Membaca Tasawuf Secara Filosofis
Judul Buku : Epistemologi Tasawuf
Penulis : Haidar Bagir
Penerbit : Mizan
Cetakan : 1
Tahun Terbit : Maret 2017
Tebal Buku : 184 hal.
Reviewer : Muhammad Faiq
Modernisme memberikan dampak yang luar biasa hampir ke seluruh tradisi keilmuan. Tak terkecuali tradisi keilmuan yang berkembang di kalangan Islam. Dengan justifikasi bahwa sebuah ilmu dianggapi lmiah jika bisa dijelaskan secara rasional, maka apapun yang dianggap irrasional tidak bisa diterima. Dan, mistisisme menjadi satu-satunya tradisi keilmuan Islam yang mendapat serangan hebat ini. Sebab, ada tudingan bahwa pengetahuan mistis tidak bisa dijelaskan secara logis. Ia terlalu abstrak. Benarkah demikian?
Haidar Bagir dalam bukunya Epistemologi Tasawuf menjelaskan bahwa asumsi itu tidak benar. Dengan menggunakan pendekatan filsafat hikmah yang dikembangkan oleh Mulla Sadra, pengetahuan mistis bisa dijelaskan secara filosofis-rasional sehingga bisa menjadi sumber pengetahuan yang ilmiah. Bahkan, dalam tradisi filsafat Mulla Sadra inilah rasionalitas mendapatkan tempat yang istimewa dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Padahal keduanya sering dianggap tak pernah sejalan.
Haidar Bagir adalah seorang akademisi. Ia juga dikenal sebagai seorang filantropis. Direktur utama Mizan ini mempunyai latar belakang pendidikan yang mentereng. Menempuh pendidikan sarjana di bidang teknik di ITB. Lalu melanjutkan studi masternya di Harvard University dan menyandang gelar doktor dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia. Buku ini merupakan satu dari dua bagian utama disertasinya yang meneliti tentang perbandingan epistemologi Heidegger dan Mulla Sadra.
Sosok yang terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Iqbal ini mengaku sudah tertarik dengan tasawuf bahkan ketika masih kuliah di ITB. Tapi tasawuf yang kemudian ia tekuni adalah tasawuf yang menghargai rasionalitas. Tasawuf yang tidak anti duniawi. Tasawuf yang demikian ini ia sebut sebagai tasawuf positif. Dan, tasawuf model ini ia temukan landasan filosofisnya dalam filsafat hikmah Mulla Sadra.
Buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama, penulis menyoroti tentang kemunculan mistisisme yang justru semakin menjamur di era modern sekarang ini. Sebuah fenomena yang paradoks. Sebab, agama atau bentuk spiritual apapun diduga akan semakin tidak memiliki tempat di era modern. Marx, Comte, dan Weber merupakan diantara tokoh-tokoh yang meyakini tesis ini. Lalu, bagaimana itu bisaterjadi? Spiritual diyakini sudah menjadi fitrah manusia. Ia, selain jasmani, merupakan bagian tak terpisahkan dari tubuh manusia. Sementara, kehidupan modern yang hanya memenuhi nafsu materi membuat manusia mengalami krisis spiritual. Dalam fase inilah, sampai kapanpun, manusia akan selalu merindukan perasaan-perasaan intim yang hanya bisa didapatkan dalam praktek-praktek keagamaan maupun spiritual.
Selanjutnya penulis menegaskan bahwa mistisisme bisa menjadi metode perolehan pengetahuan yang sahih. Sebab, ia setidaknya memenuhi syarat dari segi context of justification (pembuktian nilai kebenarannya). Cukup sebuah penemuan dianggap benar jika ia lulus dalam hal justifikasi, tanpa peduli bagaimana ia ditemukan (context of discovery). Pendapat ini didukung oleh Reichenbach, seorang filosof sains.
Pada bagian kedua, Haidar Bagir menjelaskan tentang filsafat hikmah dan filsafat-filsafat mistis yang memengaruhinya. Filsafat Hikmah (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah) adalah suatu aliran filsafat Islam hasil sintesis dari beberapa aliran pemikiran yang mendahuluinya meliputi ilmu kalam (Teologi Dialektik), filsafat peripatetik (Masysya’iyah) dan terutama teori wahdah al-wujud Ibn Arabi dalam irfan dan filsafat iluminasi (Isyraqiyyah) Suhrawardi.
Secara sederhana, doktrin wahdah al-wujud mengatakan bahwa semua yang ada di alam semesta ini realitanya merupakan suatu kesatuan atau ketunggalan. Adapun yang tampak beragam ini semata-mata hanyalah persepsi indra dan pikiran kita. Laiknya sebuah cahaya, menurut Ibn Arabi, ia bisa tampak dalam beragam warna. Namun warna-warna itu sendiri tak akan mewujud tanpa adanya cahaya. Maka, cahaya itu sendirilah yang sejatinya ada.
Filsafat iluminasi juga mengidentikkan wujud dengan cahaya. Hanya saja, ia mempunyai hierarki (gradasi). Seperti cahaya yang bergradasi mulai dari yang paling terang yaknisumber cahaya (Tuhan) hingga yang intensitas cahayanya lemah bahkan kegelapan (nonwujud). Maka, wujud tertinggi adalah Tuhan sebagai sumber cahaya. Wujud lain yang dekat dengan-Nya yakni yang intensitas cahayanya terang karena ia menerima pancaran sinar yang kuat dari Tuhan. Adapun yang semakin jauh dari-Nya akan menerima pancaran cahaya yang makin lemah pula. Wujud yang seperti ini mempunyai tingkatan yang sangat rendah dalam hierarki wujud.
