Forum Antar Pakar (FAP): Dilema Hukuman Mati
Dilema Hukuman Mati hanyalah dua kata yang, bila salah memahami “hukuman” dan “mati”, kita terancam gagal memahami frase “hukuman mati”. Ketidakpararelan bentuk hukuman dan efek jera, juga menjadi pertimbangan bahwa secara empiris, hukuman mati mutlak ditiadakan. Namun, secara teologis, minimal dua agama Islam dan Kristen, menerima hukuman mati. Dalam perkembangan terakhir, gereja Katolik menolak hukuman mati. Ada lagi berpendapat, bukan menolak atau menerima secara mutlak, yang penting pembatasan. Hukuman mati juga tidak bebas syarat untuk diberlakukan – tiga syarat material minimal harus terpenuhi: sistem peradilan yang menghasilkan produk hukum yang adil, pelaku hukum yag bersih (antropologi) dan keadilan untuk semua, tidak tebang pilih (sosiologi). Demikian kesimpulan singkat diskusi Forum Antar Pakar (FAP) Riset STFI Sadra berjudul “Dilema Hukuman Mati Prespektif Filsafat dan Hukum”, 27/3 STFI Sadra.
Prof. Dr. Romo Magnis-Suseno, setelah 10 hari sebelumnya bersama Wahid Institute ke Denmark untuk membicarakan hubungan agama dan negara-tetap hadir dan bersemangat diskusi ke STFI Sadra. Apakah Denmark bisa belajar dari Indonesia? Cetus Romo Magnis membuka presentasinya.
Penolakan terhadap hukuman mati sesuatu yang baru, dalam gereja Katolik waktu saya kecil, ada tiga situasi dibenarkan: membela diri, pertempuran dalam perang dan sebagai hukuman mati.
Gereja secara resmi menolak hukuman mati. Ada macam-macam sebab, karena betapa mengerikan pembunuhan oleh rezim totaliter seperti Nazi, Stalin, Mao Zetung dan Lenin dll. Di banyak tempat, hukuman mati menjadi sesuatu yang emosional. Saya ingat Institut Peradaban punya Salim Said, Hukuman Mati dibicarakan, saya menolak hukuman mati.
Ada peserta diskusi yang emosional, karena anaknya kena narkoba. Kemudian berpendapat kita yang menolak hukuman mati telah terjangkit pengaruh liberalisme. Sebenarnya narkoba bukan satu-satunya. Narkoba adalah masalah yang sangat serius bukan sesuatu untuk diremehkan. Tapi menurut saya hukuman mati perlu diganti dengan hukuman lain.
Ada beberapa pertimbangan menurut Magnis: pertama, anggapan adanya hukuman mati yang diberikan, ternyata tidak punya efek jera sama sekali. Contoh yang jelas adalah Indonesia, karena narkoba paling luas dan jelas dibawah Presiden Jokowi sangat banyak diberlakukan hukuman mati.
Saya tidak tahu apakah ada moratorium soal itu sekarang. Jadi menurut Magnis ancaman hukuman mati tidak akan mengurangi kriminalitas, seperti penyebaran narkoba.
Pertimbangan lain, ada istilah Yudition killling (pembunuhan atas nama hukum).
Di Amerika Serikat, ada 20 kasus dimana orang dieksekusi yang kemudian ketauan salah orang. Saya sendiri berpendapat, itu tidak bisa diterima.
Kedua, ada pertimbangan yang mendasar, yakni agama. Semua agama memang pernah membenarkan hukuman mati. Saya berpendapat (sejalan dengan ajaran Katolik) bahwa manusia tidak berhak mencabut nyawa orang lain.Menghukum ya tapi tidak membunuh.
Pertimbangannya sederhana, bahwa nyawa orang adalah suci (berarti tidak disentuh karena ada yang Suci yang memiliki-kita tidak berhak mengambilnya). Bicara tentang “Bonus Demografi”, jangan lupakan satu hal. Kita oleh Tuhan Allah tidak diciptakan seperti dalam sebuah pabrik. Allah menciptakan setiap manusia sebagai individualitas yang unik [keakuan yang individual].
