Jati – Diri Perempuan dalam Islam

RESENSI BUKU
Judul : Jati – Diri Perempuan dalam Islam
Penulis : Etin Anwar, Ph.D
Penerbit : Mizan
Cetakan: I, Juli 2017
Halaman : 324 halaman
Resensi oleh : Nurhasanah Munir

Khazanah ilmu keislaman tidak pernah surut dari pendar nūrullāh (cahaya Allah), karena ilmu merupakan salah satu dari lokus manifestasi-Nya. Melalui perantara ilmu, Allah mengajarkan umat manusia untuk menyerap hakikat untuk mengemban amanat menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Setiap manusia yang terlahir ke dunia akan membawa pesan-pesan ilahi dan disampaikan kepada orang-orang yang mereka temui atas kehendak-Nya. Dengan adanya relasi antara manusia dan ilmu, maka hubungan manusia dengan Penciptanya akan menjadi dekat. Manusia memiliki banyak kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai agen kebaikan dan kearifan dihadapan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Seorang bijak dari bangsa Arab berkata: “Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat, begitu juga dengan ilmu, ikatlah ia dengan tulisan.” Analogi ini mudah-mudahan tepat untuk mendeskripsikan hak kepemilikan manusia atas ilmu yang telah dipelajari, dan menjaganya melalui tulisan (buku dan lain-lain).

Kehadiran buku Jati – Diri Perempuan dalam Islam merupakan jawaban atas pencarian para penggiat dan pembelajar filsafat dan kajian Islam yang ingin menelaah tentang gender, serta hakikat kemanusiaan laki-laki dan perempuan dalam perspektif filsafat Islam. Jika kita hanya mengetahui Fatimah Mernisi, Aminah Wadud, dan Musdah Mulia, maka Etin Anwar juga tidak bisa dikatakan sebagai pendatang baru di dunia pemikiran gender ataupun feminisme. Buku Jati – Diri Perempuan dalam Islam menurut kronologinya telah lebih dulu diterbitkan  oleh penerbit Internasional Routledge yang berkantor di New York, Amerika Serikat. Buku dengan judul asli “Gender and Self in Islam” merupakan sebuah wujud dari hasil penelitiannya selama studi di negeri Paman Sam tersebut.

Etin Anwar adalah salah satu sosok ilmuwan diaspora Indonesia yang menjadi dosen di Amerika Serikat, namun menjadi satu-satunya ilmuwan perempuan Indonesia yang memiliki kecenderungan terhadap isu-isu perempuan, gender, filsafat, dan feminisme. Dengan latar belakang sebagai santri di masa muda dulu, telah membangkitkan semangatnya dalam belajar dan mengkaji tentang hal-hal yang sangat terikat dan terkait dengan dirinya. Saat ini Etin tercatat menjabat sebagai Ketua Jurusan Studi Agama dan sekaligus seorang Professor Associate di Hobart and William Smith Colleges. Gelar doktornya diraih dari Universitas Binghamton, New York dengan konsentrasi bidang Filsafat, Interpretasi, dan Budaya.

Baginya, pendekatan filsafat memiliki keunggulan dalam memperlihatkan  multidimensi sebuah realitas, termasuk dimensi universal, dimensi aksidental, dimensi partikularitas, dimensi partikularitas aksidental, dan dimensi partikularitas universal. Hal ini dapat dipahami bahwa filsafat merupakan metode untuk menyatukan prtikular-partikular yang belum memiliki ujung dari sebuah realitas. Pendekatan inilah yang ditempuh oleh Etin Anwar untuk menemukan realitas tentang jati diri perempuan. Namun yang lebih menarik saat diskusi buku ini di Bandung, Etin menyatakan bahwa setiap orang diluar dirinya berhak memiliki interpretasi yang berbeda dari yang ia tulis, karena dirinya pun masih belum menemukan apa jati diri perempuan yang sesungguhnya, dan masih membuka dialog untuk berdiskusi tentang jati – diri perempuan.

