Eksistensi Materi Primer dalam Pandangan Ibn Sina

Muhammad Nur Jabir, MA-Direktur Rumi Institute, Dosen Filsafat Islam STFI Sadra

Abstrak
Salah satu pembahasan yang cukup kontroversial dalam filsafat Islam adalah pembahasan mengenai materi primer. Pembahasan ini telah dibahas sejak zaman Aristoteles hingga saat ini. Para filsuf berbeda pendapat tentang eksistensi materi primer ini. Sebagian percaya tentang keberadaannya dan sebagian lain mengingkarinya. Bagi mereka yang meyakini keberadaannya mengatakan bahwa materi primer merupakan salah satu bagian atau susunan dari materi-materi lain. Artinya, materi tersusun dari dua unsur, materi primer yang berfungsi sebagai aspek potensialitas dan bentuk materi yang berfungsi sebagai aspek aktualitas. Kedua materi tersebut –materi primer dan bentuk materi- dan unsur-unsurnya merupakan substansi. Berdasarkan pada argumen tersebut, maka materi primer adalah substansi potensi murni sebagai wadah dalam menerima bentuk dimana di dalam dirinya tidak ada aktualitas sama sekali. Tulisan ini akan mengkaji serta menganalisa lebih jauh mengenai materi primer, khususnya argumentasi yang dibangun oleh Ibn Sina dalam membuktikan keberadaan materi primer. Tulisan ini juga akan menampilkan kritik para filsuf seperti Suhrawardi, Mulla Sadra, Murtadha Muthahhari, dan Misbah Yazdi, terhadap argumen Ibn Sina.
Kata-kata kunci : Materi, materi primer, bentuk materi, ketersambungan, keterpisahan, filsafat peripatetik, Ibn Sina, substansi, aksiden, perubahan.

Abstract
One particularly controversial discussion in Islamic philosophy is the discussion on the primary material. It has been discussed since the time of Aristotle to the present. The philosophers disagree about the existence of this primary material. Some believe about the existence and others deny it. For those who believe say that the primary material is one piece or composition of other materials. That is, the material is composed of two elements, which serve as the primary material aspects and potentialities as a function of the material aspects of actuality. Both the material- the primary material and the form of material and its elements are the substance. Based on these arguments, the primary material is a pure substance potential as a locus to receive the form in which does not have the actuality of itself. This paper will examine and analyze further the primary material, in particular the argument of Ibn Sina in proving the existence of primary material. This paper will also show the critics of philosophers such as Suhrawardi, Mulla Sadra, Murthada Muthahhari, and Misbah Yazdi to Ibn Sina’s argument.
Keywords : Material, primary material, form of material, interconnection, separation, peripatetik philosophy, Ibn Sina, substance, accident, changing.

Pendahuluan
Perubahan-perubahan yang terjadi pada entitas-entitas di alam materi merupakan fenomena yang sangat jelas dan keberadaannya tidak mungkin diingkari. Dengan mudah manusia dapat menyaksikan fenomena-fenomena tersebut. Fenomena-fenomena di alam materi ini senantiasa berubah-ubah dari satu bentuk menjadi bentuk lain dan satu kualitas menuju kualitas lain. Tanaman di depan rumah misalnya, tumbuh dan berubah secara perlahan-lahan, baik dari segi bentuk maupun kualitasnya, seperti warna hijau berubah menjadi kuning atau coklat.  Pertanyaannya, apa rahasia di balik perubahan-perubahan itu? Apa yang menjadi sebab terjadinya perubahan? Apa saja syarat-syarat terjadinya perubahan? Untuk menjawabnya, para ilmuwan berusaha untuk mengungkap rahasia-rahasia di balik perubahan-perubahan tersebut dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan.

 Salah satu pendekatan yang digunakan untuk menjawab pertanyaan di atas adalah pendekatan filsafat. Pendekatan ini  mencoba untuk mengungkap dan memberi pandangan tentang apa yang ada di balik perubahan fenomena-fenomena melalui telaah terhadap eksistensi materi dan perubahannya. Tetapi, harus diingat bahwa apa yang menjadi fokus telaah filsafat berbeda dengan metode sains modern khususnya. Fokus kajian filsafat berada pada aspek universalnya. Maksudnya, filsafat dalam memandang sesuatu, memiliki sebuah pandangan tertentu di mana dengan pandangan tersebut akan menghasilkan aspek universal. Sudut pandang filsafat bukan pada karekteristik tertentu yang ada pada entitas tertentu, melainkan senantiasa mencari sesuatu yang berlaku dalam segala entitas yang menjadi objek persoalan.

Dalam filsafat, perubahan-perubahan pada materi dipahami karena adanya aspek aktualitas dan aspek potensialitas. Apa yang kita saksikan pada materi dengan segala efek yang keluar darinya merupakan aspek aktualitas. Namun, di sisi lain, materi memiliki aspek potensialitas karena materi tersebut dapat berubah dari satu aktualitas menuju aktualitas yang lain. Misalnya, kayu berubah menjadi arang dan arang berubah menjadi debu. Artinya, kayu di satu sisi, merupakan aktualitas dari wujud sebelumnya, dan di sisi lain, merupakan potensialitas bagi wujud setelahnya, yaitu arang. Demikian juga arang merupakan potensi bagi bentuk debu. Konsep potensialitas dan aktualitas di sini merupakan konsep yang tidak didapatkan hanya melalui pendekatan indrawi, tetapi diperoleh melalui proses abstraksi atau argumentasi rasional.

