Catatan (2): In the World of Many, Tantangan ‘Jadi orang Islam’ di Dunia Global
In the World of Many
Tantangan ‘Jadi Orang Islam’ di Dunia Global
Catatan Wardah Alkatiri, Ph.D. Konferensi Internasional Switzerland
Terus dan tak lelah bergerak, begitulah ibu satu ini. Setelah menyumbang gagasan di Finlandia kemudian bergerak ke Swiss. Catatan sebelumnya, Wardah berbagi pengalaman pada kita, mengikuti Konferensi di Finlandia “The Religious and Ethnic Future of Europe” oleh gabungan Abo Academy University, Migration Institute of Finland, dan The Donner Institute.
Kali ini, Wardah mengikuti Konferensi Internasional “Religion, Cooperation and Conflict in Diverse Society diadakan di Universite de Lausanne”, Switzerland, 4-7 Juli 2017. Tidak hanya pasif mendengar, Wardah ikut menjadi pembicara aktif memaparkan gagasanya.
Catatan ini tidak dimaksudkan menjadi sebuah makalah lengkap, akan tetapi lebih sebagai percikan-percikan cerita berisi kesan dan refleksi pribadi yang tentu saja dibaliknya terdapat justifikasi berupa makalah yang serius. Journey di Swiss ini membuat Wardah memberi catatan bahwa; kultur global sebenarnya kultur Barat yang dibikin jadi global, tawaranya- Islam sebagai “worldview dan sistem sosial” dalam pendidikan Islam, problem dunia Islam di Indonesia memerlukan “social sciences dan philosophy”, bukan studi agama (religious studies). Catatan ini diemail langsung oleh Wardah dari Prancis setelah sebelumnya di Swiss dan Finlandia kepada Redaksi Riset STFI Sadra.
Catatan ini saya buat, dimana saya sebagai anggota pada acara konferensi masyarakat internasional sosiologi agama (Internasional Society for Sociology of Religion/Societe Internationale de Sociologie des Religions – ISSR/SSIR). Konferensi mengambil tema “Religion, Cooperation and Conflict in Diverse Society” diadakan di Universite de Lausanne, Switzerland, 4-7 Juli 2017.
Dari berbagai pokok bahasan menarik yang ditawarkan, saya memilih dua topik yang saya ikuti seluruh sesinya dari awal hingga akhir acara. Topik pertama “Religion and Ecology” adalah subyek yang senantiasa menarik minat belajar saya. Seperti yang kita ketahui, krisis lingkungan secara masif telah terjadi di seluruh dunia tanpa kecuali.
Karena penyebab kerusakan itu bersifat “anthropogenic” maka tantangan terbesar untuk mengatasinya – atau bahkan, sekedar menghadapinya saja – bukan ada pada ilmu alam sendiri, melainkan ilmu sosial.
Pada sesi tanya-jawab saya memberi komentar: “sebetulnya, mengharap agama bisa membantu menyelesaikan problem ini, adalah ibarat menjilat ludah sendiri, bukan?” karena vitalitas agama dalam ranah sosial sudah ‘dibunuh’ melalui proses panjang proyek sekulerisasi di seluruh penjuru dunia”.
Peserta diskusi-pun manggut-manggut seolah memberi persetujuan. Komentar saya lanjutkan: “karena itu, yang paling fair dalam studi ‘religion and ecology’ adalah meneliti masyarakat relijius yang tidak sekuler – berarti tidak nasionalis dan tidak westernis – nah, mencari yang begitu sudah sulit sekarang ini, bahkan dalam penelitian saya di negara yang berada di Global South yang lebih miskin dan masyarakatnya lebih relijius dibanding Global North sekalipun, sulit sekali mencari kelompok yang relijius namun tidak nasionalis dan tidak Westernis.
Karena itulah maka saya meneliti kelompok kecil Muslim yang saya namai ‘Muhammad’s nation’ dengan ciri-ciri di atas”. Tentu bisa dibayangkan bagaimana peserta diskusi-pun menjadi tersenyum kecut.
