FAP: Menggugat Pengetahuan Kant!!!

Imanuel Kant adalah salah satu filsuf barat yang berjasa besar melapangkan jalan peradaban modern. Filsafatnya menjadi saripati (jantung) seluruh peradaban barat, terutama perkembangan ilmu filsafat dan sosial. Salahsatu yang menarik dari filsafatnya adalah Filsafat Transendental. Filsafatnya berdiri teguh di kaki sendiri antara rasionalisme dan empirisme. Kant berambisi dengan semangat Kopernikanya menjadikan ilmu alam dan matematika sebagai fondasi filsafat transendentalnya dalam rangka menyelamatkan metafisika. Berhasilkan Kant menyelamatkan metafisika dengan cara memodifikasi dan menghidupkan kategori pengetahuan Aristoteles menjadi 12 kategori, plus ruang waktu untuk menjaring pengetahuan apriori dan aposteriori?. Seperti yang diakui Kant sendiri, filter pengetahuanya paling jauh hanya mencapai pengetahuan fenomena (penampakan), dan nomena (realitas apa adanya) tidak bisa di jerat. Bagaimana dengan nasib metafisika yang ingin diselamatkan Kant?.

Dimana letak kesalahan Kant?, bukankah dia seorang filsuf yang cermat dan pintar?. Sebagian kalangan arus minor, menganggap Kant telah memberi jantung peradaban modern melesat jauh, sekaligus memberi kerangka epistemologi material yang kokoh. Akibat telaknya bagi nasib agama memberi pengaruh cukup signifikan.

Pertama, keagungan Kristen sebagaimana yang dianut Kant berjalan makin menjauhi sains seiring dengan penemuan ilmu pengetahuan, agama (Kristen) dan sains berdiri sendiri, dan saling memberi legitimasi kebenaran masing-masing. Agama dan sains berjalan pada rel masing-masing. Dampak sosialnya, sekulerisme dengan rasio instrumentalnya yang berkembang di Barat makin berjaya, karena akar penopangnya: relatifisme, agnotisme, menjadi fondasi transisi revolusi industri menuju kapitalisme ekstrim.

Kedua, bagi Islam, sebagian kecil sudah menangkap kecurigaan pada Kant, bahwa filsafatnya bukanya menyelamatkan metafisika, tapi justru menyuburkan filsafat materialisme. Benarkah kekawatiran utama ini hanya tertuju pada Kant, atau ini hanya semacam ketidakcermatan dalam memahami filsafat Kant.

Untuk menjawab persoalan tersebut dengan objektif, redaksi Riset Sadra sengaja menggelar Forum Antar Pakar (FAP) 20/10/2016 mengundang pakar Kant, Dr. Fitzerald Kennedy Sitorus untuk berbagi wawasan tentang Filsafat Kant. Beliau menyelesaikan disertasinya tentang Filsafat Kant di Universitas Frankfurt Jerman. Kemudian sebagai penanggap, kami menghadirkan Dr. Husain Heriyanto, dosen Filsafat Sains untuk memberikan catatan kritisnya.

Diskusi

Sihabudin, moderator diskusi membuka dengan statemen dingin. Suaranya pelan dan pasti, rambut ikalnya menambah kedahsatan magrib yang merangkak 20/12/2016. Kant berdiri kokoh dengan Filsafat Transendentalnya, diantara rasionalisme dan empirisme. Kant berbicara, bagaimana pengetahuan itu mungkin. Itulah pengantar singat moderator, selanjutnya Sihab mempersilahkan pemateri berbicara.

Dr. Fitzerald Kennedy Sitorus, lulus S2, S3 di Universitas Franfurt, Jerman. Membuka diskusi dengan sapaan akrab, “Saya senang diskusi dengan kawan kawan Islam, baik di Paramadina dan UIN Ciputat. Juga sekarang di Sadra”.

Saya akan berusaha berbicara fokus pada pemikiranya. Gaya hidup Kant sangat mekanis, disiplin, penduduk Konik menyebut Kant seperti jam. Menurut hemat Sitorus, kita seringkali salah dalam memahami bahwa Imanuel Kant berbicara epistemologi (proses terjadinya pengetahuan). Tidak, kata Sitorus, Kant bicara tentang syarat-syarat kemungkinan memperoleh pengetahuan (Filsafat Transendental).

