Ibnu Sayyad: dari Pengalaman Psikis Sampai Keadilan Universal
Oleh; Ammar Fauzi
Seorang anak dari wanita Yahudi yang menarik perhatian khusus hingga jadi objek observasi Nabi SAW dan para Sahabat. Ibnu Shayyad atau Ibnu Sha’id demikian dicatat dalam hadis-hadis dari para imam hadis, mulai dari Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Dawud, Ibn Hibban, Ibnu Katsir, Haytsami, sampai pakar hadis kontemporer Al-Albani. Nama panggilannya Shaf dan Abu Abdillah. Secara umum, hadis-hadis terkait sosok ini diakui sebagai shahih. Ada redaksi yang panjang, ada juga yang pendek. Hadis ini lebih banyak diriwayatkan dari Ibn Umar, dan hanya beberapa dari Jabir bin Abdillah. Dalam klasifikasi sahabat, Jabir termasuk sahabat senior yang dikaruniai usia panjang.
Ada berbedaan kurang-lebih redaksi dan kandungan makna yang semuanya dapat saling melengkapi. Berikut ini salah satu redaksi hadis terkait yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari:
Ibnu Umar ra. mengabarkan bahwa Umar dan Nabi SAW berangkat bersama rambongan untuk mememui Ibnu Shayyad hingga akhirnya mereka mendapatinya sedang bermain bersama anak-anak yang lain di bangunan tinggi milik Bani Magholah. Ibnu Shayyad sudah mendekati baligh dan dia tidak menyadari (kedatangan Nabi SAW) hingga Nabi SAW menepuknya dengan tangan beliau kemudian berkata kepada Ibnu Shayyad, “Apakah kamu bersaksi bahwa aku ini utusan Allah?” Maka Ibnu Shayyad memandang beliau lalu berkata, “Aku bersaksi bahwa kamu utusan kaum ummiyyin (orang-orang yang buta huruf).” Kemudian Ibnu Shayyad berkata kepada Nabi SAW, “Apakah kamu akan bersaksi bahwa aku ini utusan Allah?” Maka beliau menolaknya dan berkata, “Aku beriman kepada Allah dan kepada rasul-rasul-Nya.”. Kemudian beliau berkata, “Apa menurutmu (sehingga mengaku sebagai Rasul)?” Ibnu Shayyad menjawab, “Karena telah datang kepadaku orang yang jujur dan pendusta.” Maka Nabi SAW bersabda, “Kamu kacau melihat masalah.” Kemudian Nabi SAW berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku menyembunyikan (sesuatu dalam hatiku), coba kamu tebak?” Ibnu Shayyad berkata, “Itu asap.” Beliau berkata, “Hinalah kamu! Kamu tidak akan melebihi kemampuanmu sebagai dukun.” Lalu Umar bin Al Khaththab ra. berkata, “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku memenggal leher orang ini!” Maka beliau berkata, “Jika dia benar, kamu tidak akan berkuasa atasnya, dan bila dia benar maka tidak ada kebaikan buatmu dengan membunuhnya.”
Salim berkata, “Aku mendengar Ibnu Umar ra., “Setelah itu Nabi SAW dan Ubay bin Ka’ab pergi menuju satu pohon kurma tempat Ibnu Shayyad sebelumnya berada di situ dengan harapan beliau dapat mendengar sesuatu dari Ibnu Shayyad sebelum dia melihat beliau. Maka Nabi SAW melihat Ibnu Shayyad sedang tertidur di balik baju tebalnya dengan mendengkur ringan. Dalam keadaan itu, ibu dari Ibnu Shayyad melihat Rasulullah SAW sedang duduk di bawah pohon kurma, maka ibunya berkata kepada Ibnu Shayyad, “Wahai Shaf (nama lain dari Ibnu Shayyad), ini ada Muhammad”. Maka Ibnu Shayyad kembali pada keadaannya semula (berbaring). Kemudian Nabi SAW berkata, “Seandainya ibunya biarkan, pasti jelaslah persoalannya (Dajjal atau bukan)”.
Termasuk redaksi hadis yang paling lengkap dan detail adalah hadis dari Jabir yang dicatat Imam Haytsami dalam dalam Majma al-Zawa’id. Di dalamnya disebutkan bahwa Ibnu Shayyad lahir dari wanita Yahudi dalam keadaan cacat mata dan bernasib malang. Ada pula keterangan Jabir bahwa Nabi SAW kuatir tentang keberadaan Ibnu Shayyad sebagai Dajjal. Benarkah keterangan Jabir ini?
