Keswanyataan Prinsip-prinsip Epistemologi
Muhammad Taqi Musbah Yazdi
MENGINGAT PENGERTIAN paling umum pengetahuan itu mencakup segala macam pengetahuan, banyak masalah yang bisa dibahas dalam bagian Epistemologi, kendati sebagiannya tidak diberi nama dalam ilmu kefilsafatan ini secara formal, seperti pembahasan tentang wahyu, ilham, dan pelbagai jenis penyingkapan ruhani serta penyaksian irfani. Namun, masalah-masalah yang lazimnya dibahas dalam ilmu Epistemologi ialah seputar indra dan akal.
Tentu saja, kita tidak akan membahas semua itu di sini, karena tujuan utama kita adalah menjelaskan nilai pengetahuan rasional, meneguhkan kebenaran filsafat dan kesahihan metode-metode rasionalnya. Karena itu, di sini hanya akan dibahas masalah-masalah yang berguna untuk Metafisika dan Teologi, sambil sekali-kali merambah ilmu-ilmu kefilsafatan yang lain seperti: Psikologi Filosofis dan Etika Filosofis.
Kebergantungan Filsafat pada Epistemologi
Pada titik ini, tepat kiranya kita bertanya: apakah prinsip-prinsip pernyataan (mabādi’ tashdīqiyyah) ilmu Epistemologi? Dalam ilmu manakah validitas prinsip-prinisp ini dibuktikan?
Jawabannya: Epistemologi tidak memerlukan postulat-postulat (ushul mawdhu’ah: prinsip-prinsip pernyataan–peny), karena masalah-masalahnya dijelaskan hanya berdasarkan swanyata-swanyata pertama (badīhiyyāt awwaliyyah).
Pertanyaan lain yang dapat diajukan ialah: jika seluruh pemecahan masalah-masalah Ontologi dan ilmu-ilmu lain yang ditelaah dengan metode rasional bergantung pada pembuktian atas kesanggupan akal untuk pemecahan tersebut, bukankah ini berarti Filsafat (Filsafat Pertama) juga membutuhkan Epistemologi untuk menyediakan prinsip-prinsip pernyataan bagi Filsafat, padahal sebelumnya dikatakan bahwa filsafat tidak membutuhkan ilmu lain?
Di Daras 7 kita telah menyinggung sebetik jawaban atas pertanyaan ini dan kini saatnya kita mengurai lebih detail.
Pertama, premis-premis yang secara langsung dibutuhkan Filsafat Pertama sesungguhnya merupakan proposisi-proposisi swanyata yang sama sekali tidak memerlukan pembuktian. Semua penjelasan mengenai proposisi-proposisi tersebut, yang diuraikan dalam Logika dan Epistemologi, pada hakikatnya lebih merupakan ulasan-ulasan penegasan, bukan penalaran argumentatif, yakni penjelasan-penjelasan yang berfungsi menggugah kesadaran pikiran kita pada kebenaran-kebenaran yang sudah diketahui oleh akal tanpa perlu pembuktian atas mereka.
Adapun dibahasnya proposisi-proposisi swanyata itu dalam ilmu-ilmu ini adalah fakta yang didasari oleh pertimbangan: adanya isu-isu (syubuhāt) yang, pada gilirannya, memunculkan aneka ragam skeptisisme, sebagaimana berbagai isu bermunculan seputar proposisi yang paling swanyata, yakni Prinsip Nonkontradiksi. Dalam kasus ini, bahkan sebagian cenderung untuk tidak saja meyakini kontradiksi sebagai sesuatu yang mungkin terjadi, tetapi menganggapnya sebagai prinsip dalam semua peristiwa.
Isu-isu yang mencuat di seputar nilai pengetahuan rasional, pada dasarnya, juga tak bedanya dengan isu seputar Prinsip Nonkontradiksi. Dan semua pembahasan serta penjelasan atas proposisi-proposisi swanyata itu dikemukakan dalam Logika dan Epistemologi untuk menjawab dan menuntaskan isu-isu tersebut.
Pada dasarnya, penempatan proposisi-proposisi itu sebagai masalah-masalah Logika atau Epistemologi merupakan penyimpangan atau toleransi dan sikap akomodatif dengan para pembawa isu.
