FAP; Debat Demokrasi Sekuler vs Religius Abdolkarim Soroush
Salah satu tugas utama sekulerisme adalah memisahkan agama dari politik. Pekerjaan ini relatif sukses dikerjakan di Barat. Capaian ini berefek pada kemandirian etika, budaya, hukum, bahkan cara berpikir tentang apapun fokus pada dunia (wordly minded). Kristen sebagai agama yang tumbuh besar di Barat meski berasal dari timur setelah kalah bersaing dengan ilmuan Barat selebihnya menyesuaikan sebagian besar proposal politik yang diajukan sekulerisme. Dampaknya peneguhan agama suci Kristen di turunkan ke Bumi menyesuaikan agenda ruang dan waktu kebutuhan dunia sekuler (profan). Selanjutnya, demokrasi sekuler lambat laun selaras dan di dukung masyarakat sekuler (Kristen).
Sementara di dunia Islam, akibat tekanan politik kolonial, prestasi kemerdekaan negaranya tidak bisa sinambung secara total dengan kebebasan terdalamnya untuk menentukan nasib bangsanya sesuai dengan pikiranya sendiri. Kombinasi tekanan politik kolonial dan atmosfir pikiran sekuler Barat telah sukses mendekte sebagian besar para pemikir muslim.
Salah satu tantangan terbesar para pemikir muslim adalah bagaimana membangun negara demokrasi tanpa kehilangan identitas Islam. Bagaimana merekonsiliasikan antara syariat dan demokrasi. Bagaimana mempunyai demokrasi religius yang di dukung oleh rakyat yang religius, bagaimana membangun demokrasi Islam selaras dengan masyarakat Islam.
Melihat latar belakang diatas, Forum Antar Pakar (FAP) Riset STFI Sadra mencoba mencari jawab dari seorang pemikir muslim sekuler Iran, Abdolkarim Soroush. FAP mengundang seorang peneliti pemikiran Soroush, Adi Bunardi untuk menelisik gagasan “Demokrasi Religius Abdolkarim Soroush”. Diskusi di selenggarakan via zoom pada Rabo, 15/04/2020. Sekitar tiga puluhan peserta aktif berpartisipasi dalam diskusi.
Adi Bunardi
Profil Intelektual Soroush
Sebelum masuk pada gagasan demokrasi religius Abdolkarim Sorous (Hossein Haj Farraj Dabbagh). Adi mencoba memberi pengantar profil intelektual Abdolkarim Soroush. Soroush lahir di Teheran,16 Desember 1945. Pada masa kanak-kanak, Soroush sangat menyukai puisi Sa’di. Sementara masa remajanya tertarik pada sains modern. Soroush kuliah Pharmacology di Unversitas Teheran & S2 Kimia Analisis di University of London, sambil mempelajari sastra Persia, filsafat, dan mistisisme.
Pasca Revolusi Iran, Sorous diangkat Imam Khomeini menjadi anggota Komite Revolusi Kebudayaan. Mendirikan Majalah Bulanan ‘Kiyan’ sebagai media pemikiran kritisnya. Mendapat penghargaan dan pujian dari masyarakat intelektual Barat; 100 tokoh berpengaruh di dunia versi Majalah “Time” 2005, Erasmus Prize 2004, dan julukan “Luther of Islam”.
Tiga tokoh utama yang mempengaruhi Soroush, diantaranya Syahid Murtadha Muthahari, Ali Syariati, Mehdi Bazargan. Soroush mengenai Murtadha Muthahhari mengatakan, “Saya mengenal tiga pemikir Iran Kontemporer. Yang pertama adalah Muthahhari. Karya pertama Muthahhari yang saya baca adalah interpretasinya terhadap karya almarhum Thabathaba’i, Prinsip-Prinsip Filosofis dan Metode Realisme. Buku ini sangat mengesankan saya. Saya menyimpulkan bahwa buku ini menanamkan semacam arogansi filsafat dalam diri saya. Saya menganggap buku ini sebagai buku superior Filsafat Islam yang tak terbantahkan. Saya senantiasa yakin bahwa “seluruh dunia ada di bawah sayap kami” dan kami dapat menangkis semua kritikan dan argumentasi filsafat.”