 Para filsuf meyakini bahwa perubahan tersebut tidak terjadi secara spontanitas. Maksudnya perubahan itu tentu diawali sebelumnya dengan sebuah potensialitas, bukan dari ketiadaan. Perubahan-perubahan pada materi diawali sebelumnya dengan potensialitas di mana potensialitas tersebut sebagai penyiap untuk mewujudkan sebuah aktualitas tertentu. Berdasarkan hal ini, manusia tidak mungkin menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Manusia senantiasa membutuhkan bahan-bahan dasar dalam menciptakan sesuatu yang baru. Dalam filsafat, potensialitas tersebut disebut dengan materi primer.

Berdasarkan pada penjelasan di atas, persoalan mengenai hakikat materi, tidak hanya menjadi topik pembahasan para saintis, tetapi juga menjadi topik pembahasan para filsuf. Saintis modern hingga saat ini masih menelusuri dan mengkaji hakikat materi sebenarnya. Dengan hanya menggunakan metode ekperimen, para saintis selalu berbeda pendapat dalam menggambarkan hakikat materi tersebut.

Sementara itu, metode yang digunakan para filsuf dalam membahas materi, tidak mendasarkan pada metode eksperimen seperti yang dilakukan oleh para saintis, tetapi melalui metode argumentasi rasional. Para filsuf berpendapat bahwa pengetahuan dan makrifat bisa diperoleh melalui kaidah-kaidah universal yang berakar dari prinsip-prinsip swabukti (badīhī, self evident). Menurut mereka, pengetahuan seharusnya bersifat universal, niscaya, dan berlaku selamanya. Pengetahuan seperti ini dapat diperoleh ketika pengetahuan kita sampai pada sebabnya. Berdasarkan metode ini, para filsuf mencoba menjelaskan hakikat materi dengan perantara akal.

Sejak zaman Aristoteles hingga saat ini, sebagian besar filsuf meyakini bahwa materi tersusun dari dua hal; bentuk materi (form) dan materi primer. Materi primer adalah substansi yang sama sekali tidak memiliki aktualitas. Materi primer merupakan salah satu bagian dari materi yang khusus menerima bentuk. Oleh karena itu, karena tugas dari materi primer ini hanya menerima bentuk, maka di dalam dirinya tak terdapat aktualitas sama sekali. Namun demikian, perlu diketahui bahwa tidak semua filsuf, seperti Suhrawardi dan juga Nashiruddin al-Thusi, maupun juga dari kalangan filsuf kontemporer seperti Murtadha Muthahhari dan Misbah Yazdi, menerima keberadaan materi primer ini, bahkan mereka menolaknya.

Dalam tulisan ini, pertama, penulis akan menjelaskan argumentasi Ibn Sina dalam membuktikan keberadaan materi primer sebagai salah satu bagian dari materi, selain dari bentuk materi. Kedua, penulis akan menjelaskan kritikan atas argumentasi tersebut dan selanjutnya akan menganalisa keduanya. Berikut adalah yang diawali dengan menjelaskan beberapa definisi dan istilah kunci supaya argumentasi-argumentasi yang dibangun mudah dipahami.

Materi Primer
Sebelum menjelaskan materi primer, penulis akan menjelaskan makna (materi) (jism) terlebih dahulu. Penjelasan ini penting karena (materi) dalam pandangan filsafat memiliki beberapa istilah, yaitu ekuivokal  atau musytarak lafzī. (Materi) memiliki dua makna, yaitu (materi) natural (jism ṭabī‘ī atau physical body) dan (materi) matematis (jism ta‘līmī atau mathematical body).

(Materi) natural adalah substansi yang memiliki tiga dimensi, yaitu panjang (thūl), lebar (‘ardh), dan kedalaman (‘umq). Oleh karena itu, (materi) natural merupakan bentangan substansi (imtidād atau extension) dalam tiga dimensi dan merupakan salah satu bagian dari substansi. Sedangkan (materi) benda matematis adalah ukuran ekstensi yang menentukan ukuran aspek tiga dimensi. Jadi, materi matematis adalah massa atau volume yang membatasi (materi) benda natural. Oleh karena itu, (materi) benda matematis ini merupakan ekstensi aksidental. (Materi) Benda natural ini menjadi objek pembahasan ilmu fisika, sedangkan (materi) benda matematis merupakan objek pembahasan ilmu matematika seperti geometri. (Materi) Benda natural adalah ekstensi yang ambigu (tanpa ukuran tertentu) sedangkan (materi) benda matematis merupakan ukuran ekstensi (materi) benda natural.  Filsafat parepatetik seperti Ibn Sina meyakini bahwa (materi) benda natural memiliki rangkapan. Susunan pertama yaitu ekstensien dan kontinuitas substansi yang disebut dengan bentuk bendawi (material) (ṣūrah jismiyyah), dan susunan kedua adalah suatu bagian yang menerima bentuk bendawi (material) tersebut yang dalam filsafat paripatetik disebut dengan materi primer.

