ICIPh: Konferensi Internasional Pertama Filsafat Islam Di Indonesia

Sambutan di Pembukaan ICIPh, Gedung DPR RI, 18/01/19

 

INTERNATIONAL Conference on Islamic Philosophy (ICIPh) terselenggara dengan sukses dan diikuti oleh berbagai kalangan dalam dan luar negeri, pakar, peneliti, dosen pengajar, pelajar, institusi pendidikan formal, pusat penelitian, hingga lembaga negara setingkat kementerian (agama dan pemuda olahraga). Bekerja sama dengan Asosiasi Akidah dan Filsafat Islam (AAFI), Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra memaksimalkan segenap dukungan, khususnya dari Dewan Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Kementerian Agama dan Kementerian Pemuda dan Olahraga, dalam dua hari penyelenggaraan, 18-19 Januari 2019.

Berikut ini catatan awal Ketua Bidang Riset STFI Sadra, Ammar Fauzi, Ph.D., sekaligus selaku ketua panitia penyelenggara, mengenai konferensi ini.

Relevansi tema utama konferensi ini dapat ditinjau dari dua sisi: internal dan eksternal Filsafat. Sebelumnya perlu saya pertebal nama filsafat di sini sebatas Filsafat Islam. Sebagai salah satu fitur menonjol dari peradaban Islam, filsafat telah berkontribusi konkret dalam perubahan. Para filosof Muslim, mulai dari Abu Ishaq al-Kindi, terutama Farabi, Ibnu Sina, hingga Suhrawardi dan Mulla Sadra, berperan besar dalam pembangunan era keemasan sejarah Islam. Keberadaan mereka bermain dua kaki di dua bidang yang tidak jarang terlibat konflik interlektual bahkan sosial, yakni Kalam dan Tasawuf, membuat filsafat mengakomodasi isu-isu dua bidang ini. Namun, lantaran bermain dua kaki inilah filsafat kerap sejak dahulu menjadi sasaran kecurigaan bahkan kecaman dari dua arah sekaligus.

Di Indonesia sendiri, kendati filsafat Islam sudah cukup lama dikenal dan diadaptasikan terutama di lingkungan perguruan tinggi dan elite ilmu pengetahuan, pernah mengalami vase kevakuman atau mungkin juga ketegangan. Salah satu dampaknya, filsafat di sebagian komunitas dan pusat pembelajaran Islam bukan hanya disalahartikan, bahkan juga disalahfungsikan sehingga pengembangan filsafat Islam tertuduh sebagai faktor potensial penyimpangan pemikiran dan keimanan.

Gejala ini tidak sepenuhnya keliru bila juga ditimbang peran terbatas dan kurang maksimal dari para pengajar filsafat Islam. Dan dinamika ini sudah lama disadari. Berdirinya Asosiasi Akidah dan Filsafat Islam (AAFI) ini saya rasa bagian dari solusi akal kolektif dari para penguasa filsafat Islam di tanah air. Untuk itu pula filsafat kembali diangkat di sini, pertama-tama, dalam rangka mendudukkan posisinya secara jernih dan, kedua, menjernihkan fungsinya sebagaimana digagas dan diwarisi oleh peradaban ilmu keislaman. Ini dari sisi internal.

Dari sisi eksternal, sejak awal kali diinisiasi dan diwanacakan, isu-isu folosofis secara langsung menyoroti transformasi di tingkat negara dan bangsa. Filsafat di Yunani merupakan instrumen penanganan masalah dasar berbangsa dan bernegara, yaitu dengan kembali ke inti persoalan yaitu realitas manusia itu sendiri sebagai pelaku transformasi dan jantung masalah. Sebangun dengan ini, filsafat mendudukkan peta realitas untuk membaca posisi dan relasi manusia di dalamnya.

Karena itu, salah satu definisi klasik filsafat yang juga masih bertahan dalam tradisi Filsafat Islam ialah mengenal manusia. “Apakah manusia?” sesungguhnya menggali persoalan fundamental manusia, entah sebagai individu ataupun masyarakat, entah dari aspek etika ataupun negara dan bangsa.  Jadi, tema “Filsafat dan Kemanusiaan” seolah-olah frasa redundant yang mengulang secara tautologis filsafat dan kemanusiaan.

Adapun tema ini diangkat hari-hari ini di sini mengingat, pertama, tema filsafat tidak mengenal kelekangan dan kadarluarsa, karena subjeknya bersifat fundamental, maka akan selalu segar, dibutuhkan atau disadari. Berbagai isu moral dalam perilaku di berbagai ruang privat ataupun sosial datang saling menumpuk yang senyatanya juga mendesak kita sebagai insan akademisi sekadar kapasitas dan spesialisasi kita terlibat serta dalam memberikan alternative-alternatif untuk melengkapi solusi yang diperlukan.

Sebagai panitia pelaksana, STFI Sadra sadar akan identitas dan fungsi utamanya bergerak di bidang spesialisnya, yakni filsafat dan tasawuf Islam. Dalam kaitannya dengan riset Sadra, konferensi ini sendiri dengan temanya secara langsung mamanggil komitmen untuk terlibat langsung di dalamnya. Karena itu, kepercayaan mutual antara AAFI dan STFI Sadra sangatlah berharga dan patut disyukuri sebagai peluang pengembangan program-program riset di masyarakat umum, khususnya di lingkungan akademisi Filsafat Islam.

Bagi riset Sadra, terselenggaranya pertemuan dan terjalinnya komunikasi dan perkenalan secara langsung merupakan momentum unik untuk perencanaan pengembangan filsafat Islam, berbagi pengalaman dan gagasan, sehingga ke depan dapat diharapkan terbangunnya sinergi potensi dan kapasitas masing secara lebih konkret.

Share your thoughts