Filsafat Pendidikan Islami
Judul Buku : Filsafat Pendidikan Islami
Penulis : Prof. Ahmad Tafsir
Penerbit : Rosda Karya
Cetakan ke : 6, 2014
Halaman : 342 halaman
Resensi oleh : Nurhasanah Munir
Filsafat yang dikenal sebagai mother of science telah dijadikan sebuah sumber yang berperan untuk meliputi semua ilmu. Dengan filsafat, maka semua ilmu akan memiliki akar yang bermuara pada satu titik, yakni titik dimana manusia dapat menemukan asal muasal ilmu pengetahuan. Beberapa hal penting yang mengharuskan kita untuk mengetahui dasar sebuah bidang ilmu adalah asal-usul ilmu tersebut yang dapat memberikan dan menjelaskan kepada kita tentang nilai-nilai filosofis yang penuh dengan makna, mengajak kita berpikir lebih logis dan sistematis. Dimana kita tidak dapat menemukan nilai-nilai tersebut dari sumber yang lain. Sebagaimana filsuf Muslim, seperti Ibn Sina, Al-Farabi, Ibn Khaldun ataupun Imam al-Ghazali, meskipun mengambil ide-ide filsafat dari filsuf Yunani, namun tetap berpegang pada Al-Qur’an sebagai Kalam Ilahi, sumber yang primer.
Begitu pun demikian jika kita ingin mempelajari sebuah ilmu pengetahuan, tidak lengkap jika kita tidak mempelajari sumbernya. Misalnya, untuk memahami realitas manusia, kita diberikan banyak pilihan untuk mencarinya, ada yang melalui sudut pandang antropologi, sosial, budaya, dan lain sebagainya. Jika pun kita ingin memahami sesuatu berlandaskan pada hakikat manusia atau kemanusiaan, maka tentu saja hal tersebut sangat memungkinkan. Saat kita ingin mengetahui tentang pendidikan, untuk apa kita mengetahui hal ihwal pendidikan, untuk siapa pendidikan itu, dan apa manfaat pendidikan bagi kehidupan umat manusia. Hal ini akan menunjukkan korelasi antar ilmu pengetahuan, manusia dan juga sebuah cara pandang atau pendekatan yang digunakan untuk memahami isu ini.
Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan-perntanyaan diatas, Prof. Dr. Ahmad Tafsir seorang Guru Besar Ilmu Pendidikan di Universitas Sunan Gunung Djati, Bandung memilih untuk membahas pendidikan dengan pendekatan filsafat. Buku yang berjudul Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu: Memanusiakan Manusia menjadi sebuah media untuk kita agar dapat memahami pendidikan terutama pendidikan yang bersifat Islami dari sudut pandang yang lebih komprehensif seperti filsafat. Hal ini diperjelas dari sebuah pendahuluan pentingnya membedakan dua hal, yaitu teori Filsafat Pendidikan dan teori Ilmu Pendidikan. Sehingga kedua hal tersebut tidak rancu.
Ahmad Tafsir memulai karirnya dengan mengajar Pengantar Filsafat pada tahun 1973 di IAIN Bandung, ditengah masa ia mengajar itu, Rektor kampus mengirimnya ke IAIN Yogyakarta untuk mengikuti sebuah kursus filsafat dengan metode semacam program S2 selama 9 bulan. Meskipun telah merantau untuk belajar itu, Tafsir waktu itu belum juga menemukan perbedaan Filsafat Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Setelah dua puluh tahun berkecimpung dalam proses mengajar dua cabang ilmu tersebut, maka sampailah ia pada sebuah perenungan yang akhirnya dijadikan sebuah buku daras bernama Filsafat Pendidikan Islami yang telah dicetak sebanyak enam kali sejak terbit pertama kali pada Februari, 2006.
Buku terbagi ke dalam sepuluh bab- memberi sebuah proses perjalanan untuk menemukan berbagai macam teori serta konsep tentang Pendidikan, dimulai dari bab Pendahuluan hingga bab akhir, yaitu Pengembangan Pendidikan. Ahmad Tafsir yang memiliki kecenderungan berpikir lebih detil, runut, dan komprehensif akhirnya menghantarkan kita pada pembahasan ambiguitas tentang Filsafat Pendidikan dan Ilmu Pendidikan.
Namun sebelum memasuki pada bab-bab selanjutnya, Tafsir mengemukakan alasan tentang pemberian judul buku, Filsafat Pendidikan Islami. Dimaksudkan lebih dititik-beratkan pada tuntunan ajaran Islam, disamping itu juga karena panggilan sebagai seorang Muslim.