Sebagaimana dipahami oleh sebagian filsuf yang meyakini keberadaan materi primer, mereka berusaha membuktikan keberadaan materi primer tersebut, karena eksistensinya dapat menjelaskan dengan baik fenomena dan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam materi. Dengan kata lain, filsuf sebelumnya menjelaskan secara filosofis mengenai perubahan-perubahan alam materi melalui materi primer. Namun demikian, ada satu pertanyaan mendasar dalam persoalan ini yaitu, apakah perubahan sebuah unsur ketika berubah pada sesuatu secara totalitas unsur tersebut sirna dan digantikan oleh unsur lain tanpa memiliki kaitan sama sekali dengan unsur sebelumnya atau tidak?

Dalam menjawab persoalan ini Aristoteles dan juga Ibn Sina meyakini akan adanya suatu potensi dalam materi di mana potensi inilah yang bertugas untuk menerima bentuk-bentuk baru pada materi. Oleh karena itu, jika kita dapat membuktikan keberadaan materi primer maka kita dapat menjelaskan dengan baik perubahan-perubahan yang terjadi pada alam materi.

Dalam mendefinisikan materi primer, kita tidak bisa mendefinisikan materi primer melalui genus dan differensianya karena materi primer itu sederhana (simple). Maksudnya karena materi primer ini hanya merupakan potensialtas dan sama sekali tidak ada aktualitasnya sehingga dalam dirinya tidak memiliki rangkapan, dan karena di dalam dirinya tidak memiliki rangkapan sehingga materi primer tidak memiliki genus dan differensia. Oleh karenanya kita tidak bisa mendefinisikan materi primer melalui genus dan differensia, contohnya warna putih, karena warna putih ini sederhana (simple) sehingga kita tidak bisa mendefinisikan warna putih ini dengan genus dan differensia.

Definisi yang biasa digunakan dalam menjelaskan materi primer yaitu “sebuah substansi yang menjadi wadah dalam menerima bentuk-bentuk dan aksiden-aksiden material, yang mana wadah atau potensialitas tersebut tidak memiliki aktualitas sama sekali. Dengan kata lain, materi primer adalah bagian dari materi murni bersifat potensial dan tidak memiliki aktualitas sama sekali. Satu-satunya aktualitas yang dimiliki materi primer adalah ketidak-aktualitasannya.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa materi primer adalah substansi, maka materi primer pun merupakan bagian dari materi dan bagian tersebut menjadi komponen dasar (muqawwim) bagi keseluruhan, dan entitas aksiden tidak mungkin bisa menjadi komponen dasar bagi sebuah substansi. Oleh karena itu, materi primer adalah potensi substansi yang jika dinisbahkan padanya potensi eksiden seperti relasi antara (materi) benda natural (ṭabī‘ī) terhadap (materi) benda matematis (ta‘līmī).”
Di samping materi primer disebut substansi, ia juga dapat disebut potensialitas (quwwah). Secara umum, potensi dimaknai sebagai kekuatan atau kemampuan manusia dalam melakukan tindakan-tindakan yang sulit dan berat. Potensi dalam arti ini biasanya diperlawankan dengan arti lemah. Makna lain potensi adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk dikembangkan lebih jauh. Potensi dalam arti ini, sama dengan makna bakat yang dimiliki oleh manusia dimana manusia dapat mengembangkan bakatnya lebih jauh.

Selain makna di atas, makna potensialitas juga digunakan sebagai lawan dari aktualitas. Ungkapan yang menyebutkan bahwa “wujud tersebut aktual dan memiliki aktualitas,” maka maksud dari kata aktual di sini adalah wujud tersebut memiliki efek tertentu yang muncul darinya. Misalnya, pernyataan “pohon mangga ini telah ada secara aktual,” maksudnya adalah suatu wujud telah eksis. Hal tersebut bisa disaksikan dari efek-efek pohon mangga secara hakiki. Dengan kata lain, saat ini, pohon mangga tersebut benar-benar telah aktual.

Demikian sebaliknya, yaitu jika ada pernyataan bahwa “sesuatu itu ada secara potensial,” maksudnya sesuatu masih belum terwujud secara hakiki dan memiliki kapasitas untuk bisa terwujud. Sesuatu tersebut memungkinkan di dalam dirinya untuk aktual. Biji mangga misalnya, secara potensi adalah pohon mangga. Artinya, saat ini, secara objektif benar-benar tidak ada pohon mangga, akan tetapi pada biji mangga terdapat sebuah potensialitas yang dapat berubah menjadi pohon mangga. Dari biji mangga, dapat muncul darinya pohon mangga sehingga bisa dikatakan pohon mangga secara potensial ada pada biji mangga. Karena itu potensialitas dalam pembahasan ini yaitu potensialitas yang senantiasa diperhadapkan atau diperlawankan dengan aktualitas, dan yang dimaksud dengan aktualitas yaitu realitas eksistensi eksternal yang darinya muncul efek-efek tertentu.

Pada definisi sebelumnya dijelaskan bahwa materi primer adalah sebuah wadah (materi yang murni potensi tanpa aktualitas sama sekali) dan dapat menerima bentuk-bentuk baru. Jika materi primer ini digabungkan dengan bentuk bendawi (material) (ṣūrah jismiyyah) maka akan muncul materi secara aktual yang mana secara otomatis menjadi potensi bagi bentuk spesis (ṣūrah naw’iyyah) tertentu. Artinya, jika bentuk spesis tertentu digabungkan dengan materi maka akan menghasilkan beragam jenis keberadaan. Materi  yang merupakan potensi bagi bentuk-bentuk spesis disebut dengan materi sekunder.