Timbul pertanyaan? Mengapa saya yang menjadi anak pertama Ibu saya? Saya memiliki kesadaran sejak awal, semula saya merupakan proyek unik dalam kehendak penyelamatan Ilahi. Anda masing-masing merupakan suatu nilai yang tak terganti. Kita merupakan manusia pilihan yang memiliki kualitas-kata Allah “Aku menghendaki engkau”. Itu sebabnya nyawa itu suci.
Dalam kontek perang menurut Magnis tidak bisa dihindari nyawa di tangan musuh. Kalau prajurit Katolik bertanya kepada saya, apakah bisa dibenarkan saya sebagai sniper menembak orang? Iya bisa,.. kata saya, kita berada dalam situasi dimana perang belum bisa dihilangkan. Prajurit boleh menembak.
Magnis mencontohkan peristiwa lucu dalam Perang Dunia II. Di Rusia, tentara Jerman berhenti ofensif beberapa minggu. Parit mereka berdekatan, 200 meter, mereka saling kenal. Mereka bahkan main bola bersama diantara pihak Rusia dan Jerman. Bahkan, pada saat natal, ada yang mengantarkan makanan ke pihak musuh. Mereka mempersiapkan makanan bersama-sama. Terjadi kesepakatan mutlak, prajurit yang membawa makanan tidak boleh ditembak, kecuali keluar dari parit dengan tidak membawa soup hangat.
Jadi kembali lagi, kenapa orang menolak hukuman mati, karena nyawa orang itu suci, maka kita tidak boleh mencabut. Tentu harus ada hukuman. Hukuman tidak boleh karena pembalasan. Hukuman pembalasan bercokol di hati orang, seperti iri, dengki, balas dendam, dll. Tuhan mengharapkan kita mengatasinya.
Dalam Kitab Perjanjian Baru, tidak ada hukuman mati. Tapi gereja, dalam sejarahnya setuju hukuman mati. Dalam Taurat, ada sekian banyak kejahatan yang dijatuhi hukuman mati. Teologi Kristiani memberikan suatu jawaban bahwa Allah memberikan hukuman dalam rangka pedagogi.
Semula ada ketentuan bahwa orang yang menghancurkan gigimu, kamu boleh menghancurkan giginya—sebenarnya boleh menyerang gigi tapi tidak boleh membunuh.
Zaman dahulu, hukuman mati banyak sekali. Saya membaca, di abad ke-17 di Inggris selama 100 tahun sekitar 70.000 orang di hukum mati-mayoritas pengemis (orang kecil) diusir oleh tuan tanah. Padahal pencurian ringan tapi di hukum mati.
Semula dalam pandangan Krtistiani, kau boleh balas sesuai ukuran kejahatan itu. Allah mau mengatakan tidak boleh membunuh, tapi balaslah sesuai dengan kejahatan itu (setimpal).
Hukuman merupakan sanksi [Istilah hukum], bukan balasan. Bila dibalas, kita memposisikan diri sama dengan yang dibalas.
Banyak kasus dalam kasus-kasus hukuman mati di Indonesia menghawatirkan menurut Magnis. Ada beberapa alasan yang kuat untuk memperkirakan bahwa pengadilan itu tidak benar. Jika orang MK berkarakter “wani piro”, bisa dibayangkan hukum kita. Atas dasar apa dia menjatuhkan hukuman.
Berlanjut ke sudut pandang tradisi Filsafat Islam dan Tasawuf oleh Ammar Fauzi. “Saya sangat terkesan, untuk pertama kalinya kontak dengan Romo Franz. Beliau sangat rendah hati, sehingga membuat posisi saya susah secara psikologis untuk berseberangan dengan beliau.”
Namun ada beberapa penekanan. Kita mulai dari “Hukuman Mati”. Kuncinya dua: “hukuman” dan mati”. Jika gagal mendudukan dua istiah ini, kita bisa terancam gagal mendefinisikanya.
Saya dari latar belakang Filsafat dan Tasawuf—dua disiplin ilmu ini juga memakan korban- hukuman mati. Seperti juga dalam Filsafat Barat, jika Socrates tidak di hukum mati, maka Filsafat Barat boleh jadi tidak mendapatkan sorotan lebih.
