Dari Kosmologi Ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme
P
Penulis : Karlina Supelli, dkk,
Judul : Dari Kosmologi Ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme,
Penerbit : Mizan, 2011
Reviewer : Juni Dahlan, MA, Peneliti Lepas STFI Sadra.
Gerbang pengalaman rohani dapat terbuka melalui cara berlainan, pada tahap yang berbeda pada kehidupan setiap orang, terutama dalam beberapa dasawarsa terakhir, dimana sains muncul sebagai ruang baru pengembaraan spiritualitas. Temuan sains begitu menkajubkan, sekaligus, menggelisahkan. Sains menawarkan jawaban atas kerinduan manusia akan asal-usul, kerinduan untuk memahami realitas tanpa ruang-waktu ke realitas relatif ruang-waktu. Dan dalam perjalanan eksistensialnya memahami realitas, manusia mau tak mau harus mengakui bahwa kecanggihan rasio dan indra memiliki batas-batas tertentu. Realitas ternyata tidak semantap yang kita bayangkan. Realitas punya banyak wajah, rupa yang ia tampilkan bergantung pada pertanyaan yang kita ajukan, instrumen yang kita pilih untuk mengenalinya, dan tata simbolik yang kita bangun untuk mengekpresikannya, dan ia tak pernah terengkuh secara mutlak.
Karlina Supelli mengawali tulisannya dengan mengajukan suatu tesis bahwa laku mengetahui dan memahami mengandaikan pengakuan akan ciri antropologis setiap bentuk pengetahuan (h. 22). Ini berarti bahwa dimensi antropologis seseorang berpengaruh cukup kuat dalam actus mengetahui dan memahami itu sendiri. Sebagai contoh, Karlina Supelli melakukan pembedaan antara kosmos (dengan “k” kecil) sebagai perkara pengetahuan yang ditopang oleh data dan diteguhkan oleh metode verifikasi/atau falsifikasi dan Kosmos (dengan “K” besar) sebagai perkara penafsiran atas pengalaman tak tertutur yang kerap lalu bertopang di atas dasar pewahyuan. Permasalah yang muncul kemudian adalah kegagalan seseorang dalam menjalin pemahaman tentang “k” dengan pengalaman akan “K”. Artinya, Masalah terletak dalam kenyataan bahwa bagi setiap konsep yang diucapkan sudah menambah kontribusi manusia ke dalamnya, termasuk ketika kita menafsirkan data ilmiah ataupun “bahasa Allah”. Yang kita lakukan adalah mencoba mendefinisikan diri kita menurut hakikat realitas tetapi berujung dengan mendefinisikan realitas menurut hakikat kita. Dengan demikian, sikap bersedia untuk selalu rendah hati dalam memahami relitas menjadi penting (h. 71).
Latarbelakang inilah, tampaknya yang menjadi landasan epistemologis hadirnya “Dari kosmologi ke Dialog”, yakni keprihatinan dan kekhawatiran penulis terhadap cuaca Kultural bangsa ini, di mana fanatisme dan ekstrimisme, yang persis merupakan penghalang bagi kemungkinan membentuk masyarakat pluralis begitu menggejala. Bagi Karlina, yang terjadi kemudian adalah kecendrungan pemutlakan, yang mengarah pada dogmatisasi pengetahuan melalui penyingkiran ciri antropologis yang intrinsik pada laku mengetahui itu sendiri. peluang untuk terjadinya dialog antara sains, filsafat, dan agama akan terbuka jika, dan hanya jika, ciri antropologis pengetahuan tersebut dihargai secara memadai (h. 22).
Buku ini sendiri bermula dari orasi ilmiah yang disampaikan Karlina Supelli dalam acara Nurcholis Madjid Memorial Lecturer (NMML), di aula Nurcholis Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta. Acara yang merupakan acara tahunan Yayasan Wakap Paramadina. Selain orasi ilmiah Karlina Supelli, pembaca juga diajak untuk mengekplorasi lebih serius tanggapan dan komentar orang (dari berbagai latar belakang) atas orasi yang pertama dan tanggapan keduanya atas para komentatornya itu. Komentar menarik misalnya datang dari tanggapan Mark Woodward, seorang antropolog Amerika untuk orasi ilmiah ini. Menurutnya, terdapat kemiripan perhatian antara Karlina Supelli dan Nurcholis Madjid bahwa dari kosmologi, jaraknya tak terlalu jauh lagi ke teologi—bidang akademik Cak Nur. Bedanya, Cak Nur adalah teolog yang awam dalam ilmu alam, namun menaruh perhatian besar pada kosmologi, sedang Karlina Supelli adalah kosmolog dan filosof, yang melihat kaitan erat kajian atas alam semesta itu dengan isu-isu ketuhanan, namun menahan diri untuk masuk ke sana. Menariknya lagi, Keduanya sampai pada kesimpulan yang selaras, yakni—meminjam istilahnya Zainal Abidin Bagir—ketidakpenuhan atas totalitas pengetahunan.
