FAP: Post-Sekulerisme, Tantangan dan Peluang Agama
Usia dunia profan dan sakral mungkin sudah ada sejak manusia terlahir kedunia. Namun sebagai konsep yang matang dan rumit, di barat dimulai sejak abad pencerahan, bersamaan dengan kepercayaan akan kedewasaan akalnya dalam mengurus semua urusan dunia.
Kristen berhasil dan mulus tersekulerkan sejak abad pertengahan hingga abad modern. Namun di Eropa kontemporer Islam masuk terutama di jantung Eropa membawa sebuah pertanyaan- akankah Islam mengalami nasib yang sama dengan Kristen yang terlebih dulu tersekulerkan oleh modernitas. Bagaimana peluang dan tantangan relasi agama dan sekulerisme di era post sekulerisme.
Muncul beberapa masalah dalam sebuah diskusi “Post-Sekularisme, Tantangan dan Peluang Agama”. Pertama, fenomena arus pengungsi Suriah ke Eropa yang justru ditolak oleh negara-negara Muslim tapi malah diterima negara-negara sekuler–seolah mengafirmasi kebaikan kaum sekuler dibanding Islam. Kedua, tantangan kontemporer dinamika Islam di negara Eropa sebagai fenomena gagalnya prediksi bahwa agama sudah punah di ruang publik. Ketiga, kecurigaan kemunculnya Islam yang belum berhasil tersekulerkan akan berpotensi menimbulkan masalah di ruang publik. Keempat, akankah kesuksesan Sekularisme Kristen di Barat begitu saja bisa diadopsi oleh Islam. Kelima, bagaimana Kristen dan Islam berbicara tentang Sekulerisme dan post-Sekulerisme.
Post sekulerisme diandaikan sebagai perjalanan setelah sekulerisme. Bagaimana sebenarnya relasi Kristen dan sekulerisme. Apa makna sekulerisme?. Bagaimana relasi Islam dan sekulerisme. Dapatkah Islam dibaca dengan prespektif sekulerisme, sebagaimana kesuksesan Kristen yang terlebih dulu tersekulerkan.
Seluruh pertanyaan tersebut mencoba dijawab dalam program Forum Antar Pakar (FAP) Riset STFI Sadra, senen 24/10/2016 di STF Driyakarya. Hadir sebagai pembicara Dr. Budi Hardiman (STF Driyarkarya), dan Ammar Fauzi, Ph.D (Riset STFI Sadra)
Dr. Budi Hardiman (STF Driyarkarya), sebagai pembicara pertama memaparkan tentang fenomena sekulerisme di Eropa dan relasinya dengan Kristen. Dikatakanya, tahuan 2015, di himpunlah sebuah buku di Jerman berisi diskusi-diskusi seputar tema post sekulerisme. Buku tersebut berisi wacana diskusi filsafat dan sekulerisme. Isu kontemporer yang diangkat diantaranya, serangan teror atas nama agama-dimana Islam distigmasisasi sebagai aktor. Juga disinggung tentang fenomena banjir pengungsi Suriah di Eropa.
Fenomena relasi agama Kristen dan sekularisme menurut Budi sudah lama terjadi di Eropa, hingga muncul anggapan bahwa agama pada abad modern dianggap tidak relevan untuk persoalan publik. Jikapun terdapat teologi dalam Kristen, tentu teologi yang sudah menyesuaiakan diri dengan dunia modern.
Masyarakat Eropa juga telah mengalami konflik (perang) selama 30 tahun-antara Kristen dan Protestan. Kemudian diselesaikan dengan perjanjian Westphalia (sekularisasi). Namun sekarang Islam hadir dan bersentuhan langsung dengan Eropa di masa post sekulerisme.
Istilah post sekulerisme, menurut Budi sudah pernah ada sebelumnya-tapi menjadi populer setelah Habermas. Fenomena ini terlihat sebagai gejala yang terjadi di Eropa, baik di arena intelektual dan sosial- menguatnya kembali agama dalam kehidupan publik.