Dalam buku ini, Etin mengungkapkan bahwa ia mendapat inspirasi untuk menulis buku dari citra Islam Indonesia yang bersifat moderat dan kehidupan perempuan yang lebih dinamik di dunia publik dan privat. Oleh karena itu, buku yang akhirnya diterbitkan oleh Mizan dalam versi bahasa Indonesia ini merupakan salah satu sumbangsihnya sebagai ilmuwan diaspora di dunia akademis. Setidaknya ada empat argumen yang telah disusun oleh Etin saat menulis buku ini, pertama, berkenaan dengan usaha yang mengurai sistem pemikiran yang misoginis tentang penciptaan manusia dan menelusuri landasan jati – diri manusia secara ontologis (ontological self). Kedua, peran perempuan dalam pembuahan atau jati-diri generatif (generative-self) sering dinilai marginal. Jiwa generatif ini merujuk pada kemampuan laki-laki dan perempuan dalam mentransmisikan secara seimbang. Hal ini menimbulkan asumsi tidak rasional bahwa sperma laki-laki lebih penting daripada sel telur perempuan. Ketiga, jati-diri material (material-self) yang terbentuk melalui proses sosialisasi nilai-nilai sosial, agama, dan budaya yang mengendap dan membentuk kebenaran publik mengenai perempuan. Endapan berbagai serapan nila-nilai tersebut membentuk jati-diri material sebagaimana dimanifestasikan dalam pengaruh kerudung, tirai pemisah, dan keperawanan, yang digunakan untuk menentukan otoritas perempuan baik dalam agensinya maupun nilai-nilai yang diproyeksikan pada tubuh perempuan. Keempat, berkaitan dengan jati-diri yang menjelma (performative self), argumen ini menitikberatkan pada korelasi antara praktik-praktik interaksi sosial dan hubungannya dengan bagaimana menjadi diri sendiri. Interaksi sosial yang memberikan nilai lebih kepada laki-laki membentuk hubungan hierarki dibandingkan dengan hubungan yang sifatnya lebih mengutamakan interpendensi antara laki-laki dan perempuan.

Buku Jati – Diri Perempuan dalam Islam disusun menjadi lima jilid, yang terdiri dari: Kata pengantar edisi Indonesia, ucapan terima kasih, daftar isi, pendahuluan. Bab 1, mengenai Logika Berpikir Gender dan Sistem yang Dihasilkannya Bab 2, Teori-Teori Penciptaan sebagai Landasan Jiwa Ontologis dan Kemanusiaan Inklusif. Bab 3, Pewarisan Jiwa Generatif dan Kontribusi Perempuan dalam Pembuahan. Bab 4, Pengejewantahan Maskulinitas dan Feminitas: Pembentukan Jati – Diri Material. Bab 5, Kinerja Diri: Memupuk Saling Kebergantungan dan Kenikmatan.

Pada bab satu, pembahasan diawali tentang Logika Berpikir Gender dan Sistem yang Dihasilkannya. Etin berusaha merekonstruksi cara berpikir umat Muslim di Indonesia dalam merumuskan isu-isu gender dan akibatnya terhadap produksi sistem gender, serta komposisi jati – diri seseorang. Hal ini disebabkan karena keyakinannya tentang sistem yang dikenal oleh laki-laki dan perempuan Muslim masih bersifat bias gender. Menurutnya, bias gender yang terjadi sekarang sudah ada sebelum kedatangan Islam di Jazirah Arab pada abad ketujuh. Bukti yang mendukung fenomena bias gender dapat dilihat dari pola perkawinan, hubungan kesukuan, perbudakan, senioritas laki-laki, pembunuhan anak-anak perempuan, serta dendam yang ditanamkan secara turun-temurun pada masa itu.