Kedua aliran pemikiran di atas begitu kental memengaruhi pemikiran Mulla Sadra. Sehingga dalam hal epistemologinya, filsafat hikmah sepaham dengan irfan dan isyraqiyyah yang meyakini intuisi (dzauq) sebagai cara paling sahih untuk memperoleh pengetahuan. Bedanya dengan irfan—tapi sepakat dengan isyraqiyyah—pengetahuan tersebut harus bisa dijelaskan secara rasional (diskursif-logis). Sedangkan dalam segi ontologi, antara irfan, isyraqiyyah dan filsafat hikmah sama-sama menganalogikan wujud dengan cahaya. Dan, yang terakhir sepakat dengan aliranisyraqiyyah bahwa wujud itu bergradasi (tasykik al-wujud).
Namun dalam persoalan manakah yang prinsipil antara “wujud” atau “mahiyah” (keapaan, kuiditas)? Filsafat hikmah meyakini prinsip prinsipialitas wujud(ashalah al-wujud), bahwa yang prinsipil adalah wujud bukan mahiyah. Misalnya dalam sebuah ungkapan “meja itu ada”, seolah ada dua realitas yakni ke-meja-an dan ada (wujud). Meja sebagai representasi dari mahiyah (jawaban dari pertanyaan “apa”) dan ada sebagai representasi dari wujud. Sejatinya yang prinsipil adalah ada itu sendiri, bukan meja. Meja hanyalah sebuah aksiden yang melekat pada wujud (ada). Sebagaimana bunga, pohon, kursi dan lainnya yang melekat pada satu entitas yang disebut wujud.
Doktrin prinsipialitas wujud inilah yang mendasari bangunan filsafat hikmah sekaligus membedakannya dari aliran isyraqiyyah yang meyakini sebaliknya (ashalah al-mahiyah atau prinsipialitas mahiyah). Dalam persoalan ini, Mulla Sadra sepaham dengan ahli irfan (kaum sufi). Namun, yang membedakannya, ia mampu menjelaskannya dengan argumen filosofis (rasional).
Pengetahuan Presensial
Pada bagian terakhir, penulis menjelaskan tentang pengetahuan presensial dan kaitannya dengan pengetahuan mistis. Di dalam epistemologi Islam, dikenal istilah al-ilm al-hushuli (acquired knowledge atau pengetahuan capaian) dan al-ilm al-hudhuri (knowledge by presence atau pengetahuan kehadiran). Yang pertama mengacu kepada pengetahuan yang dihasilkan dariproses representasi. Dalam hal ini, objek pengetahuan yang berada di luar melalui proses representasi atau abstraksi diterima oleh akal sehingga akal tahu akan objek tersebut. Sedangkandalam pengetahuan kehadiran, tanpa ada proses representasi. Jadi, sebuah objek pengetahuanhadir dalam diri seorang “subjek” (yang mengetahui) sehingga terjadi kesatuan eksistensialsubjek-objek dalam proses mengetahui.
Pengetahuan mistis, menurut Mulla Sadra, termasuk dalam jenis pengetahuan presensial.Sebab, ia tidak memerlukan perantara berupa konsep-konsep mental. Jenis pengetahuan iniseperti ketika kita sedang merasa cemas atau sakit, kita bisa menyadarinya secara langsung tanpa lantaran forma atau konsep mental apapun. Oleh sebab itu, pengetahuan ini bukanpengetahuan yang biasa dikenal oleh para teolog maupun filosof. Pengetahuan ini serupa denganpengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu yakni bersifat kehadiran.
Bagi para ‘urafa (sufi), pengetahuan sejati adalah cahaya. Laiknya cahaya matahari yang menjadikan semua objek bendawi menjadi terlihat, demikian juga cahaya pengetahuan dan imanmenyingkap realitas berbagai dunia (empiris, imajinal maupun ghaib/ruhani). Dan, dalam tradisisufistik, satu-satunya daya penangkap pengetahuan adalah hati. Hati ini diibaratkan kaca.Semakin bersih sebuah kaca, semakin bagus menerima pantulan sinar. Demikian juga hati, jika iabersih maka semakin bagus kemampuannya untuk menerima cahaya pengetahuan dari Tuhan. Dengan demikian, hati harus dibersihkan dari segala macam kotoran. Menurut Mulla Sadra, adatiga hal yang bisa menyebabkan kotornya hati yakni kecintaan terhadap nafsu duniawi, doronganuntuk berbuat kejahatan dan kemungkaran, dan tiadanya pengetahuan mengenai diri. Dan, penyucian hati atau jiwa inilah yang menjadi esensi dari tasawuf.
Itulah epistemologi tasawuf dengan pendekatan filosofis yang dilakukan oleh Mulla Sadra. Menurut Haidar Bagir, meskipun idenya hasil sintesa dari semua aliran pemikiran dalam Islam, tetap saja hasilnya genuine dan brilian. Buku ini sangat bermanfaat bagi para peminat studi filsafat khususnya yang ingin mengenal ilm hudhuri. Mengingat karya semacamnya dalam Bahasa Indonesia sangat jarang. Dan karena alasan itu juga penulis mengaku merasa perlu untuk menerbitkan buku ini yang awalnya merupakan karya disertasi. Namun, buku ini penuh dengan istilah dan diksi yang cukup rumit. Makin penasaran? Selamat membaca.