Bagaimanapun, toh kita tidak mungkin berargumentasi dengan metode rasional terhadap orang yang, meski tanpa sadar, tidak menerima nilai pengetahuan rasional, sebagaimana pernyataan ini saja—yakni ketidakmungkinan beragumentasi—sudah merupakan penjelasan rasional (perhatikan dengan cermat!).
Kedua, kebutuhan filsafat pada prinsip-prinsip Logika dan Epistemologi, pada dasarnya, untuk melipatgandakan pengetahuan atau, secara teknis, disebut “memperoleh pengetahuan akan pengetahuan” (hushūl al-‘ilm bi al-‘ilm).
Penjelasannya: orang yang belum terpengaruh oleh isu-isu skeptisisme bisa beragumentasi untuk memecahkan banyak masalah, mencapai kesimpulan yang meyakinkan, dan argumentasinya juga telah sesuai dengan prinsip-prinsip Logika tanpa dia sendiri menyadari bahwa, misalnya, argumentasi ini sudah tepat dalam kerangka figura pertama (syakl awwal) dan apa saja syarat-syarat yang mengaturnya, tanpa pula dia peduli apakah ada fakultas pengetahuan bernama akal yang mengetahui premis-premis [swanyata] dan menerima validitas kesimpulan yang ditarik darinya.
Di sisi lain, kalangan yang berusaha menolak validitas akal dan Metafisika bisa saja melakukan penalaran tertentu dan, tanpa sadar, menggunakan sejumlah premis rasional dan filosofis. Ada pula orang yang, dalam upaya menolak kaidah-kaidah Logika, justru bersandar pada kaidah-kaidah Logika. Bahkan, ada juga kalangan yang, tentunya tanpa sadar, berupaya membantah Prinsip Nonkontradiksi dengan menggunakan prinsip itu sendiri, sehingga kalau saja kita katakan, “Upaya Anda membantah prinsip itu benar sekaligus tidak benar”, mereka akan tersinggung atau malah merasa diperolok.
Alhasil, kebergantungan argumentasi filosofis pada prinsip-prinsip Logika dan Epistemologi sesungguhnya berbeda dengan kebergantungan disiplin-disiplin ilmu lain pada postulat-postulat. Kebergantungan argumentasi filosofis itu hanya bersifat sekunder, persis dengan kebergantungan kaidah-kaidah Logika dan Epistemologi pada diri mereka sendiri, yakni melipatgandakan pengetahuan dan memperoleh keyakinan lain di atas keyakinan pada premis-premis swanyata tersebut.
Hal ini tak ubahnya dengan swanyata-swanyata pertama yang dinyatakan bahwa ia membutuhkan Prinsip Nonkontradiksi, dan kebutuhan ini dipahami sahih seperti makna ketergantungan di atas, karena memang kebutuhan proposisi-proposisi swanyata pada Prinsip Nonkontradiksi tidak sama dengan kebergantungan proposisi-proposisi spekulatif (nazhariy) pada proposisi-proposisi swanyata (badīhiy). Jika itu sama, tentu tidak akan ada beda antara proposisi-proposisi swanyata dan proposisi-proposisi spekulatif atau, paling-paling, hanya Prinsip Nonkontradiksi yang harus dinyatakan sebagai satu-satunya proposisi dan premis swanyata.
Kemungkinan Pengetahuan
Setiap orang berakal percaya bahwa dirinya mengetahui sesuatu dan dia bisa mengetahui hal-hal lain. Karena itu, ia berupaya mendapat informasi tentang apa saja yang dibutuhkan dan diinginkannya. Contoh paling konkret dari upaya itu telah dilakukan oleh para ilmuwan dan filosof hingga berhasil meletakkan pelbagai bidang sains dan filsafat.
Jadi, kemungkinan pengetahuan atau kenyataannya bukanlah persoalan yang bisa diragukan apalagi diingkari oleh siapa pun yang berakal sehat, berpikiran jernih dan tidak dikacaukan oleh isu-isu. Hal yang terbuka untuk dikaji dan layak didiskusikan ialah identifikasi medan pengetahuan, sarana-sarana mencapai pengetahuan yang pasti-benar (‘ilm yaqīniy), metode untuk membedakan pemikiran yang benar dari yang tidak benar, dan masalah-masalah lainnya.