Lebih jauh lagi, Etin memfokuskan pada tatanan masyarakat pra Islam dan saat kedatangan Islam terhadap entitas perempuan. Kehadiran Islam telah memiliki prinsip yang jelas untuk menghargai hak-hak perempuan di segala bidang. Visi Islam yang revolusioner tentang perempuan sebagai manusia menantang pandangan mapan dalam budaya dimana diri perempuan dibentuk dalam tradisi yang sangat patriarki, seperti perempuan dikatakan bergantung pada ayah, saudara laki-laki, majikan, dan suku. Fase kedatangan Islam justru ingin membuktikan bahwa Islam sangat cermat melihat potensi yang ada dalam diri perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai manusia yang mampu beraktifitas secara berdampingan dengan laki-laki. Namun pada kenyataannya sekarang, pandangan yang bias gender di kalangan masyarakat Muslim dijadikan tumpuan untuk memiliki hal-hal yang berujung pada politik perbedaan, meskipun merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis namun keduanya hanya digunakan untuk mendukung perspektif otoritarian pada kalangan tertentu, sehingga memperuncing jurang pemisah antara perspektif dunia laki-laki dan perempuan.

Bab dua, Etin memaparkan tentang Teori-Teori Penciptaan sebagai Landasan Jiwa Ontologis dan Kemanusiaan Inklusif. Menilik tentang judul pada bab ini, Etin memberikan ruang lingkup yang lebih luas lagi dalam upaya menguliti satu-persatu teori penciptaan sebagai pijakan untuk menerangkan asal-usul penciptaan manusia melalui jiwa atau bisa disebut juga dengan ruh. Selain itu, Etin juga menyatakan bahwa bab ini digunakan sebagai media untuk menentang klaim-klaim yang bertentangan dengan teori penciptaan serta pengaruhnya terhadap konstruksi jiwa ontologis, gender, juga kemanusiaan dalam masyarakat dan wacana umat Islam.

Berbagai teori penciptaan manusia telah lama menjadi kajian menarik, hal demikian mendapat ruang khusus dari kalangan filsuf, sufi, mufasir, ilmuwan, hingga feminis. Tentu saja mereka menggunakan metode-metode tertentu yang sesuai dengan kompetensi bidang masing-masing. Contohnya, Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, menyatakan bahwa ciptaan manusia sangat terkait dengan kuasa Allah SWT. Namun menurut para feminis yang menafsirkan wacana publik tentang penciptaan manusia sebagai sumber ketidaksetaraan gender, dan mereka juga menyerukan adanya penafsiran ulang atas ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan asal-usul penciptaan manusia. Oleh karena itu, dalam bab ini, Etin menganalisis kesamaan antara penciptaan Adam secara khusus dan penciptaan manusia secara umum. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak pernah memaksudkan kisah penciptaan Adam untuk menjadi landasan teori kemanusiaan laki-laki. Al-Qur’an sebagai penyampai kronologi sejarah yang mengilustrasikan penciptaan Adam untuk memperlihatkan kesamaannya secara umum dengan manusia lain. Etin menganalisis tiga konteks pembahasan Al-Qur’an tentang penciptaan Adam, yaitu sebagai khalifah (pemegang mandat), basyar (manusia), dan al-insan (manusia). Manusia yang disebutkan sebagai khalifah tertulis dalam Surat al-Baqarah ayat 30 – 34, dalam ayat lain, Al-Qur’an menggambarkan manusia dengan sebutan basyar dalam Surat Shad ayat 71 – 77, kemudian Al-Qur’an menyebutkan lagi manusia sebagai al-insan dalam Surat al-Hijr ayat 26 – 34.
Berikutnya dalam pembahasan bab 3, Etin menelusuri klaim-klaim yang bertentangan dengan peran orangtua dalam pembuahan, serta dampaknya terhadap konstruksi jati-diri dan gender. Secara konsisten ia juga meluruskan bahwa baik Al-Qur’an ataupun Hadis, keduanya tidak menetapkan superioritas laki-laki dalam hal reproduksi. Persoalannya disini adalah, sebuah tradisi penafsiran yang telah mengakar dalam waktu yang sangat lama, karena mengabaikan keterangan yang sangat valid dari Al-Qur’an. Ia mendapati ada tiga asumsi dasar atas klaim ini, yang pertama, superioritas laki-laki dalam reproduksi manusia, kedua, maksud tujuan perempuan sebagai alat reproduksi, dan yang ketiga, istri dianggap sebagai tanah garapan suami. Singkat kata, dalam konteks ini, perempuan hanya dijadikan sebatas alat reproduksi saja. Jika logika seorang Muslim dapat berlaku adil dalam pikiran, setidaknya ketiga asumsi tersebut tidak terlintas sedikitpun. Al-Qur’an telah menjelaskan dengan sangat rinci bahwa peran laki-laki dan perempuan dalam reproduksi adalah sama penting, keduanya memiliki peran yang dapat menciptakan regenerasi manusia. Pertemuan sperma dan sel telur adalah simbol dimana satu sama lain bekerjasama dan saling membutuhkan karena diharapkan agar mewariskan jiwa generatif untuk membentuk individu baru.

