FTP: Pendar-Pendar Sains dan Spiritulitas, Benarkah Metode Baru?

“Pendar-Pendar Sains dan Spiritualitas, Sebuah pendekatan Baru” begitu judul presentasi Husain Heriyanto. Pendar artinya kilatan (grojokan), sesuatu yang muncul dari fitrah manusia-given. Sebuah kesadaran yang bervisi spiritual, membangkitkan kedalaman eksistensial sekaligus ungkapan ontologis dari diri manusia dihadapan Tuhan. Begitu Dr. Husain mengungkapkan dengan penuh keyakinan.

Kata “pendar” ini dibahas disandingkan dengan sains karena memang berpijak dari problem dunia sains yang mempunyai relasi dengan agama-yang dalam sejarahnya tidak mulus (problem). Dikatakan Husain, seperti dalam presentasinya, pertama, perkembangan sains telah mencapai titik di mana ia tidak lagi sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah/saintifik yang mendasar (ultimate questions). Kedua, Titik temu dan dialog antara sains dan agama sudah banyak dibicarakan dan telah menjadi sebuah wacana yang mengemuka sejak tahun 1970-an.

Akan tetapi dalam pengamatan Husain, banyak respon sarjana Muslim/Kristen selama ini cenderung bersifat teologis, etis, dan metafisis. Ada yang bercorak apologetik, ideologisasi/sektarian/labelisasi. Bucailisme bersifat “cocokologi”, Ismail Faruqi “Islamisasi sains”, Ziauddin Sarar- modernisasi Islam, Seyyed Husain Nasr dan Naquib Alatas, kembali pada tradisi sains Islam, sedang Golshani dan Ian Barbour bercorak tipologi dan integrasi.

Secara garis besar, Husain melihat tantangan aktual yang dibawa sains dan teknologi adalah “reduksi eksistensial” yang mengancam kapasitas kearifan manusia. Heidegger menyebutnya sebagai “enframing” bahwa iptek mengikis otentisitas manusia (menjadi manusia masa, rasio instrumental). Gabriel Marcel menyebut “dunia teknis telah mengasingkan manusia dari misteri keberadaannya”

Olehkarenanya upaya memaknai sains dalam perspektif spiritualitas sudah pernah dikembangkan oleh “New Age” tapi tidak berkembang karena tidak adanya metode atau pendekatan yang relevan. Sementara, sarjana Muslim selama ini mengandalkan argumen kosmologis, teleologis dan ontologis yang bersifat burhani dan tahlili (analitis) ketika berbicara tentang alam semesta.

Sedangkan untuk pengalaman ruhani (wa fi anfusihim) digunakan metode irfan (tazkiyah an-nafs), isyraqi (irfan dan burhan) atau Hikmah Mutaaliyah (irfan, burhan dan bayani). Merujuk ayat-ayat Al-Quran, alam semesta sangat banyak disebut (750 ayat) dalam perspektif “kehadiran Tuhan”, bukan argumen “adanya Tuhan”. Olehkarenya lebih bersifat spiritual daripada teologis.

Seperti dalam QS Al-Hadid: 1-6 ..” Dia bersama kamu di mana saja kamu berada ..”, QS 3: 190-191, QS Fushshilat: 53, QS 2: 164, Inna rabbakumu Allahu ladzi khalaq al-samawati….inna rahmatalLahi qaribu min al-muhsinin. Diantara tujuan dari penggalian metode “Pendar” ini, hemat Husain, dalam rangka ikut serta mengatasi krisis spiritualitas. Memanfaatkan kekayaan tradisi intelektualitas-spiritualitas Islam, sekaligus kemajuan pesat sains. Dakwah bil-hikmah dengan cara membangun pendekatan dan metode baru dalam wacana sains dan agama/spiritualitas.

Metode “Pendar” merupakan prinsip-prinsip dasar spiritualitas, menghadirkan kearifan, kecakapan ruhani, transenden menangkap, menyingkap, menemukan (wajada, finding). Bermakna, mencerap kehadiran ilahi. Sehingga spiritualitas tidak terletak pada teori-teri ilmiah dan konsep-konsep sains, melainkan pada realitas yang diacu oleh sains tersebut.