Kalau proses terjadinya pengetahuan itu masuk epistemologi, kalau meneliti syarat-syarat itu masuk Filsafat Transendental. Sedangkan objek Filsafat Transendental adalah struktur apriori, apa yang ada di kepala kita yang memungkinkan pengetahuan. Pertanyaan Filsafat Transendental adalah, mengandaikan pengetahuan sudah ada. Transenden disini maksudnya melampaui pengetahuan inderawi, seperti Tuhan tidak terindera, maka masuk kategori ini.
Mengapa Kant meneliti?, pertama Kant mengigingkan agar metafisika menjadi ilmu sebagaimana ilmu alam. Seperti kita ketahui, tahun 1700 ilmu pengetahuan alam sungguh-sungguh menjadi ilmu, tetapi metafisika selalu menjadi perdebatan tanpa akhir, sedangkan Matematika dan ilmu alam dapat maju dan konstan.

Kant berusaha bagaimana metafisika menjadi mungkin sebagai ilmu pengetahuan alam? Pertanyaan itu kemudian direformulasi, hanya bisa dijawab setelah kemungkinan ilmu pengetahuan dapat terjawab bahwa, ilmu pengetahuan itu umum dan niscaya, seperti hukum grafitasi.

Kemudian pertanyaan ini bisa dijawab setelah menjawab putusan-putusan sintesis apriori yang mungkin direformulasi. Apa putusan sintesis apriori?, ada dua, pertama, putusan analitis-sifatnya tidak menambah ilmu baru, seperti “bujangan itu orang yang belum menikah”-sintesis, tidak menambah pengetahuan baru. Sedang, pertanyaan rungan ini dingin, bisa menambah ilmu- sifatnya aposteriori (memperluas pengalaman), tapi pernyataan ini tidak pernah umum dan niscaya.

Sementara dalam sintesis apriori- misalnya pernyataan “setiap kejadian ada penyebabnya”, dari mana muncul pikiran tersebut, tentu dari pikiran kita bukan pengalaman. Olehkarena itu perlu meneliti seluruh strutur-struktur apriori dalam subjek. Analoginya seperti ketika ada rumah, dicari syarat-syarat terjadinya rumah bukan proses terjadinya rumah.

Apa saja struktur yang ada dikepala kita, Sitorus menerangkan: pertama konsep ruang dan waktu. Karena dalam diri kita telah selalu ada struktur apriori yang memungkinkan pengetahuan, maka objek yang kita kenal bukan sebagaimana objek itu sendiri. Analoginya ketika menggunakan kaca mata hitam, maka objek jadi hitam. Sehingga ruang dan waktu ada di dalam kepala kita.

Kedua, 12 kategori transendental. Setiap benda melibatkan fungsi pikiran kita bekerja seperti itu, benda sebagai fenomena bukan benda pada dirinya sendiri (nomena). Karena ada instansi tertinggi yang disebut ego transendental yang merangkum semua itu, maka ego transendental tidak bisa menjadi objek pengetahuan, karena syarat-syarat pengetahuan tidak bisa menjadi objek pengetahuan. Dia adalah X, kita harus andaikan ada. Dalam perkembangan setelahnya, Fichte, Schelling dan Hegel kemudian memberi status metafisis pada X itu. Fichte mengatakan itu sebagai ego absolut, atau Hegel mengatakan sebagai roh abolut.

Selanjutnya Sihab (moderator) mempersilahkan pemateri kedua Dr. Husein Heriyanto memberi komentarnya. “Kantian di UI dan Driyarkarya luar biasa, tapi sebagian juga mengkritik, seperti Romo Frank Magnis yang mengatakan bahwa Kant telah membunuh teologi. Kant sangat terpesona oleh scentific revolution, (revolusi kopernikan) yang di gagas oleh Galileo, Copernikus dan berpuncak Isac Newton, bahkan dia menyebut terjadi revolusi Kopernican. Kalau orang sebelumnya fokus subjek mengarah objek, maka sekarang mengarah pada subjek. Dalam buku Kant Live and Thought karya Ern Cesirer, Kant sangat terpesona teori geosentris, meskipun pada awal abad 21 sudah usang sejak di temukan teori relatifitas dan teori kuantum.