Hal yang perlu diperhatikan di sini bahwa semua filsuf sepakat akan adanya potensi sebagai dasar penyiapan munculnya keberadaan-keberadaan baru dan sebagai penerima aktualitas. Karena itu persoalan yang diperdebatkan bukan dalam persoalan adanya ‘penerima’ atau potensi dalam menerima bentuk-bentuk baru. Namun yang diperdebatkan adalah apakah yang dimaksud dengan materi primer adalah materi itu sendiri atau materi primer ini adalah salah satu bagian dari materi di mana bagian lainnya adalah bentuk (material) bendawi. Dengan kata lain, apakah materi merupakan gabungan dari materi primer dan bentuk materi atau tidak ?
A. Argumentasi Pembuktian Materi Primer
Dalam pembahasan ini, kami akan menjelaskan argumentasi materi primer menurut Ibn Sina dalam kitabnya al-Shifā’ bagian al-Ilāhiyyāt. Ada dua argumentasi penting dalam menjelaskan argumentasi pembuktian materi primer dalam kitab tersebut. Argumentasi pertama ini dikenal dengan argumentasi potensialitas dan aktualitas (the potentiality dan actuality) dan argumentasi kedua dikenal dengan argumentasi tersambung dan terpisah (joining dan separation).
1. Argumentasi Potensialitas dan Aktualitas
Argumentasi potensialitas dan aktualitas sebagai berikut; setiap materi pada aspek kemateriannya atau pada aspek substansi materi memiliki tiga dimensi. Tiga dimensi ini merupakan sisi aktualitasnya. Sementara itu, dari sisi potensialitasnya, setiap materi dapat menerima bentuk dan aksiden-aksiden dimensial. Aspek potensialitas materi ini berbeda dengan aspek aktualitas, karena potensialitas melazimkan tiada-memiliki dan aktualitas melazimkan memiliki dan tiada-memiliki dan memiliki merupakan dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu, mustahil dua aspek yang saling bertentangan berasal dari satu hakikat.

Argumen lain disampaikan Ibn Sina adalah bahwa setiap materi tersusun dari dua unsur realitas yang saling bertentangan, dan karena materi itu substansi maka bagian dari materi pun mesti substansi karena bagian itu merupakan komponen dasar (muqawwim) bagi keseluruhan. Dengan alasan itulah, maka tidak mungkin komponen dasar bagi substansi berasal dari aksiden. Jelaslah kemudian bahwa terdapat bagian dari materi di mana bagian dari materi tersebut merupakan substansi dan aspek yang dimilikinya hanya aspek potensialitas semata.

Misbah Yazdi dalam karyanya Amozesye Falsafeh menjelaskan argumentasi potensi aktualitas ini sebagai berikut; setiap materi memiliki kemungkinan untuk berubah pada jenis-jenis materi yang lain. Seperti perubahan suatu unsur kepada unsur lainnya atau berubahnya suatu unsur atau beberapa unsur pada mineral atau tumbuh-tumbuhan dan hewan (potensi dan aktual) sebagaimana setiap materi memiliki kemungkinan untuk berubah pada dua atau beberapa materi dari jenisnya sendiri (tersambung dan terpisah). Kemungkinan pada perubahan ini merupakan suatu jenis dari kualitas yang disebut dengan kualitas potensial (quality-through-preparedness) atau posibilitas potensial (possibility of preparedness), serta mampu memiliki intensitas kuat dan lemah, sempurna dan kurang, sebagaimana janin berpotensi untuk berubah pada sebuah eksistensi yang memiliki ruh yang sebelumnya berasal dari potensi sperma. Aksiden ini butuh pada sebuah objek, yaitu substansi. Tetapi, objek tersebut tidak mungkin pada substansi yang memiliki aktualitas, karena susbstansi diasumsikan mesti memiliki kemungkinan untuk memunculkan kualitas tersebut. Jika kemungkinan tersebut diasumsikan juga merupakan [berasal dari] kualitas lain yang sebelumnya didahului oleh kemungkinan yang ketiga, dan begitu seterusnya hingga tak terhingga, maka hal ini akan melazimkan untuk berubahnya setiap eksistensi pada eksistensi lain. Dan munculnya setiap substansi atau aksiden yang baru meniscayakan adanya aksiden-aksiden yang tak terhingga dimana masing-masing dari aksiden tersebut mendahului secara waktu pada aksiden lainnya. Karena hal ini mustahil, maka yang menjadi wadah bagi aksiden ini adalah substansi. Substansi tersebut adalah potensi yang tidak memiliki aktualitas sama sekali.

