FTP: Integrasi Sains Al-Farabi, Kapan Terjadi?

Paradigma Sains Integratif Al-Farabi. Sebuah judul buku karangan Dr. Humaidi. Buku setebal 386 halaman ini hasil dari disertasi Sekolah Paska Sarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. S3 diselesaikan pria Pamekasan ini selama dua tahun tiga bulan. Sementara disertasi ditulis hanya dua tahun. “Nulisnya cepat pak, tapi ngumpulin bahanya lama” begitu jawab Humaidi ketika di tanya redaksi Web Riset STFI Sadra. Sebelum memperoleh gelar Doktor, Humaidi menyelesaikan S1 tahun 2004 Fakultas Uhsuludin UIN Syartif Hidayatullah dengan judul skripsi “Eklusivisme Agama Yahudi”. Menyelesaikan S2 tahun 2004 dari ICAS Paramadina dengan judul tesis “Nasr Concept of Knowledge: Sacre Science Contribution to Modern Epistemology”.

Forum Temu Pakar (FTP) 7/6/2017 Riset STFI Sadra mengundang Dr. Humaidi untuk membedah buku ini untuk yang ketiga kalinya. Ditemani Dr. Basrir, Cipta BG dan Dr. Abocci sebagai penanggap. Dimoderatori oleh Ali Zaenal Abidin.

Sebelum memaparkan gagasan Paradigma Sains integratif Al-Farabi, Humaidi menjelaskan detil latar belakang problem dunia sains di dunia Islam. Pertama, problem sekularisasi. Banyak buku karangan barat mendukung ide sekulerisme seperti karya Stephen Hawking, There is no Heaven; It’s a Fairy Story (2011); Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (2010). Karya Richard Dawkins, The Selfish Gene (2010) dan The Blind Watchmaker (2011); Nial Shanks dan Richard Dawkins, God, the Devil dan Darwin: A Critique of Intelligent Design Theory (2004); Stephen Jay Gould, Rock of Ages: Science and Religion in the Fullness of Life (2009); Paul F. Lurquin dan Linda Stone, Evolution and Religious Creation Myths: How Scientist Respond (2007);

Kedua, implikasi dari problem sekularisasi tersebut menimbulkan disintegrasi keilmuan, cara pandang, kepribadian manusia, keterpisahan hubungan antara manusia dan alam, keterputusan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan, termasuk disintegrasi dalam sistem pendidikan, masyarakat, dan sistem-sistem yang lain.

Cara pandang ini berkeyakinan bahwa, secara ontologis, realitas yang sesungguhnya hanyalah materi sedangkan realitas yang lain, seperti metafisika dan agama, tidak riil. Karena secara ontologis yang riil hanyalah materi, maka secara epistemologsi adalah mustahil untuk mengetahui realitas metafisik ataupun agama.

Demikian juga, secara aksiologis menyimpulkan bahwa hanya sainlah yang memiliki nilai untuk membangun peradaban dan kehidupan, serta menilai bahwa sesuatu menjadi baik atau tidak baik.

Ketiga, diskursus tentang integrasi ilmu pengetahuan di Indonesia merupakan salah satu tema yang sangat populer. Hal ini didukung dengan data-data baik dalam penerbitan karya-karya maupun pengembangan institusi.

“Olehkarena itu dalam rangka menjawab persoalan-persoalan sekularisasi dan disintegrasi di atas, serta memberikan landasan filosofis bagi pengembangan integrasi keilmuan di Indonesia, buku ini hadir”. kata Dr. Humaidi.

Jawaban terhadap persoalan tersebut didasarkan pada pemikiran Filosofis al-Farabi. Dipilihnya al-Farabi, pertama, karena ia merupakan pioner berusaha untuk mengintegrasikan seluruh bidang ilmu pengetahuan, terutama antara ilmu agama [naqliyyah] dan ilmu rasional [‘aqliyyah]. Kedua, usaha al-Farabi untuk menginterasi seluruh bidang keilmuan, menurut penulis, sangat komprehensif.

