Filsafat Filsafat Islam: Menimbang Hermeneutika Masalah Fungsi
Oleh: Ammar Fauzi Heryadi, Ph.D
(Ketua Riset STFI Sadra, Dosen Filsafat Islam dan Irfan, aktif menulis dan menjadi pembicara isu Filsafat, Agama, Sosial dan Politik)
My father was a business man and I am a business man.
I want philosophy to be business-like; to get something done, to get something settled
Surat Wittgenstein untuk M. O’C. Drury, 1930
Dalam tradisi pengajaran dan penyusunan ilmu-ilmu keislaman, para bapak dan pengajar ilmu pengetahuan meletakkan satu pembahasan pengantar seputar tinjauan umum terhadap ilmu yang akan ditelaah subjek dan masalah-masalahnya. Awalnya, mereka meletakkan pembahasan ini dalam Logika di bawah judul al-ru’ūs al-tsamāniyah li al-‘ulūm ‘delapan topik pokok ilmu’ (Mishbah Yazdi, v.1, pelajaran 5). Dan kini, dengan berkembang pesatnya studi filsafat hingga melahirkan beragam filsafat terapan (falsafeh-e mudhāf) sebanyak disiplin ilmu-ilmu spesifik, adakalanya tinjauan umum delapan topik pokok ini disebut juga sebagai filsafat suatu disiplin ilmu.
Dalam pengertian ini, filsafat yang dibubuhkan di awal judul bukanlah ulangan dari filsafat Islam. Filsafat filsafat Islam, sebagaimana filsafat metafisika, filsafat ontologi, filsafat epistemologi, filsafat fisika, filsafat logika, dll., adalah metastudi yang mengamati filsafat Islam dari luar wilayahnya. Dalam tinjauan eksterior ini, filsafat Islam ditempatkan sebagai objek lalu, sejauh delapan topik pokok ilmu, ditelaah delapan aspek, di antaranya manfaat dan fungsi.
Atas dasar ini, kiranya dapat dilihat posisi tema dan studi di sini dalam peta ilmu-ilmu kefilsafatan Islam. Seperti telah dinyatakan tegas ketradisionalan masalah, pertanyaan “apa peran dan pengaruh filsafat Islam dalam kehidupan dan nasib manusia?” semestinya dan senyatanya sudah diprediksikan jawabannya sejak awal kali filsafat Islam terdisiplinkan secara sistematis.
Ironisnya, sejauh pengetahuan penulis, tidak ada seorang filosof Muslim yang secara konkret menguasai kehidupan dan mengelolanya berdasarkan filsafat dan idealisme kebenaran. Filosof Muslim kontemporer, Javadi Amuli, menuliskan, “Kita tidak bisa menyimpulkan filsafat imbuhan (Filsafat Politik) maupun materi-materinya dari filsafat mutlak (murni).”
Namun, fakta berikut ini juga sulit diabaikan bahwa tidak sedikit filosof Muslim yang terbuang dari medan pengaruh dinamika kehidupan. Nasib tragis bapak pendiri Filsafat Pencerahan (Hikmat Al-Isyrāq), Suhrawardi, wujud nyata dari bakti besar filsafat. Hukuman Shalahuddin Al Ayubi atas filosof syahid ini mengungkapkan betapa definisi hakîm muta’allih dalam Filsafat Pencerahan menjadi ancaman laten yang sudah dirasakan Al Ayyubi akan menggangu stabilitas dan suksesi kekuasaannya.
Sekilas Realitas Filsafat Islam
Filsafat Islam satu proses intelektual yang, kendati terinspirasi sedikit-banyak nyadari tradisi lain, telah dimulai dan menghasilkan banyak pencapaian ilmiah oleh tradisi Islam dan Muslimin. Sejauh ini, prestasi filsafat Islam secara kuantitatif dihitung oleh Allamah Thabathaba’i telah mencapai lebih dari 200 tema-tema baru, belum termasuk laporan Murthadha Muthahhari mengenai pengayaan argumen, penajaman premis, dan penjernihan kaidah sepanjang tiga sistem mazhab filsafat Islam. Dalam pengamatan Misbah Yazdi, perjalanan filsafat Islam bergerak umumnya secara komplementer di atas garis spiral, semakin berproses semakin menyempurna dan menguatkan ajaran-ajaran Islam dan keimanan Muslimin.
Di samping sikap optimis di atas, tidak sedikit gelombang besar sinisme dan rasa keterancaman oleh filsafat yang diangkat oleh tokoh-tokoh. Dari dua arah yang berlawanan sekaligus, akal dan filsafat menjadi objek kekhawatiran, kecaman hingga pengkafiran baik dari kalangan literalis seperti: ahli hadis, ahli hukum fikih, maupun hujatan dan sindiran nyinyir dari kalangan esoteris, utamanya [sebagian] kaum sufi.
Maka, setidaknya dalam dua lini ini, yakni lini esoterik dan lini eksoterik-literal, filsafat dan akal filosof menyadari posisinya untuk segera meyakinkan fungsi dan perannya, alih-alih menghambat perkembangan ilmu atau justru menyimpangkan arah keimanan dan mengaburkan pesan teks, memperkaya khazanah, menjernihkan masalah secara lebih nyata dan turut memperkokoh ajaran-ajaran keimanan agama.
Sementara sikap-sikap konfrontatif dan destruktif terhadap filsafat Islam di dalam masyarakat Muslim sendiri masih saja menggenang kental, filsafat Islam menghadapi tantangan di tengah komunitas yang kecenderungan dan arah pikirnya mengarah atau malah tegak di atas sebentuk pragmatisme, empirisisme dan positivisme. Lantaran desakan pragmatistik, barangkali muncul kegelisahan akibat ketidaksabaran menunggu peran filsafat Islam. Lantaran orientasi empiris, filsafat Islam justru kehilangan medan kerjanya. Lantaran pola pikir positivistik, bicara tentang filsafat Islam saja sudah tak lagi bermakna (meaningless).