Menurut saya, Buku daras tentang Filsafat Pendidikan Islami masih sangat jarang ditulis oleh para pakar pendidikan, khususnya di dalam tradisi khazanah Islam di Indonesia. Buku ini menjadi sebuah sumbangsih agar kita semua dapat mengambil manfaat sebanyak-banyaknya.
Formula yang digunakan oleh Tafsir sebagaimana yang dilakukan oleh para pengkaji ilmu agama keislaman terdahulu dan hingga kini, yaitu dengan merujuk kepada Al-Qur’an sebagai sumber ilmu dari seluruh ilmu yang tersebar di seluruh muka bumi. Ia menerangkan tentang perbedaan Filsafat dan Ilmu terlebih dahulu, menurutnya ilmu atau pengetahuan adalah pengetahuan yang rasional yang didukung bukti empiris, sedangkan Filsafat adalah sebuah proses untuk mengetahui hal-hal yang abstrak dan tidak dibuktikan secara empiris. Disamping itu, ia juga mengklasifikasi tentang tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan sain, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Singkatnya pada bab pertama ini, kita sudah diberikan dasar pengetahuan untuk membedakan apa itu Filsafat Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Filsafat Pendidikan adalah teori-teori rasional tentang pendidikan yang tidak perlu dibuktikan secara empriris, sedangkan Ilmu Pendidikan adalah teori-teori rasional yang memerlukan bukti empiris.
Bab kedua, Tafsir membahas tentang Hakikat Manusia dihadapan Tuhan sebagai Pencipta dan posisi manusia. Menurut Al-Qur’an, Tuhan mengabadikan kalam dan pesan-pesan-Nya tentang penciptaan, alam semesta seisinya, dan lain sebagainya. Menurut Socrates, manusia adalah sosok yang menyimpan berbagai macam jawaban dari persoalan yang dipertanyakannya. Baginya, manusia selalu membutuhkan manusia yang lain untuk menemukan ide yang bermanfaat untuk menciptkan kehidupan yang lebih baik.
Masih menurut Socrates, hakikat manusia adalah keinginan untuk mengetahui hal-hal diluar dirinya, maka untuk mengetahui yang diluar dirinya, lebih baik manusia mengetahui dirinya terlebih dahulu. Berbeda dengan Socrates, Plato berpendapat bahwa jiwa manusia adalah entitas non-material yang dapat terpisah dari tubuh. Menurut Plato, hakikat manusia ada dua, yaitu rasio dan kesenangan (nafsu). Plato menambahkan bahwa manusia terdiri dari tiga elemen, yaitu roh, nafsu dan rasio, yang dianalogikan seperti seorang kusir yang sedang mengendalikan pedati dengan dua kuda, satu berwarna putih (roh), satu lagi berwarna hitam (nafsu), Pak Kusir adalah simbol rasio yang bekerja untuk mengontrol keduanya. Tafsir juga mengutip beberapa filsuf lainnya seperti Rene Descartes, Immanuel Kant, dan John Locke. Hakikat Manusia Menurut Tuhan dijelaskan oleh Tafsir dengan merujuk pada rumusan Al-Qur’an, bahwa manusia terdiri dari unsur jasmani, akal, dan ruhani. Pada uraian ini, Tafsir menegaskan bahwa core sebuah pendidikan menurut Islam difokuskan pada pengembangan aspek ruhani. Manusia dibekali Tuhan dengan fitrah yang bermakna potensi, dengan begitu manusia memiliki banyak kesempatan untuk mengembangkan dirinya dari waktu ke waktu, menjadi lebih baik dan sesuai dengan tujuan penciptaan Tuhan untuk makhluk seluruh alam.
Pada bab tiga tentang Hakikat Pendidikan, Tafsir memegang ucapan Yunani kuno bahwa pendidikan adalah pertolongan kepada manusia agar ia menjadi manusia. Mengapa manusia membutuhkan pertolongan? Karena manusia harus berhasil menjadi manusia sejati dengan segala atribut kemanusiaannya. Orang-orang Yunani memiliki tiga syarat agar seorang manusia layak disebut sebagai manusia, pertama, memiliki kemampuan mengendalikan diri; kedua, cinta tanah air; dan ketiga, berpengetahuan.
Manusia yang menjadi tujuan dari pendidikan harus memiliki pengetahuan yang tinggi, ia juga harus mampu berpikir benar. Oleh karena itu, orang Yunani berkeyakinan bahwa berpikir dengan cara filsafat atau berfilsafat adalah latihan terbaik untuk mampu berpikir benar. Lebih lanjut, Tafsir mengatakan bahwa pendidikan adalah masalah yang tidak pernah selesai, mengapa demikian? – penyebabnya, keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, dan pendidikan memiliki berbagai macam elemen yang saling berkaitan untuk menciptakan hal-hal baik dari masa ke masa. Oleh karena itu pendidikan bersifat dinamis, dimana prosesnya melibatkan banyak hal, seperti waktu, tempat dan manusia.
