FTP : Insan Tawhidi, A Spiritual Antropology of Islam
Wardah Alkatiri, Ph.D –Tim Riset STFI Sadra, aktifis dan Pembicara isu LIngkungan
Insan Tawhidi, A Spiritual Antropology of Islam
Jumat, 30/9/016 Riset STFI Sadra berkesempatan mengundang seorang peneliti, Wardah Alkatiri Ph.D, salah satu alumni paska ICAS Paramadina dalam diskusi Forum Temu Pakar (FTP). Berikut transkip diskusinya.
Seperti biasa dalam sebuah sidang tesis dan disertasi, pertanyaan klarifikasi judul selalu menjadi diskusi pembuka sebelum membangun argumentasi lainya. Begitu juga dalam diskusi Forum Temu Pakar kali ini, seolah mengulang sidang tesis tahun 2008. Wardah menjelaskan dengan semangat pertanyaan penting apa yang dimaksud InsanTauhidi sebuah kajian (A Spiritual Antropology of Islam).
Menurut pemaparan Wardah, Insan Tawhidi adalah doktrin dalam mistisisme Islam tentang kualitas manusia yang dicapai melalui negasi ego seseorang, kedirian seseorang, dan dengan demikian menghasilkan keintiman (menyatu) dengan Tuhan dan penegasan memperoleh S besar “Self” dari transformasi s kecil “self”. Setelah mencapai kualitas ini, seseorang akan memiliki kesadaran tentang titik pusat, seluruh realitas saling terhubung dan menyatu dalam ketunggalan.
Wardah menambahkan, doktrin Insan Tawhidi dilihat dari aspek Antropologi Islam dalam kasus psikologi diperlukan dalam program asuh dan pendidikan untuk berdiri teguh dalam menghadapi dunia yang komplek. Orang yang mempunyai kadar intelektual tinggi (anugerah dari tuhan dan berbakat) lebih mungkin mengalami depresi eksistensial. Depresi eksistensial adalah jenis depresi yang muncul ketika seseorang menghadapi masalah dasar tertentu tentang keberadaan, seperti takut kehilangan dan kekawatiran akan hidup yang sementara, problem kematian, kebebasan, keterasingan dan nirmakna. Untuk kasus individu tersebut di atas, depresi bisa terjadi secara spontan. Sebagai solusi, psikolog James T. Webb berpendapat bahwa individu-individu berbakat memerlukan penanganan yang berasal dari sumber filosofis; pemikiran rasional, moral, disiplin, berdamai dengan dengan bencana dan masalah kejahatan.
Wardah yakin Insan Tauhidi tidak hanya mumpuni untuk menjawab kasus depresi yang bersifat psikologi. Bahkan bisa dikembangkan dalam kontek sosiologis. Untuk itu Wardah mengembangkan lebih lanjut menjadi disertasi untuk program Ph.D. Paparnya, “dalam disertasi PhD saya, konsep Insan Tawhidi merupakan instrumen untuk membantu Islamisasi Sosiologi. Dalam konteks ini, saya berpandangan bahwa Insan Tawhidi adalah kualitas manusia yang mampu menyelesaikan visi non-dualistik realitas. Sebuah pembebasan dari visi dualistik realitas adalah pra-syarat untuk ilmu-ilmu sosial dengan prespektif Islam (‘mengislamkan’). Dengan kualitas Insan Tawhidi, seseorang dapat menyadari bahwa semua aspek kehidupan dan semua derajat manifestasi kosmik diatur oleh prinsip tunggal, bersatu dalam titik pusat tunggal – dan tidak ada yang diluar kuasa Tuhan, karena tidak mungkin ada dua kekuasan dalam satu realitas.”
Wardah menyadari bahwa untuk mengusulkan sebuah kajian Antropologi dengan prespektif Islam tidak bisa berdiri sendiri. Telah ada sejumlah teori Antropologi yang sudah mapan. Setidaknya Ibu tiga anak harus membawa konsep tauhid, spiritual, dan Islam berdialog dengan konsep Antropologi yang sudah mapan (colonial antropology). Ya,..dengan kepercayaan diri tersirat dikatakanya, definsi konsep kolonial perlu dipertanyakan lagi.
