Filsafat Menggugat
Oleh; Ammar Fauzi
Catatan Pembuka Buku “Menggugat Manusia dalam Konstitusi” karya Daniel Zuchron
Ghalibnya, kendati filsafat Islam kerap ditarik gugus kronologisnya dari nama Abu Ya’qub Al Kindi dan, selanjutnya, Abu Nashr Al Farabi, tonggak lahirnya mazhab pertama filsafat Islam dimulai dari Ibnu Sina, ditandai dengan konstruksi gagasan filosofis yang secara sistematis terdisiplinkan dalam karya monumentalnya, al-Syifa’. Sebagai bagian dari tradisi Yunani, tentu akan mudah dijumpai pengaruh dan bekas kasar filsafat Platonik, Aristotelian juga Neoplatonik dalam filsafat Ibnu Sina atau yang dikenal dengan al-Masysya’iyyah.
Selain al-Syifa’, Ibnu Sina menulis adikarya lain dalam kedokteran berjudul al-Qanun yang berarti ‘undang-undang’. Ini akan menarik bila dibandingkan dengan judul al-Syifa’ yang berarti ‘kesembuhan’. Sekilas, boleh jadi akan lebih tepat kalau saja dua judul ini ditukar balik. Al-Syifa’ dipilih sengan sepenuh kesadaran dan pengalaman wisdom Ibnu Sina untuk seluruh gagasan filsafatnya seolah ia hendak melempar kesan bahwa kesembuhan yang sesungguhnya, pada awal dan atau akhirnya, terletak pada pikiran dan bagaimana berpikir.
Al-Syifa’ merupakan karya yang tidak berlebihan bila disebut sebagai pelopor tradisi penyusunan ensiklopedia, menghimpun berbagai bidang ilmu teoretis juga praktis filsafat, mulai dari logika, fisika, geometrika, metafisika, juga psikosofika. Disebut filsafat karena, sebagai serapan dari tradisi Yunani, filsafat pada masa itu seidentik dengan ilmu pengetahuan hingga mencakup banyak bidang ilmu teoretis dan praktis. Namun, dari sekian ilmu-ilmu praktis, Ibnu Sina hanya memasukkan politik ke dalam adikaryanya ini dan diletakkan tepat setelah metafisika dalam pengertiannya yang paling abstrak, yaitu ontologi, ilmu tentang ada sebagai ada.
Tentu saja, politik dalam diskursus filosofis Ibnu Sina yang mentradisi selanjutnya dalam karya-karya filosof Muslim lebih terfokus pada isu-isu fundamental politik. Kekuasaan (al-imarah), negara (al-dawlah), undang-undang (al-qanun/al-syari‘ah), kedaulatan (al-hakimiyyah), keadilan (al-‘adalah), pemimpin (al-ra’is), rakyat (al-ra‘iyyah) sejumlah tema yang bahkan sudah dijumpai dalam karya-karya Al Farabi. Pada tema-tema seperti inilah akan tampak bagaimana para filosof Muslim Timur dan Barat, termasuk Ibn Rusyd, secara lugas menonjolkan keimanan dan pengaruh kepercayaan agama mereka dalam merumuskan pemecahan masalah.
Dalam tradisi keilmuan modern, tema-tema fundamental politik ini didisiplinkan di bawah papan nama “Filsafat Politik”. Kendati berada di ‘buntut’ filsafat Ibnu Sina, sejatinya justru cikal bakal filsafat, dalam pengertian apa pun sampai sekarang, dipicu oleh kepedulian kalangan filosof klasik terhadap tema-tema itu. Bagi filosof, politik dan penyelenggaraan negara serta penggunaan perangkat kekuasaan bukan semata-mata seni pengelolaan, tetapi berbasis sebelum segala sesuatunya pada pengetahuan dan pengalaman mengetahui realitas dan kebenaran. Sebagai kata gabungan dari cinta (philo) dan kebijaksanaan (sophia), filsafat dalam tradisinya cenderung mengarahkan masalah pada praktek yang berbasis pada pengetahuan. Berpolitik tanpa komitmen pada kebijaksanaan, realitas dan kebenaran hanya mengeksploitasi cinta menjadi nafsu, menurunkan derajat diri sendiri dari manusia ke tingkat binatang.