Tesis sekularisasi mengatakan, bahwa melalui rasionalisasi dan teknologi, peran ilmu pengetahuan (rasionalitas) lebih dominan dalam masyarakat. Agama mengalami desakralisasi atau sekularisasi. Agama menjadi punah dalam sistem pengetahaun masyarakat. Agama tidak up to date. Ditandai oleh keengganan orang-orang tidak mau ke gereja, dan kenyataan tumbuhnya kaum atheis yang shaleh di Eropa.
Tesis ini pernah di dukung oleh Berger, juga kaum yang beraliran Materialis Marxis serta kaum rasionalis Barat. Namun pada abad 21 sekarang, secara sosiologis, ternyata tesis ini justru gugur, agama makin menguat. Kristen di Cina menguat, di Amerika latin juga menguat. di AS, Islam juga menguat. Bisa dikatakan, sulit menyatakan bahwa masyarakat sama sekali bebas dari agama.
Untuk dapat memahami sekularisme dengan baik. Budi mengacu pada enam pengertian beserta contoh kontradiksi di dalamnya.
Pertama, sekulerisme dimaknai sebagai pengosongan wilayah sosial dari hal-hal yang religius (sekularitas publik).
Akan tetapi faktanya terjadi fenomena, menguatnya kembali peran agama sejak 9/11, kemudian adanya anggapan asal usul konsep modern berasal dari agama. Dengana kata lain, apa yang dimaksud sekularisme itu adalah Kristen.
Kedua, sekularisme artinya menghilangkan hal yang imanen dari praktek religius (Sosiologis). Tapi faktanya, dunia sakral kembali muncul. Banyak pemimpin berasal dari agama. Sehingga yang terjadi gabungan antara sekuler sekaligus religius.
Ketiga, sekulerisme dipahamai sebagai, kondisi-kondisi tehnis dimana, kepercayaan pada Allah hanya salah satu saja (immanent frame)-teologis.
Keempat, sekulerisme dipahami sebagai hal yang netral, sekulum, orientasi pada waktu normal. Konsep waktu-berorientasi pada waktu normal (filosofis). Faktanya, terjadi religius term dalam filsafat. Sehinggga muncul minat kembali pada agama. Terjadi pendekatan agama secara fenomenologi (Iman yang melampaui iman).
Kelima, sekulerisme bermakna politis. Artinya melacak kaitan sistem hukum modern (dimana asal-usul Kristiani sangat kuat) dengan term religius. Sebagai contoh, paham demokrasi tidak bisa lepas dari konsep chauvinisme. Calt smith mengatakan bahwa dalam teori modern terdapat pre-teologi tertentu. Sekurang-kurangnya deisme.
Keenam, sekularitas geneologis. Mencari batas antara yang sekular dan religius, antara publik vs privat. Talal Aat menganggap terjadi dominasi biner khas pendekatan barat. Sekularisme dilihat sebagai hegemoni.
Menurut Budi, banyak fenomena post sekulerisme membuat tantangan tersendiri terhadap agama untuk meresponya. Dimensi metafisika agama tetap tidak akan kehilangan pesonanya. Banyak kaum atheis tetap meminta dibuatkan acara pemakaman untuk agama tertentu. Inilah contoh situasi keterbatasan yang bersifat antroposentris.
Postsekularisme menurut Budi membawa tantangan bagi pihak agama. Pertama, meski susah-agama ditantang untuk berlaku universal dan lentur-tapi hal demikian sulit karena agama bersifat narsis. Agama di tantang untuk menerima universal nilai.
Kedua, agama ditantang untuk sakral di tempat lain, sehingga mencegah intrumentalisme agama untuk kuasa politik. Fenomena ini sebenarnya proses yang sudah lama di Kristen. Tapi kalau agama belum mengalami sekularisasi –maka agama mudah dipakai untuk tujuan-tujuan politik (dimanipulasi). Agama ditantang untuk tidak mencampur adukan dengan naluri kuasa
Ketiga, agama ditantang untuk mengembangkan teologi-teologi yang lebih kompatebel untuk masyarakat majemuk.
Keempat, meskipun tidak mencampuri dalam sistem politik, agama berpeluang untuk terlibat dalam deregulasi publik. Misalnya kasus pelarangan burka, yang justru malah menjadi isu publik
Kelima, agama di tantang lebih kosmopolitan, moderat dan menghargai HAM.