Sebagaimana telah disinggung dalam rangkaian daras sebelumnya, gelombang besar Skeptisisme berkali-kali menghantam Eropa hingga tidak sedikit dari kalangan pemikir besar ikut tertelan lenyap ke dalamnya. Sejarah filsafat menyaksikan pelbagai mazhab pemikiran yang mengingkari sepenuhnya [kemungkinan] pengetahuan seperti: Sofisme, Skeptisisme, dan Agnostisisme. Jika memang ada orang-orang yang secara mutlak mengingkari pengetahuan, barangkali justifikasi terbaik untuk mereka ialah mereka sedang menderita waswas mental yang akut, suatu keadaan yang juga menimpa sebagian kalangan dalam masalah lain. Keadaan ini lebih merupakan sejenis penyakit jiwa.
Walhasil, tanpa harus melakukan pelacakan sejarah mengenai realitas orang-orang ini, menyelidiki motif di balik statemen-statemen mereka, atau meneliti benar-tidaknya mereka meyakini pendirian seperti itu, kita tetap bisa menyoroti statemen dan pendirian yang dilaporkan dari mereka sebagai isu dan pertanyaan yang mesti dijawab sesuai dengan telaah filosofis, sementara masalah-masalah lain seperti di atas biarlah ditangani oleh pakar sejarah dan ahli terkait.
Tinjauan atas Klaim-klaim Skeptisisme
Statemen-statemen para Sofis dan Skeptis, dilihat dari satu sisi, bisa kita bagi menjadi dua: bagian yang berhubungan dengan Ada (wujūd), dan bagian yang berhubungan dengan pengetahuan.
Sebagai contoh, Gorgias, tokoh Sofis paling ekstrem, konon pernah menyatakan, “Tidak ada sesuatu apa pun; kalaupun ada, ia tidak bisa diketahui; dan kalaupun bisa diketahui, ia tidak bisa dikomunikasikan.” Kalimat pertama dalam pernyataan ini berkaitan dengan Ada sebagai subjek yang akan kita perbincangkan pada Bagian III: Ontologi. Sedangkan kalimat kedua relevan dengan studi kita sekarang mengenai Epistemologi.
Sebelum lebih jauh mendalami Epistemologi, perlu ditegaskan bahwa setiap orang yang meragukan segala sesuatu tidak akan dapat meragukan Ada/realitas dirinya, Ada keraguannya sendiri, Ada daya-daya pengetahuan seperti: daya lihat dan daya dengar, Ada forma-forma dalam-pikiran (shuwar dzihniyyah), dan Ada keadaan-keadaan jiwa mereka. Kalau dia masih saja menyatakan klaim ragu mengenai hal-hal ini, bisa dipastikan dia sedang sakit dan, karenanya, perlu segera disembuhkan, atau berbohong dan beritikad buruk dan, karenanya, perlu diingatkan dan diluruskan.
Demikian pula, orang yang berbicara atau menulis buku tidak mungkin meragukan Ada lawan bicara atau kertas dan pena yang dipakainya untuk menulis. Paling-paling, dia bisa mengatakan bahwa dia mengetahui semua hal itu di dalam dirinya, tetapi meragukan Ada mereka di luar dirinya. Begitulah tampaknya yang hendak dinyatakan oleh Berkeley dan beberapa Idealis lainnya saat mereka menerima semua objek pengetahuan sebagai forma-forma dalam-pikiran belaka dan menolak Ada eksternalnya.
Kendatipun begitu, kaum Idealis ini mengakui Ada orang-orang lain yang juga mempunyai pikiran dan pengetahuan. Akan tetapi, pengakuan semacam ini tidak berarti penolakan mutlak atas Ada dan pengetahuan, melainkan penolakan atas realitas adaan-adaan (mawjud) material atau, sebagaimana dilaporkan dari Barkeley, penolakan atas sebagian Ada dan peraguan atas sebagian objek pengetahuan.