Karakter kefundamentalan filsafat dan berpikir filosofis perlu kesiapan yang tidak kecil untuk mau ‘menderita’. Selain menuntut kesabaran dan ketekunan, studi filsafat juga hanya mungkin ditempuh dengan keterbukaan dan kesiapan menggugat dan digugat. Dalam berfilsafat, tidak ada “harga mati”, tidak ada yang final, tidak ada ideologi yang benar-benar tertutup. Karena kesabaran itu pula, berpikir filosofis tidak memandang remeh sebatas permukaan gejala dan masalah. Aristoteles mengawali Metaphysics dengan naluri manusia yang serbaingin tahu. Filosof berarti ingin kebenaran, memiliki kebenaran, memperjuangkan kebenaran dan mempertahankan kebenaran. Satu-satunya harga mati dan final hanya kebenaran. Karena komitmen ini pula, tidak sedikit nama filosof yang dikenal sebagai martir.
Bagaimana mencapai kebenaran? Ingin benar dan kebenaran, kendati perlu, tidak cukup. Dengan kian canggihnya teknik, seni dan alat, upaya menggali kebenaran menjadi tugas dan tantangan besar, setidaknya dalam mengidentifikasi fakta dan berita, data dan opini. Karena itu, berpikir filosofis tidak berhenti di permukaan; filsafat menenggelamkan orang masuk menyelami kedalaman. Dan ini bukan monopoli kalangan filosof hingga terkesan eksklusif. Setiap orang cenderung tidak puas dengan apa yang tampak; ingin menjangkau fakta di balik peristiwa dan kebenaran di seberang berita. Manusia itu filosof, pasti punya cinta dan cinta kebenaran.
Dalam buku pertama filsafat politik, Republic, filosof didefinisikan dengan anjing bertuan karena kesamaan dua makhluk itu dalam mengambil keputusan, bersikap dan bertindak hanya berdasarkan pengetahuan. Bedanya, anjing diam dan menyalak sejauh yang tampak dari tamu yang datang, filosof berusaha menyeberang yang-tampak menjangkau dasar, batin, fundamental. Ia tidak berhenti sebelum sesuatu terbukti benar dan logis. Kemufakatan, popularitas, dogma, tradisi, keterlanjuran, dan takdir sejarah bukan pertimbangan awal menilai kebenaran; semua diupayakan untuk tunduk di bawah verifikasi argumentatif secara objektif. Untuk itu, jiwa filosof sulit diredam nyaman dan mulut dikunci hanya dengan teriakan “harga mati”. Dia cenderung menyoal segala sesuatu. Tidak sepenuhnya keliru atau dicurigai filsafat itu nakal. Kenakalannya tampak dalam keliarannya menggugat kemapanan dan konsensus. Berpikir filosofis sama kualitasnya dengan melaporkan perkara dan memperkarakan gejala. Maka, dalam penyelidikan filosofis terdapat keberanian untuk “menggali fakta” karena ingin dan cintanya pada kebenaran.
Amanah komitmen pada fakta dan mengungkap kebenaran hanyalah sepenggal jiwa filsafat. Dalam upaya memenuhi panggilan kebenaran, cinta dan ingin tidak cukup. Seperti anjing, filsafat setengah-setengah ini hanya melahirkan reaksionisme, ketergesa-gesaan dan, dalam banyak situasi, kepongahan dan kegegabahan yang terulang-ulang hingga kerap merusak diri sendiri sekaligus orang lain. Perlu wisdom dan kebijaksanaan; tanpanya, cinta itu tampil berbusana nafsu dan, seperti anjing yang tak lagi bertuan, liar hingga boleh jadi begitu buas membabi buta tanpa arah dan batas.
Tanpa kebijaksanaan, kebenaran dan ingin benar tidak berati apa-apa, kalau bukan malah menghancurkan kebenaran itu sendiri. Saking krusialnya, kebijaksanaan menentukan nasib dan takdir kebenaran. Uniknya, dalam tradisi filsafat Islam, filsafat lebih lazim dipadankan dengan al-hikmah daripada al-falsafah. Al-hikmah sepenuhnya sepadan dengan kebijaksanaan itu sendiri. Kedua-duanya tertuang eksplisit dalam sila keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kebijaksanaan berarti mempertimbangkan, bukan hanya kebenaran, tetapi juga asas maslahat dan kepentingan bersama. Di sinilah seni politik berkembang; bagaimana mengelola kemaslahatan tanpa menyurut komitmen pada kebenaran. Hasil perkalian kemaslahatan dan kebenaran ini sama dengan keadilan, yaitu menempatkan segala sesuatu pada porsi dan batasnya.
