FAP; Tantangan Filsafat Pendidikan di Indonesia

SALAH SATU tantangan dunia pendidikan di Indonesia adalah bagaimana memperkuat fondasi filsafatnya. Fondasi adalah bangunan yang menopang konten kurikulum dan tujuan akhir dari anak didik. Pendidikan yang diselenggarakan di bumi Indonesia semestinya selaras dengan ideologi Negara Pancasila. Berakar kepada agama karena secara faktual, dipraktekkan dalam kehidupan sehari hari, karena itu misi pendidikan Indonesia sebisa mungkin keluar dari misi pendidikan sekuler.

Bagaimana memahami tantangan Filsafat Pendidikan di Indonesia. Forum Antar Pakar (FAP) Riset Sadra bekerjasama  dengan Universitas PGRI Semarang menyelenggarakan Seminar bertema ” Tantangan Filsafat Pendidikan di era Kontemporer”. Hadir sebagai pembicara, Dr. Agus Sutono mewakili PGRI dan Ammar Fauzi, Ph.D dari Riset STFI Sadra. Kamis, 31/10/2019, jam 09.30-12.00 wib di kampus 4 PGRI Semarang .

Dalam pemaparanya Ammar menjelaskan pentingnya posisi dan kontribusi Filsafaf Islam dalam dunia pendidikan di Indonesia. Filsafat dikatakan Ammar bukan satu-satunya elemen, tetapi salah satu alat yang efektif  bisa berkolaborasi dengan elemen lain. Filsafat ibarat kepala, pendidikan tanpa filsafat seperti orang berjalan tanpa kepala. Tapi kepala berjalan juga perlu kaki yakni ilmu-ilmu terapan yang lain.

Dalam dunia pendidikan versi Islam, relasi murid dan guru menjadi penting dan bisa bertukar tempat. Murid bisa menjadi guru dengan bidang keahlian yang berbeda, jadi intinya saling belajar. Etika dalam Islam membina sedemikian rupa sehingga kita berdosa jika kita merasa memberi ilmu, merasa memiliki ilmu. Dalam riwayat disebutkan “Aku diberi ilmu kecuali sedikit”. Sumber ilmu bisa berasal dari alam, guru dan Tuhan itu sendiri.

Kata ilm memiliki bentuk jamak ‘ulum, alim (orang berilmu); tidak saja memilik konten pengetahuan tetapi berperilaku sebagai orang alim. Akan tetapi dalam tradisi sekuler, science tidak memiliki bentuk plural, dan memiliki muatan motif yang berbeda, semata duniawi. Tujan dari pendidikan di Indonesia adalah mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan pembukaan UUD 1945, dengan sila 5, keadilan sosial sebagai alat. Ammar berpendapat keadilan adalah alat mencapai kebahagiaan bukan sebagai tujuan.

Sosialisasi filsafat menjadi penting di Indonesia karena sebagian masih menolak. Padahal sejatinya bagi seorang muslim, filsafat mampu memperkokoh iman, dan membangun kekuatan argumentasi dalam beragama dan memperkuat fondasi dunia pendidikan. Olehkarena itu posisi Filsafat Islam menjadi penting untuk berkontribusi dalam dunia Pendidikan.

Pendidikan di Indonesia adalah kombinasi unsur-unsur tradisi, agama dan ideologi Negara. Ketiganya memberi karakter bagi pembentukan Filsafat Pendidikan di Indonesia. Dalam budaya jawa, dikenal dengan martabat tujuh (tangga-tangga alam spiritual). Kata kayu berasal dari bahasa arab, alhayyu, salah satu nama Tuhan. Artinya tujuan dari Filsafat Pendidikan di Indonesia bisa mengadopsi kazanah Indonesia, yakni dalam tradisi tasawuf jawa menjadi seperti Tuhan, bukan menjadi Tuhan beneran dan selamanya memang tidak bisa, artinya  menyerap nama-nama Tuhan. Menyerap nama-nama Tuhan agar menjadi manusia utuh, manusia sempurna (Insan Kamil), itulah tujuan pendidikan di Indonesia.

   

Karakter Dasar Filsafat Islam

Lebih lanjut Ammar menjelaskan bahwa karakter dasar Filsafat Islam dapat menjadi identitas Filsafat Islam. Filsafat Islam memiliki tiga elemen; filsafat, Islam dan tradisi. Kegiatan penelitian Filsafat, terdiri pencarian makna leksikologis, etimologis, fenomen.  Islam memiliki elemen metodologis dan fenomenologis. Sementara  itu dilihat dari sisi relasi subjeknya, terdiri dari  a. Prinsip Ada, b. Prinsip tahu, c. Prinsip Prilaku. Ketiganya memiliki relasi metode. Memiliki dimensi intelektual, moral dan teknikal.

Dari sisi Intelektual,  terbagi menjadi dua, teoritis dan aplikatif. Teoretis terdiri dari elemen realisme, metafisika, teologi, rasionalisme, fundasionalisme dan prespektivisme. Sementara aplikatif,  berorientasi wahyu, irfan, etika, hukum, politik, interdisiplin.

Dari sisi moral, terdiri dari elemen cinta, fanatisme-radikal, substantif-fundamental, universal, holistik, akomodatif dan tanggung jawab. Sedangkan dari sisi teknikal, terdiri dari  dalektik, dan memiiki SOP Penelitian. Diantaranya dialogis, variatif, kreatif, spiral dan konjungtif.

Tantangan Fislafat Pendidikan Kontemporer

Secara filosofis menurut Ammar, dunia pendidikan mengahadapi berbagai tantangan. Diantaranya fenomena positivisme, pragmatisme dan relatifisme. Dari sisi etis, tantanganya dalam dari aspek nilai-nilai dan budaya. Dari sisi politis, menghadapi fenomena monolopoli (anti demokrasi), embargo (anti kebebasan). Dari sisi hukum menghadapi fenomena pembatasan penelitian pada kasus tertentu seperti holocous dan inkuisisi.