Ternyata dengan berfilsafat –kita harus siap-siap di hukum mati. Dalam tasawuf misalnya-di tanah jawa-Syekh Siti Jenar terkena hukuman mati. Kita khawatir, ada pelajar filsafat entah Sadra atau Driyarkarya kemungkinan nasibnya bisa dihukum mati.” Ammar berkelakar.
Seperti pemaparan Romo Magnis, tentukan nilai diri kita! Hukuman mati penting, kita juga berpeluang dihukum mati. Bentuk hukuman mati banyak ragam (digantung, ditembak, disuntik racun, dll.). Tapi ada yang lebih kejam lagi, seperti yang ada dalam bait puisi seorang pujangga Lebanon- Khalil Gibran:
Pencuri kembang itu dihina dan dihujat
Pencuri hektaran malah disanjung hebat
Lihat pembunuh badan itu digantung
Kala pembunuh jiwa tak lagi disinggung
Pikiran kita juga bisa mati (dimatikan/dibunuh), akibatnya jiwa kita tidak lagi peka keadilan, kebebasan, karena jiwa kita dibunuh. Mati itu apa? baik disengaja atau tidak, tanya Ammar. Yang jelas dan penting bagi kita, bagaimana nyawa kita hilang. Itu yang bernilai.
Apakah ada yang tidak menyesal dengan hukuman mati? Jawabnya ada. Kita melihat ada yang memandang bahwa hidupnya malah bertujuan untuk kematian. Ada orang-orang yang memanegemen hidupnya untuk kematian, seperti dalam perang (berani mati). Artimya, tidak selamanya orang merasa kehilangan dengan “Hukuman Mati”. Bagi sebagian, kematian dan dihukum mati justru cita-cita dan kemuliaan.
Kita punya Pancasila yang punya elemen dasar berdasarkan keimanan, tapi kurang pemahaman keimanan dalam kontek kehidupan paska-kematian. Pandangan kehidupan paska-kematian—menentukan nilai identitas seseorang bagaimana ia hidup setelah kematian.
Baik dan buruk bisa ditimbang, tak hanya berdasarkan pada “proses kematiannya”, tapi juga motif/latar belakang kematian.
Satu fenomena, dua orang atau dua negara. Ammar memberi contoh. Jelas beda, hukuman gantung karena balas dendam dan karena menegakkan keadilan. Yang penting, harus dipastikan bahwa nilai-nilai hukum positif harus sejalan dengan nilai keadilan.
Baik orang yang mati dengan sengaja/tidak sengaja—yang jelas kita bisa menentukan pilihan hidup/mati di tangan orang lain atau diri kita.
Senyatanya, pemerintah dalam menegakkan hukuman mati bukan karena motif pembalasan, akan tetapi untuk menegakkan keadilan (Filsafat Hukum) untuk masa depan.
Hukum tidak hanya berbicara sesuatu yang terjadi, tapi pertama, memprediksi gejala, kedua, meminimalisir dampak buruk, dan ketiga, hukum harus memberi kemaslahatan sebanyak mungkin.
Dalam Praktek hukum, ada yang dirugikan, tapi sebisa mungkin kerugikan diupayakan lebih sedikit daripada kemaslahatan. Sudah menjadi kodrat Tuhan ketika menciptakan alam ini dengan hukum-hukum materi, maka akan ada keterbatasan, ada efek samping.
Kita analogikan dilema “hukuman mati” seperti penjatuhan kartu merah dalam sepakbola. Sanksi diberikan pada pemain yang melanggar dengan pelanggaran keras, maka harus keluar dari lapangan dan “kehidupan” sepakbola yang sedang berjalan. Sanksi tidak semata jatuh pada pelanggar, tetapi juga ditanggung oleh seluruh elemen timnya. satu kali pelanggaran yang dilakukan oleh satu pemain berdampak pada seluruh organ tim. Dan sanksi dibuat sekeras itu untuk memenuhi tiga hal di atas sehingga dapat mencegah kejadian berikutnya.