Sementara Soroush mengenai Mehdi Bazargan mengatakan, “pemikir besar kedua yang ide-idenya mengesankan saya adalah almarhum Mehdi Bazargan. Saya mengenalnya sebagai seorang politisi dan ilmuwan modern dengan minat agama yang inten. Buku Bazargan yang berjudul The Infinity of the Infinitely Small sangat menarik saya, sehingga ketika saya menjadi guru Kimia, saya menghadiahkan buku ini kepada murid-murid terbaik saya.”
Terhadap Ali Syari’ati, Shoroush mengatakan, “kemunculan almarhum Dr. Syari’ati dan kuliah-kuliahnya yang sangat mengena di Husainiyyah Irsyad bertepatan dengan kelulusan saya dari Universitas Teheran dan tugas wajib militer saya selama dua tahun. Selama masa itu, saya berupaya mengikuti kuliah Syari’ati sebanyak mungkin. Kegiatan ini terus berlanjut sampai Husainiyyah Irsyad ditutup oleh pemerintah.”
Soroush juga banyak terpengaruh Filsuf Barat, kepada Popper mengatakan, “karya Karl Popper dalam Filsafat Sosial, The Open Society and Its Enemies berisi serangan Popper terhadap Marxisme, dalam buku tersebut sama dengan serangan al-Ghazali terhadap Filsafat Islam yang membuat Filsafat Islam tidak bisa tegak lagi di dunia Islam, begitu juga kritik Popper membuat Marxisme tidak bisa tegak lagi di dunia Barat.”
Soroush juga seperti diakuinya, terpengaruh pada pemikiran Spinoza. Dikatakan Soroush, “saya memiliki hubungan pribadi dengan Spinoza; Saya merasakan kesamaan tertentu dalam nasib saya dengan nasib Spinoza: karena beberapa pandangan ortodoks, ia mengucilkan diri, dan harus meninggalkan tempat kelahirannya di Amsterdam. Beberapa idenya sangat relevan dengan dunia Muslim modern: rekonsiliasi hukum agama dengan demokrasi dan memberikan pemahaman modern tentang negara sama seperti apa yang telah dilakukan Spinoza. Spinoza berpikir bahwa agama tidak sesuai dengan demokrasi. Dia berpikir tentang demokrasi agama. Dia menunjukkan bahwa sekularisme tidak perlu atau tidak cukup untuk negara demokratis”.
Terhadap Rumi, Soroush mengatakan “jika saya harus berbicara tentang satu orang sebagai model, ia adalah Mawlana Jalaluddin Rumi. Tidak ada yang memainkan peranan besar dalam hidup saya seperti dia”.
Bagi Soroush, Rumi mengajarkan cinta yang berfungsi untuk membebaskan akal dari sikap rakus (greed), sikap mementingkan dari sendiri (selfishness), dan banyak penyakit jiwa lainnya. Melalui pembebasan akal dari penyakit-penyakit hati tersebut manusia menjadi manusia bebas.
Pemikiran Soroush
Berkenaan dengan intelektual religius dan sekulerisme, Soroush berpendapat, intelektualisme religius adalah “jalan” bagi cendikiawan muslim. Intelektualisme religius adalah sekolah pemikiran yang berusaha untuk mengambil manfaat dari pengalaman manusia dan pengalaman kenabian; dan diantara keduanya tidak ada yang di korbankan. Cendekiawan religius adalah cendekiawan yang percaya pada akal yang tidak bergantung pada wahyu dan besar karenanya. Dan, lampu akal ada di tangan, mereka berusaha untuk menjelaskan kebenaran dan membakar ketidakadilan.
Politik Sekuler
Tentang demokrasi, Soroush mengatakan, “ketika saya berbicara tentang demokrasi adalah demokrasi sebagai penolakan terhadap tirani. Dengan kata lain, demokrasi yang saya usulkan adalah teori anti-tirani ”.
“Demokrasi adalah manifestasi modern dan pencarian abadi manusia dalam menentang ketidak-adilan dan menuntut keadilan. Namun, keadilan dapat berhasil hanya jika para pencarinya tidak terbebani oleh kemelaratan dan ketidakamanan.”