2. Argumentasi Tersambung dan Terpisah (Joining and Separation)
Argumentasi tersambung dan terpisah dijelaskan secara penjang lebar oleh Ibn Sina dalam karyanya Ilāhiyyāt al-Shifā’ dan juga dalam karya lainnya seperti al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt dan Najāt. Penjelasan argumentasinya dinyatakan bahwa materi sebagaimana materi dapat menerima pembagian. Artinya,  materi dapat dibagi. Ketika sebuah materi terbagi menjadi dua bagian dan atau sebaliknya, maka terdapat dua materi yang tersambung dan terpisah. Tersambung dan terpisahnya materi tersebut bukan dalam pemaknaan bahwa materi sebelumnya sirna secara totalitas dan selanjutnya muncul materi baru dengan kondisi yang baru tanpa ada kaitannya dengan kondisi sebelumnya. Artinya, materi tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian atau dua materi yang tersambung dan menjadi satu bagian.
Argumentasi yang menyebutkan bahwa materi memiliki ketersambungan dalam satu bagian, maka niscaya ada sisi kesamaan antara keberadaan sebelumnya dan keberadaan setelahnya. Dari kesamaan ini pula, perubahan dapat terjadi. Aspek kesamaan ini tidak mungkin berada pada bentuk bendawi (material) karena bentuk bendawi (material) adalah aspek ketersambungan (continuity) dan ketersambungan ini telah sirna. Oleh karena itu, niscaya ada bagian lain dari materi yang masih tetap yang kita sebut dengan materi primer. Dengan kata lain, ketersambungan tak mungkin menerima aspek keterpisahan karena tidak mungkin dua aspek yang bertentangan satu sama lain saling menerima. Disimpulkan bahwa dalam materi mesti ada bagian lain selain dari bentuk ketersambungan yang menerima ketersambungan tersebut dan juga menerima pemisahan di mana aspek tersebut di dalam dirinya bukan ketersambungan dan juga bukan aspek keterpisahan.

B. Beberapa Kritikan atas Argumentasi Keberadaan Materi Primer
Setelah menjelaskan dua argumentasi penting dalam membuktikan keberadaan materi primer menurut Ibn Sina, selanjutnya akan dijelaskan beberapa kritikan terhadap argumentasi tersebut.
1. Kritik Suhrawardi atas Argumentasi Pembuktian Materi Primer
Kritik Suhrawardi ini mengarah pada argumentasi tersambung dan terpisah Ibn Sina. Menurut Suhrawardi, pada argumentasi tersebut terjadi kesalahan dalam mengaplikasikan istilah ketersambungan (continuity) karena ketersambungan memiliki dua makna atau dalam kata lain ketersambungan di sini adalah equivokal (ishtirāk lafẓī). Makna pertama yang dimaksud dengan ketersambungan adalah dua materi yang terpisah satu sama lain lalu kemudian tersambung. Ketersambungan dalam pemaknaan ini diperlawankan dengan makna keterpisahan, dan ketersambungan tersebut tidak dapat menerima keterpisahan. Adapun makna kedua yang dimaksud dengan ketersambungan adalah ekstensien dan ukuran substansi atau yang biasa disebut dengan bentuk bendawi (material) oleh kalangan filsuf paripatetik.  Ketersambungan dalam istilah ini bukan lawan dari keterpisahan, bahkan dapat menjadi potensi baginya. Menurut Suhrawardi, dikarenakan adanya dua istilah ketersambungan tersebut, maka terjadi kekeliruan dalam argumentasinya.
Menurut pandangan paripatetik, ketersambungan adalah lawan dari keterpisahan sehingga ketersambungan tidak bisa menerima keterpisahan. Di sisi lain, istilah ketersambungan juga digunakan pada ekstensi dan ukuran substansi, sehingga jika ada materi yang terpisah maka akan disimpulkan bahwa selain aspek ketersambungan pada materi, terdapat juga aspek yang lain yang menerima keterpisahan tersebut yang disebut dengan materi primer. Kritikan Suhrawardi justru pada penggunaan istilah ketersambungan tersebut, karena istilah ketersambungan dalam argumentasi ‘tersambung dan terpisah’ digunakan dalam menjelaskan bentuk bendawi (material). Sementara ketersambungan dalam pemaknaan ekstensi substansial bukan lawan dari keterpisahan. Oleh karena itu, jika filsafat paripatetik dalam konteks ini mengatakan bahwa ketersambungan merupakan lawan dari keterpisahan, maka anggapan tersebut adalah salah.

Istilah ketersambungan sebagai lawan dari keterpisahan hanya ada dalam pemaknaan dua materi yang terpisah lalu tersambung. Oleh karenanya, menurut Suhrawardi, filsuf paripatetik telah keliru dalam menggunakan argumentasi karena terjadi kekeliruan dalam penggunaan kata ketersambungan yang memiliki dua makna. Padahal ketersambungan diperlawankan dengan makna keterpisahan hanya dalam makna pertama, bukan dalam makna kedua. Berdasarkan hal ini, menurut Suhrawardi, pada materi hanya ada ekstensi dan ketersambungan substansi dan tidak butuh pada materi primer yang berfungsi sebagai penerima keterpisahan, karena ekstensien substansi itu sendiri berfungsi sebagai penerima.

Kritik Suhrawardi terhadap argumentasi materi primer ditolak oleh Mulla Sadra. Menurut Sadra, meskipun keduanya adalah ketersambungan, namun ada ketersambungan relasi dan ada ketersambungan yang bersifat hakiki. Ketersambungan relasi adalah kelaziman dari ketersambungan hakiki substansi materi. Oleh karena itu, jika materi terpisah dan ketersambungan relasi sirna maka ketersambungan hakiki tentunya juga sirna.  Artinya, dengan muculnya keterputusan pada materi, ketersambungan substansi tidak mungkin terjaga dan tetap pada eksistensi dirinya.