Klasifikasi ilmu dalam pemikiran al-Farabi meliputi seluruh bidang ilmu pengetahuan seperti ilmu agama, filsafat, fisika, matematika, etika, ekonomi, dan politik. Struktur klasifikasi keilmuan komprehensif al-Farabi ini dijelaskan bab III atau bagian kedua dalam buku ini. lihat halaman 75. Terang Humaidi.

Ketiga, integrasi sains atau ilmu dalam pemikiran al-Farabi memiliki fondasi filosofis yang kokoh dan solid, baik dari ontologi, kosmologi, epistemologis, metodologis, dan aksiologi. Penjelasan terhadap fondasi filosofis ini berada pada bab IV atau di bagian ketiga dalam buku ini. Fondasi filosofi secara ontologis yang kemudian menjadi obek dari sains misalnya, dapat dilihat pada halaman 168.

Keempat, implikasi dari prinsip integrasi sains al-Farabi termanifestasikan dalam berbagai aspek dan bidang keilmuan, seperti keselarasan sains dan agama, mikrokosmos dan makrokosmos, pada aspek metodologi, kesatuan antara gerak emansasi dan evolusi, kesatuan antara pengetahuan inderawi, rasional, dan spiritual, pentingnya sains dan nilai-nilai utama. Penjelasan terhadap fondasi filosofis ini berada pada bab V atau di bagian keempat dalam buku ini.

Keseluruhan apek di atas, baik dari struktur ilmu pengetahuan, fondasi filosofis, maupun contoh atau bentuk dari implikasi pandangan integrasi sains al-Farabi terdapat dalam karya-karya al-Farabi.

Oleh karena itu, integrasi keilmuan dalam Islam sudah berkembang dan sudah melahirkan peradaban besar. Dengan integrasi itulah, Islam mencapai peradaban tinggi di bandingkan dengan peradaban-peradaban lain. Nah, bentuk integrasi keilmuan al-Farabi dapat menjadi contoh dan model serta menjadi jawaban dalam pengembangan keilmuan dalam konteks sekarang yang secara sistem dipengaruhi cara pandang sekuler dan disintegratif. Terang Humaidi meyakinkan.

Respon
Dr. Basrir
Pemaparan Dr. Humaidi itu kemudian di respon oleh Dr. Basrir. Dikatakanya, buku ini bisa dijadikan rujukan di bidang sains integrasi, relasi antara filsafat dan agama. Kenapa demikian, karena penulis bukan sekedar melakukan romantisme tapi juga ingin memperlihatkan bahwa fakta sejarah tradisi pemikiran Islam pada masanya pernah menjadi kiblat peradaban yang lain. Khususnya di bidang sains, diantaranya Al-Farabi, Khawarismi, Ibnu Sina, Albiruni menjadi referensi saintis Barat, baik Yahudi dan Kristen. Bahkan hingga zaman modern.

Alfarabi mengajukan gagasan Integrasi sains, agama, dan Filsafat bahkan irfan. Zaman sains barat modern, sekelas Roger Bacon pun, dalam karya The optic hasil plagiat dari “Manazilul Arifin” karya Ibn Khaitam. Tidak sekedar adopsi bahkan di plagiat. Terang Basrir.

Kopernikus yang merupakan tonggak sains modern, dengan model gerak orbit antariksa heleosentris tidak geosentris lagi mengambil dari Nashirudin Athusi. Sains modern dalam perkembanganya kemudian bercorak positifis-menghilangkan jejak agama dan metafisika. Olehkarena itu, sains integratif Al-Farabi tidak perlu diragukan karena antara agama, sains, filsafat, irfan saling merekonsiliasi bukan konfrontasi.

Integrasi jenis ini bukan cocologi. Terutama Kosmologi, Emanasi dan Psikologi al-Farabi, terlihat integratif dimana objek metafisik dan fisik tidak bisa dilepaskan. Pengetahuan kita diperoleh bukan dari pengetahuan faktual (empiris) tapi saat jiwa kita sampai pada akal fiil, aktual, hingga akal mustafad (perolehan)-setelah menyatu pada akal ke 10-sehingga disiplin psikologi dan kosmologi bertemu. Sayangnya menurut Basrir, psikologi modern masih sekuler, tidak mampu menyingkap relitas jiwa.