Proyek Cogito Ergosum Decartes-mengarah pada subjek, keraguan pada tindakan berpikir. Proyek Cartesian ini kemudian diteruskan oleh Kant.

Seorang komentator, ahli logika Frege mengkritik pengertian prinsip sintesis apriori. Dalam kontek ini, Kant mendambakan ilmu matematika, karena sifat universal apriori tanpa pengalaman. Bayangkan orang dapat nobel nggak pergi kemana-mana, hanya butuh kertas untuk mengartikulasikan gagasanya, lab nya ada dipikiran. Terang Husain.

Kant berdiri di dua kaki, rasionalis dan empirisme-Kant tergoda dengan David Hume bahwa segala sesuatu tidak ada subtansi, tapi tidak bisa menampik kemajuan ilmu pengetahuan, karena bagaimana mungkin ada kemajuan ilmu pengetahuan kalau tidak ada pengetahuan.

Pada era hidup Kant, ilmu alam, terutama Newton lagi boom, tapi menurut Husain Kant kurang jeli dalam melihat geometri dan aljabar- ruang dan waktu.
Kant sepenuhnya menganut geometeri Euclide. Geometri dan Aljabar dalam kontek ruang dan waktu, dia merujuk geometri (ruang) Ecluide, ruang dan bilangan. Menurut Frict, seperti dikatakan Kant sendiri tentang bilangan, benarkah terjadi sintesis?, 5 +7 =12 , karena hasil 12 bisa berasal dari 11+1, 9+3, akar 144, 15-3, apa betul itu semua sintesis?.
Analisis sintesis tidak jelas menurut Frict, karena 5+7 sudah termasuk 12, bukan sintesis, kalau analitis menjadi sesuatu yang mungkin menjadi pengetahuan.

Menurut Quine, seorang filsuf analitik, analitis juga bergradasi, seperti kata-kata, “no unmarried is maried” (analitik logis), bisa juga “no bachelor is married” (perlu medan semantik),…ketika perlu medan semantik, perlu makna sebuah definis kata.Tegas Husain.

Husain mencontohkan lagi, bahwa air memiliki oksigen setelah abad 19 termasuk analitis atau sintesis? Bagi orang kimia, analitik bukan sintetik, karena air adalah senyawa yang terdiri molekul hidrogen dan oksigen. Sehingga dikotomi, analisis sintesis (sesuatu yang baru), dan analitis sebagai kritieria dasar pengetahuan menjadi problem.

Kritik terhadap Kant juga dari Franz Brader-seorang Jerman asli, satu zaman dengan Imanuel Kant, akan tetapi baru sekarang baru diketahui sebagai filsuf besar karena waktu itu tidak menjadi meinstreim. Filsuf ini mengkritik bahwa terjadi kontradiksi dalam Filsafat Kant. Kant bilang kategori akal tidak bisa mengakses pengetahuan sebagaimana apa adanya, sedang pengetahuan sintesis apriori sebagai dasar ultimate structure? Pertanyaanya, kategori apriori ini as it is? atau hanya appearance (penampakan)?,…

Kata Franz Barder, pernyataan itu sebuah pengetahuan atau bukan?, bukankah setidaknya that it is, itu sebuah pengetahuan, meskipun belum mencapai what it is?, tapi what it is itu juga pengetahuan.

Kemudian Husain melihat dari sisi Filsafat Sains. Kant mencoba menjelaskan pengetahuan saintifik Newton. Dengan asumsi kosmologi ruang dan waktu Newton pada zaman itu statis. Seandainya Kant membaca ruang dan waktu Einstein, otomatis berubah lagi, karena waktu adalah dimensi keempat dari ruang. Bukan ruang (R) dan waktu (W) tapi R/W,..T=0, kita tak bisa membahas ruang tanpa waktu begitu juga sebaliknya.

Kemudian oleh moderator, Sihab, menyimpulkan pernyataan Husain menjadi dua hal. Pertama bagaimana pembedaan Sintetis dan Analitis, seperti dalam kasus air dan oksigen. Kedua, terjadi self kontradiction dalam soal “nomena” yang tidak bisa dijangkau dengan kategori pengetahuan, dimana sebenarnya pada dasarnya Kant sedang menjadikan kategori sebagai ultimate. \Selanjutnya setelah dua pemateri selesai bicara, dilanjutnya sesi diskusi. Seorang peserta menanyakan Sitorus-apakah Filsafat Transendental itu sebuah ontologi ?, kemudian klarifikasi lebih lanjut istilah Verstand, intuisi.

