FTP: Filsafat Mario Bunge dan Neosadrian
FTP: Filsafat Mario Bunge dan Neosadrian
Mental. Sebuah istilah yang secara populer di Indonesia dikenal dalam dunia Psikologi. Namun istilah mental dalam disiplin neuroscience dipahami hanya sekedar reaksi fisik dari syaraf otak. Oleh Bunge, seorang fisikawan dan ahli Philosophy of Mind “mental” diberi status Metafisika Material dan Epistemologi Realisme.
Tidak seperti para pengikut neoroscience pada umumnya yang menganggap realitas terjauh adalah fisik, Bunge membangun argumentasinya dari filsafat cukup idealis. Dikatakanya; Pusat filsafat adalah ontologi/metafisika. Hanya saja, ia juga memandang bahwa ontologi tanpa logika dan semantik menjadi membingungkan, tanpa epistemologi seperti tak berkepala, dan tanpa filsafat praktis menjadi seperti tak bertubuh. Oleh karena itu, ia mengajukan pandangan bahwa filsafat harus mencakup logika, semantik, epistemologi, dan filsafat praktis yang diorganisasikan dengan ontologi sebagai pusatnya. Tidak terkecuali pandanganya terhadap status mental.
Bagi agamawan, isu mental menjadi serius karena kaum neourosains menganggap pengalaman religius hanyalah gejala kerusakan syaraf otak epilepsi. Pengalaman spiritual hanyalah gejala syaraf yang dapat dibuktikan dengan rangsangan obat tertentu atau bisa dimanipulasi dengan memakai “helm Tuhan” (God’s Helmet).
Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana dengan pengalaman religius para nabi atau wali dalam tradis Islam. Bagaimana Filsafat Islam atau lebih spesifik Filsafat Mistisisme menjustifikasi pengalaman religius. Untuk menjawab persoalan tersebut, Riset STFI Sadra melalui program Forum Temu Pakar (FTP) 09/06/2017 mengundang seorang peneliti, Cipta, BG, MA yang kebetulan menggali masalah tersebut.
Cipta meneliti isu agama dan sains, telah melakukan studi banding antara Filsafat Bunge dengan Neosadrian ( aliran paska Mulla Sadra) dalam rangka menyelesaikan program tesisnya. Berikut transkip diskusi tersebut.
Signifikansi Penelitian
Cipta mempresentasikan materi diskusi dengan mengutip seperti dalam bab pendahuluan tesisnya, telah melakukan studi kritis terhadap teori identitas pikiran otak Mario Bunge dengan menggunakan Prespektif Neosadrian. Kontek diskursusnya adalah interaksi sains dan agama/spiritual/mistisisme.
Dikatakanya, isu ini biasanya dibahas dalam kontek Philosophy of Mind. Diantara tokoh yang telah membahas isu tersebut, John Hick dengan “The New of Fontiener of Religion and Science”. Religious Experience, Neuroscience and the Transendent-atau umumnya dikenal dengan studi sains tentang otak dan pengalaman mistik. Diantara tokoh neuro scientists saat ini; Andrew Newberg, Michael Persinger, Matthew Alper V.S.
Ramachandran seorang ahli neuroscience mempertanyakan, apa yang terjadi dalam otak pada saat mengalami pengalamana mistik.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa terdapat obat yang bisa mengalami pengalaman mistik, seperti obat LSD, MDMA. Namun terjadi perdebatan apakah obat tersebut memiliki pengaruh yang mirip dengan pengalaman mistik.
Sedangkan St Paul mengatakan terdapat titik epilepsi. Ramachandran berargumentasi 25% penelitianya mengatakan pengalaman spiritual berasosiasi epilepsi. Sedangkan Persinger berpendapat terdapat reduksi bahwa pengalaman spiritual baik sebagai gejala patologi ataupun berkaitan dengan medik. Michael Persinger berekperimen dengan kegiatan otak yang di pengaruhi oleh sengata nlistrik. Bahkan, dikatakanya untuk mengalami pengalaman spiritual tidak perlu meditasi dan puasa- tapi cukup mengenakan helm Tuhan.
Cipta dalam penelitian ini bertujuan untuk menganalisa secara kritis pandangan Mario bunge bahwa realitas mental identik dengan realitas fungsi otak-dikenal dengan identitas mental dan otak.