Keenam, agama makin tertantang menjadi bentuk agama baru (esoterisme, gerakan-gerakan new age, Kristelam (Kristen-Islam )
Dr. Budi pada akhirnya mengakui, apakah pola-pola pemetaan ini bisa membantu memahami relasi bentuk agama dan politik di Indonesia. Uniknya di Indonesia, agama sudah lama menjadi elemen membangun nasionalisme, kebangsaan, dan kemajemukan. Sehingga membicarakan sekulerisme di Indonesia seolah seperti membawa problem Eropa ke Indonesia. Tapi yang jelas, ditekankan Budi-kearifan Post sekularisme yang terjadi di Eropa bisa kita pelajari untuk membangun di Indonesia- apakah itu bernama Pancasila atau Islam Nusantara, atau kerukunan umat beragama.
Ammar Fauzi, Ph.D
Pembicara kedua, Ammar Fauzi, Ph.D, melihat dari sisi prespektif Islam dalam melihat sekulerisme sejauh yang bisa dipahaminya. Dikatakanya, agama itu sendiri sudah rumit, apalagi jika direlasikan dengan post sekularisme, tapi Dr. Budi membantu kita.
Apakah mungkin melihat relasi agama (Islam) dan Sekulerisme. Mengingat dalam Filsafat Agama sendiri-terdapat lebih dari 100 definisi lebih banyak dibandingkan definisi terorisme dimana kita tidak tahu ujungnya sampai dimana. Saya tidak berani menggenarilis semua agama memiliki repon yang sama terhadap sekulerisme. Apakah Islam seperti halnya Kristen mengalami fase, sekulerisme, post sekulerisme bahkan ultra sekulerisme. Saya ragu apakah agama Islam yang saya alami mengalami fase tersebut.
Berkenaan dengan Sekulerisme, Ammar mengutip dalam buku Leviathan, bab 2 dan 3 karya Thomas Hobbes-abad 17. Terdapat tiga pola bentuk agama dan politik.
Pertama, satu bentuk menformalisasi kebijakan-kebijakan pemerintah, yakni agen agamawan menjadi aktor meformalkan kebijakan publik. Sebagai contoh di Indonesia, MUI memiliki otoritas legalisasi halal/haram baik produk dari dalam dan luar, sedang pemerintah tidak campur tangan. Terlepas dari aspek baik atau buruknya.
Kedua, menempatkan agama sebagai alat, misalnya untuk menanamkan patriotisme. Biasanya pemerintah menggandeng ulama, padahal dalam konstitusi tidak ada.
Ketiga, aspek hermeneutik agama, yaitu demokratisasi teks. Siapapun bisa menafsirkan teks sehingga akan timbul banyak penafsiran. Sebagai contoh, penafsiran surat Al-Maidah, bahkan di luar orang Islam bisa menafsirkan.
Menurut Ammar, agama tidak hanya memiliki dimensi teori tapi juga pengalaman. Islam menekankan adanya pengetahuan sebelum beriman. Sedang Kristen beriman dulu baru mengetahui. Oleh karena itu jangkauan relasi agama dan sekulerisme tergantung definisi kita agama itu apa?. Sebagai ilustrasi, Ammar memberi contoh bagaimana Driyarkarya sangat tepat menerjemahkan kata “being” di antara ada, adaan, eksistensi dan pengada, maka yang dipilih pengada. Terjemahan “Pengada” mengandaikan pre pengetahuan serta pengalaman mengalami ada atau being (existence) sebagaimana tafsir Heidegger.
Begitu juga bila kita menerjemahkan suatu agama. Akan lebih tepat dan dekat bila dipakai kata “pengagama”, agar agama yang kita bicarakan sedekat mungkin dengan pengalaman kita. Agama tidak berubah, selama kita tidak terlibat aktif. Dalam Islam, ada quran natiq (bicara), ada quran somiq (diam). Jika merujuk pada pola ketiga Hobbes, maka masing-masing individu memilik hujjah (argumen) bagi diri sendiri dalam menafsirkan agama-sehingga bahanya terjadi chaos, karena semua berhak, sederajat bisa menafsirkan.