Dalam kontek hukuman mati, paling maksimal akan memberi efek “tingkat keterancaman yang paling tinggi”. Dalam Filsafat Etika ada “keterancaman”. Hukuman mati itu bentuk potensi yang bisa aktual apabila memenuhi syarat-syarat tertentu.
Nyaris dalam sistem hukum manapun, hukuman mati dikenal sebagai ancaman paling maksimal untuk suatu tindakan dengan tingkat kejahatan yang juga maksimal. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dan kewaspadaan tingkat tinggi. Amat wajar bila diperlukan seperangkat syarat dan kondisi yang begitu ketat sehingga kemungkinan sekecil apa pun untuk meloloskan seorang terdakwa dari jeratan hukuman mati harus dipertimbangkan ditinjau kembali. Ammar memberi contoh kasus Marry Jane, beberapa detik hukuman mati dicabut.
Kemudian dari aspek “ruh suci”. Aspek teologis, “ruh suci” yang datang dari Tuhan Yang Suci. Tuhan akan memberikan arahan kepada kita untuk tetap suci. Bila Tuhan tidak bisa intervensi langsung maka perlu pendelegasian.
Dalam peperangan, seseorang bisa membunuh karena ada izin dari Tuhan untuk memulai peperangan (untuk membunuh terlebih dahulu).
Mencabut nyawa adalah hak Tuhan yang didelegasikan kepada orang lain. Tuhan mendelegasikan hak-Nya atau menghukum dengan tangan manusia. Sebagaimana Tuhan yang berwenang mencabut dan menunda mencabut nyawa, begitu juga manusia memperoleh pendelegasian dari Tuhan untuk melakukanya.
Dalam praktek pengadilan, hakim boleh memutuskan hukuman mati karena mendapatkan pendelegasian Tuhan sebagaimana Tuhan mendelegasikan malaikat mengambil nyawa seseorang.
Dalam soal pengadilan Ammar berpendapat. Banyak pengadilan salah identifikasi, tidak hanya inklusif hukuman mati, ternyata salah identifikasi juga banyak dalam kasus lain.
Perlu syarat-syarat ketat dalam menjatuhkan hukuman mati, kemudian pembenahan sistem peradilan sehingga menghasilkan produk hukum yang adil, jadi hemat Ammar, bukan fokus pada peniadaan atau pemberhentian hukuman mati.
Dilema hukuman mati tidak hitam putih. Sistem peradilan harus ditangani, jadi fokus bukan hukuman mati. Belajar dari Inggris, Ammar memberi contoh, Inggis menghukum mati rakyatnya sendiri, 70.000 warganya yang mayoritas dari kalangan kecil karena kasus pencurian ringan. Belum dihitung, sudah berapa negara yang diinvasi, dan memberlakukan hukuman mati pada negara-negara jajahan. Kasus ini bukan murni peperangan yang seimbang.
Dilema hukuman mati memiliki tiga konsekuensi, menurut Ammar, penghilangan total, dipertahankan secara total, atau pembatasan. Ammar memilih yang terakhir dengan mengajukan tatahukum Islam sebagai salah satu referensi dalam mengidentifikasi batas-batas dan kondisi-kondisi pembatasan tersebut.
Pemateri terakhir, Hertasning Ichlas berbicara dari aspek empiris antropologis dan sosiologis hukum. Persoalanya bukan 140 negara yang tidak memberlakukan hukuman mati; 30 negara yang masih memberlakukan hukuman mati. “Saya akan bicara dari sudut pandang empiris-antropologis, biar lebih basah.” Cetus Erta pengganti Ahmad Taufiq almarhum dari LBH Universalia.
Erta berpendapat, dalam teologi Islam-sifatnya sangat deterministik dan kompromistis. Masih ada negosiasi kelurga korban.
“Saya masuk hukum Indonesia”. Erta memberi illustrasi, pengalaman saya pribadi dengan peradilan sesat Sampang , itu dagelan murni, tegas Erta dengan kesal. Dalam buku Herman M (Peradilan yang Sesat), memberi pesan, hati-hati peradilan!.