Cipta menggunakan metode hermeunetika Paul Ricoeur-dengan cara menguraikan klaim utama yang dipegang oleh Bunge tentang teori identitas dan sejumlah klaim tentang ontologi dan epistemologi yang menjadi kerangka filosofis umum yang berkaitan denganya. Peneliti kemudian melancarkan kritik atas klaim-klaim tersebut yang kontradiksi dengn klaim filsafat neosadrian, kemudian mencari titk keduanya.
Referensi
Seperti tertulis dalam penelitianya, Cipta menggunakan sumber utama untuk memahami kerangka dan filsafat mental Mario Bunge berjudul Treatise on Basic Philosophy yang terdiri dari delapan volum. Namun hanya beberapa volume di antaranya saja yang penulis pandang relevan, yaitu: volum 3, 4, 5, dan 6. Selain itu penulis juga akan menggunakan karya Bunge yang berjudul Matter and Mind dan Philosophy of Psychology yang secara khusus membahas filsafat mental dari kerangka materialisme saintifiknya. Untuk mendukung penelitian, Cipta juga akan menggunakan karya Bunge lainnya yang relevan seperti: Philosophy in Crisis, Evaluating Philosophies, Chasing Reality: Strive over Realism, Philosophy of Science, dan yang lainnya. Sumber primer yang penulis gunakan dalam memahami filsafat mental (jiwa) Neośadrian adalah karya Hasan Zâdeh Âmulî yang berjudul „Uyûn Masâ‟il al-Nafs beserta Syarh-nya dan al-Hujaj al-Bâlighah „ala Tajarrud al-Nafs al-Nâțiqah.
Untuk kerangka ontologis-epistemologis Neośadrian, sumber primer yang penulis pilih adalah Uśûl-e Falsafeh va Ravesy-e Realism yang ditulis oleh Muhammad Husein Ŝabâțabâ‟i dan dikomentari oleh Murtadlâ Muțahharî; juga karya Ŝabâțabâ’i yang lain yaitu Bidâyah al-Hikmah dan Nihâyah al-Hikmah;dan Âmûzesy-e Falsafeh yang ditulis oleh Muhammad Taqî Meśbâh Yazdî.
Peneliti juga merujuk langsung karya Mullâ Śadrâ tentang filsafat mental (jiwa) dan kerangkanya seperti pada al-Asfâr volum 1, 2, 3, 4, 5, dan 8; al-Masyâ‟ir; al-Syawâhid al-Rubûbiyyah; dan al-Risâlah fî al-Taśawwur wa al-Taśdîq. Hanya saja, karena penelitian ini menggunakan perspektif Neośadrian, maka karya Mullâ Śadrâ hanya akan diposisikan sebagai sumber sekunder.
Cipta mengajukan beberapa poin permasalahan untuk diangkat dan dijawab dalam tulisanya;
I. “Apakah ada persamaan antara klaim utama tentang mental dan kerangka onto-epistemologis yang berhubungan dengannya pada filsafat Mario Bunge dan Neośadrian? Jika ada, maka, “Apakah persamaan tersebut pada bersifat keseluruhan atau hanya sebagian?”
II. “Apakah ada perbedaan antara klaim utama tentang mental dan kerangka onto-epistemologis yang berhubungan dengannya pada filsafat Mario Bunge dan Neośadrian?” Jika ada, maka, “Apakah perbedaan tersebut bersifat kontradiktif ataukah tidak?” Dan jika ya, maka, “Apakah kontradiksi tersebut bersifat menyeluruh ataukah tidak?”
III. “Bagaimana kritik filosofis atas pandangan Mario Bunge tentang mental dan kerangka onto-epistemologisnya bisa dilakukan dari sudut pandang Neosadrian?”
IV. “Apakah teori identitas mental-otak yang dipertahankan Bunge juga klaimnya bahwa sains kontemporer sejalan dengan teori ini, bukan dengan dualisme mental-raga dan mistisisme, bisa diterima dari sudut pandang Neośadrian?”
Dari hasil penelitianya, Cipta secara garis besar menemukan beberapa hal;
Pertama, ada sejumlah persamaan dan perbedaan antara klaim yang dibela oleh Mario Bunge dan para filosof Neośadrian tentang hakikat mental dan kerangka onto-epistemologis yang berhubungan dengannya. Sejumlah persamaan tersebut merupakan implikasi dari prinsip realisme dan rasio-empirisisme yang dibela oleh kedua sistem filsafat tersebut. Di sisi lain, sejumlah perbedaan akan muncul sebagai turunan dari perbedaan prinsip materialisme, saintisme, dan identitas mental-otak yang dipertahankan Bunge; dan prinsip sufisme, eksistensialisme”, dan plurasime esensial yang dipertahankan oleh para filosof Neośadrian.