Keinginan menggugat kemufakatan dan maksud menggali fakta hanya relevan dengan arti sejati filsafat dan al-hikmah bila tidak melanggar porsi dan batasnya, termasuk ruang, waktu dan situasi. Dalam banyak kasus, para filosof kerap dilaporkan dalam riwayat hidup mereka mempublikasikan ajaran dan doktrin filosofis dengan pola alegoris dan bahasa metafor. Mereka melindungi kebenaran sejauh yang dijangkaunya bahkan dengan cara memendamnya hingga ikut menyatakan yang umum diterima di jamannya. Karena itu, bila sejarah filsafat dirintis dari filsafat politik, berfilsafat dan bernalar filosofis juga perlu ditempuh dengan politik filsafat, yakni seni menguasai diri dan nafsu membuktikan hingga mencapai kebenaran, meninjau fakta di balik berita, data di balik opini, dan makna di balik teks dalam kerangka maslahat dan kepentingan bersama.
Buku ini, Menggugat Manusia dalam Konstitusi, sebagaimana terbubuhkan di anak judul, sebuah kajian yang dapat dipastikan bernuansa teoretis. Kata filsafat turut menegaskan nuansa ini yang tampaknya diupayakan penulis dapat berkontribusi mendudukkan poros sistem hukum negara dalam kerangka kebijaksanaan yang selanjutnya berpengaruh dalam kebijakan. Pendekatan filsafat Islam, yakni Kebijaksanaan Utama (al-hikmah al-muta‘aliyah), ditempuh sebagai cermin kesungguhannya untuk memastikan posisi kebijaksanaan berada di atas kebijakan. Dengan fokus ‘manusia’, seolah penulis menyinggung agak kasar bahwa mendisposisi satu sama lain atau mengisi kebijaksanaaan dengan muatan kebijakan sama artinya menggolongkan manusia dalam habitat binatang. Dalam rangka ini pula ‘menggugat’ dapat dimengerti sebagai cara penulis meneguhkan dan atau meluruskan esensi manusia konstitusi, setidaknya manusia Indonesia pasca amandemen, sesuai dengan pijakan kebijaksanaan.
Meninjau dinamika ilmu-ilmu kefilsafatan di tanah air, buku ini rupa-rupanya hanya segoret dari kelangkaan relatif di bidang Filsafat Konstitusi. Fokus sorotnya pada manusia tidak menyusut arti kehadirannya dalam diskursus dan studi konsititusi. Seperti digawisbawahi oleh penulis, konstitusi tertulis sama dengan undang-undang dasar dan, karena ke-dasar-annya ini, ia sendiri sudah bersifat umum dan abstrak sehingga relevan kiranya ditelaah secara abstrak dengan alat ilmu filsafat yang juga abstrak.
Masyarakat manusia, bagaimanapun, punya kitab suci; jika bukan dari langit, diprakarsai di bumi. Kalau ada kitab suci manusia, itulah konstitusi tertulis dan undang-undang dasar. Karena kesucian inilah konstitusi akan diperlakukan terhormat sebagai referensi dan kerangka penentu arah serta pola hidup manusia berbangsa dan bernegara. Maka, manusia jantung konstitusi; menghilangkan kata manusia darinya akan membuatnya kehilangan napas. Tetapi, keberadaan ‘kata’ manusia dan kata-kata sederajatnya sepanjang konstitusi tidak juga jantung itu bekerja sehat bila tidak digizi oleh makna seutuhnya.
“Apakah manusia” barangkali masalah paling primitif sekaligus aktual; sudah terlampau banyak jawaban dan makna yang dikemukakan. Buku ini kiranya sejurus andil mengisi dan memperkaya makna manusia. Meski boleh jadi di beberapa tempat terasa belum tuntas, deskripsi langsung atau implikatif tentang manusia dalam konstitusi bisa membantu kita melihat betapa gambaran relatif detail tentang manusia Indonesia. Tidak ada alasan menguatirkan kata “menggugat”. Sekalipun gambaran manusia Indonesia itu, katakan saja, tampak buruk di cermin konsititusi, itu bukan referensi bijak untuk segera pecahkan cermin.