2. Kritik Murtadha Muthahhari atas Argumentasi Pembuktian Materi Primer
Penolakan terhadap keberadaan materi dari filsuf abad ke-20 asal Iran, yaitu Murtadha Muthahhari. Muthahhari, yang berselisih pendapat dengan gurunya ‘Allamah Thabataba’i tentang keberadaan materi primer, mengatakan dalam komentarnya terhadap Uṣul-e Falsafeh wa Rawesy-e Rialism karya Allamah Thabataba’i,  bahwa teori tentang keberadaan materi primer tidak dapat diterima. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa jika materi-materi tersebut dianalisa maka akan berakhir pada dua bagian, salah satu bagiannya tidak memiliki aktualitas sama sekali selain dari ‘aktualitas potensi dalam menerima’ yang disebut dengan materi primer. Bagian lainnya, yaitu bentuk bendawi (material) yang hakikatnya merupakan dimensi dan ekstensi.

Namun demikian, menurut penulis, alasan Muthahhari yang menolak keberadaan materi primer adalah tidak benar. Alasanya, karena materi tidak bisa dibagi pada dua bagian yaitu materi primer dan bentuk bendawi (material). Materi primer dan bentuk bendawi (material) bisa dianggap sebagai susunan dari materi, akan tetapi bukan rangkapan realitas eksternal, namun sebagai rangkapan mental (dhihnī). Maksudnya, setiap materi yang ada pada realitas eksternal tidak akan berakhir pada dua bagian yang disebut dengan materi primer di mana di dalam dirinya tidak ada bentuk (aktualitas) sama sekali dan bagian lainnya adalah bentuk bendawi (material).

Selain menolak keberadaan materi primer, Muthahhari juga mengatakan bahwa salah satu pembahasan penting berkaitan dengan hal ini adalah apakah potensi ini benar-benar nyata  pada realitas eksternal atau konsiderasi (i’tibari) mental semata. Berkaitan dengan hal ini, Muthahhari menjelaskan bahwa potensi itu hanya konsiderasi semata. Maksudnya, potensialitas atau posibiltas dari potensialitas (possibility of preparedness) tidak mungkin sebuah eksistensi dan [atau] sebuah eksistensi yang nyata [pada realitas eksternal]. Namun hanya sebagai sebuah konsep iktibari dan abstraksi.  Penjelasan dari argumen tersebut adalah sebagai berikut; sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, potensialitas merupakan syarat sebelum eksis setiap kebaruan dan setiap fenomena tanpa adanya pengecualian.

Berdasarkan argumentasi [kaidah] ini, potensi itu sendiri tidak mungkin sebuah eksistensi yang nyata karena akan melazimkan pada dirinya juga berlaku kaidah tersebut. Maksudnya, akan melazimkan setiap potensialitas yang akan mewujud, sebelumnya telah ada pada potensialitas yang lainnya, dan potensialitas yang lainnya tersebut telah ada sebelumnya pada potensialitas yang lainnya juga dan begitu seterusnya hingga tak terhingga.   Jika manusia ingin mewujud misalnya, sebelumnya mesti ada potensialitas-potensialitas yang tak terbatas di mana salah satu potensialitas tersebut ada potensialitas manusia itu sendiri, kemudian sebelumnya potensialitasnya potensialitas manusia, lalu sebelumnya potensialitasnya potensialitasnya potensialitas manusia dan begitu selanjutnya sampai tak terbatas, dan masing-masing dari potensialitas- potensialitas tersebut butuh pada wadah tertentu, sedangkan kita mengetahui secara niscaya bahwa setiap eksistensi seperti manusia, pohon, dan entitas-entitas lainnya tidak memiliki potensialitas yang tak terhingga.

3. Kritik Muhammad Taqi Misbah Yazdi atas Argumentasi Pembuktian Materi Primer
Salah satu filsuf kontemporer yang menolak keberadaan materi primer, selain Murtadha Muthahhari, adalah Taqi Misbah Yazdi. Dalam karyanya Amozesy-e Falsafeh, selain menjelaskan tentang argumentasi materi primer, dia sekaligus mengkritik argumentasinya. Sebelum menjelaskan argumentasinya, dia mengatakan, “….persoalan yang sangat mendasar adalah tidak dapat dibuktikannya keberadaan sebuah substansi yang secara esensi sama sekali tidak memiliki segala bentuk aktualitas. Oleh karenanya, pandangan yang benar adalah pandangan Syekh Isyraq, Allamah Syekh Thusi, dan filsuf-filsuf lainnya yang mengingkari keberadaaan substansi seperti itu.”
Setelah mengajukan argumen di atas, selanjutnya Misbah Yazdi mengatakan, “…yang mesti dipahami, menurut filsuf, bentuk bendawi (material) tidak akan pernah sirna di alam materi. Demikian juga, jika diasumsikan bahwa materi primer itu ada dan keberadaan materi primer senantiasa bergantung dan bersama dengan bentuk bendawi (material) (tanpa mengaitkannya dengan pembahasan gerak substansi yang akan dibahas pada tempatnya sendiri), maka dengan memperhatikan persoalan ini, pertanyaan yang dapat diajukan adalah, apa permasalahannya jika materi diyakini sebagai substansi yang sederhana (tidak tersusun dari materi primer dan bentuk material) di mana bentuk lainnya bersemayam (hulul) padanya atau juga sirna darinya?.”