Selain itu, salah satu sumbangan terbesar Karlina Supelli adalah kepiawaiannya mengaitkan kosmologi—sebagai ilmu tentang struktur skala besar kosmos dan evolusinya—dengan ekpresi sosial-politik keagamaan dalam kehidupan bangsa kita. Minatnya bukan hanya pada kosmologi itu sendiri, tetapi bagaimana ia bisa menjadi ilustrasi untuk mengungkap karakter pengetahuan manusia pada umumnya. Tampaknya Karlina hendak mengingatkan bahwa mengenai aspek alam yang dapat diamati sekalipun, memiliki keterbatasan yang bersumber pada keterbatasan epistemologis manusia. Bahwa manusia tak bisa mengeluarkan diri sepenuhnya dari gambaran pengetahuan mengenai dunianya. Dengan demikian, masih mungkinkah mengklaim “objektifitas”, yaitu m endaku pengetahuan mengenai Tuhan dan apa yang diingini-Nya menjadi dasar manusia untuk bertindak atas nama-Nya. Kesadaran akan ini, tampaknya luput dari perkembangan mutakhit ekepresi keagamaan belakangan ini.
Bagi Karlina, permasalahan yang terjadi adalah ketakmampuan seseorang untuk menangkap relasi inilah yang menjadi salah satu tantangan terbesar bagi bahasa. Sebab, begitu terjebak dalam bahasa, Dia yang tak tertandai oleh apapun beresiko dibekukan menurut kepastian penafsiran tertentu, sekaligus menutup peluang semua diskusi yang mungkin. Padahal syarat batas bagi semua pemahaman religius bagi Karlina, berkebalikan dengan pemahaman kosmologis, adalah kesediaan memostulatkan bahwa pada akhirnya adalah manusia.
Lalu apakah tesis “keterbatasan manusia untuk mencerap realitas” megafirmasi keberadaan tesis Nietzsche “tidak ada fakta dan hanya ada interpretasi” (baca nihilisme)? Dalam tulisannya, Karlina bukannya hendak menolak kemungkinan diperolehnya pengetahuan dan meneguhkan nihilisme Nietzsche. Bahwa laku memahami mengandaikan pengakuan akan keterikatan manusia pada konsep-konsep yang ia sendiri bangun, tidak berarti membuang secara sistematik kemungkinan epistemik yang bekerja tegak lurus terhadap hubungan-hubungan sosio-kultural. Tidak semua pelaku pengetahuan terpukau oleh kata dan menenggelamkan materialitas dunia ke lapis bahasa. Karlina mengajak kita untuk menyadari bahwa dalam upaya meraih pengetahuan, ada laku menafsirkan yang tak terhindarkan. Dengan demikian, pengetahuan kita adalah pengetahuan yang tak selalu sepenuhnya berbicara secara objektif mengenai realitas di luar, tetapi selalu menyertakan sebagian dari diri kita di dalamnya. Setiap klaim mutlak akan kebenaran pun—dalam kosmologi ataupun agama—akan tampak sebagai kepongahan ketimbang kebenaran yang meyakinkan.
Pada akhirnya, alam tampaknya mengajak kita untuk setia pada beragam cara untuk memahami dan memaknai rupa-rupa “wajah” realitas itu. Barangkali kita memang diajak untuk memahami bahwa memahami pada akhirnya adalah belajar memahami. Rupa apapun yang mengemukan pada wajah itu, memengaruhi bukan hanya perkembangan isi pengetahuan kita, tetapi juga cara pandang, cara bersikap, cara merasakan, dan cara memutuskan. Ketimbang bagaimana mencapai kebenaran objektif non-antroposentris (h. 60).
Buku “Dari Kosmologi ke Dialog” Karlina Supelli ini tak selalu mudah untuk dipahami. Tak sulit mencari penyebabnya, selain fakta bahwa kosmologi ilmiah mutakhir bukan dan masih belum menjadi bidang ilmu yang popular, seperti disampaikan Zainal Abidin Bagir dalam pengantarnya, juga pengetahuan yang disampaikannya jauh dari sederhana dan tak jarang bertabrakan dengan akal sehat (common sense). Namun kesabaran untuk mengikuti pemaparannya akan kerumitan alam semesta itu amat mungkin mengantarkan kita pada satu titik ketakjuban, sekaligus kerendahan hati, sebagaimana yang dialami dan diperoleh oleh para kosmolog. Selain itu buku ini membawa pesan sederhana namun sangat layak untuk direnungi, khususnya menyangkut realitas keberagamaan kita. Jika manusia tidak mampu menghindarkan diri dari subjektifitas penafsiran dalam laku memahami atau memaknai suatu pengetahuan, maka masih layakkah ia memertahankan penafsiran tunggal atas kebenaran agama.
Terakhir, dengan mengutip Heisenberg (seorang ahli fisika kuantum) yang berasumsi bahwa nalar memang membantu manusia mengenali pelbagai macam kehendak yang memicunya untuk bertindak, akan tetapi memilih satu di antara berlapis-lapis peringkat kehendak, ada di luar batas nalar. Dan nalar bukan tanpa batas. Dengan begitu, jika seseorang tidak bersedia menerima batas-bartas pengetahuan ketika berhadapan dengan pengalaman manusia, maka semua hanya akan berujung pada duka. “It’s all bound to end in tears”. Dalam pengalaman keseharian kita, kita telah begitu banyak menyaksikan korban berjatuhan atas nama bela agama.