Dalam hadis Jabir, Nabi SAW justru terkesan datang tidak sepenuhnya secara diam-diam. Sebagai teladan agung akhlak, sepertinya kedatangan Nabi diketahui sang ibu, namun Nabi tidak ingin Ibnu Shayyad (anaknya) tahu. Pertama-tama, dua kali cara diam-diam (kaitannya dengan Ibnu Shayyad pribadi, bukan diam-diam dengan ibunya) ini gagal, karena ibunya memberitahu kedatangan Nabi dan memintanya agar menyambutnya, “dan keluarlah kamu menujunya!” Nabi justru tidak ingin Ibnu Shayyad tahu kedatangannya agar menjadi jelas. Apa maksud Nabi menghampiri Ibnu Shayyad diam-diam dan apa sesuatu yang diharapkan agar menjadi jelas itu? Sejauh keterangan Jabir, beliau ingin mendengar sesuatu dari pembicaraan Ibnu Shayyad untuk memastikan apakah Ibnu Shayyad itu Dajjal atau bukan. Namun, apakah benar keterangan Jabir ini?
Alhasil, Nabi SAW gagal menemui Ibnu Shayyad tanpa sepengetahuannya dan, karena itu, pada kali kedua atau ketiga atau keempat, Nabi lalu melakukan cara terbuka dengan membuka dialog dengan Ibnu Shayyad. Maka, terjadilah dialog yang menarik yang menampilkan akhlak Nabi dan perangai Ibnu Shayyad. Di hadapan sahabat-sahabat Nabi, Ibnu Shayyad menjawab dan bertanya dengan cara berani dan terkesan lancang hingga membuat Umar bin Khaththab geram dan meminta izin Nabi untuk membunuhnya.
Nabi merespon sabar Ibnu Shayyad seperti saat Ibnu Shayyad mengulang pertanyaannya, “Apakah kamu akan bersaksi aku utusan Allah” kepada Nabi sebagai jawaban balik atas pertanyaan yang sama diulang Nabi kepadanya setiap kali menemuinya. Jawaban di pertemuan pertama dan diulang-ulang sama di pertemuan berikutnya itu (bahwa Nabi adalah utusan orang-orang buta huruf, atau penilaiannya bahwa Nabi adalah orang jujur juga pendusta) dapat dimengerti sebagai kewajaran karena dia dari keluarga Yahudi yang tidak percaya Islam.
Muhammad Iqbal dalam Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam (hal. 18 & 156), menjadikan hadis ini sebagai salah satu referensi dalam membangun fondasi pemikiran Islam sebagai pengalaman mistis. Dalam catatannya, Imam Bukhari dan para perawi hadis lain telah memberikan keterangan jelas tentang observasi Nabi SAW atas masalah psikis dan pengalaman mistis Ibnu Shayyad.
Dalam banyak riwayat juga disebutkan perkataan Ibnu Shayyad, “Aku melihat sebuah singgasana di atas air”. Apakah perkataan ini bisa dikategorikan sebagai ungkapan dari pengalaman mistis? apakah Nabi menganggap penglihatan Ibnu Shayyad itu sama dengan pengakuan Haritsah di hadapan Nabi bahwa dirinya melihat singgasana Allah bangkit dan melihat penghuni surga saling berkunjung? Melihat singgasana Allah bangkit tidak dapat disamakan dengan melihat suatu singgasana di atas air. Kasus pertama terkait dengan kualitas tinggi hakikat iman yang dicapai seorang mukmin saleh. Dapat dipastikan pengakuan Haritsah sebagai pernyataan dari pengalaman mistisnya. Pengakuan itu terjadi sepanjang dialog dengan Nabi yang tampaknya juga tidak terlihat ada maksud mengobservasi Haritsah.
Namun, agaknya berlebihan bila pengakuan Ibnu Shayyad dinilai sebagai pengalaman religius, apalagi pengalaman mistis, apalagi dalam keadaan ekstatis. Masih ada kemungkinan itu pengalaman indrawi. Seorang, dengan kekuatan supranaturalnya, bisa berjalan di atas air, tetapi pengalaman ini tidak masuk dalam pengalaman religius, mistis, batin. Karena itu, pengakuan Ibnu Shayyad direspon Nabi dengan jawaban, “Kamu kacau melihat masalah.” Bahkan kemampuan Ibnu Shayyad melihat sesuatu yang disembunyikan Nabi dinilai oleh beliau sendiri dengan perkataan ini, “Hinalah kamu, kemampuanmu tidak akan melebihi sebagai dukun”. Sepertinya, pengalaman Ibnu Shayyad tidak melebihi pengalaman seorang dukun yang bisa melihat, memperlihatkan dan memperagakan kekuatan supranaturalnya pada dirinya dan orang lain.