Setelah membahas tentang Hakikat Manusia dan Hakikat Pendidikan, pembaca akan mendapatkan paparan tentang Dasar Pendidikan di bab empat. Ahmad Tafsir merumuskan nilai-nilai yang layak dijadikan dasar untuk memperkuat pondasi pendidikan. Nilai merupakan satu hal yang sangat penting dan utama dalam bidang pendidikan, karena dengan nilai, pendidikan memiliki pijakan dan pedoman untuk menciptakan pendidikan yang kokoh, kuat, inovatif, dan integratif. Menurut Tafsir, salah satu nilai yang menjadi dasar pendidikan di Indonesia adalah Pancasila dan pengembangannya menjadi nilai-nilai yang dimanifestasikan menjadi ajaran aktual di semua aspek, salah satunya adalah pendidikan.
Pancasila telah tebukti sejalan dengan misi pendidikan yang ada di pelosok negeri Indonesia. Pendidikan adalah salah satu media untuk memperkuat dan mempersatukan seluruh rakyat dibawah naungan Pancasila. Dengan demikian, Pancasila juga dikatakan sebagai Filsafat (falsafah) Negara yang meliputi semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lalu apa Tujuan Pendidikan itu? – kita akan menelaahnya pada bab kelima, setiap perjalanan memiliki tujuan, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan yang menjadi bentuk tanggung jawab untuk melahirkan generasi-generasi kuat dalam imtaq dan iptek. Namun apakah tujuan pendidikan juga dapat berubah sesuai zaman atau tetap bertahan dari yang sejak dulu?.
Sebuah tujuan tidak dapat dirumuskan hanya sesuai kehendak hati penguasa, pemilik modal, kebiijakan, dan seterusnya. Tujuan pendidikan sama halnya dengan cita-cita yang dibangun untuk dicapai secara bersama-sama. Tujuan pendidikan bukan hanya tentang program, kurikulum, dan lulusan ideal. Tujuan pendidikan haruslah menjadi sebuah hal yang amat sangat agung karena berkenaan dengan ciri kekhasan pendidikan tersebut. Misalnya saja, tujuan pendidikan di negeri Eropa tentu saja berbeda dengan yang ada di Amerika, Afrika, Australia dan Asia. Begitupula tujuan pendidikan di dunia Islam dan non-Islam.
Beberapa hal yang masih kurang menurut penulis, Tafsir hanya memaparkan tiga kriteria menjadi seorang lulusan yang diharapkan dari sebuah proses pendidikan, yaitu badan sehat, kuat, otak cerdas, dan beriman kuat. Pada paparan ini, Tafsir tidak menjelaskan lebih rinci berdasarkan argumentasi rasional, sehingga penjabaran yang dituliskan tentang seperti apa tujuan pendidikan dari perspektif Filsafat Islam masih belum diketahui, padahal judul buku ini adalah Filsafat Pendidikan Islami.
Hal yang lain, setelah Tujuan Pendidikan, Tafsir menempatkan Kurikulum Pendidikan sebagai bahasan pada bab keenam. Pada awal tulisan, Tafsir menawarkan gagasan brilian tentang kurikulum, namun disaat yan sama ia katakan bahwa gagasannya akan sulit dipahami.
Pertama-tama, ia mendefinisikan kurikulum yang berarti sebuah program untuk mencapai tujuan pendidikan. Selanjutnya, Tafsir membangun relasi antara kurikulum, tujuan pendidikan, dan manusia yang baik. Maksudnya adalah manusia yang baik adalah produk dari kurikulum yang dikembangkan, sehingga tujuan pendidikan itu untuk melahirkan manusia-manusia dengan budI pekerti yang luhur.
Manusia yang baik berkaitan erat dengan akhlak, dan masih menurut Tafsir bahwa akhlak merupakan core dari kurikulum. Ia juga menambahkan dengan berpijak pada Undang-Undang tentang pendidikan yang menyatakan bahwa “Pendidikan nasional….. bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang berdemokratis serta bertanggung jawab” (pasal 3 UU No. 20/2003).
