Corona, Sains dan Otentisitas
Musa Kadzim
SELAMA INI, kita belum pernah mengalami penderitaan dalam waktu yang lama. Sedangkan di tempat lain, mungkin ada negeri yang setiap hari menderita dan malah mati warganya karena penindasan. Kita mendengar peristiwa kemanusiaan itu hanya sebagai berita biasa hanya karena kita tidak pernah mengalaminya.
Meninjau ke belakang, saat PD I dan PD II, Indonesia tidak merasakan dampak langsung karena bukan di wilayah konflik. Saat ada wabah seperti: pes, kolera, TBC, berdampak begitu luas hingga menelan banyak korban mati di banyak negara, Indonesia pun relatif tidak separah yang lain. Tetapi, kini dengan Covid-19, kita mengalami hal yang sama.
Kita jumawa bebas dari wabah; sikap yang harus dibayar mahal. Faktanya, Indonesia tidak cukup kapasitas dalam menangani wabah dengan cara yang profesional dan rasional. Kita tampak tidak begitu beduli saat Corona mulai merambah jiran dengan klaim absurd: negeri kita ada di khatulistiwa, kita makan nasi kucing, dan kita banyak berdoa.
Kita tidak begitu saja bisa menjadikan aspek semata-mata spiritual sebagai landasan kebijakan publik. Perjalanan ruhani itu pengalaman personal, sedangkan membangun masyarakat itu ada ukuran, standar, dan akuntabilitas objektif. Orang yang tidak mengakui pengetahuan tersebut cenderung tidak mau bertanggung jawab.
Mistisisme dan pengalaman spiritual tak bisa dibawa ke ranah sosial karena sifatnya, sekali lagi, personal dan tak bisa diverifikasi asli atau palsunya. Pejabat yang memakai dalih mistik sebenarnya tidak bertanggung jawab. Kalau demikian, dia harus kembalikan dana publik, sebab dunia mistik tak butuh dana publik; cukup baca mantra.
Fenomena ini, di antaranya, akibat dari negara dipersonalisasi menjadi milik elite. Rakyat harus melayani negara, bukan sebaliknya. Saat musibah, rakyat harus turun tangan. Saat aman, uang rakyat dipikirkan. Tidak ada hak rakyat saat #tetapdirumahaja#. Tarif internet justru jadi mahal, sedangkan di negara lain malah cenderung gratis.
Untuk mengaburkan kewajiban negara, rakyat digiring bertindak di luar nalar dan umum. bisa dimengerti bila muncul narasi: kalau kita selamat dari Corona, maka itu pertolongan dari Tuhan karena kasih sayang-Nya. Kita seperti bayi yang sering kali selamat entah bagaimana dalam banyak bencana saat semua orang dewasa tewas.
Seharusnya pandemi Corona memberi kita, individu dan negara, banyak pelajaran. Biasanya, banyak orang tak mau belajar karena memang melelahkan sehingga butuh kesabaran dan menyakitkan sehingga butuh kesungguhan. Tapi wabah ini memaksa kita harus dan harus belajar. Apa pelajaran terpentingnya? Otentisitas!
Kata Ali Syariati, ada tiga kondisi orang menjadi diri sendiri: saat menderita, saat sakit, dan saat menghadapi kematian. Dalam tiga kondisi ini, siapa diri kita yang sesungguhnya akan terungkap. Kita tak bisa pasang topeng lagi. Tak juga ada klaim, sebab segalanya menjadi terbuka.
Krisis Covid-19 memperlihatkan perilaku hidup kita yang sebenarnya. Contoh, Uni Eropa yang dikatakan solid ternyata tidak mau saling bantu untuk atasi Corona. Bahkan, kini mereka saling berebut masker dengan Amerika dengan cara yang tidak terbayangkan di kondisi damai.
Dalam tradisi tasawuf, kita dianjurkan meluangkan waktu untuk khalwat, isolasi diri. Tujuannya agar kita menjadi otentik, menjadi diri kita sendiri. Kejujuran lebih penting dari kenikmatan yang menipu. Itu yang kita butuhkan saat ini. Musibah itu pintu menapaki perjalanan menuju Allah tanpa batas.
Dalam pandangan Filsafat Hikmah, tak ada segala sesuatu yg buruk. Covid-19 mengajarkan banyak hal kepada kita, juga membuka siapa kita. Nah, bagaimana kita manfaatkan momentum ini? Jangan sampai kita seperti bayi yg tak dapat pelajaran apa-apa dari wabah ini; terjadi begitu saja di depan mata tanpa daya.
Perlu juga diingat kembali bahwa selama 1000 tahun terakhir, yang berjaya mempengaruhi kehidupan manusia adalah sains karena kompetensinya memenuhi kebutuhan dasar manusia. Bahkan agamawan pun belakangan mematuhi sains, seperti tidak merokok dan tidak poligami, padahal menurut agama boleh. Maka, perlu keseimbangan antara ruhani dan jasmani, antara agama dan sains, antara personal dan sosial–(ANDITO, 06/04/2020).