Setiap/semua teori berasal dari obyek/alam; karena itu, yang benar adalah “sacred nature” bukan “sacred science fenomenologi”, “back to things”, kembali ke alam”. Alam adalah insan kabir sementara manusia adalah alam “shaghir”. Filsafat wujudiyyah, ashalat al-wujud. Jadi spiritualitas berkenaan dengan realitas (wujud).

Kemudian Husain memetakan langkah-langkah obyek kajian. Bisa menelaah perkembangan teori-teori sains tentang obyek dengan cara kontemplasi data-data penemuan sains untuk dideduksi dan disingkap pesan/nilai spiritual. Kemudian diperkaya dengan menggunakan refleksi pengetahuan pra-ilmiah. Dipertajam dengan refleksi filosofis/irfan. Objek-objek itu diantaranya bisa dibagi dalam beberapa topik; Metode Baru Pembahasan Sains dan Spiritualitas, Metode Pendari untuk Kajian Sains dan Spirituaitas, Hakekat Materi dan Energi, Memasuki Dunia Sub-Atom, Dimensi Spiritualitas Materi, Menjelajah Dunia Angkasa, Lorong Ruang-Waktu, Kesederhanaan dan Kompleksitas Alam, Asal Mula Alam Semesta, Alkemi Modern, Evolusi Materi-Ruhani, Kloning Manusia, Mungkinkah?, Komunikasi Gen, Interaksi Raga, Syaraf, Otak, Pikiran, dan Jiwa, Menyatu dengan Semesta, Pendar-pendar Hikmah.

Dr. Husein Heriyanto menambahkan, problem kita sekarang bukan tentang percaya atau tidak percaya tentang Tuhan, atau tentang bagaimana cara membuktikan Tuhan, melainkan bagaimana merasakan kehadiran Tuhan dalam diri kita. Pendar adalah metode untuk menarik Tuhan dari alam langsung(ontologi) hasilnya seperti barqah alillahiyah Surowahdi, semacam wijdan. Bukan sains yang sakral, tapi interaksi diri kita dengan alam yang sakral. Teori alam itu sifatnya sekunder, jadi tidak langsung bisa menarik percikan- percikan Tuhan. Pendar juga semacam kecakapan menangkap percikan Tuhan dengan syarat kearifan. Bintang bisa dilihat langsung dengan mata, tapi dengan teleskop bisa makin membantu. Ini penting, karena 750 ayat Alquran bicara tentang alam.

Tanggapan
Pemaparan Dr. Husain Heriyanto kemudian ditanggapi oleh Ust. Abbacy dari sisi epistemologi. Metode “pendar” akan menghadapi masalah karena kesalahan adanya asumsi yang sudah membatasi mana pernyataan yang disebut ilmiah dan bukan. “Pendar” bisa dikatakan tidak ilmiah karena proposisi religius sudah dikelompokan terlebih dahulu sebagai pernyataan tidak ilmiah karena tidak bisa diverifikasi oleh indera.

Sebenarnya proposisi religius itu bisa dialami oleh indera batin, masalahnya tidak dibuat generalisasi sehingga dianggap sesuatu yang bersifat mistik dan supranatunal yang tidak bisa di verifikasi, sehingga masuk kotak bukan ilmiah. Dalam Filsafat Islam, yang membedakan Filsafat Barat, bahwa menemukan (bisa dengan pengalaman spiritual) dan menjustifikasi diakui (burhan). Proposisi pengalaman religius diakomodasi, tinggal bisa nggak kita menjustifikasi untuk dijadikan justifikasi teori ilmu alam atau non alam ataupun untuk memperkaya kedalaman spiritual. Dalam Filsafat Islam dikenal maqam itbat dan thubut.