Bab selanjutnya adalah bab mengenai Peserta Didik (bab ketujuh). Tafsir lebih memilih menggunakan kata murid dalam tulisan ini dengan mengikuti tradisi tasawuf, dimana istilah murid disandingkan dengan kata mursyid yang bermakna guru. Tafsir rupanya telah sepakat untuk menggunakan rumusan adab murid kepada guru yang telah disusun oleh Sa’id Hawwa (1999). Kemudian, Tafsir juga menegaskan bahwa istilah yang paling tepat untuk pelajar ialah murid, bukan anak didik atau peserta didik. Hal ini ia jelaskan bahwa istilah murid merupakan pengaruh dari ajaran agama Islam, sehingga dapat diasumsikan bahwa anak didik atau peserta didik tidak memiliki makna Islami dibandingkan dengan murid. Setelah berkutat dalam istilah anak didik, murid, dan peserta didik, Tafsir berlanjut pada pembahasan tentang pendidik, yang ia maksudkan dengan pendidik adalah semua yang mempengaruhi perkembangan seseorang, yaitu manusia, alam, dan kebudayaan.
Pada bab kedelapan, Tafsir membahas tentang Lembaga Pendidikan yang kemudian ia bagi penjelasan tersebut melalui sub-sub bab, diantaranya: Model Pendidikan, ia menerangkan tentang inti manusia yang berpengaruh dalam menghasilkan model-model pendidikan, inti manusia yang dimaksud yaitu iman. Iman dapat berelaborasi dengan amal saleh, pengetahuan, vokasi (keterampilan), metode belajar, bahasa, dan seterusnya. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman dalam menciptakan generasi-generasi yang dapat menguasai iman, takwa, ilmu pengetahuan, serta teknologi. Dalam sub bab Model Sekolah untuk Menghadapi Abad 21, dan berdasarkan pemikirannya yang diklaim berperspektif Islam, Tafsir mengatakan bahwa pendidikan (Islam) di masa depan harus memiliki kurikulum utama, seperti: Pendidikan Agama, Pendidikan Bahasa Inggris Aktif, Pendidikan Keilmuan, serta Pendidikan Keterampilan Kerja.
Selesai membahas tentang Lembaga Pendidikan, Tafsir menerangkan tentang Proses Pendidikan di bab kesembilan. Meskipun pada pendahuluan, Tafsir sudah mengatakan bahwa ulasan-ulasan yang ia tulis banyak tidak sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat, namun setidaknya ia bisa memberikan referensi-referensi dari filsuf-filsuf Muslim yang karya-karyanya berkaitan dengan dunia pendidikan. Dalam bab Proses Pendidikan, ia memperkenalkan Metode Internalisasi, yaitu metode yang dipakai untuk dapat mencapai tujuan pendidikan. Peserta didik mendapat arahan dan diajarkan oleh guru agar dapat mengetahui. Pengetahuan yang telah diperoleh sang peserta didik diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, kemudian pada akhirnya si peserta didik dengan pengetahuannya tersebut mewujud menjadi satu kesatuan, peserta didik dan ilmunya tak terpisahkan karena ia selalu mengamalkannya.
Adapun bab yang terakhir adalah Pengembangan Pendidikan. Sebagaimana yang ditulis Tafsir bahwa pengembangan pendidikan di dunia Islam tidak sepesat pengembangan pendidikan di dunia Barat. Hal ini disebabkan karena kajian-kajian mengenai pendidikan selalu mengambil konsep dari pendidikan yang dilaksanakan di dunia Barat, maka tidak heran jika pengembangan pendidikan di dunia Islam menjadi sangat lambat. Pada bab kesepuluh ini, Tafsir mengutip perkataan Azyumardi Azra yang menyatakan kekecewaannya yang mendalam tentang kurangnya perhatian terhadap kajian Ilmu Pendidikan Islami.
Istilah Pendidikan Islami adalah yang paling benar dan tepat jika dibandingkan dengan Pendidikan Islam. Tafsir merujuk pada istilah yang sudah paten digunakan dalam bahasa Inggris dan juga bahasa Arab, seperti Islamic Education dan al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, kedua bahasa ini jika disadur kedalam bahasa Indonesia akan menjadi Pendidikan Islami bukan Pendidikan Islam, karena tentu saja keduanya memiliki pengertian yang berbeda pula. Setidaknya kedua istilah ini dapat dikaji lebih mendalam agar tidak ada lagi miskonsepsi dikalangan pengkaji, akademisi, dan mahasiswa yang berkecimpung di bidang pendidikan. Sangat disayangkan pula jika buku ini tidak dilengkapi dengan catatan-catatan kaki, sehingga pembaca akan dirundung rasa ingin tahu yang besar untuk menelusuri tulisan-tulisan atau pernyataan yang bisa dijadikan sebagai referensi valid. Oleh karena itu, pembaca bisa mencarinya melalui daftar pustaka yang tersaji di akhir buku. []