Pada topik kedua, “Worldviews of Millennials: Education, Social Inclusion and Countering Violent Extremism” saya sebagai salah satu pembicara. Makalah saya berjudul “In the World of Many: Teaching Islam in Globalized World”. Saya berbicara tentang tantangan ‘jadi orang Islam’ di dunia global sekarang ini. Tantangan itu meliputi bagaimana cara mengajarkan Islam ketika dunia sudah menjadi campur-aduk tanpa sekat — baik itu akibat perdagangan, pertukaran informasi dan pertukaran ide yang didukung IT, serta migrasi dan pengungsian yang kian meningkat dikarenakan perang saudara, environmental disaster, dan kemiskinan di “kampung halaman sendiri” akibat ekonomi global yang jauh dari prinsip-prinsip keadilan. Kemudian lahirnya generasi milenail yang ditandai dengan tiga ciri utama:
1. Toleran secara sosial;
2. Melek persoalan kerusakan lingkungan; dan
3. Mendambakan perdamaian.
Tantangannya adalah: bagaimana Islam – apalagi dengan image ‘buruk’ yang ditampilkan oleh media tentang agama ini – bisa diajarkan kepada generasi milenial, baik di kampung sendiri atau di perantauan? Bagaimana mungkin keyakinan atas ‘kebenaran absolute’ agama bisa ditanamkan di tengah realitas sosial yang begitu plural tanpa berakhir dengan me-relatifkannya?
Bagaimana ‘pendekatan keyakinan’ bisa diterapkan dalam mengajarkan agama ketika si anak juga belajar rasionalitas modern yang dijunjung tinggi oleh modernisme dan proyek besar Enlightenment?
Sejarah menunjukkan tantangan nomer-3 (urutan terakhir di atas) telah terlebih dulu dihadapi Kristen di Eropa sejak berabad-abad lalu – dan Kristen pun kalah. Namun, meski terus terjadi penurunan jumlah penganut yang masih menjalankan ibadah atau masih menjadi anggota gereja, diiringi dengan terus meningkat jumlah populasi yang unaffiliated (mengklaim diri tidak beragama) di hampir semua negara Barat (Pew Research, 2016), toh sedemikian-pun Kristen belum juga ditinggalkan sepenuhnya di sana. Kristen tetap menjadi sebuah agama yang ditengok kembali oleh mereka dalam pencariannya akan ‘Tuhan dan Kebenaran’ di samping kini agama-agama lain dari Timur ikut menyeruak menawarkan alternatif lain di sana.
Menurut pengamatan saya, beberapa makalah dari Canada, Belgia, Swedia, Swiss menunjukkan bahwa tantangan nomer-2 lah yang terkini sedang dihadapi Kristen di sana, dan ‘neutrality’ (ke-netralan) adalah solusi yang mereka tawarkan dalam pendidikan agama, dengan “political liberalism” sebagai Filsafat Politik-nya dan “agnosticism” sebagai metode yang sekaligus mereka anggap sebagai manifestasi kerendahan-hati di hadapan ‘kebenaran tertinggi yang mustahil bisa diketahui manusia.
Saya jadi teringat persoalan yang sama di tanah air yaitu usulan politisi PDIP Dr. Musdah Mulia untuk pendidikan agama. Tepatkah solusi itu diterapkan pada Islam? Menurut saya, tidak.
Worldview Education dan Sistem Sosial
Saya mengusulkan konsep pendidikan ‘Worldviews Education’. Berangkat dari pemahaman bahwa Islam bukan cuma agama dan spiritualitas saja.
Islam adalah sebuah “worldview” tersendiri dimana bisa melahirkan fungsi-fungsi lain agama bagi penganutnya, baik di level kognitif maupun psikologis sosial, yaitu sebagai pemberi identitas (identity signifier), sebagai institutisi sosial yang dirasa sudah ada sebelum seorang penganut lahir dan akan tetap ada setelah dia meninggal, sebagai acuan sistem nilai, sebagai sistem berfikir – baik itu filsafat atau kosmologi – dan karenanya pula selalu bisa dengan mudah menjadi ideologi politik ketika keadaan ‘memerlukan’.
Oleh karena itu, dalam konteks Islam, yang diperlukan siswa adalah pemahaman bahwa Islam adalah sebuah “all-encompassing worldview”, bukan cuma sekedar agama dan keimanan. Mereduksi Islam menjadi keimanan semata berarti terus ikut melanggengkan pertarungan science vs. faith yang sudah berlangsung di Barat sejak lahirnya modernisme pada saat Rennaissance di Eropa abad 17.