Sekarang, bila seseorang mengklaim bahwa pengetahuan pasti-benar itu mustahil diperoleh, kita perlu ajukan pertanyaan berikut, “Apakah Anda mengetahui klaim Anda ini secara pasti-benar atau Anda meragukannya?” Jika dia menjawab mengetahuinya secara pasti-benar, setidaknya dia telah mengakui satu pengetahuan yang pasti-benar dan, dengan demikian, dia sendiri telah menggugurkan klaimnya sendiri mengenai kemustahilan memperoleh pengetahuan yang pasti-benar.
Namun, jika dia menjawab, “Saya tidak tahu klaim saya itu secara pasti-benar”, jawaban ini merupakan pengakuan dirinya bahwa pengetahuan pasti-benar itu tidak mustahil diperoleh. Dengan begitu, klaimnya bahwa mustahil memperoleh pengetahuan pasti-benar, untuk kedua kalinya, telah digugurkan oleh jawabannya sendiri.
Akan tetapi, jika seseorang menyatakan, “Saya meragukan kemungkinan memperoleh pengetahuan yang pasti-benar”, perlu ditanyakan kepadanya, “Apakah Anda mengetahui bahwa Anda punya keraguan semacam itu atau tidak?” Jika dia menjawab, “Saya mengetahui bahwa diri saya mempunyai keraguan tersebut”, ini berarti tidak hanya telah mengakui kemungkinan diperolehnya pengetahuan pasti-benar, tetapi dia juga mengakui kenyataan faktual pengetahuan yang pasti-benar itu (yaitu Ada keraguan yang dialami dirinya sendiri).
Jika dia berusaha konsisten dan menjawab, “Saya juga ragu bahwa diri saya mempunyai keraguan semacam itu”, jawaban seperti ini tidak bebeda dengan jawaban orang sebelumnya: dia menyatakan demikian dia sedang sakit atau karena beritikad buruk yang memerlukan penanganan non-teoretis.
Dialog seperti di atas juga bisa ditempuh bersama orang-orang yang membela relativisme semua pengetahuan, yakni kalangan yang mengklaim bahwa tidak ada proposisi (pengetahuan) yang benar secara mutlak, universal (kulliy) dan permanen (dā’imiy).
Kepada mereka ini kita bisa bertanya: apakah proposisi “tidak ada pengetahuan yang benar secara mutlak, universal dan permanen” ini klaim yang benar secara mutlak, universal dan permanen ataukah relatif, partikular dan temporer? Jika klaim relativisme mereka ini dianggap benar selamanya dalam semua kasus, tanpa syarat dan kualifikasi apa pun, maka setidaknya dapat dipastikan adanya satu proposisi atau satu klaim yang benar secara mutlak, universal dan permanen.
Namun, jika klaim realitivisme ini pun masih bersifat relatif, itu berarti klaim ini tidak benar pada sebagian kasus. Maka, dalam kasus-kasus yang padanya klaim relativisme tidak berlaku benar, terdapat pengetahuan dan proposisi yang benar secara mutlak, universal dan permanen.
Sanggahan terhadap Skeptisisme
Salah satu isu andalan kaum Sofis dan Skeptis yang mereka nyatakan dalam pelbagai rumusan dan dengan berbagai contoh ialah keraguan berikut:
Terkadang seseorang memperoleh pengetahuan pasti-benar akan adanya sesuatu melalui pancaindra, tetapi kemudian ia menyadari bahwa dirinya ternyata salah. Maka, ada fakta yang baru dia sadari bahwa pengetahuan indrawi tidak terjamin akan selalu benar sehingga muncul pertanyaan dan kemungkinan berikut: dari mana bisa dipastikan bahwa persepsi dan pengetahuan indrawi lain pada dirinya tidak salah; mungkin saja pada suatu hari dia kelak akan menyadari kesalahan semuanya.