Cara diam-diam dan terbuka, masing-masing, dilakukan maksimal antara satu atau dua kali, yakni 2 s/d 4 kali. Ini menunjukkan adanya penyelidikan berulang atau observasi Nabi atas Ibnu Shayyad. Karena pengalaman Ibnu Shayyad mirip pengalaman magis, observasi Nabi juga bukan observasi psikologis seperti diklaim Iqbal. Ia sendiri dalam buku rekonstruksi itu tidak menyinggung-nyinggung pengalaman supranatural dalam arti kedukunan dalam mengurai pengalaman psikis, religius juga mistis.
Dalam hadis digambarkan bagaimana observasi Nabi SAW atas Ibnu Shayyad itu melibatkan sekelompok sahabat besar, termasuk Abu Bakar, Umar, Ubay bin Kaeb, Abu Dzar dan Jabir sendiri. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang menjadi fokus pikiran Nabi juga para sahabat hingga membutuhkan penyelidikan berulang itu. Apa sesuatu yang penting itu? Apakah sesuatu yang penting ini pengalaman magis Ibnu Shayyad? Kekuatan supranatural dan perilaku magis sudah dikenal di kalangan Arab. Nabi bersama sekelompok sahabat berbondong-bondong datang untuk memastikan suatu kenyataan yang, setidaknya, penting bagi mereka dan umatnya.
Perlu kiranya dimulai dari gejala awal yang mendorong mereka melakukan observasi berjamaah, yaitu hal-hal yang melekat pada Ibnu Shayyad seperti keberadaannya sebagai anak laki-laki yang lahir dari wanita Yahudi yang non-Muslim berada dalam lindungan kekuasaan Islam; anak kecil (ghulam) atau remaja yang mendekati usia balig; lahir dalam keadaan buta sebelah matanya (mamsuhah al-ayn) dan bernasib malang (tali’ah al-nab). Ciri-ciri ini juga terkait dengan identitas popular dari Dajjal, sebagaimana terdapat dalam banyak hadis (lih. Shahih Bukhari, no. 2829), dan karena itu dilakukan observasi. Observasi ini bahkan juga berlangsung secara tidak langsung. Dalam riwayat Abu Dzar, ia mengaku diutus oleh Nabi untuk menemui ibu dari Ibnu Shayyad untuk menanyainya tentang beberapa hal seperti: berapa ibunya mengandungnya dan bagaimana tangisan anaknya saat keluar lahir.
Berbeda dengan Ibnu Umar yang lebih banyak meriwayatkan hadis ini secara lebih singkat, Jabir menyatakan pengakuannya justru turut langsung dalam proses observasi bersama Nabi. Dia menyadari bahwa proses itu dalam rangka identifikasi Ibnu Shayyad sebagai Dajjal atau bukan. Dalam kesimpulannya, Ibnu Shayyad adalah Dajjal, “Rasulullah saw senantiasa yakin bahwa dia itu Dajjal.”
Apakah kesimpulan Jabir ini keliru? Apakah penilaian Muhammad Iqbal tentang para ahli hadis (bahwa mereka sama sekali salah paham hingga menafsirkannya menurut cara mereka sendiri yang polos) menyindir kesimpulan ini?
Dalam banyak hadis, Jabir tidak sendirian menyimpulkan demikian. Nama-nama besar lain dari sahabat Nabi tercatat punya keyakinan yang sama; ada Umar bin Khaththab (Shahih Muslim), Abu Dzar (al-Mu’jam al-Awsath), Ibnu Umar (Shahih Muslim, Shahih Ibn Hibban), termasuk pengakuan Ibnu Shayyad atau Ibnu Sha’id bila dirinya dipandang sebagai Dajjal oleh warga Madinah atau kaum Anshar atau umat Islam. Jabir dan Umar sampai-sampai bersumpah, bahkan Abu Dzar siap bersumpah sepuluh kali atas keyakinannya. Semua kesimpulan dan kesaksian di bawah sumpah ini menjadi dasar bagi para imam dan ahli hadis untuk menyimpulkan hal yang sama. Sebagian mereka, termasuk Imam Muslim, mencatat hadis-hadis Ibnu Shayyad atau Ibnu Sa’id dai bawah nama bab Dajjal.