Dalam bahasa singkat, Wardah mengatakan Western Anthroplogy adalah kajian antropologi dari sudut manusia fisikal, kultural dan saintifik. Kenapa saintifik? karena mengkaji potret manusia seperti makhluk hidup lainya, mengkaji manusia dari sisi biologis (manusia berdiri tegak, berjenjang setingkat lebih tinggi setelah monyet).
Dalam kajian kontemporer, Antropologi mendorong pada kesadaran keterbatasan sains modern untuk menyelesaikan pertanyaan fundamental manusia yang berakar dari fenomenologi Husserl dan Kant (Characterized by ‘the existential attitude’, a sense of disorientation and confusion in the face of an apparently meaningless absurd world). Menekankan pada manusia dari aspek homo faber – the making animal, and hence focuses on human’s ability to create symbols and meaning. Manusia menjadi pusat mengukur segala sesuatu. Antropologi kontemporer membawa karakter epistemologis bahwa presepsi dan kebenaran dipandang relatif (relativity of perception and of truth), dan secara ontologis menganut paham nihilisme.
Sedang dalam definisi Antroplogi klasik; manusia yang not limited to experience, empirical, and materialism, emphasized human as homo sapient – the thinking animal. Secara epistemologi menganut rationalisme, secara ontologi: Idealisme – human as rational animal.
Dalam kasus psikologi, Wardah terinspirasi dengan kasus depresi eksistensial manusia altruis (manusia berjiwa membantu sesama tanpa pamrih) akan tetapi terhantui dengan problem depresi eksistensial. Dalam buku The Price of Altruism, Jose price, menggugat teori Survival of Fittest (yang menanglah yang kuat) dengan pertanyaan fundamental darimana datangnya altruisme?. Bagaimana dengan orang yang complete strangers yang tidak ada hubunganya sama sekali, seperti hubungan keluarga dan saudara-akan tetapi mempunyai keinginan yang besar untuk membantu sesama tanpa pamrih. Untuk memperoleh jawaban, Jose Price terlibat menjadi transpersonal research (transforming self and others through research). Jose berekperimen dengan dirinya sendiri, menyumbangkan gajinya untuk tunawisma bahkan pecandu alkohol diundang untuk tinggal di rumahnya.
Namun akhirnya upaya Jose berbuah tragis, para tamu yang di undang malah melakukan tindakan yang buruk pada dirinya. Sang penelitipun akhirnya bunuh diri karena tidak mampu menjawab pertanyaan, kenapa orang yang sudah diperlakukan dengan baik malah berbuat jahat (problem of evil) pada dirinya.
Kasus Antropologi dan Psikologi inilah yang menbuat Wardah membuat sebuah kesimpulan dalam abstrak tesisnya,
“Persons of higher intellectual ability (gifted and talented) are more likely to experience depression referred to as existential depression. Existential depression is a type of depression that arises when an individual confronts certain basic issues of existence, such as loss or the threat of a loss which highlights the transient nature of life, issues of death, freedom, isolation and meaninglessness. To the aforesaid individuals, the depression can happen spontaneously. As remedies, psychologist James T. Webb argues that talented individuals need something addressing philosophical sources of the issues including rational thought, morale, discipline, and coming to terms with the catastrophes and problem of evil.”
Sebagai usulan akademik berbasis Islam, spiritual dan tauhid (prespektif Islam/Islamic human science), maka Wardah dengan usulan Insan Tauhidinya memulai dengan argumentasi pertanyaan who/what is human hence?. Wardah mengekplorasi lebih jauh pengertian Insan Tauhidi sebagai berikut:
Pertama, Insan Tawhidi, adalah khalifah di muka bumi (defines human as the vicegerent of God in the world), secara epistemologi menggunakan revelation (wahyu) and Intellect (intelek) sebagai sumber kembar kebenaran (as the twin sources of truth). Secara ontologi manusia dan alam adalah satu, human and the universe are in unitive or Tawhidi terms relies on ontological and epistemological dimension of the Fall (story of Adam)
Kedua, manusia yang sudah mencapai kualitas nir ego, intim dengan Tuhan, mempunyai kesadaran yang terpusat, bahwa segala sesuatu terhubung dengan yang satu. “Insan Tawhidi implies a quality of human that is achieved through the negation of one’s ego, own selfhood, and thereby: resulting in subsistence in God and the affirmation of the Self. Having achieved this quality, one will have a consciousness about the Centre, and that all existents are interconnected and united in single Oneness. “
Ketiga, secara fitrah manusia berdasarkan wahyu menyatakan bahawa manusia dan alam adalah satu, harmoni dan melengkapi, meneguhkan keindahan batin manusia yang merefleksikan seluruh ciptaan. (He primordial character of the Islamic revelation reinstates man and the cosmos in a state of unity, harmony and complementarity, reaffirming man’s inner bond to the whole creation” (Nasr, SH. “The Need for a Sacred Science”, p.124).