Lebih lanjut Soroush mengatakan tentang demokrasi sebagai managemen,
“Demokrasi adalah cara mengatur yang benar “fokus pada rakyat” menggunakan sistem manajemen yang memiliki tingkat kesalahan yang rendah. Kedua prinsip ini hadir dan diperbaiki dalam sistem demokrasi, apapun orientasi ke arah sistem manajemen yang benar dirancang untuk meminimalkan kesalahan. Sistem despotik memiliki sistem manajemen dengan tingkat kesalahan tinggi, karena satu orang membuat seluruh keputusan dan karena orang-orang dianggap memiliki tugas, bukan hak”.
Relasi Islam dan Demokrasi
Tentang relasi Islam dan demokrasi, Sorouh mengatakan “Saat ini, penerapan keadilan, yang juga dituntut oleh agama, hanya dimungkinkan melalui demokrasi, bukan melalui aturan individu, bukan melalui perwalian.” Relasi Islam dan demokrasi memiliki masalah multi-dimensional. Menurut Sorous, rekonsiliasi antara Islam dan demokrasi adalah problem worldview (pandangan dunia). Pandangan dunia Islam mementingkan kewajiban (duty), sedangkan pandangan dunia demokrasi lebih mengutamakan hak (right). Perbedaan pandangan dunia inilah yang melahirkan ragam pendapat ketika berbicara relasi antara Islam dan demokrasi.
Istilah Demokrasi Religius?
Soroush mempersoalkan definisi demokrasi religius. Baginya, istilah “Demokrasi Religius” tidak boleh menyesatkan orang. Demokrasi religius bukan berarti mengekstrak demokrasi dari agama. Demokrasi religius adalah bentuk pemerintahan dimana nilai-nilai agama tertentu mempengaruhi hukum dan aturan. Istilah ini berlaku untuk semua negara yang memasukkan agama dalam mem bentuk pemerintahannya.
Soroush berpandangan, ada patokan untuk bisa disebut menganut negara demokrasi relgius (a religious democratic state), awalnya kita musti membedakan antara negara demokratis dan non-demokratis. Ini adalah pembagian yang mendasar dan penting. Kemudian negara-negara yang demokratis ataupun non-demokratis bisa religius atau pun non-religius, Religiusitas bukan karakter esensial dari suatu negara. Mengapa negara itu disebut religius karena masyarakatnya religius. Dalam masyarakat yang religius, negara harus menghormati nilai-nilai rakyat, terutama, nilai-nilai yang dianut mayoritas rakyat; dalam pengertian ini negara mengambil corak keagamaan.
Menurut Soroush, dalam sistem politik apa pun, ada beberapa nilai etika mendasar yang harus dilindungi. Dalam demokrasi liberal, kebebasan individu, dalam sistem sosialis keadilan sosial, sementara dalam demokrasi agama, tulang punggungnya moralitas agama.
Sesi Diskusi
Cipta
Cipta, seorang peneliti Tafsir Alquran dan Sains di Riset STFI Sadra memberi komentar soal relevansinya dengan kondisi di Indonesia yang sudah menyerap nilai-nilai agama sejak negara Pancasila didirikan. Dikatakan Cipta, sejak kemerdekaan 1945, para founding father telah menjadikan agama sebagai sumber nilai negara, hal ini artinya memberikan ruang bagi intepretasi agama, termasuk kaum yang sering di labeli Islamis pendukung syariat. Kubu ini tidak mungkin menerima asumsi Sorouh yang membedakan agama dan pemikiran agama, dimana fiqih dipandang bukan agama.
Anto
Sementara Anto, mahasiswa doktoral Fakultas Filsafat UGM, salah satu peneliti kebudayaan Jawa (Semar dan Ronggowarsito) menyorot soal problem definisi agama yang belum jelas dan tegas dari Soroush. Menurut Anto, problem kekinian yang beririsan dengan kondisi Indonesia adalah ketidakjelasan patokan definisi agama dan orientasi fiqih yang dipakai dalam kontek arah pembangunan demokrasi. Dari sudut pandang parenial, Anto berpikir, jika agama di ukur dari patokan orientasi tafsir fiqih saja, akan kesulitan menentukan aspek demokrasi religius yang ingin dibentuk.
