Forum Temu Pakar (FTP); Diskusi Tafsir Surat Al-Maidah ayat 51
FAP: Diskusi Tafsir Surat Al-Maidah ayat 51,Kamis 9/02/017
Kamis 9/02 STFI Riset Sadra kembali mengadakan Forum Temu Pakar (FTP) dengan tema “Tafsir surat Al Maidah ayat 51”. Hadir dua pembicara, Muhammad Al Kaaf, MA, Muhammad Shodiq Ma dan Cipta B.G, MA sebagai penanggap.
Dalam uraiannya Muhammad Al Kaaf menyatakan bahwa tafsir al Quran adalah ilmu yang bertujuan mengungkap makna, “fasar” bermakna menyingkap. Proses tafsir yang benar diusakan setepat mungkin dekat dengan makna yang dimaksud. Namun jika tafsirannya semakin membingungkan akal, maka proses penafsiran telah gagal. Dalam penafsiran ada dua kaidah yakni “al murod al isti’mal” atau maksud penggunaan kata. Misalnya kata “wali” satu makna dengan “sahabat’. Namun ada lagi kaidah yang disebut ‘al murod al jiddi” atau makna baru yang muncul yang muncul karena “qorinah”. Kata wali, harus di fahami sebagai makna yang dimaksud oleh si mutakalim yang kita ketahui melalui “qorinah”.
Intinya, proses tafsir yang paling elegan adalah memahami mufrodat yang memiliki beragam penyebutan untuk satu makna. Yang kedua adalah proses istintoq (interograsi internal) terhadap ayat dengan memperhatikan qorinah dan hubungannya dengan ayat-ayat yang lain. Yang keempat adalah “mukasyafat” atau menyingkap maksud dari ayat yang ditafsirkan.
Adanya kaidah-kaidah tafsir ini menunjukkan bahwa sebuah ayat tidak bisa diartikan secara sembarangan tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang berpengaruh terhadap sudut pandang penafsiran. Kita perlu mempertanyakan penafsiran larangan menjadikan “wali’ orang non-muslim identik dengan larangan “membuat kontrak sosial dengan non-muslim” karena dalam surat Ali Imron, kejadian “membangun kontrak sosial’ dengan non-muslim telah dilakukan oleh nabi. Maka dengan ini, penafsiran “wali” dalam ayat ini bukanlah larangan untuk menjadikan orang non-muslim sebagai mitra dalam kontrak sosial.
Menanggapi uraian sebelumnya, Muhammad Shodiq menyatakan, ada lima kaidah dalam penafsiran yang dapat di terapkan dalam kasus almaidah 51. Yakni seorang penafsir harus memahami tujuan ayat, melepaskan subjektifitas (lokalitas) tempat, masa dan pelaku, mengambil kaidah universal ayat, menerapkan pada objek baru, dan implementasi . inti dari surat al-maidah 51 yang difahami secara selintas adalah larangan berkongsi dan berkoalisi karena persahabatan dan kedekatan dengan Yahudi dan Nasrani (musuh) bahkan mempercayakan urusan kepada mereka demi menjaga eksistensi, kebebasan, independensi dan kredibilitas Islam dan umat sehingga terhindar dari segala bentuk kedhaliman.
Namun jika kita menggunakan lima kaidah diatas maka kita akan mendapati bahwa yang dimaksud dalam surat Al-Maidah tidaklah demikian. Ada aspek lain yang mempengaruhi turunnya ayat ini, yakni kejadian kontekstual pada masa itu yang tidak bisa serta merta diterapkan pada masa kini. Hal ini terbukti dengan adanya pengecualian yang disinggung dalam ayat lain. maka langkah strategis sangat mungkin untuk direkomendasikan dalam kompromi dan toleran pada konstitusi mengambil “wali” non muslim demi Wahdah Islamiah, kebangsaan dan kemanusiaan oleh ayat.
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin, barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (strategi) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya. Dan hanya kepada-Nya kembali(mu) (ali-imran ayat 28).
Sebagi penutu, Cipta sebagai penanggap menyatakan bahwa kita bisa melihat beberapa pendapat, ada yang menafsirkan “al mahabbah”, ada lagi yang mengatakan “al intisor” yang kemudian di kritisi oleh sebagian ulama bahwa tidak terlarang untuk meminta “intisor” (pertolongan) pada orang kafir karena secara historis kita menemukan adanya kenyataan bahwa nabi pernah membangun koalisi dengan orang-orang non-muslim.
Dalam kitab Jami’ul Bayan at-Thabari memberikan dua tafsiran yang berhubungan dengan sabab nuzulnya yang berdasarkan riwayat terjadi “tanaqud”, atau kontradiksi riwayat. Yang paling mungkin adalah makna wilayah bermakna bahwa larangan untuk menyandarkan keselamatan atau nasib kita kepada orang kafir karena kekhawatiran kerugian secara individual. Namun ada sa’nul nuzul yang lain yang mengaitkannya dengan kasus sa’ad bin ubadah dalam kasus perang ahzab dimana beliau di perintahkan untuk memutuskan hukuman bagi bani quraizah yang mengindikasikan bahwa tujuannya untuk memicu ketegasan terhadap pengkhianatan.
Dan adapula dalam tafsiran Thantawi yang mengidikasikan makna ayat ini adalah tidak terlarang bekerjasama dengan non-muslim dengan tidak meninggalkan loyalitas kepada kaum muslimin. Ada kaidah dalam tafsir yang disebut “nafiyul sabil” yang artinya larangan untuk memberikan kemampuan hegemoni non-muslim terhadap kaum muslimin. Tujuan dari turunnya ayat ini sebenarnya bukanlah tentang larangan namun tentang harus adanya keseimbangan dalam membangun kontrak sosial.