Etin melengkapi telaahnya dengan merujuk pada pemikiran Ibn Sina dan Aristoteles yang mengakui bahwa kontribusi laki-laki dan perempuan terhadap proses reproduksi adalah sama, meskipun dikatakan juga bahwa Ibn Sina tidak menjelaskan tentang jenis-jenis benih laki-laki dan perempuan yang menyebabkan terciptanya manusia. Dalam catatan lain, ia menambahkan tentang Ibn Sina yang memiliki anggapan bahwa pada tingkatan tertentu kontribusi laki-laki maupun perempuan terhadap prokreasi itu sama penting. Aristoteles pun demikian, ia percaya bahwa laki-laki maupun perempuan merupakan prinsip perkembangbiakan hingga tingkatan yang keduanya berkontribusi secara berbeda terhadap aktivitas prokreasi. Dengan kata lain, meskipun sama-sama memiliki peran penting dalam reproduksi, namun tentu saja aktifitas sperma dan sel telur menjadi berbeda. Selain Ibn Sina yang juga bersepakat dengan Aristoteles, Etin melengkapi penjelasannya dengan pandangan Ibn Rusyd, Al-Ghazali, dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Ibn Rusyd misalnya, meskipun juga bercorak hampir sama dengan Aristoteles, ia menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan dalam proses prokeasi. Sedangkan Al-Ghazali berpandangan proses prokeasi yang melibatkan laki-laki dan perempuan adalah bentuk dari saling melengkapi. Sebagaimana al-Ghazali telah berpendapat, Ibn Qayyim al-Jauziyyah juga meyakini bahwa kontribusi orangtua adalah setara dalam pembuahan.

Memasuki bab 4, yaitu Pengejewantahan Maskulinitas dan Feminitas: Pembentukan Jati – Diri Material. Secara ontologis, hakikat manusia adalah satu. Manusia disebut manusia karena jiwa atau ruh yang ditiupkan Tuhan ke dalam dirinya, kemudian ia menjadi bentuk lain: laki-laki atau perempuan yang merupakan bagian aksiden yang tidak bersifat absolut. Pada bab ini, Etin menjelaskan tentang keterkaitan pengetahuan agama, kekuasaan, dan praktik-praktik budaya dalam membentuk maskulinitas dan feminitas serta dampaknya pada pembentukan jati – diri material. Konstruksi maskulinitas dan feminitas yang populer ini tersebar melalui aneka kuasa institusi sosial, sistem hukum, norma, dan kebudayaan lokal, yang secara berkelanjutan membantu melestarikan budaya patriarki didalam masyarakat Muslim.

Menurut Hassan dalam bukunya “Feminism in Islam”, konsep feminitas ini berasal dari penafsiran teks Islam yang dilakukan oleh para laki-laki Muslim yang mengklaim dirinya memiliki wewenang untuk mendefinisikan status ontologis, sosiologis, dan eskatologis perempuan Muslim. Jika demikian yang terjadi, artinya dalam kalangan Muslim tertentu Al-Qur’an dan Hadis memang digunakan untuk membenarkan unsur-unsur yang berbeda dalm membentuk jati – diri material baik yang feminin maupun maksulin. Fenomena ini disebabkan oleh adanya dikotomi jenis kelamin yang seringkali ditafsirkan dari Al-Qur’an dan Hadis yang menyebutkan bahwa manusia terdiri atas makhluk laki-laki dan perempuan.

