Mufasir-Filosof yang Mengawal Keseimbangan Legitimasi dan Kompetensi

Oleh: Ammar Fauzi

Jumat pekan lalu, Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi tutup usia. Terhitung dari tahun lahirnya, 1934, usianya terbilang panjang. 87 tahun ia habiskan untuk ilmu pengetahuan dan perjuangan, sebelum ataupun setelah revolusi Islam Iran.

Tak pelak, selain dikenal sebagai ulama dan mujtahid, Ustad Misbah, demikian nama akrab di kalangan sarjana, dikenal juga sebagai mufasir, filosof Hikmah Muta’aliyah dan ideolog negara. Statusnya yang belakangan tadi tampak krusial sebagai medan pengujian dan pembuktian kompatibilitas segenap pengalaman intelektual dan ketajaman filosofisnya dalam dua vase: legitimasi dan kompetensi.

Sepanjang usia Republik Islam Iran, negara Mullah ini telah memulai persalinan janinnya dari vase legitimasi; memprakarsai berdirinya sistem yang tegak di atas tatahukum agama dan kesadaran religious bangsa di sana.

Perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan, kekerdilan dan pembudakan rezim Pahlevi diarusutamakan pada legitimasi. Bukan hanya ketidakadilan, keterputusan dari garis legitimasi keagamaan ini adalah negasi atas legitimasi kekuasaan.

Saat revolusi memuncak hingga kemenangannya, wajar bila lantas berlangsung berdebatan bentuk sistem dan identitas negara. Sejak itu sudah terpola dua kubu air-minyak: sekuler dan religius. Pola ini berbanding lurus dengan garis ideologi negara, yakni Wilayatul Faqih dan garis anti-Wilayatul Faqih.

Polarisasi ini, sampai sekarang, masih bertahan di berbagai lapisan masyarakat, termasuk di kalangan ulama. Karena itu, negara Islam dan perdebatan ideologi negara di Iran bukan sekedar wacana ilmiah, tapi berkonsekuensi pada ketahanan sekaligus pertanggungjawaban atas kedaulatan bahkan eksistensinya di dalam negeri dan di hadapan masyarakat internasional.

Itulah mengapa dunia dan Iran sendiri begitu awas menyelenggarakan momen-momen demokrasi di sana. Terutama pemilihan umum, baik pileg maupun pilpres, sudah jadi medan pengukuran legitimasi sistem sosial Iran, sehingga tingkat partisipasi publik dan jumlah suara rakyat jadi lebih penting di atas nama-nama kandidat dan siapa yang terpilih.

Di dalam negeri, akan mudah dijumpai media-media pendukung dan penentang serta tokoh-tokohnya yang menghangatkan perdebatan intelektual dan politikal. Sebut saja surat kabar Salam, tabloid Kiyan dan komunitasnya yang sekuler yang bersaing diametris dengan jurnal Hukumat-e Islami.

Di kancah itu, Mendiang Ustad Misbah berperan progresif secara defensif maupun ofensif. Institut pendidikan dan penelitiannya yang berdiri di medio dekade 90-an jadi katalisator penguatan sekaligus pertahanan atas ideologi negara. Limpah karya dan kader muda adalah kontribusi konkretnya hingga kini.

Sejak berakhirnya pemerintahan Khatami, 2005, vase pembangunan legitimasi sepertinya relatif sudah mapan. Namun masih kuat panggilan yang sejak awal terhambat akibat perang Iran-Iraq, yaitu amanat pembangunan sebagai representasi dari vase pasca legitimasi, yaitu vase kompetensi.

Sebagai negara yang membawa nama Islam sekaligus republik, Republik Islam Iran ditantang bukan hanya bersambung legitimasinya ke langit, tetapi juga menguji kehandalan dan kapasitas keperadabannya di bumi.

Vase kompetensi adalah titik yang sama krusialnya dalam meyakinkan warga bertahan hidup tidak hanya dalam kepuasan batin, tetapi juga memenuhi ekspektasi lahiriah. Kompetensi berarti menyoal: mampukah negara yang diklaim ilahi ini menghadirkan keadilan, ketahanan, kemakmuran, pembangunan dan peradaban yang khas di negeri Persia?

Pembangunan peradaban masa depan di dunia sekarang, seperti kata Will Durant, mutlak memerlukan seni dan ilmu pengetahuan. Vase krusial kompetensi ini mendesak fokus Ustad Misbah pada pengembangan ilmu-ilmu sebagai perangkat lunak yang berbasis paradigma dan rasionalitas Islam hingga wacana islamisasi ilmu-ilmu kemanusiaan dengan beragam model dan alternatifnya.

Karsa Ustad Misbah seiring dengan pusat pendidikan dan penelitian IPM yang diinisiasi sejawatnya dalam Hikmah Muta’aliyah sekaligus pakar HAM dan pengamat senior geopolitik, Javad Larijani. Nama belakangan ini jauh dari riuh rendah media hingga bergerak leluasa dalam pengembangan ilmu-ilmu fundamental yang menyuplai kebutuhan teoretis mulai untuk teknologi clonning, stem cell, nano teknologi, hingga pengembangan teknologi nuklir di berbagai sektor sipil.

Dua amanat: legitimasi dan kompetensi akan senantiasa berjalan seiring, seketat perpaduan ruh dan jasad, seutuh kesenyawaan dua lapis yang dikutip Soekarno dari Alquran, yakni iman dan amal soleh.

Meski dalam analisis logisnya, legitimasi memang mendahului kompetensi, pada prakteknya selalu beriringan. Bukan hanya Iran, Indonesia juga negara manapun kiranya akan terus diuji legitimasi dan kompetensinya. Ketangguhan suatu ideologi dan negara akan ditentukan oleh keseimbangan dua vase ini sepanjang hayat bangsa.

Kiranya sebagian isu besar nasional di tanah air ini juga, dari sisi tertentu, bisa didudukkan dengan mengukur sejauhmana keseimbangan fokus komponen bangsa ini pada dua amanat: legitimasi dan kompetensi. Tidak cukup hanya dengan kata “sudah final”, “harga mati”, “hasil kemufakatan para bapak pendiri” dan doktrin-doktrin selanggam itu untuk menanamkan pemahaman, keyakinan dan iman pada legitimasi negara demi menyudahi dialektika ideologis agar segera membidikkan fokus pada penanganan kompetensial seperti: kesehatan dan ekonomi. Sama timpangnya menajamkan fokus pada keseriusan intelektual memperdebatkan ideologi negara hingga acuh terhadap isu-isu keadilan, pembangunan, ketahanan dan kesejahteraan.

Membahas ideologi negara dan ideologi-ideologi penantangnya serta relasi-relasinya dengan tradisi secara terbuka, kritis dan argumentatif dan sejarah sama pentingnya dengan upaya implementasi nilai-nilai kompetensialnya secara konkret dan bertanggung jawab. Maka, menjadi tidak berarti bila terjadi eliminasi potensi dan fokus. Kerja sama semua fokus dan potensi akan menunjang keseimbangan dua vase agar saling berisi dan mengisi dengan cinta, sabar dan sungguh-sungguh.

Share your thoughts