Kedua, sejumlah persamaan antara kedua sistem filsafat ini memiliki perbedaan detil, termasuk yang bersifat kontradiktif. Demikian pula, berbagai perbedaan antara keduanya memiliki sejumlah titik temu pada perinciannya. Detil dari prinsip realisme dan rasio-empirisisme yang dibela oleh Mario Bunge akan berbeda dari detil serupa yang dibela oleh para filosof Neośadrian. Ini karena detil-detil tersebut akan berkaitan dengan sejumlah perbedaan prinsip antara keduanya, yaitu materialisme, eksistensialisme, pluralisme esensial, saintisme, dan sufisme. Hal serupa akan terjadi pada pendetilan poin-poin perbedaan yang akan terhubung dengan poin persamaan itu.
Ketiga, studi kritis atas pandangan Mario Bunge bisa dilakukan dengan menggunakan perspektif Neośadrian melalui pengajuan sejumlah argumen yang menjustifikasi klaim-klaim yang dipertahankan dalam filsafat Neośadrian dan sekaligus memfalsifikasi klaim yang berkontradiksi dengannya, yang sama dengan klaim yang dipertahankan dalam filsafat Mario Bunge, atau yang relevan dengan kritik yang diajukan Bunge atas sejumlah klaim yang dipertahankan dalam filsafat Neosadrian. Kritik seperti ini akan menyentuh prinsip-prinsip Bunge yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Neosadrian seperti materialisme, saintisme, dan identitas mental-otak.
Keempat, teori identitas mental-otak yang dipertahankan oleh Bunge dan klaimnya bahwa sains kontemporer sejalan dengan teori tersebut bukan dengan dualisme dan mistisisme, tidak bisa diterima dari sudut pandang Neosadrian. Teori tersebut bertentangan dengan klaim Neosadrian tentang hakikat mental juga dengan sejumlah prinsip yang berkaitan dengannya seperti eksistensialisme, pluralisme esensial, dan immaterialitas jiwa berserta daya-dayanya. Di sisi lain, klaim bahwa sains kontemporer sejalan dengan teori tersebut bukan dengan dualisme dan mistisisme akan tertolak dengan klasifikasi subjek filsafat dan sains, juga dengan berbagai persoalan tentang implikasi filosofis (metafisis) dari suatu capaian sains kontemporer.
Hasil penelitian ini mengarah pada tujuh hal; Pertama, ada perbedaan pada klaim utama tentang teori mental dan kerangka filsafat antara yang dipegang oleh Mario Bunge dan dalam filsafat Neośadrian dengan sifat perbedaan yang tidak berkontradiksi (kontradiktori atau kontrari) secara keseluruhan, melainkan ada titik temu di sebagian aspeknya. Aspek kontradiktori terletak pada aspek-aspek berikut dari klaim Mario Bunge:
a. Materialisme ontologis: realitas identik dengan materi.
b. Sistemisme ontologis: generalisasi sistem pada setiap entitas ril.
c. Saintisme epistemologis: sains adalah pengetahuan terbaik untuk memahami realitas.
d. Teori mental: identifikasi mental dengan psikon.
Aspek titik temu terletak pada klaim Mario Bunge di aspek-aspek berikut: a. Materialisme ontologis: (i) konsiderasi realitas dari sisi efeknya dan pengujian empiris baik saintifik atau inderawi; (ii) konsiderasi objek hipotetis yang harus didasarkan pada proposisi teruji; (iii) identifikasi perubahan dengan entitas material; b. Sistemisme ontologis: adanya sistem pada entitas ragawi dan properti emergen pada sistem tersebut; c. Saintisme epistemologis: (i) metafisika dibutuhkan sains; (ii) metafisika bisa berkembang mengikuti perkembangan sains; d. Teori mental: penjelasan tentang mental bisa dilakukan melalui reduksi eksplanatif moderat pada psikon.