Olehkarenya Insan Tawhdi mencukupi untuk menjawab pertanyaan fundamental manusia. Seperti bagaimana Tuhan berinteraksi secara saintifik dan teologis, apakah kita nyata atau hanya kebetulan, atau sekedar korban mata rantai teori evolusi? Bagaimana kejahatan dan penderitaan bekerja sementara Tuhan Maha kuasa dan Maha Mengetahui, bagaimana seluruh kebaikan bekerja?. Jika manusia adalah wakil Tuhan, bagaimana menjalaninya?. Kenapa manusia tidak boleh bunuh diri, meski dia tidak bisa menanggung beban hidupnya?. Kenapa terjadi paradox dalam segala sesuatu?
Pemaparan Wardah ini di tanggapi oleh Beny Susilo Ph.D sebagai penanggap pertama, mengatakan “Saya berusaha memetakan pikiran saya sendiri, jika ingin mendevelop teori baru, pertama argumentasinya bagaimana?, kedua, apakah Insan Tauhid ini kita dapati dalam setiap diri manusia?. Ketiga, apakah ini bisa diterapkan secara universal?
Selanjutnya apakah konsep Insan Tauhidi ini bersifat ontologis? apakah manusia percaya atau tidak percaya, realitasnya ada dalam misdaq. Apakah semua dari kita adalah misdaq dari Insan Tauhidi tersebut?. Atau Insan Tauhidi ini bersifat epistemologis, hanya yang bisa mengalami secara berjenjang saja yang bisa memperoleh status Insan Tauhidi. Olehkarenanya mereka yang mengalami pengalaman tersebut harus ada medium, pembuktian argumentasi.
Benny mengilustrasikan dengan contoh, Ahmad Sirhindi mengatakan; kita bisa mengalami pengalaman spiritual hanya sejauh kemanusiaan/ Wahdah Syuhudi (epistemologi), bukan Wahdah Wujudi (ontologi). Sejauh yang ditangkap Beny, penjelasan bu Wardah bersifat epistemologis. Kemudian, mungkinkah bisa diterapkan jika kita dalam posisi dipaksa untuk mengalami doktrin (husuli) misalnya dalam kontek ilmu pedagogi, tentu secara epistemologis anak kecil tidak memiliki pengalaman sebagaimana yang dialami para sufi.
Wardah menjawab, bahwa kita bisa menanamkan pada anak pandangan hidupnya (world view) bukan pada level pengetahuan sufi. Wardah memberi ilustrasi, tentang fenomena anak-anak tingkat dasar yang di jejali dengan mental kompetisi sehingga akhirnya berpengaruh hingga level negara. Salah satu satu contoh kasus lingkungan- bagaimana keinginan setiap negara untuk mengurangi emisi global dan solidaritas untuk memperhatikan bumi sebagai planet bersama runtuh karena berhadapan dengan kepentingan ekonomi setiap negara (ego individu-ego negara). Dalam pengamatan Wardah, kasus individu ini berkaitan erat kebijakan ekonomi politik di tingkat negara.