Sitorus menjawab, Kant menyatakan, being is not rel predicate, jadi being dan eksistensi itu berbeda, being bukan predikat sesungguhnya, bisa saja itu konsep. Sebagai contoh, dalam kontek pembuktikan ontologis tentang Tuhan, dinyatakan Tuhan itu ada, bisa saja ada tapi dalam pikiran. Jika dinyatakan being itu ada maka bukan pada wilayah pengetahuan.
Beberapa istilah Kant susah kita cari padananya seprti Verstand, diterjemahkan dalam bahasa Inggris understanding, dalam bahasa Indonesia pemahaman, tapi saya lebih cenderung menterjemahkan pikiran, artinya berpikir cara Imanuel Kant artinya, mensintesiskan 12 kategori pengetahuan.

Sedang pengertian intuisi, ketika objek muncul kita resepsi itu disebut intuisi, setelah itu di olah 12 kategori itu maka disebut presepsi. Kemudian untuk menjawab apakah struktur apriori itu ultimate, as it is, nampak atau sesuatu itu sendiri. Sitorus menjelaskan, struktur apriori itu transendental, kita tidak bisa menentukan sebagai objek pengetahuan, dia harus ada sebagai syarat pengetahuan. Jadi, kategori itu tidak bisa jadi objek pengetahuan karena sebagai syarat yang memungkinkan pengetahuan. Itu harus diterima secara transendental, harus ada kategori transendental, dia harus diterima sebagai syarat pengetahuan, jika tidak diterima maka pengetahuan juga tidak ada.

Kemudian Husain memberi komentar lebih luas tentang Kant. Dikatakanya, Kant adalah seorang filsuf besar dalam kontek Filsafat Modern, baik pro dan kontra. Tanpa mengetahui Filsafat Kant, maka jantung (saripati) peradaban modern tidak bisa kita temukan.

Dalam kontek kebelakang, Kant sebenarnya memberikan legitimasi bagi Newtonian dan pada saat yang sama menutupi skeptisisme Hume, olehkarena itu Kant menciptakan kategori pengetahuan. Pengaruh Kant diakui Husian sangat besar termasuk pada perkembangan ilmu sosial.

Menurut Husain, meski masih hipotetis, pembagian ilmu menjadi dua; alam dan ilmu sosial- salah fatal secara kategoris, karena kalau mau dipadankan seharusnya ilmu alam dan manusia, karena sosial hanyalah salah satu dimensi kemanusiaan.

Memang ada gejala kata Husain, kalau kita mempelajari manusia memang susah (aspek kualitas) sedangkan ilmu sosial menjadi mudah karena aspek kuantitatifnya. Dalam kontek figur politik misalnya, presepsi publik di kuantifikasi dengan angka, meski bisa benar dan salah, ilmu sosial tidak bisa menyentuh aspek kualitatif. Inilah problem besar bagi ilmu sosial karena lupa pada aspek kualitatif.

Olehkarena itu dalam kontek ilmu sosiologi yang masuk kategori ilmu budaya, telah kehilangan aspek pengertian mendalam tentang aspek kualitatif manusia. Kritik Husain selanjutnya, apa betul konsep pikiran tidak berkoresponden dengan objek. Husain mencohkan, filsuf muslim Al-Biruni pada abad ke 11, yang sering berkorespondensi dengan Ibu Sina, menyatakan telah menghitung bumi dengan aljabar, trigonometri segitiga, dan hasilnya 99.6 %, ternyata hasilnya meleset sedikit. Seandainya trigonometri hanya di kepala, maka tidak mugkin bisa menghitung keliling bumi?, artinya hitungan itu struktur objektif, bukan hanya kategori apriori. Diskusi masih menyisakan beberapa pertanyaan yang belum terjawab oleh kedua pembicara. Filsafat Kant memang berjasa bagi perkembangan filsafat Barat modern, tapi sekaligus menyisakan catatan serius terutama karena gagalnya “nomena” ditangkap oleh akal manusia, apalagi bagi proses rekonsiliasi agama dan filsafat karena terancam saling berdiri sendiri, saling menjauh dan saling mengisolasi. (ma’ruf)

 

Share your thoughts