Begitu pula, adakalanya seseorang memperoleh keyakinan pasti-benar (i‘tiqād yaqīniy) akan masalah tertentu melalui argumen rasional, tetapi kemudian mengetahui bahwa argumennya keliru, lantas keyakinannya pun berubah menjadi keraguan. Di sini, dia baru menyadari bahwa keyakinan dan pengetahuan rasional pun tidak terjamin pasti-selalu benar. Dengan demikian, kemungkinan kekeliruan pada pengetahuan rasional tadi menjalar ke pengetahuan rasional lainnya. Kesimpulannya, baik indra maupun akal tidak dapat dipercaya; yang tersisa bagi manusia tidak lebih dari keraguan.
Berikut ini sejumlah sanggahan atas argumen di atas:
Pertama
Dengan argumen di atas, kalangan Skeptis hendak mencapai konklusi yang mereka inginkan, yaitu kebenaran klaim Skeptisisme dan kepercayaan pasti akan kebenaran klaim tersebut. Setidaknya, argumen itu dirancang oleh mereka untuk meyakinkan klaim mereka sendiri kepada lawan bicara, yakni mereka berharap lawannya tahu-percaya pada kebenaran klaim mereka. Padahal, klaim skeptisistik mereka menyatakan: pengetahuan (yang benar) apa pun mustahil diperoleh sama sekali.
Kedua
Menemukan kekeliruan pada pengetahuan indrawi dan rasional merupakan bukti bahwa pengetahuan manusia tidak sesuai dengan fakta. Bukti ini berarti pula pengakuan akan adanya pengetahuan [pasti-benar] tentang sebuah fakta, yaitu fakta terjadinya kesalahan pada pengetahuan.
Ketiga
Implikasi lain dari menemukan kesalahan ialah, suka atau tidak, kita harus menerima pengetahuan pasti-benar bahwa terdapat realitas dimana pengetahuan salah kita tidak sesuai dengannya. Jika kita menolak adanya realitas itu, maka kesalahan pengetahuan akan hilang pengertiannya.
Keempat
Implikasi lainnya ialah pengetahuan yang salah ini sendiri, yakni forma pikiran yang tidak sesuai dengan fakta, merupakan realitas yang kita ketahui secara pasti-benar.
Kelima
Pada implikasi terakhir juga harus diakui secara pasti-benar adanya subjek pengetahuan salah, demikian pula adanya indra dan akal yang berfungsi salah.
Keenam
Argumentasi di atas itu sendiri sudah merupakan penalaran rasional, meskipun dalam kategori falasi (mughālathah). Berargumentasi dengan metode rasional sama artinya dengan mengakui validitas akal dan pengetahuan-pengetahuan rasionalnya.
Ketujuh
Lebih dari itu, ada satu pengetahuan lain di sini yang, disadari atau tidak, sudah diasumsikan pasti-benar, yaitu pengetahuan kita bahwa pengetahuan yang salah, dari segi ia salah, tidak mungkin benar.
Dengan demikian, argumen kaum Skeptis di atas sesungguhnya menegaskan adanya sejumlah pengetahuan yang pasti-benar. Karena itu, kemungkinan memperoleh pengetahuan [yang pasti-benar] tidak bisa diingkari atau diragukan secara mutlak.
Semua sanggahan di atas dikemukakan sebagai jawaban destruktif (jawāb naqdhiy) terhadap argumen para Skeptis. Adapun dalam rangka menjawab secara konstruktif (jawāb halliy) dan menyingkapkan aspek falasi (wajh al-mughālathah) mereka, dapat dijelaskan bahwa kita membuktikan salah atau benarnya pengetahuan indrawi dengan argumen-argumen rasional.
Adapun menganggap temuan terjadinya kesalahan pada sejumlah pengetahuan rasional sebagai kemungkinan kesalahan yang merambat ke pengetahuan rasional lainnya adalah anggapan yang salah, karena kemungkinan kesalahan seperti itu hanya dapat muncul pada pengetahuan spekulatif atau non-swanyata. Akan halnya pengetahuan swanyata rasional (badīhiyyāt ‘aqliyyah) yang menjadi landasan argumen-argumen filosofis sama sekali tidak mungkin salah. Penjelasan tentang ketakmungkinsalahan pengetahuan swanyata ini akan diuraikan pada Daras 19.
Sumber: Amuzesy-e Falsafeh, Daras ke-12.