Dalam sosial sains, al-Farabi juga memberi gagasan-mengusulkan manusia harus bersikap dan berinteraksi dalam skala kecil dan besar dalam negara- dalam “Madinah al-fadhilah” jelas sekali.

Dengan kata lain-singkat kata “integrasi ilmu” pada masa keemasan Islam menjadikan Islam mempunyai peradaban tinggi. Terang Basrir dengan yakin.

Cipta, BG, MA.
Respon selanjutnya dari Cipta, BG. Dikatakanya buku ini sangat bagus, well research, lengkap dan bermanfaat bagi yang fokus pada isu sains dan agama. Saya tertarik dengan kalimat “Integrasi menjadi modal kemajuan sains dan peradaban”. Poin dari saya, umumnya masyarakat kita ketika merespon sekurelisasi hanya mengambil teori barat dan kemudian mengambil ayat Al-Quran sebagai justifikasi. Akan tetapi tentu saja di lingkungan Filsafat Islam seperti di kampus kita tidak banyak mendukung.

Saya tertarik mengambil Hikmah Mutaaliyah sebagai kerangka untuk mengembangkan struktur integrasi Al-Farabi. Misalnya bagaimana membahas metafisika. Nampaknya dalam pengamatan Cipta, Alfarabi membedakan disiplin ilmu dari subjek matternya seolah integrasi, padahal menurut Cipta hanya merangkai satu struktur ilmu. Akan tetapi ketika masuk pada detil disiplin ilmunya tidak ada bedanya. Sehingga terlihat hanya kerangka dan struktur ilmu saja. Kemudian pertanyaanya, Islamnya mana?

Menurut Cipta, perlu definisi agama dan sains yang kita maksud. Umumnya di masyarakat kita, Islam itu ya Quran dan hadis. Ini terlihat gaya pengembangan Psikologi Islam oleh Bastaman di UI dan Ancok di UGM. Integrasi dipraktekkan dengan membaca ayat, menggabungkan gaya Faruqi dan Sardar. Padahal mendekati ilmu jiwa bisa dengan Filsafat Islam dan Irfan akan tetapi bisa juga dengan ayat. Gejala ini dilihat Cipta hanya seperti mengakomodasi kehausan masyarakat akan Islam kemudian ditawarkan dengan ayat, dan masih sangat sedikit penjelasan yang rasional.

Integrasi bisa dipraktekkan dengan mencari maudu’ dan masail dengan cara multidisiplin. Sedang premis perlu upaya Interdisplin-transfer konsep dengan menggunakan metode burhan. Jadi intinya kerangka integrasi al-Farabi dikembangkan dengan kerangka Hikmah Mutaaliyah (koresponden burhan, Quran, hadis dan irfan). Di tingkat makro (kerangka umum) dan mikro (disiplin ilmu) perlu pengaturan.

Hal lain, menurut pengamatan Cipta tentang definisi sains. Problem demarkasi dalam sains modern sangat beragam, pandangan saintisme telah menggantikan pandangan dunia agama. Masing-masing sains modern memiliki definisi. Selain memikirkan definisi sains-penting juga tentang program riset dan upaya untuk menjadikan pengetahuan sebagai pengetahuan komunal. Perlu ilmu yang simpel untuk melakukan integrasi karena disiplin ilmu telah pecah luar biasa. Terang Cipta.

Dr. Abacci
Dr. Abocci memberi catatan dengan mempertajam usulan Hikmah Mutaaliyah dari Cipta. Dikatakanya, kalau kita ingin mencapai ilmu yang mencakup (integrasi), antara teori dan praktik harus satu-agar sesuai dengan pandangan dunia yang mencakup. Apa yang membuat tidak terintegrasi penyebabnya karena pandangan dunianya. Semakin wujud kita semakin basit (sederhana) maka wujud kita makin luas.

Jadi, integrasi bukan pada pendekatan tapi melalui praktek-Abocci memberi penekanan. Integrasi terjadi manakala pandangan dunia manusianya secara aktual dan eksitensial terjadi- sehingga secara otomatis ragam disiplin ilmu itu akan menyatu dengan sendiri. Wujud akan ada kesesuaian dengan dirinya sendirinya. Setelah dua jam berdiskusi, forum kemudian di tutup oleh Zaenal Abidin.

 

Share your thoughts