Ammar berpendapat, Islam tidak masuk dalam post sekularisme karena Islam itu sendiri tidak tertampung dalam sekularisme. Dalam sebuah hadis yang cukup terkenal “Dunia ini adalah ladang akherat”. Dalam pengertian agama, didefinisikan sebagai mazra’ah (ladang) untuk akherat. Ladang tidak terpisah dari hidup kita, kalau ada ladang yang terpisah, maka itu bukan ladang. Maka kapan saja satu ladang untuk diri kita sendiri, maka dunia ini adalah menjadi bagian dari hidup kita sendiri.
Ammar juga melihat pertikaian Sosialisme dan Kapitalisme dikarenakan sempitnya definisi dunia. Keduanya menganggap kehidupan hanya di dunia ini saja. Energi alam sama-sama dianggap sebagai sumber terbatas. Hanya cara memperlakukan saja yang berbeda. Kalau Sosialisme menganggap, bagaimana benih padi dalam satu piring bisa kebagian semua. Sedang Kapitalisme menganggap, siapa yang kuat dia yang menang. Kata Henry Kessinger, Timur Tengah sebagai jantungnya dunia, ini membuktikan pandangan dunia yang terbatas (dalam konteks potensi). Padahal sebenarnya dunia ini tidak terbatas. Sebagai contoh, kalau dikembangkan energi nuklir saja, justru makin tidak terbatas-kuncinya ada di SDM.
Oleh karenanya, terdapat hubungan dunia dan akherat, kita harus mengoptimalkan; kalau sekuler diartikan berarti zaman maka seorang muslim harus paling sekuler, karena paling berusaha mengoptimalkann dunia ini. Alam ini sebagai manifestasi Tuhan, sejarah bagai cermin. Seperti kata Iqbal, sejarah adalah bagaimana melihat rangkaian peristiwa ini, untuk memprediksi masa depan. Sejarah adalah obor masa depan.
Oleh karenanya Islam tidak terdefinisikan dalam post sekularisme. Bahkan menurut Herbert Marcuse, sekulerisme dapat menanamkan absolutisme
Selanjutnya, Ammar mengajak mengingat kembali ajaran Socrates, kenali diri kita. Akan tetapi seringkali terjadi paradoks, antara iman dan ilmu. Dengan demikian, “diri” dibagi dua, “diri” kita pribadi dan “diri sosial” yang dapat mengantarkan pada Tuhan.
Kemudian terakhir Ammar memberi makna positif sekulerisme sebagai alat dan tahap penyempurnaan diri manusia. Ijtihad diperlukan bagi manusia untuk bisa menyeberang fakta, berita, ruang dan waktu sehingga bisa mengambil pelajaran. Di dalamnya terjadi dialektika antara yang profan dan sakral, sekuler dan religius, absolut dan relatif, yang tetap dan berubah, rekonstruksi dan dekonstruksi.
Oleh karenanya, menurut Ammar, orang banyak salah paham mengenai Islam. Padahal Islam itu datang untuk melengkapi, menyempurnakan apa yang sudah ada; Ada hukum ta’sisi (penetapan hukum baru) dan imdha’i (pengesahan hukum yang sudah ada) tujuan Islam adalah mendapatkan hidayah. Sehingga relasi Islam dengan agama yang lain sangat indah, seperti kata Imam Ali kepada Malik Astar yang di kutip PBB, “ Perlakukan rakyatmu sebagaimana saudaramu seiman atau jika bukan Islam, saudara satuciptaan”.
Sebagai penutup Ammar memberi penekanan kembali bahwa sekulerisme harus dibaca dengan Islam bukan sebaliknya, sehingga sekulerisme adalah alat menuju penyempurnaan- baik “diri” individu dan sosial. Ammar tidak setuju sekulerisme sebagai pandangan hidup mendekte dan menafsirkan agama secara absolut, justru sekulerisme harus dibaca dengan Islam, karena Islam jangakauan cakrawala sebagai pandangan hidup lebih luas daripada sekulerisme. (ma’ruf)