Selain dikotomi diatas, ada pula mitologisasi yang ditemukan oleh Etin, yakni mitologisasi ilahiah tentang peran perempuan sebagai mitra dalam reproduksi dengan segala tanggung jawabnya didalam rumah tangga, dipandang ideal untuk seluruh perempuan. Citra perempuan dikonstruksi dengan sebaik-baiknya, kemudian “dikampanyekan” secara berulang-ulang oleh kalangan tertentu yang memiliki tujuan dan maksud tidak sesuai dengan jati – diri perempuan yang apa adanya. Namun menurut Sachiko Murata, pembentukan jati-diri material yang bersifat maskulin dan feminin terkait dengan identifikasi perempuan dengan tubuh dan laki-laki dengan ruh. Perbedaan mendasar dari penilaian ini adalah karena ruh itu bercahaya, mulia, berpengetahuan, dan hidup, sedangkan tubuh yang dinisbatkan kepada perempuan dimaknai sebagai kegelapan, rendah, dan bodoh.

Pada bab lima atau yang terakhir, buku Jati – Diri Perempuan dalam Islam memuat tentang Kinerja Diri: Memupuk Saling Kebergantungan dan Kenikmatan. Tulisan ini seperti sedang berupaya untuk menghalau pemikiran tentang gender yang seringkali dipolitisasi dengan sangat sistematis melalui mekanisme sosial, teologis, biologis, politis, dan lain sebagainya. Akibatnya, jati – diri material laik-laki dan perempuan yang dikonstruksi sesuai dengan gender yang ada, pengalaman diri mereka yang nyata akan menemui inkonsistensi, kontradiksi dan penerimaan yang bias. Lebih disayangkan bahwa pemahaman tentang jati – diri secara ontologis dan tanggung jawab moral seseorang tidak dianggap sebagai parameter paling penting.

Etin menguraikan berbagai macam hal-hal yang menjadi faktor bagi pembentukan jati – diri, diantaranya konstruksi etika dan psikologi jati – diri yang menjadi jalan pembuka untuk memaham hal ihwal jati – diri, serta landasan berpikir dan persepsi-persepsi manusia mengenai jati – diri itu sendiri. Dalam tradisi filsafat maupun tasawuf, semua isu yang membahas tentang jati – diri akan selalu berkaitan dengan jiwa, ruh, atau nafs. Untuk melengkapi uraiannya, Etin juga mengungkapkan tentang sisi etis diri atau individu baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki hubungan timbal balik serta saling membutuhkan satu sama lain. Pembahasan pada bab lima ini sebagai upaya dari Etin untuk mengembalikan kembali persepsi kita tentang jati – diri, tanggung jawab, serta konsekuensinya sebagai makhluk yang bersosialisasi dengan sesama makhluk Tuhan lainnya. Adapun pertentangan antara kualitas, sifat bawaan, dan predikat antara laki-laki dan perempuan memperlihatkan bahwa tubuh laki-laki dan perempuan mengalami peng-genderan yang alamiah dan berbeda.

Setiap bab buku ini diakhiri dengan kesimpulan yang rigid, dimana kita juga bisa mengambil poin-poin penting yang dijelaskan oleh Etin dengan sangat filosofis dan sistematis. Sebuah buku yang layak untuk dibaca bagi semua orang yang menikmatai belajar kajia-kajian filsafat Islam, khususnya kajian gender. Sebuah karya yang telah diminati oleh banyak sarjana di negeri Barat, setidaknya akan menjadi motivasi juga bagi para sarjana dan pengkaji studi-studi keislaman di Indonesia uantuk melakukan hal yang serupa sebagaimana yang telah dimulai oleh Etin Anwar, salah satu putri terbaik di negeri ini yang memiliki sebutan ilmuwan diaspora. Etin mengajak masyarakat Muslim Indonesia khususnya untuk bisa berpikir kritis terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan isu perempuan dan hak-haknya. []

Share your thoughts