Kedua, ada persamaan antara filsafat Mario Bunge dan Neośadrian dalam menerima prinsip realisme epistemologis dan rasionalisme epistemologis, dengan persamaan yang tidak berifat menyeluruh, melainkan berbeda dalam detilnya. Persamaan tersebut terletak pada klaim sebagai berikut. a. Realisme epistemologis: (i) realitas bisa diketahui; (ii) fenomenalisme (klaim bahwa nomena tidak bisa diketahui) tidak bisa diterima; (ii) reduksionisme eksplanatif moderat bisa diterima. b. Rasionalisme epistemologis: (i) rasionalisme yang bisa diterima adalah dalam bentuk rasioempirisisme. Perbedaan pendetilan terletak pada klaim sebagai berikut.
a. Realisme epistemologis: realitas eksistensi hanya diketahui melalui
pengetahuan presentatif, bukan representatif [Neośadrian];
b. Rasionalisme epistemologis: rasioempirisisme Aristotelian bisa diterima
[Neośadrian]; pengalaman yang sah secara epistemologis mencakup
pengalaman mistis sufistik (kasyf) [Neośadrian].
Oleh Cipta disimpulkan secara lebih ringkas lagi; pertama, teori identitas mental dan otak tidak bisa diterima. Kedua, perkembangan studi saintifik yang menguatkan adanya relasi antara satus otak dan status mental tidak menjustifikasi validitas teori identitas mental dan otak, juga tidak menfalsifikasi dualitas esensi keduanya. Ketiga ontologi materilisme tidak bisa diterima. Keempat, ontologi sistematisme dan emergentisme bisa diterima denga batasan ragawi. Kelima sekalipun terdapat banyak titik temu pada prinsip epistemologi realisme dan rasio-empirisme namun prinsip saintisme dan fallibilisme Bunge yang berhubungan denganya tidak bisa diterima
Hasi penelitian ini menunjukan bahwa Filsafat Neosadrian sebagai sistem filsafat telah menyelaraskan antara metafisika rasional, agama Islam dan sufisme bisa menjadi pilihan yang baik bagi komunitas muslim modern sebagai kerangka filosofis untuk menafsirkan sains cabang yang mereka saksikan saat ini, sejalan dengan pandangan dunia mereka.
Penanggap
Ammar Fauzi, PhD
Dikatakan Ammar sebagai penanggap pertama, “ada hipotesis bahwa kematian bukanlah perpindahan satu alam ke alam yang lain tetapi perpindahan dari waktu ke waktu yang lain, olehkarena itu tempatnya sama. Kita dibangkitkan ya di dunia ini, kata Thabatabai- akherat itu ya dunia ini.” Berkaitan dengan mental, kata Ammar yang terpenting itu waktu bukan tempat, seperti sumpah dalam Al-Quran juga diarahkan pada waktu.
Teori ini menurut Ammar bisa memecahan banyak masalah, diantaranya gerak subtansial, argumen wijdan. Ammar memberi ilustrasi dalam hubungan pasangan suami-istri. Seringkali istri bisa mengetahui sebuah rahasia yang disimpan oleh suami, meski sudah disimpan rapat-rapat. Hal ini membutikan kaitan yang sangat erat antara cinta dan pengetahuan. Cinta meski bergradasi tetapi puncak tertinggi dari pengalaman dalam kontek tasawuf. Dalam penelitian metapsikologi, banyak sekali ditemukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan syaraf otak (empirik), tetapi tetapi terdapat energi seperti dalam kasus penyembuhan prana. Contoh ini menurut Ammar menguatkan argumentasi bahwa akherat itu terjadi di dunia ini, sehingga konsekuensinya pandangan kita terhadap mentalpun menjadi lain, bukan lagi psikologi empirik tetapi metapsikologi.
Dr. Hadi Kharisman
Pernyataan Ammar kemudian di pertajam oleh penanggap kedua Dr. Hadi dengan memaparkan fenomena dalam fisika. Dikatakanya, tidak ada alam yang sama diwaktu berbeda, seperti dalam teori ruang dan waktu Einsten. Kita tidak bisa memahami dimensi ruang tanpa waktu, begitu sebaliknya. Dalam fisika kuantum tidak ada benda yang sama dalam setiap waktu. Seolah mengatakan sulit untuk membuktikan bahwa akherat itu terjadi di dunia ini jika dilihat dari teori fisika Einstein.
Akan tetapi Hadi sekaligus menyangsikan rumus M/N dari Bunge, bahwa mental hanya gejala neuron (syaraf fisik). Dikatakan Hadi mirip dalam tradisi positifis, kesadaran itu hanyalah epifenomena dari materi-kesadaran berasal materi. Pernyataan ini sebenarnya jika di telaah tidak bisa dibuktikan-karena pernyataan dibuat sudah mengundang asumsi bahwa awalnya adalah materi.