Kiranya, Jabir tidak gegabah terkait masalah penting ini. Ia terlibat langsung dalam observasi karena rasa ingin tahu identitas Ibnu Shayyad. Dalam riwayat Jabir, nama Dajjal sudah muncul di awal, di pertengahan sampai di akhir riwayatnya. Sebelum ia menarik kesimpulan tadi sebagai penutup riwayat, Jabir menceritakan permintaan izin Umar kepada Nabi agar bisa memenggal lehernya saking jengkel terhadap respon lancang Ibnu Shayyad atau karena kesimpulannya bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Namun, Nabi menahannya dan mengatakan, “Kalau ternyata dia itu adalah dia ini, maka kamu bukan lawannya, karena lawannya adalah Isa putra Maryam. Dan kalau ternyata dia itu bukan dia ini, kamu tidak berhak membunuh seseorang yang berada dalam perlindungan negeri Islam.”
Yang dimaksud “dia ini” adalah Ibnu Shayyad sendiri. Lalu, siapa “dia itu”? Nabi sendiri yang mendefinisikannya, yaitu orang yang menjadi lawan Nabi Isa a.s., yang dalam keimanan Islam, akan hadir kembali dan berjuang bersama Imam Mahdi menegakkan keadilan universal sebelum usia dunia berakhir. Lawan Nabi Isa bersama Imam Mahdi adalah Dajjal. Uniknya, baik Isa juga Dajjal disebut sebagai almasih, Isa almasih karena pengelana alam, dan Dajjal almasih karena buta sebelah matanya yang merupakan salah satu ciri Ibnu Shayyad.
Sekali lagi, Nabi tidak pernah menyebut secara definitif Shayyad itu Dajjal. Definisi deskriptif seperti di atas juga dikuatkan oleh salah satu riwayat Ibnu Hibban dan Imam Bukhari dalam shahih mereka disebutkan sabda nabi di akhir hadis, “Ibnu Umar berkata, “Lalu Rasulullah SAW berdiri di tengah masyarakat, memuji Allah sebagaimana pujian yang layak untuk-Nya, kemudian menyinggung Dajjal, maka ia berkata, “Aku benar-benar memperingatkan kalian tentangnya. Tidak ada seorang nabi pun kecuali ia memperingatkan umatnya. Nuh sudah memperingatkan umatnya, tetapi aku akan mengatakan tentang dia kepada kalian suatu perkataan yang tidak dikatakan seorang nabi pun kepada umatnya, bahwa kalian akan tahu bahwa dia itu buta sebelah matanya. Sesungguhnya Allah tidak buta sebelah mata.”
Observasi Nabi ini, seperti yang digarisbawahi Muhammad Iqbal, betapa penting dan menentukan. Dari berbagai riwayat dapat disimpulkan bahwa observasi Nabi adalah upaya beliau dan para sahabat memgonfirmasi ciri-ciri Dajjal secara objektif dengan keadaan-keadaan objektif Ibnu Shayyad/Ibnu Sha’id. Argumentasi Ibnu Sha’id untuk meyakinkan Abu Sa’id Al Khudzri bahwa dirinya bukanlah Dajjal justru menguatkan verifikasi objektif Nabi dan para sahabat. Simak riwayat Imam Muslim (hadis no. 5210) berikut:
Abu Sa’id Al Khudri berkata, “Ibnu Sa’id berkata padaku, ‘Aku memaklumi orang-orang. Apa urusan kalian denganku, wahai sahabat-sahabat Muhammad? Bukankah nabi Allah SAW mengatakan bahwa dia (Dajjal) adalah Yahudi, sementara aku telah masuk Islam. Dia (Dajjal) tidak punya anak, sementara aku punya. Allah mengharamkan darinya (Dajjal) Makkah dan Madinah, sementara aku telah berhaji.’ …. Ia berkata, ‘Ingat, demi Allah, sesungguhnya aku tahu dimana sekarang dia (Dajjal) berada, aku mengetahui ayah dan ibunya.’” Abu Sa’id [Al Khudzri] berkata, “Ada yang berkata kepadanya, ‘Apa kamu senang bila kamu adalah orang itu (Dajjal)?’ Ia menjawab, ‘Jika aku ditawari, aku tidak keberatan.’”
Rangkaian dialog Nabi dan Ibnu Shayyad, pidato beliau di tengah masyarakat, kepelibatan para sahabat, dialog mereka sahabat dengannya semasa hidup Nabi dan setelahnya, termasuk argumentasi objektif Ibnu Shayyad di atas tadi, kian menguatkan observasi yang bersifat objektif. Terlepas dari identitas Ibnu Shayyad itu Dajjal atau bukan, masalah Dajjal adalah masalah umat dan dunia yang diajarkan untuk kelak diidentifikasi oleh umat dan dunia secara objektif melalui indikasi-indikasi yang objektif pula.
