenabian. Di sinilah Bangsa Cerah tidak mirip dengan Kota Utama (madinah fadhilah) al-Farabi yang mentradisi di kalangan filosof Muslim; doktrin filsafat politik yang menekankan peran kenabian di dalamnya.

Menurut Iqbal, “Dalam Islam, kenabian itu sudah mencapai kesempurnaan bila sudah menemukan perlunya penghapusan dirinya” (p. 155). Maka, doktrin khatamiyyah (nabi terakhir) bukan hanya nabi yang terakhir diutus, tetapi juga kenabian yang pasti berakhir, yaitu tatkala manusia mampu hidup mandiri. “Hidup tidak dapat selamanya harus dituntun, maka untuk mencapai kesadaran diri penuh (amanat), manusia pada akhirnya harus kembali kepada kemampuannya sendiri” (ibid.). Ini dikuatkan oleh sekian banyak ayat yang menekankan penggunaan akal, indera dan pelajaran dari sejarah agar manusia sampai di level berdiri di atas kaki sendiri. Nabi terakhir, oleh karena itu, menunjukkan umatnya adalah umat terakhir dan, dengan sendirinya, terunggul.

Dalam gagasan ini tampaknya doktrin kedatangan Imam Mahdi Yang Dijanjikan perlu ditinjau ulang sebagai tantangan teologis dan filsafat sejarah yang perlu dituntaskan. Di akhir bab “Semangat Kebudayaan Islam”, Iqbal menyinggung gagasan asli Majusi yang timbul kembali dalam Islam di bawah tekanan pemikiran Majusi. Ini lantas dilengkapi oleh Saeed Sheikh dengan catatan Iqbal di tempat lain mengenai gagasan asli Majusi tersebut, yaitu berkenaan dengan doktrin keberadaan Imam Mahdi di akhir zaman (p. 188).

Alhasil, berdiri di atas kaki sendiri adalah kemandirian manusia dan keterputusan dari selain dirinya. Hanya ada satu kebergantungan, yaitu kepada Realitas Tertinggi. Pada-nya ia hamba sepenuhnya. Di hadapan-Nya, lenyap kehendak apa pun selain kehendak-Nya. Maka, yang bertahta dalam jiwanya hanyalah Tuhan. Umat Adil dan Bangsa Cerah adalah umat Islam yang menyerap sinar tauhid untuk mengatakan “La ilaha”: tidak ada tuhan, dengan segenap resiko dalam menghadapi dan melawan tuhan-tuhan dunia. Tuhan Al-Haqq tidak akan bertahta menguasai kehendaknya kecuali dengan menolak kekuatan apa dan siapa saja selain Dia. Penolakan total ini sama dengan kekuatannya melakukan apa saja.

Itulah bangsa yang pantas berkata ana al-Haqq
kala darahnya warnai karya seninya di alam
Wujudnya api dari bara dalam jiwanya
sanggup membakar berapa dan kenapa dunia
Cita-citanya uraikan ana al-Haqq
selekas berkata, “Jadilah!”, terjadi nyata.

Bagaimana kehendak Tuhan menjadi konkret di dunia temporal melalui Bangsa Cerah? Secara tidak langsung, Iqbal mengamati terlebih dahulu kendala di tradisi agama lain. Biasanya, di sepanjang buku rekonstruksi, ia kerap melakukan studi komparatif Islam dengan Kristen. Kegagalan agama ini dalam membangun nilai spiritual dalam kehidupan profan terletak pada ide yang menolak kehidupan duniawi. Mengutip kata-kata Nauman, “Kristen di masa lalu tidak memikirkan kondisi masyarakat manusia.” (p. 209). Selanjutnya, Iqbal menyatakan sikapnya di hadapan sekularisme dalam isu agama dan kekuasaan, “Alquran memandang perlunya menyatukan agama dan negara, etika dan politik dalam suatu wahyu.”

Penutup
Alquran hidup dan mati Iqbal. Sulit membaca adikaryanya tanpa ayat dan cara dia memahaminya. Dalam upaya menggubah rancang visi peradaban dalam pemikiran Iqbal, Alquran hadir secara langsung, sekalipun upaya deskriptif dan kritis ini—dan tentu saja tidak sempurna—mengikuti kerangka kausalitas empat sebab.

Berdasarkan kerangka peripatetis ini, visi keperadaban Iqbal diuraikan dalam empat tahap; dimulai dari diri manusia sebagai aktor pencipta dan pembangun melalui konsep khudi, lalu beranjak ke dunia sebagai lahan yang memfasilitasi kreativitas manusia dengan materi, waktu dan sejarah melalui konsep bi-khudi, kemudian mengaktualkan lahan dan dunia material itu dengan bentuk konkret dan model ideal yang ada dalam pikiran, hingga pada akhirnya semua upaya pembangunan peradaban itu dimaksudkan dalam rangka melahirkan Umat Adil dan Bangsa Cerah.

Apakah Iqbal berhasil membuktikan visi keperadabannya secara nyata di realitas dunia dimana dia hidup? Pakistan adalah bukti konkret yang berdiri sebagai negeri dan bangsa yang berdaulat atas nama negara Islam. Boleh jadi, banyak catatan yang merusak validitas bukti itu, namun setidaknya negara itu telah membuktikan dirinya bukan sekadar pandai berpikir, tangkas menafsirkan ayat, tajam menyusun argumen, dan fasih mendeskripsikan dunia dan realitas, tetapi tampil sebagai aktivis pejuang dan pekerja keras dengan iman dan emosinya. Ia muslim visioner jauh menjangkau kita sekarang, menggandeng tangan kita maju ke depan, mengajak kita berani meniti empat tahap membangun peradaban dan membayangkan berbagai resiko. Ia pemikir sekaligus pejuang peradaban.

Share your thoughts