 Dalam mengkritik argumentasi potensi dan aktual, Misbah Yazdi mengatakan, “Pertama, pondasi argumentasi ini dapat dipertanyakan karena konsep potensialitas dan aktualitas – sebagaimana konsep-konsep filsafat lainnya – merupakan konsep kategori-kategori sekunder filsafat di mana akal mengabstraksi hal tersebut melalui proses tertentu. Dengan kata lain, ketika kita mengasumsikan dua hal material yang salah satu dari dua hal tersebut ‘tidak memiliki’ yang lain (sebagaimana biji pohon, tidak memiliki buah) namun dapat memiliki hal tersebut, maka kita menisbahkan [mengabstraksi] konsep ‘potensialitas’ dan ‘menerima’ pada keberadaan pertama, dan di saat memiliki hal tersebut kita menisbahkan [mengabstraksi] padanya dengan konsep aktualitas. Oleh karenanya, konsep-konsep tersebut merupakan konsep-konsep yang diabstraksi melalui perbandingan dua hal antara satu dengan lainnya dan hal tersebut tidak memiliki eksistensi yang berdiri sendiri, maka tidak ada dalilnya untuk mengatakan aspek potensialitas dan aspek aktualitas merupakan realitas objektif dan nyata [memiliki eksistensi yang berdiri sendiri]. Berdasarkan hal tersebut kita telah membuktikan keberadaan substansi dan atau bahkan aksiden. Kedua, pada premis kedua dapat ditolak, karena mungkin saja ada seseorang yang meyakini eksistensi eksternal materi (dan bukan esensinya) tersusun dari sebuah substansi dan beberapa aksiden, terkhusus bagi mereka yang meyakini bahwa aksiden-aksiden merupakan kondisi-kondisi dan derajat-derajat eksistensi substansi. Oleh karenanya, jika diasumsikan masing-masing dari dua aspek tersebut yaitu aspek potensial dan aspek aktual, memiliki eksistensi realitas eksternal, maka dapat dikatakan bahwa pada aspek aktualitas substansi material dan aspek potensialitas adalah salah satu dari aksiden-aksidennya.

C. Penutup
Setelah menjelaskan argumentasi pembuktian materi primer serta menguraikan beberapa kritikan terhadapnya. Selanjutnya kami akan memberikan kesimpulan terhadapnya. Namun sebelumnya penulis akan menjelaskan beberapa karekteristik materi primer.
1. Aspek potensi adalah aspek potensial murni
Karekteristik penting pada potensialitas adalah sebuah substansi di mana aspek yang ada di dalamnya hanya aspek potensialitas semata dan menerima. Tak ada sesuatu apapun yang ada di dalamnya kecuali dapat menerima sesuatu. Artinya, potensialitas hanya dapat menerima bentuk dan selanjutnya memakai bentuk tersebut pada dirinya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa substansi materi primer adalah aspek potensial murni di mana ia sama sekali tidak ada aktualitas di dalamnya terkecuali aspek menerima. Alasannya, karena jika diasumsikan di dalam dirinya terdapat aktualitas dan memiliki efek tertentu serta kondisi tertentu sebagai aspek aktualitasnya, maka hal tersebut akan membuat substansi primer yang murni potensi tidak lagi dapat menerima segala bentuk aktualitas. Hal tersebut bertentangan dengan asumsi sebelumnya bahwa materi primer adalah potensi murni yang tidak memiliki aktualitas sama sekali.
2. Potensi senantiasa bergantung pada sebuah aktualitas
Salah satu kaidah filsafat menjelaskan bahwa wujud identik dengan aktualitas. Maksudnya jika sesuatu itu wujud, mesti memiliki aktualitas. Karena itu, wujud mesti memiliki aktualitas. Tidak ada wujud yang tidak memiliki aktualitas. Berdasarkan hal ini maka eksistensi materi primer dengan karekteristik potensialitas murni mesti berada di bawah naungan sebuah aktualitas karena potensi murni sama sekali tidak memiliki aspek aktualitas. Materi primer atau potensi murni bersifat ambigu dan tanpa memiliki batasan tertentu karena pada dirinya tak ada aspek aktualnya. Aspek aktual yang menyebabkan suatu entitas keluar dari keambiguannya dan memiliki ukuran tertentu. Oleh karenanya, dikarenakan materi primer tidak memiliki aktualitas dan pada satu sisi wujud mesti memiliki aktualitas, maka materi primer butuh pada aktualitas (dalam hal ini bentuk materi) sebagai tempat bernaung.
3. Berubahnya aktualitas tidak membuat materi primer berubah
Potensialitas murni yang menerima bentuk-bentuk yang beragam adalah sama. Maksudnya,  ketika suatu bentuk sirna dan bentuk baru datang, materi primer tidak ikut sirna, akan tetapi realitasnya tetap sebagai potensi murni. Misalnya, ketika kayu berubah menjadi arang, potensialitas yang ada di dalam realitas kayu dan realitas arang itu sama. Berubahnya bentuk kayu menjadi bentuk arang tidak menyebabkan potensialitas yang ada pada kedua bentuk tersebut juga berubah. Oleh karena itu, materi primer berlaku tetap dan sama pada seluruh entitas-entitas materi.

 Setelah menjelaskan tiga karekteristik materi primer di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa; pertama, kritikan yang diutarakan oleh Suhrawardi, sebuah kritikan yang kurang tepat. Alasannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Mulla Sadra, meskipun ketersambungan  memiliki dua makna yaitu satu bersifat relasi (aksiden) dan yang satu bersifat hakiki (substansi), maka ketika ketersambungan aksiden sirna, secara otomatis menunjukkan ketersambungan pada substansi juga sirna karena aksiden bergantung pada substansi. Meskipun mungkin saja ada yang mengatakan, anggapan tersebut bisa ditolak karena relasi antara substansi dan aksiden dalam filsafat paripatetik bukan relasi analitis. Namun demikian, dalam konteks ini, relasi kedua hubungan ketersambungan tersebut adalah relasi analitik sehingga jika relasi yang bersifat aksiden sirna maka secara otomatis menunjukkan ketersambungan substansi juga sirna.