Melalui kolonialisme bangsa-bangsa Eropa, pertarungan itupun ditularkan ke seluruh dunia, dan dalam konteks Islam, hal itu telah direspons dengan reformasi Islam di abad 19 oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Jamal al-Din al-Afghani, dll. Saya berpendapat, sebagai respon terhadap benturan antara Islam dan Barat yang makin meningkat di abad ini, kebijakan pendidikan agama yang tidak tepat bisa jadi justru menaikkan level radikalisasi agama. Hal ini pernah terungkap sebagai sebuah “finding” dalam penelitian saya dan saya paparkan dalam artikel “In Search of Suitable Knowledge: The Need of Ontological and Epistemological Pluralism” di International Journal of the Asian Philosophical Association, 2016:http://www.asianpa.net/publications/ijapa/article-detail/in-search-of-suitable-knowledge-the-needof-ontological-and-epistemological-pluralism.
Sebagaimana telah banyak ditulis para filsuf dan ilmuwan sosial, tidak ada dua peradaban di dunia yang sejarahnya demikian saling berkelidan seperti halnya Barat dan Islam. Pertemuan keduanya dipenuhi dengan berbagai reaksi dan benturan, konfrontasi, persaingan, kekaguman dan kebencian, penerimaan dan penolakan, serta beragam suasana emosi. Titik persinggungan keduanya berada di bidang kultural, agama dan politik, oleh karena itulah maka revitalisasi Islam sejak masa kolonialisme selalu berada di ke-3 bidang itu – dilakukan sejalan dengan tradisi tajdid (pembaharuan) dan Islah (reform) dalam Islam.
Saya berpendapat, yang diperlukan oleh generasi millennial Muslim adalah pengetahuan Islam yang lebih banyak, bukan lebih sedikit. Namun, bukan berarti materi yang sama yang diperbanyak, melainkan pemahaman akan sisi-sisi Islam yang bersinggungan dengan modernisme-lah yang ditambah, yaitu, persinggungan dengan “social sciences dan philosophy”. Karena Islam sebagai sebuah “worldview dan sistem social”, maka pendidikan Islam memerlukan solusi yang jauh lebih besar dan lebih kompleks dari yang ditawarkan oleh sarjana-sarjana Barat untuk Kristen. Sayangnya –perlu saya garis bawahi – apapun juga persoalan Islam di Indonesia selama ini, selalu saja dihadapi dengan pendekatan ‘studi agama’ – religious studies, padahal fungsi-fungsi lain Islam yang saya sebutkan di atas adalah wilayah “social sciences dan philosophy”, bukan studi agama.
Dengan “Worldviews Education” (silakan lihat presentasi saya, Alkatiri, 2017) saya berharap menumbuhkan sikap dialogis pada generasi millenial Muslim, yaitu kemampuan untuk mendialogkan Islam dengan Barat berikut ‘agen-agen’mereka baik di kampung sendiri atau di dunia internasional. Dalam presentasi, saya mendudukkan di hadapan audience bahwa masalah mendasar ‘globalisasi’ kontemporer dari sisi kacamata masyarakat Muslim adalah, bahwa yang disebut ‘kultur global’ sebetulnya tidak lain adalah ‘kultur Barat’ yang dibikin jadi global – dengan demikian menciptakan kriteria bagi ‘global identity’ dimana hanya kultur-kultur tertentu yang dianggap sesuai boleh ikut masuk, sedangkan yang lain – khususnya Islam – harus keluar.
Di Indonesia sekalipun, hal itu mudah dirasakan di tengah masyarakat akhir-akhir ini: modern dan Kristen adalah bagian dari kultur global, sedangkan Islam harus jadi modern dan liberal dulu untuk bisa ikut ke dalam gerbong globalisasi. Padahal, bukankah globalisasi yang otentik seharusnya tidak meninggalkan satupun konstituen umat manusia?
Ada satu presentasi pada di sesi ini yang sangat menarik sehubungan dengan catatan ini, yaitu soal munculnya fenomena “Spiritual But Not Religious (SBNR)” pada generasi muda di Barat. Dengan tiga karakteristik millennial generation yang sudah saya sebutkan di atas, mereka justru meninggalkan agama dan anti institusi sosial apapun (keluarga, perkawinan, agama, negara) dalam pencarian mereka akan spiritualitas.
Spiritualitas mereka bukan dalam rangka mencari Tuhan melainkan mencari ‘authentic self’ – yaitu, dirinya sendiri yang ‘otentik’, yang ditandai dengan niceness, openness dan tolerance. Spiritualitas adalah etika dan budi-pekerti.