Hal yang lainya, penting untuk pengembangan lebih lanjut Fenomenologi Vertikal tidak hanya Fenomenologi Horisontal (indera). Sehingga objek batin (yang luas itu) bisa diakomodasi. Mahiyah atau batasan yang dilihat dari prespektif Filsafat Wujud bersifat subjektif, jika memakai potensi prespektif Filsafat Wujud yang lebih kuat, maka batasan (mahiyah) tadi bisa diperluas sehingga bisa menemukan sesuatu yang baru.

Tanggapan selanjutnya dari Ust. Salman. Menambahkan bahwa, ilmu modern biasanya menggunakan data statistik, sensus, survey dll sementara pengalaman spiritual biasanya dalam bentuk simbol, ekpresinya bisa dalam bentuk syair, puisi, dll. Dalam Ilmu klasik Islam, prinsipnya bahwa asma-asma Allah disingkap jadi ilmu. Penyingkapan itu bentuknya “kehadiran” yang berasal dari atas kemudian terjadi derifikasi. Ilmu modern hanya mengakomodasi alam nasut (materi) sementara ilmu klasik Islam mengakomodasi alam nasut, malakut dan jabarut. Tujuan ilmu klasik menyingkap hakekat dan konsekueasi etika, sementara ilmu modern sepertinya tidak berkepentingan.

Setelah mendengar pemaparan pemateri dan dua penanggap, dari tim Riset STFI Sadra memberi catatan bahwa metode “pendar” yang merupakan temuan Dr. Husain Hertiyanto ini merupakan rintisan awal yang perlu lebih banyak digali lagi. Dilihat dari aspek aspek epistemologi dan ontologi, baik dari sisi media untuk menangkap; indera, akal, dan batin ataupun objek alam nasut, malakut dan jabarut sepertinya bukan sesuatu yang baru dalam Filsafat Islam. Ditambah lagi memang antara sains modern dan ilmu klasik Islam yang memang sudah lama berbeda word viewnya sehingga konsekuensinya pada pengakuan antara media tangkap dan objek yang ditangkap bukanlah menambah wacana baru. Apalagi jika Dr. Husain ingin membuat metode baru, maka argumentasi metafisika dan epistemologi sebagai fondasi tidak bisa dilewati dengan mudah.

Sehingga pernyataan Husain Heriyanto yang yakin bahwa “Pendar” bukan wacana yang cenderung bersifat teologis, etis, dan metafisis. Bukan pula hanya bercorak apologetik, ideologisasi/sektarian/labelisasi. Bucailisme bersifat “cocokologi”, Ismail Faruqi “Islamisasi sains”, Ziauddin Sarar- modernisasi Islam, Seyyed Husain Nasr dan Naquib Alatas, kembali pada tradisi sains Islam, sedang Golshani dan Ian Barbour bercorak tipologi dan integrasi. Dilihat dari pemaparanya sepertinya Dr. Husain belum cukup meyakinkan sehingga perlu pengujian dan usaha yang lebih argumentatif. Disamping itu ragam objek untuk aplikasi “Pendar” dari Dr. Husain memang lebih fokus pada orang yang menggeluti atau hobi isu sains dan agama, sehingga untuk orang awam masih bersifat eklusif.

Meski begitu, upaya ini merupakan bagian dari etos ilmiah yang perlu dibudayakan, tidak sekedar diapresiasi tetapi juga sebisa mungkin memantik pada temuan-temuan yang lain. Itulah etos ilmu klasik Islam. Budaya ini terjadi di Iran sekarang, para Profesor sering berkumpul dan membicarakan isu-isu fundamental ilmu pengetahuan, akan tetapi sayang di Indonesia para dosen dan ilmuan di Indonesia sibuk sendiri, terpisah satu sama lain. Ammar Fauzi (Ketua Riset STFI Sadra) menutup acara.

Setelah kurang lebih 2 jam berdiskusi, ditutup oleh Moderator Isthada MA, salah satu aktifis ACroSS. Diskusi ini merupakan program rutin Forum Temu Pakar (FTP) Riset STFI Sadra bekerjasama dengan AcroSS (Aviciena Center for Religion and Science Studies). Acara berlangsung 15/6/2016 di lt. 02 STFI Sadra.

 

Share your thoughts