Kedua, penulis menerima kritikan terhadap argumentasi pembuktian keberadaan materi primer, baik kritikan dari Murtadha Muthahhari maupun dari Misbah Yazdi. Menurut penulis, anggapan bahwa di dalam diri materi terbagi menjadi dua bagian secara aktual yaitu materi primer dan bentuk bendawi (material) adalah pandangan yang tidak tepat dalam meletakkan antara pembahasan mental (dhihnī/mind) dengan pembahasan pada realitas eksternal. Karena pembagian tersebut adalah pembagian mental, bukan pembagian pada realitas eksternal, maka dapat dikatakan bahwa baik materi primer maupun bentuk bendawi (material) benar-benar nyata pada realitas eksternal.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Misbah Yazdi bahwa potensialitas dan aktualitas adalah konsep yang didapatkan melalui proses abstraksi, karena itu konsep aktualiatas dan konsep potensialitas dikategorikan sebagai kategori universal sekunder filsafat. Dalam kata lain, pada diri materi kita dapat mengabstraksi konsep aktual dan juga konsep potensial. Akan tetapi bukan dalam pengertian bahwa keduanya nyata pada realitas eksternal secara independen atau berdiri sendiri, apalagi jika kita kembali dalam kaidah filsafat bahwa wujud pasti memiliki aktualitas. Hal ini bertentangan dengan identitas pada materi primer karena pada materi primer dikatakan substansi yang hanya memiliki aspek potensialitas tanpa ada aktualitas sama sekali. Karena itu bagi mereka yang meyakini keberadaan materi primer dengan ‘terpaksa’ mengatakan bahwa satu-satunya aktualitasnya adalah ketidakaktualitasnya. ‘Terpaksa’ di sini dalam pengertian bahwa jika materi primer itu nyata pada realitas eksternal maka pasti memiliki aktualitas karena wujud identik dengan aktualitas.

Oleh karena itu, untuk menjelaskan aspek aktualitas pada materi primer, maka dikatakan satu-satunya aktualitasnya adalah ketidakaktualitasnya karena materi primer tidak memiliki aktualitas sama sekali selain potensi dalam menerima bentuk. Satu-satunya aktualitasnya adalah ketidakaktualitasnya adalah proposisi yang tidak memiliki dasar filosofis yang kuat. Proposisi tersebut bukan proposisi filsafat, tetapi proposisi sastra yang tidak memiliki bangunan filosofis. Berdasarkan hal ini penulis meyakini bahwa materi itu sederhana dan tidak memiliki rangkapan.

Ketiga, berdasarkan hal ini, kami menerima asumsi Mulla Sadra terhadap materi primer bahwa materi primer merupakan kondisi dari materi. Maksudnya, dalam diri materi terdapat materi primer yang merupakan salah satu kondisi dari materi dan tidak berdiri sendiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Sina. Sebagaimana dipahami, dalam pandangan Sadra, aksiden adalah salah satu kondisi dari susbtansi karena aksiden lahir dari rahim substansi. Berdasarkan hal ini bisa dikatakan bahwa materi primer adalah salah satu aksiden dari materi.

DAFTAR RUJUKAN

Gurūhi az Pezuhesygarān (Kumpulan dari peneliti). Farhangg-e Ishthilāhāt-e Falsafe wa Kalām-e Islāmī ba Muqaddameh wa Iṣlāhāt-e Sayyid Hossein Nasr. Tehran: Daftar-e Pezuhesy wa Nasyr-e Suhrawardi, Cet. 1, 1386 HS.
Ibn Sina. al-Shifā’ al-Ilāhiyyāt. Qom: Ayatullah Mar’asyi, 1404 H.
Mulla Sadra. Sharh wa Ta‘liqah ‘alā Ilāhiyyāt al-Shifā. Tehran: Bunyād-e Hikmat-e Islami Sadra, Vol. 1, 1382 HS.
Panah, Sayyid Yadullah Yazdan. Hikmat-e Isyrāq: Guzāresy, Syarh wa Sanjesy-e Dastgāh-e Falsafī Syekh Syahabuddin Suhrawardi. Tehran: Sazmān-e Muthāleeh wa Tadwin-e Kutub-e Ulum-e Islāmī, Vol. 2, 1389 HS.
Razi, Fakhruddin. Sharḥ al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt. Tehran: Anjuman-e Atsār wa Mafākher-e Farhangge, 1384 HS.
Thabataba’I, Muhammad Husein. Uṣūl-e Falsafeh wa Rawesy-e Realism; Muqaddameh wa Pawaraqi Murtadha Muthahhari. Tehran: Sadra, Vol. 4, 1429 H.
Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah. Amuzesye Falsafeh. Tehran: Sazmān-e Tablighāt-e Islamī, 1378 HS.
——. Ta‘liqah ‘alā Nihāyat al-Ḥikmah. Qom: Darrah-e Haq, Vol. 2, 1405 H.

Share your thoughts