Hadi kemudian memberi contoh lain untuk menggugurkan klaim positifis, bahwa tanpa ada mediasi fisik sekalipun, dengan pemusatan pikiran, seorang mentalis bisa membengkokan sendok. Hal ini membuktikan bahwa dengan kesadaran tertentu bisa mengubah materi. Kesadaran bisa mengatasi materi. Contoh yang lain- William James pernah meneliti bahwa sugesti yang diberikan pada penderita sakit kronis yang telah di fonis tidak bisa sembuh, akan tetapi akhirnya bisa sembuh, ini sekali lagi membuktikan bahwa kesadaran bisa mengatasi materi. Contoh ini dengan demikian membantah teori identitas mental otak Bunge kata Hadi.
Afrizal, MSc.
Afrizal sebagai penanggap ketiga melihat kasus mental Bunge jika dikembalikan pada kontek agama (Islam) dan sains, terkesan terlalu sederhana. Dilihat dari sudut pandang Islam yang tentu saja berbeda dengan agama yang lain, tidak sekedar cukup beryoga kemudian bisa dikatakan beragama. Islam memuat managemen sistem hidup dunia dan akherat. Antara Islam dan sains tidak ada kontradiktori-jika mendapatkan konflik, maka cara beragamanya belum matang. Dalam prespektif Neosadrian-jasad itu berubah ubah, sedang jiwa fixed, Afrizal mengajak berpikir, bagaimana penjelasanya sesuatu yang berubah-ubah dapat berhubungan dengan sesuatu yang tetap.
Beberapa peserta diskusi bertanya seputar pentingya pengangkatan kasus mental Bunge. Sebelum diskusi di tutup, Cipta memberi komentar secara global, dikatakanya “saya tertarik meneliti Bunge, pertama, karena dari dulu selalu saja ada orang sinis pada agama. Orang yang mempunyai pengalaman spiritual dikatakan dukun dan gila-seperti zaman nabi dulu. Kedua, Bunge hidup di lingkungan ateis akan tetapi menurut Cipta, dia menulis dengan serius, olehkarena itu harus ditanggapi dengan serius. Ketiga, kita hidup sekarang terutama di Indonesia terpengaruh cara berpikir saintisme, apa-apa disesuaikan dengan sain.Terkadang tidak pada proporsinya.
Sains terpisah dan dipisahkan dengan agama, kita lihat saja di LIPI tidak ada bidang penelitian agama dan filsafat, kalau bicara agama ya di Kemenag. Orang-orang terlalu mudah mengaitkan dan menyesuaikan dengan sains (cara berpikir saintifik). Padahal sains sendiri di Indonesia dibahas lebih pada kontek aplikasi sains-bukan sains murni yang relevan dengan pertanyaan fundamental sains dan kaitanya dengan agama dan filsafat.
Olehkarena itu menurut Cipta, kita harus bisa berbahasa dengan bahasa mereka-seperti kata Sayyidana Ali. Boleh kaum neouroscience sinis dengan agama, tetapi kita respon dengan terma-terma neouroscince. Kita uji klaim-klaim mereka dengan burhan-seperti menggunakan Neosadrian. Akan tetapi, kita tidak harus mengikuti praktikum neouroscience karena perlu ijazah khusus dan ongkos laboratnya mahal. Sehingga yang bisa kita respon cara berpikirnya.
Kita perlu merespon isu sains yang perlu di respon, meski terkadang trenya sudah terlalu jauh, seperti halnya kita sibuk bicara Posmo tahun 2006, padahal di Prancis trenya tahun 1960. Dalam bidang Biologi kita ketinggalan 30 tahun, sehingga alat-alat untuk praktik neoroscience kita juga ngikut.
Cipta memberi penekanan secara global bahwa pembandingan sains dan agama, mengutip Jawadi Amuli sebenarnya sudah salah, karena sains sudah termasuk dalam agama, kalau mau dibandingkan isu antara akal dan naqli-bukan agama dan sains. Neouroscience bisa dibaca dengan frame Mulla Sadra (naql, irfan dan burhan) tapi kita cukup pakai burhan saja. Setelah kurang lebih 3 jam, Forum Temu Pakar ditutup oleh Zaenab MA. Diskusi berjalan menarik dan dinamis.(ma’ruf)