Maka, tidak seperti pemikir Pakistan ini yang mengidentifikasi objek observasi Nabi pada pengalaman mistis subjektif Ibnu Shayyad, identifikasinya ini tampak semacam reduksi masalah, atau glorifikasi yang terlampau berlebihan menyelidiki penyelidikan Nabi atas anak kecil lancang Ibnu Shayyad/Ibnu Sha’id sebagai pengalaman mistis, apalagi diklaim itu berlangsung pada saat Ibnu Shayyad dalam keadaan ekstatis, satu keadaan tinggi yang subjektif dari pengalaman sufi. Selain keadaan ekstetis ini benar-benar subjektif dan personal yang zalimnya tidak diketahui kecuali oleh orang yang mengalaminya langsung dan oleh mursyidnya sendiri, sejauh penyelidikan hadis ini, tidak dijumpai kata dan frasa yang menyiratkan, apalagi menyuratkan, keadaan ekstatis ini. Redaksi-redaksi hadis ini hanya menggambarkan Nabi menjumpai Ibnu Shayyad dalam keadaan “sedang bermain dengan anak-anak kecil”, “sedang berkomat-kamit”, “sedang tertidur di balik kain tebalnya dengan mendengkur ringan”, dipanggil oleh ibunya “hingga dia terperanjat” dan “keluar dari kain tebalnya”, lalu di tengah observasi dia kembali ke keadaan semula (berbaring). Tentu saja, Ibnu Shayyad bukan mistikus, namun juga sulit dimengeti keadaan-keadaannya ini lantas diangkat sehebat keadaan ekstetis mistis dan batinnya.
Di akhir, semua redaksi riwayat menyatakan kekecewaan Nabi atas keterlibatan ibu dari Ibnu Shayyad memberitahu kehadirannya. Di akhir setiap pertemuan, Nabi mengatakan, “Seandainya ibunya membiarkan, pasti jelaslah persoalannya”. Persoalan apa itu? Persoalan penting hingga mendorong Nabi mengobservasi langsung dan tak langsung, melibatkan para sahabat, secara berulang kali, dengan dialog yang dibuka dengan menanyakan kesaksian atas kenabian Nabi. Kemungkinan besar identifikasi dan kesimpulan Jabir serta para ahli hadis bukan kepolosan dan spontanitas yang gegabah. Sebagaimana nama Dajjal bukan kreasi Jabir, kesimpulan Jabir juga tampak konsisten dan koheren dalam pemaknaan literal, gramatikal dan kontekstual.
Hadis ini ada kaitannya dengan topik akhir zaman di awal zaman Islam. Penting dan menentukan. Gejala akhir zaman sudah ada sejak awal-awal diajarkan tentang Juru Kemuliaan dan Keadilan Universal, juga tentang Juru Kejahatan dan Penindasan, serta tentang pertempuran antara juru-juru. Jika benar keyakinan Jabir dan sahabat lainnya bahwa Nabi yakin Ibnu Shayyad itu Dajjal, maka Dajjal itu sudah lahir dan akan muncul di masa turunnya Nabi Isa. Karena itu, telah lahirnya Imam Mahdi dan berada sekarang hingga kelak muncul bersama turunnya Nabi Isa bukan sesuatu yang mustahil. Dalam teks-teks suci, Allah telah menjanjikan kemenangan dan kekuasaan mutlak Keadilan Universal, sementara Nabi telah mengenalkan nama juru-juru itu; Isa Al-Masih, Al-Mahdi, Al-Dajjal.
Apa pun itu, kiranya tidak perlu ditanggapi sebagai keberatan bila hadis ini dimaknai dalam kerangka pengalaman religius sejauh seseorang di dunia sekarang ini, yang oleh Abid Al Jabiri dipandang kerap sebagai sebagai objek (mawdhu’) hegemoni dan dominasi, hancur rasa meratapi keadaan penindasan dan ketertindasan hingga secara ekstatis menyadari kesadaran fitrahnya dan terbakar dalam nyala api optimisme penantian akan tibanya Hari Keadilan Universal. Dalam pemaknaan ini pula pengalaman-pengalaman seperti ini terakomodasi hingga terakses secara inklusif oleh setiap orang, entah pada tingkat psikis, religius, ataupun mistis.[amf]