Hermeneutika Masalah
Untuk tanggung jawab intelektual (doxastic responsibility) filsafat Islam di akhir ini, sudah mendesak untuk meninjau kembali pertanyaan di atas, yaitu dengan pertama-tama mendudukkan masalah dan mempertajam pertanyaan itu sendiri. Dalam identifikasi masalah, barangkali ada banyak pemahaman dari pertanyaan tadi:
Pertama, pertanyaan ini hendak menggali peran pemikiran filosofis dalam mengisi arah dan haluan bagi kehidupan individual dan sosial manusia, seperti peran kaidah-kaidah filosofis yang dirumuskan dari pembahasan relasi antara pengetahuan dan tindakan, antara ada eksternal dan ada dalam-pikiran. Adakalanya konsep ambiguitas ada (tasykīk al-wujūd) diajukan sebagai peran konkret dari masalah fundamental filsafat Islam dalam teknik menjelaskan duduk masalah. Atau konsep tasya’un (sepadan dengan tajalli) dalam Kebijaksanaan Utama, mazhab filsafat yang diakui paling canggih dan megah dalam tradisi Islam, diterapkan dalam manajemen dan kepemimpinan.
Kedua, pertanyaan itu dikemukakan dalam upaya mengenali aspek psikologis suatu topik filosofis dan skala efektivitas filsafat Islam dalam perubahan kepribadian dan pengambilan keputusan seseorang atau, dengan kata lain, mengukur tingkat dan kualitas hidup ‘keluarga’ filsafat Islam dan kepedulian praksis mereka di tengah aneka ragam tuntutan penyelesaian nasib keseharian di berbagai level.
Ketiga, pertanyaan di atas dimaksudkan untuk mengurai peran dan kontribusi para filosof terdahulu dan terkini dalam pembangunan dan dinamika sosial-politik, baik sebagaimana adanya maupun sebagaimana harusnya.
Keempat, peran filsafat Islam dituntut untuk ditinjau kembali dalam rangka menyimpulkan ada-tidaknya dan apa ragamnya relasi antara “pola pikir filosofis” dan pengelolaan masyarakat. Yang dimaksud dengan pola pikir di sini ialah karakter pikir yang tampak pada agen pengelola dalam penganalisis problem, mengambil keputusan dan tindakan.
Masing-masing diskripsi dari pertanyaan pokok di atas tidak mengurangi nilai signifikansi satu sama lain. Namun, yang tidak kurang pentingnya ialah skala relevansi pertanyaan itu sendiri dengan semua deskripsi tadi. Yakni, apakah fungsi dan peran filsafat Islam dapat terserap hingga ke tingkat akar rumput secara langsung?
Dalam semua identifikasi masalah di atas, dapat diamati adanya penantian besar dari filsafat Islam untuk menampilkan kekuatan dan kontribusinya di medan sosial-politik. Ini sangat mudah dimengerti, terutama bila mengurut hingga ketitik awal kali filsafat itu sendiri diinisiasi oleh Sokrates. Dalam keyakinan Plato, filsafat bukan untuk filsafat, yakni untuk pengetahuan dan cinta pengetahuan. Peran filsafat hanya terdefinisikan manakala filsafat identik dengan kebijaksanaan yang menjadi landasan kebijakan tertinggi dan paling menentukan, yaitu kebijakan negara dan politik. Filsafat adalah politik, dan filosof adalah pemimpin.
Sejak awal kali doktrin Plato terserap dalam filsafat Islam, terutama pada karya-karya Al-Farabi dan Ibn Sina, studi-studi filsafat dituntaskan ghalibnya dengan filsafat praktis, tepatnya masalah-masalah filsafat politik seperti: masyarakat, keadilan, kebebasan, kekuasaan, kepemimpinan, legitimasi.
Sebagai bidang yang sangat eksklusif atau, karena satu dan lain alasan, dibuat jadi eksklusif, terlampau berlebihan kiranya bila peran filsafat Islam diharapkan atau dipaksa-paksakan hingga harus dirasakan secara langsung oleh setiap orang dalam setiap masalah hidup. Filsafat, entah apa pun sistem dan sifatnya, bukan segala-galanya, bukan satu-satunya alat apalagi tujuan. Filsafat hanyalah satu dari sekian fasilitas peradaban kemanusiaan yang dapat diklaim sanggup secara efektif memberikan kepuasan intelektual dan penjelasan rasional mengenai masalah-masalah fundamental individu dan masyarakat.
Atas dasar ini, yakni aspek fundamentalitas dan ke-langsung-an, penjelasan Javadi Amuli di muka dapat diikuti kelengkapannya untuk menempatkan posisi filsafat [murni] Islam dan filsafat imbuhan. Sebagai filsafat murni dalam perbandingan dengan filsafat imbuhan, yakni filsafat politik, Kebijaksanaan Utama (Al-Hikmat Al-Muta’āliyah) tidak dapat berperan langsung untuk menuntaskan masalah-masalah filsafat politik.
“Dengan dua alasan, kita tidak bisa mengakses secara langsung Kebijaksanaan Utama: (a) Kebijaksanaan Utama adalah filsafat murni (muthlaq), sementara filsafat politik adalah filsafat imbuhan; tidak ada filsafat murni yang mengisi kebutuhan filsafat imbuhan selain dalam menjelaskan dasar-dasar, (b) dari kedalaman dan keluasan Kebijaksanaan Utama tidak selayaknya kita mengharapkan dapat menjelaskan masalah-masalah spesifik politik.” (Bi’tsat, no. 29, 1387HS).