Anggaran juga menjadi persoalan. Dari mana anggaran berasal, dengan  apa digerakkan dan kita berada dimana.

Dunia pendidikan juga menghadapi tantangan berupa globalisasi sebagai proses yang alamiah, non final dan objektif. Globalisasi artinya juga sebagai proyek karena diupayakan mansia, dijadikan agenda manusia, bersifat final dan objektif.

Proses globalisasi juga terjadi alamiah, artinya proses perubahan itu diarahkan menuju tujuan pendidikan yakni kesempurnaan manusia sesuai dengan fitrahnya, tetapi terkadang tejadi konflik, pembedaan, pembiaran dan pengecualian. Seperti prediksi Giddes (1998), ketika terjadi pembedaan dan marginalisasi.

Globalisasi berlangsung sebagai proses sekaligus proyek melalui media sains, teknologi, kemudian ditandai dengan percepatan waktu, perluasan ruang dan pendalaman.

Dr. Agus Sutono; Pendidikan Berbasis Kultural

Sementara itu Dr. Agus Sutono dengan judul presentasi “Kontektualisasi Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dalam Filsafat Pendidikan Kontemporer.” memaparkan pentingya filsafat pendidikan berbasis tradisi.

Agus menjelaskan latar belakang masalah pendidikan Indonesia yang masih berpegang kepada link and match (skema kapitalisme) yang hanya cocok untuk ilmu alam terapan bukan ilmu sosial sehingga memiliki dampak;

  1. Terjadi pergeseran pendidikan (proses pencerdasan manusia) menjadi komoditas
  2. Fokus pada penguasaan scientia. Mengarahkan ke hal yang bersifat pragmatis dan materialis, minus  semangat kebangsaan,  keadilan sosial, dan humanis sebagai warga negara
  3. Padahal sejatinya hakikat pendidikan, suatu usaha untuk menginternalisasikan nilai-nilai budaya ke dalam diri anak, sehingga anak menjadi manusia yang utuh jiwa dan rohaninya.

Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara menurut Agus layak untuk dikontektualisasikan dan masih relevan. Menurut Ki Hajar, pendidikan memilik tiga pusat (tripusat), yakni pendidikan keluarga, pendidikan dalam alam perguruan/sekolah; dan pendidikan dalam alam  masyarakat

Sejak dini Ki Hajar menganjurkan anak didik untuk belajar Tri No, yaitu  nonton (melihat), niteni (menandai) dan nirokke (mempraktekkan).

Nonton (cognitive) lebih bersifat pasif, menggunakan intrumen inderawi. Niteni (affective)  dengan cara menandai, mempelajari, mencermati apa yang diindera.Nirokke (psychomotoric) menirukan yang positif untuk bekal menghadapi perkembangan. Tiga konsep Pendidikan ini dimulai dari kelas Dasar dan Menengah dengan istilah lain Ngerti (memahi), Ngroso (merasakan) lan Nglakoni (mempraktekkan).

Model pendidikan ini dimaksudkan supaya anak tidak hanya dididik intelektualnya saja (cognitive), ‘ngerti’, melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (affective) serta nglakoni (psychomotoric).

Pada akhirnya anak didik akan mengerti dengan akalnya, memahami dengan perasaannya, dan dapat menjalankan  pengetahuan yang sudah didapat dalam kehidupan masyarakat.

Seorang pendidik harus memiliki sistem among (membimbing) dengan berjiwa kekeluargaan bersendikan:

  1. Kodrat alam sebagai syarat kemajuan, batas perkembangan potensi sesuai dengan progresivisme
  2. Kemerdekaan sebagai syarat menghidupkan dan menggerakkan potensi pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta bertindak merdeka sesuai dengan progresivisme

Pendidikan dimaknai sebagai usaha kebudayaan,  membangun prinsip kemajuan dalam kehidupan,  bagian dari kesenian yang diadopsi kedalam kurikulum

Pendidikan adalah salah satu usaha pokok untuk memberikan nilai-nilai kebatinan yang ada dalam hidup rakyat yang berkebudayaan kepada tiap-tiap turunan baru (penyerahan kultur), tidak hanya berupa “pemeliharaan” akan tetapi juga dengan maksud “memajukan” serta “memperkembangkan” kebudayaan, menuju ke arah keseluruhan hidup kemanusiaan .

Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan bangsa sendiri, diajarkan membuat pekerjaan tangan, misalnya: topi, wayang, bungkus ketupat, atau barang-barang hiasan dengan bahan dari rumput atau lidi, bunga dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar anak jangan sampai hidup terpisah dengan masyarakatnya.

Olah gendhing bagi sekolah Dasar dan Menengah dengan cara memperkuat dan memperdalam rasa kebangsaan, beorientasi keindahan dan keluhuran budi.

Hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah memasukkan kebudayaan ke dalam diri anak dan memasukkan anak ke dalam kebudayaan supaya anak menjadi makhluk yang insani.

Agus menutup presentasinya dengan mengatakan, kontribusi Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara terhadap pendidikan di Indonesia masih relevan untuk diaktualisasikan, baik dalam jalur formal dan nonformal. Munculnya model-model pendidikan pesantren modern yang sering dikenal dengan MBS (Modern Boarding School) adalah satu contoh. Seminar dihadiri sekitar 300 mahasisw/wi dan para dosen PGRI diakhiri sesi Tanya jawab.

Ditranskip oleh Muhammad Ma’ruf

 

Share your thoughts