Berbeda dengan Ammar Fauzi, Ph.D sebagai penanggap kedua melihat dari sisi lain. Mengatakan “kasus Insan Tauhidi ini sama persis dengan pertanyaan apakah Filsafat Islam bisa diturunkan sebagaimana Irfan (tasawuf) untuk menyelesaikan sains modern. Sehingga filsafat Parenial dalam pengertian filsafat hikmah (bukan definisi baku seperti irfan) bisa jadi rujukan. Ammar memberi ilustrasi dalam kitab Tatbirat illahiyah, penulis mengatakan “semua apa yang saya tulis berasal dari Tuhan, dan saya tidak menulis apa-apa yang bukan dari saya”. Dengan kata lain, “saya tidak peduli penguasa itu zalim atau pengusa baik, jika penguasa ada hubungan dengan saya, buat saya penting”.
Ammar berpandangan, jika kita masih kekeh dengan pendapat Ibnu Arabi seperti ini, kita akan kesulitan untuk menyelesaikan problem sains modern (problem of evil). Menurut Ammar, Antropologi kontemporer adalah disiplin ilmu paling luas dan komplek, sehingga perlu hati-hati. Ammar mengafirmasi pendapat Wardah tentang pendapat evolusionis bahwa ras kulit putih adalah ras yang paling unggul, pararel dengan teori evolusi sebagai justifikasi Survival of Fittest sehingga menghasilkan produk mental imperialis. Akibatanya para agen-agen atropologi ini tidak mampu menjawab secara proporsional pertanyaan fundamental, apakah manusia itu?. Bahkan Erner Cesirer-agama dilihat dari sisi antropologi menjadi magical thinking. Inilah salah satu reduksi konsep manusia menurut Ammar (sekularisasi dalam antropologi).
Ammar mengusulkan menggeser ke level “dunia akherat” (eskatologi) bukan ke level Tuhan (teologi). Bagaimana anak didik diperkenalkan alam akherat dengan cara menghidupkan konsep fitrah, seperti mengarahkan konsep ego (mementingkan diri sendiri) dengan cara positif. Sebagai penguat, Ammar mengutip kata alqolbu masulun dalam konsep Ibnu Arabi, bahwa manusia harus sayang pada organ tubuhnya, sampai dia bertemu dengan Tuhanya.
Ammar mengajak memahami secara utuh konsep diri dalam irfan, seringkali menurut hematnya kata-kata “mengenal diri maka mengenal Tuhan” dipahami hanya fokus diri individu, sedangkan diri tidak dipahami dalam bingkai sosial. Padahal diri sosial bisa mengenalkan pada Tuhan.
Diskusi masih menyisakan sejumlah pertanyaan bagi penanggap dan jawaban lebih dari peneliti. Waktu berjalan terlalu cepat. Kontak intelektualpun belum cukup rampung. Diskusipun sementara diakhiri.
Demikian sekilas cuplikan diskusi Forum Temu Pakar (FTF). Kesimpulan sementara dari redaksi Riset Sadra bahwa kegelisahan dalam tesis dan disertasi Wardah adalah potret problem sains modern. Imbas problem sains modern menghasilkan-depresi eksistensial, krisis lingkungan, intelectual imperialism. Banyak teori yang perlu dikritisi (terlanjur kuat) yang sudah mendarah daging di universitas di seluruh dunia begitu juga di Indonesia. Sekedar untuk berbeda prespektif saja diperlukan kerja keras apalagi berharap menjadi teori alternatif. Insan Tauhid (A Spiritual Antropology of Islam) adalah cara berpikir berbeda-sebuah upaya akademik menggali dari prespektif Islam (irfan) untuk disumbangkan ke disiplin Antropologi dan Sosiologi.
Ilmuan untuk ilmuan, ilmu untuk ilmu, teori untuk teori. Pakem ini sepertinya tidak berlaku bagi Wardah. Manusia, alam, dan Tuhan (ibrahimik) adalah trilogi yang satu. Wardah mengalami secara batin teori itu, mempraktekkan teori itu dalam bundel “Insan Tauhidi”. Kata kuncinya adalah tanggung jawab (manusia khalifah). Sosok singkat Wardah adalah: menjadi ibu rumah tangga, ilmuan, pecinta lingkungan, membantu petani organik. Berawal dan bersama tanpa akhir pengalaman eksistensial (near to death) saat kecelakaan di Nederland menjadi energi untuk terus meneliti dan berbuat untuk sesama. Sampai jumpa ibu Wardah.