Hirarki Pengetahuan Keagamaan

Oleh; Musa Kazhim, MA
Dosen Filsafat Islam STFI Sadra, Penulis Buku, Pembicara dan Pengamat Politik Timur Tengah

Marilah kita asumsikan bahwa agama itu adalah objek pemahaman, sedangkan kita adalah subjeknya. Bertolak dari asumsi ini, maka kita akan mempunyai empat kategori hubungan antara agama dan pemeluk agama:

Pertama, hubungan ekuivalensi atau mutually inclusive yang biasanya dilambangkan dalam bahasa matematika dengan =. Contohnya, hubungan antara manusia dan makhluk berakal. Hubungan antara keduanya disebut ekuivalen karena sifat hubungannya yang refleksif (a=a), simetris (jika a=b, maka b=a), dan transitif (jika a=b dan b=c, maka a=c).

Kedua, hubungan subset atau yang dilambangkan dengan a < b atau juga bisa dilambangkan dengan b > a. Contohnya, hubungan antara manusia dan binatang. Artinya: semua manusia masuk dalam himpunan binatang, sementara tidak semua binatang bisa disebut sebagai manusia.

Ketiga, hubungan irisan atau intersection atau yang dilambangkan dengan a x b. Contohnya, hubungan antara warna putih dan burung. Tidak semua burung berwarna putih dan tidak semua warna putih adalah burung.

Keempat, hubungan antara dua himpunan yang sama sekali tidak beririsan atau mutually exclusive. Contohnya, hubungan antara batu dan binatang. Karena, seperti kita tahu, semua batu bukan binatang dan semua binatang bukan batu. Biasanya, hubungan itu dirumuskan antara dua proposisi universal yang negatif.

Nah, dalam kaitan dengan pengetahuan keagamaan atau ma’rifah diniyyah, dapat kita sebutkan bahwa Nabi dan Para Imam Maksum (dalam akidah Syiah) masuk dalam kategori hubungan pertama, ulama (semua syarat dan ketentuan berlaku) masuk dalam kategori hubungan kedua, dan ahli agama non-ulama masuk dalam kategori hubungan ketiga, sementara non-ulama yang sekaligus juga tidak ahli agama (lazim diesebut dengan awam) masuk dalam kategori hubungan keempat.

Penjelasannya: Nabi dan para Imam Maksum, setidaknya menurut mazhab Ahlul Bait, adalah refleksi dan manifestasi utuh Islam. Mereka adalah The Living Islam. Semua aspek kehidupan mereka setara atau ekuivalen dengan ajaran-ajaran Islam dan demikian pula sebaliknya: ajaran-ajaran Islam termanifestasikan dalam kehidupan dan kepribadian mereka. Maka itu, belajar Islam tanpa mengenal mereka sama saja dengan tidak mengenal Islam.

Para ulama adalah bagian dari keseluruhan Islam. Mereka ini, idealnya, adalah pewaris/pencermin Nabi dan para Imam. Dengan kata lain, semua aspek kehidupan mereka menggambarkan dan merefleksikan Islam, meskipun mereka tidak bisa mencakup atau memanifestasikan keseluruhan Islam. Kebenaran Islam lebih besar dari mereka dan mereka terlalu kecil untuk bisa memanifestasikan keseluruhan kebenaran Islam. Walaupun demikian, semua aspek kehidupan dan kepribadian mereka harus bisa disebut sebagai Islami. Singkatnya, setidaknya secara teoretis dan ideal, mereka haruslah orang-orang yang menjadi bagian dari keseluruhan Islam.

Para ahli agama non-ulama adalah mereka yang secara tekun dan jujur mencoba memahami dan mengenali Islam, tapi tidak semua aspek kehidupan dan kepribadian mereka merefleksikan ajaran-ajaran Islam. Adakalanya mereka bertindak berdasarkan suatu pertimbangan yang Islami, dan adakalanya mereka bertindak di luar aturan dan ketentuan Islam. Dalam konteks pengetahuan keagamaan, mereka berhak untuk didengar dan diambil pandangannya, tapi tidak berhak untuk ditiru.

Dan terakhir adalah kaum awam yang tidak mempunyai hak untuk didengar pendapat dan pandangannya mengenai Islam, meskipun tetap mempunyai hak untuk berbicara dan hak untuk bertanya. Manakala orang-orang seperti ini bicara tentang Islam, kita mesti mendengarkannya dengan ekstra hati2.

Lantas, apakah sikap ekstra hati2 ini tidak akan menimbulkan saling curiga dan sebagainya? Itu tentunya terkait dengan cara kita menerapkan sikap ekstra hati2 tersebut. Kalau sikap itu kita tuangkan secara emosional, maka pastilah akan timbul reaksi serupa yang berujung pada gontok-gontokan (eh, ini istilah kuno yang masih enak didengar) dan perpecahan. Tapi, kalau kita melakukannya secara wajar dan rasional, yang tumbuh kemudian adalah spesialisasi dan apresiasi yang juga cukup meritokratis kepada mereka yang secara kualitatif berada di atas kita dalam hal pengetahuan keagamaan.

Share your thoughts