Saya meragukan urgensi hukuman mati-Erta memposisikan sikap intelektualnya. saya tidak sepenuhnya menolak seperti Romo Magnis, juga bisa ditegakkan seperti Pak Ammar. Menurut Erta, bisa dua-duanya benar.
Alasan penolakan biasanya berbasis pada HAM, karena hak-hak tidak bisa dipulihkan. Ketika Anda mengambil nyawa orang lain, maka tidak bisa mengoreksi. Biasanya, hukuman mati di tegakkan dalam kasus, terorisme, narkotika, dan pembunuhan berencana Tapi dari data Erta, kebanyakan karena kontruksi kekuasaan. Hukuman terhadap musuh-musuh politik. Rata-rata political constructive 1965.
Kita punya keyakinan, tapi di saat yang sama dalam Filsafat Hukum ada kepastian dan keadilan.Aspek keadilan lebih penting. Ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan menurut Erta. Pertama, karakter hukum dalam reformasi hukum kita tidak menunjukkan sistem peradilan yang independen dan bersih. Reformasi sistem peradilan kita tertinggal sejak reformasi. Mulai dari polisi, Jaksa, dan hakim. Inilah level antropologis. Sistem peradilan kita masih berantakan.
Erta memberi contoh kasus minangkabau yang dipindahkan begitu saja ke kasus Tajul Muluk. Tidak ada bukti saksi menunjukkan yang dituduhkan, seperti Al-Quran palsu. Kedua aspek sosiologis. Banyak penelitian, dari 142 negara yang mengadopsi hukuman mati karena mempertimbangkan aspek sosiologis. Data dari Setara Institute dan Indonesian Legal Institut menunjukkan, tidak berbanding lurus antara negara yang menerapkan hukuman mati dengan tingkat kriminalitas. Justru di negara Skandinavia, mereka yang tidak menerima hukuman mati tingkat kriminalitasnya malah menurun.
“Saya pada tahap meragukan hukuman mati apalagi atas nama kemanusiaan dan keadilan” tegas Erta. Faktor latar belakang kepastian teologis, hakim, peradilan dan keadilan, inilah yang membentuk motif penegakan hukuman mati. Kecuali dalam kasus genosida, Erta secara tegas memang harus diterapkan.
Praktek hukuman mati selalu bias kelas, tegas Erta. Tidak pernah menyentuh aktor intelektual. Data Kontras 2010 (Husein 2010) dihukum mati, kasusnya unknown crime.
Sistem peradilan akhirnya berkelas, yang dihukum hanya orang-orang kecil semua. Kita tidak melihat korporat yang mengancam kesehatan, dihukum mati. Atau koruptor dihukum mati.
Contoh lain kasus JIS (Jakarta International School)- yang dikorbankan 1 orang OB, karena tidak menandatangani BAP. Katanya meminum baigon. Jadi hati-hati!. Artinya politik hukum tidak bekerja dalam ruang normal. Hukuman mati dalam posisi kuat, buktinya 3 komisioner Komnas HAM setuju hukuman mati. Lima kali diuji materi (dibatalkan) di MK- Artinya makin ditembak makin kuat.
Dalam RUU KUHP atau KUHAP, hukuman mati menjadi alternatif (puspone). Bisa diubah dari hukuman mati diganti menjadi hukuman lain.
Tahun 1977, hanya 16 negara yang menolak hukuman mati. Tahun 2010 hingga sekarang, 142 negara menolak hukuman mati. Hanya 21 negara yang memberlakukan hukuman mati.
Erta memberi penekanan lagi. “ kita tidak usah langsung bicara hukuman mati, karena loncat. Kita bicara keadilanya dulu, kita butuh polisi yang bagus, jaksa yang bagus, peradilan yang bagus. Baru hukuman mati.”
Erta menutup presentasi dengan pertanyaan, pertama apakah hukuman mati memberikan keadilan, atau pura-pura menjadi Tuhan. Seperti dalam tulisanya. Kedua, apa pelajaran eksekusi tembak? Apakah itu bentuk keadilan, atau kita menjadi lebih mulia ketika memberlakukan hukuman mati?