Bagi mereka manusia itu pada dasarnya baik, semua keburukan bersumber pada institusi sosial. Sayangnya- dalam beberapa presentasi tersebut – kebaikan mereka selalu saja bersifat superficial (permukaan) saja.
Sebuah presentasi dari Queen’s University, Canada, dilaporkan bahwa di sana (2016), seperempat generasi millennial menyatakan diri unaffiliated (tidak beragama). Kemudian saya melihat analogi gejala SBNR ini dengan sebuah ironi yang sering dipakai dalam studi urbanisasi. Karena anak-anak masyarakat urban tidak lagi melihat bagaimana sayur ditanam di kebun dan ayam diternakkan, maka ketika mereka ditanya darimana tomat dan telur yang mereka makan? mereka menjawab dengan menyebut nama-nama supermarket tempat ibu mereka berbelanja.
Menurut saya, anak-anak ini telah kehilangan visi keterhubungan manusia dengan alam. Demikian juga generasi millennial dengan gejala SBNR itu telah terputus dari keterhubungan dengan ‘Sumber’ karena tidak lagi melihat bagaimana agama bisa menjadikan seseorang berbudi luhur.
Merekapun mengira keluhuran budi itu berasal dari spiritualitas yang bisa mereka bikin sendiri tanpa perlu ada hubungan dengan ‘Sumber’ kebenaran dan kebaikan yang tertinggi. Saya jadi berfikir, tentunya spiritualitas SBNR yang horizontal ini akan menarik dan punya peluang besar untuk berkembang jika saja manusia itu immortal (hidup terus, tidak bisa mati).
Spiritualitas SBNR yang horizontal tanpa hierarki, tanpa ketundukan pada apapun – baik orang tua, perkawinan, kesakralan, atau Zat yang Maha Tinggi – serta tanpa pengakuan pada kekuatan transenden apapun untuk tempat berlindung, hanya sesuai dengan kondisi manusia yang tidak bisa mati.
Menurut saya, selama manusia tidak tahu bagaimana kondisinya sebelum dia lahir ke bumi dan bagaimana setelah mati nanti, maka agama akan tetap menjadi pilihan yang paling masuk akal. Karena itu saya pun akan bersama-sama orang yang merasa perlu terus mengajarkan agama, setidaknya kepada anak dan cucu sendiri, dan oleh karenanya pula, ikut berharap ada reformasi pendidikan yang baik untuk itu.
Di hari terakhir setelah konferensi ditutup, dalam perjalanan pulang ke penginapan, di trem Metro saya bertemu Prof. Kwok Kian Woon dari Fakultas Sosiologi Nanyang Technological University, Singapore. Dia mengatakan kalau dia agak kecewa melihat konferensi ini begitu Euro-centric dan kurangnya interest, serta pemahaman para audience pada isu-isu Asia, tapi
sebaliknya, dia sangat heran melihat begitu berminatnya para cendikiawan Eropa ini pada isu-isu Islam.
Mendengar itu saya jadi teringat obrolan saya dengan seorang panitia beberapa hari sebelumnya. Dia mahasiswi doktoral di University of Lausanne yang sedang meneliti tentang kehidupan TKI Muslim (Indonesian Muslim migrant worker) di Taiwan. Enam bulan dia melakukan fieldwork di sana. “Sayangnya”, kata dia, “stereotype tentang orang Indonesia sebagai,’ miskin dan bodoh’ begitu besar pada masyarakat Taiwan termasuk di Eropa. Begitu menyebut kata ‘Indonesia’ orang seringkali langsung teringat ‘pembantu rumah tangga’” katanya. Saya jadi tercengang: mungkin Eropa akan terus narsis menganggap dirinya sebagai pusat peradaban dunia, meski kenyataannya dunia sudah global, mungkin juga Indonesia akan terus narsis merasa sebagai bangsa yang besar dan berbudaya tinggi meski kenyataannya sebaliknya.
Saya tidak terlalu keberatan soal itu – cuma saya jadi berfikir dan berharap bahwa stereotype bodoh, miskin, dan bangsa ‘pelayan’ itu tidak betul-betul termanifestasi menjadi ‘nyata’ dalam bentuk “colonized mind” pada para cendikiawannya – yang berarti terus bersedia melayani ‘tuan-tuan’nya – khususnya dalam hal ini, soal nasib Islam dan nasib umat Islam di Indonesia.(ma’ruf)
Engelberg, 9 Juli, 2017
Wardah Alkatiri, Ph.D.