Anto memberi contoh, jika mau mendefinisikan masyarakat Jawa saja dengan menggunakan patokan agama tertentu (institusional), maka akan dihitung sebagai masyarakat sinkretisme. Jadi yang cocok sifat demokrasinya jatuh pada demokrasi sinkretisme, bukan demokrasi religius. Sehingga agama yang dimaksudkan Sorous ini meliputi semua agama atau agama tertentu harusnya diperjelas diawal. Olehkarennya menurut Anto, perlu ditegaskan oleh Soroush apa yang dimaksud religius, apakah yang senada dengan parenial atau masuk kategori agama tertentu.
Abocci
Lain lagi dengan Abocci, seorang peneliti dan pelaku pelaku tasawuf, menyorot soal implikasi pemikiran Sorous. Menurut Abocci, olehkarena Soroush berpandangan wahyu adalah historis, maka implikasi epistemologisnya bercorak relatifis, subjektif, sesuai dalam teori kembang kempisnya (The Theoretical Contraction and Expansion of Shari’a). Tidak ada patokan universal, tidak ada absolutisme Tuhan dalam kerangka politik. Harapan Sorous agar agama mempengaruhi nilai-nilai dalam kehidupan bernegara sehingga membentuk corak demokrasi religius akan jatuh pada demokrasi sekuler. Karena Islam tidak menjadi dasar sekaligus hukum negara. Sifat demokrasi tergantung pada hukum agama yang dipakai negara dan keyakinan rakyatnya sebagai salah satu pemegang kedaulatan dan pelaku aktif demokrasi.
Olehkarena itu, demokrasi religius berbeda dengan demokrasi Islam menurut ulama. Islam dalam pandangan ulama adalah real dan agama itu sendiri, bukan jatuh pada pengetahuan agama yang relatif seperti kesimpulan Soroush.
Sementara dalam pandangan parenial, sifat spiritual yang dimaksud adalah esensi seluruh spiritualitas dalam agama maupun non agama (keabadian, kebenaran). Bingkai pemahamanya ada pada metafisika. Teori parenial tidak menghubungkan pandanganya pada kekuasaan dan politik. Jika ada masyarakat parenial maka corak demokrasi yang elevan adalaha demokrasi sekuler meski mengeklaim spiritual atau religius. Sementara definisi agama yang dimaksud Soroush, agama pada umumnya (generalis) tidak jauh beda dengan pandangan parenial tetapi diberlakukan pada kekuasaan, hasilnya tidak sinkron dengan definisi agama yang definitif, Islam.
Tanggapan Pemateri
Menanggapi komentar para penanggap tentang ketidakjelasan agama definitif dan sifat parenial dari Sorouh, pemateri tidak bergeming pada posisinya. Adi terus fokus pada pandangan Soroush soal pembagian agama dan pengetahuan agama sebagai titik pijak bangunan pikiranya. Dikatakan berulang ulang oleh Adi, agama itu mutlak, abadi, dan jangkauan pengetahuan agama oleh manusia selamanya terikat oleh ruang dan waktu. Hal ini seolah mengunci harga mati demokrasi religius yang ditawarkan Sorous, mau tidak mau semua agama harus sekuler, jika agama mau rekonsilasi dengan kekuasaan.
Kesimpulan
Setelah kurang lebih dua setengah jam, diskusi ditutup. Ada beberapa poin penting yang harus dijelaskan di awal oleh para pemikir demokrasi dan agama. Explanasi yang tegas, soal agama tertentu yang definitif dan implikasi generalisasi agama dalam kerangka membangun corak demokrasi.
Bagaimana menyingkronkan demokrasi agama definitif (Islam) dan sekuler dengan karakter masyarakatnya. Bagaimana, entah masyarakat sekuler atau masyarakat Islam sebagai pemilik salah satu kedaulatan negara menerima dengan sukarela pemikiran demokrasi yang ditawarkan.
Tidak kalah penting, mana yang menjadi subordinate agar terjadi rekonsiliasi, antara Islam atau demokrasi, hal ini tentunya tergantung pada derajat keyakinan pemikir, dan kerelaan serta persetujuan mayoritas rakyat.