FAP: Menghidupkan Kembali Pemikiran Iqbal!!!
FAP: Bedah Buku Iqbal, Fakultas Filsafat UGM
Iqbal adalah salah satu pemikir Islam papan atas abad 20. Rekonstruksi adalah buku filsafat Iqbal yang paling penting. Dia memaparkan serangkaian refleksi mendalam tentang persinggungan antara sains, agama dan filsafat. Iqbal menjadi jembatan timur dan barat, antara Islam dan agama-agama lain. Antara tradisi dan modernitas, wahyu dan akal, spiritualitas dan intelektualitas, antara seni, ilmu pengetahuan, dan agama.
Demikian bunyi halaman belakang buku Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam. Dalam rangka mencari kontektualisasi dan penyegaran kembali pemikiran Islam, Riset STFI Sadra bekerjasama dengan Pusat Kajian Filsafat Islam Fakultas Filsafat UGM, CRCS UGM dan Mizan selaku penerbit, menggelar acara bedah buku tersebut, Sabtu 9/11/2016, di Auditorium Fakultas Filsafat UGM.
Meski sudah keesekian kalinya diterbitkan, Mizan tak segan kembali mencetak dan membedah buku ini dengan harapan terjadi gairah intelektual dalam pemikiran keislaman di era sekarang. Diskusi dipimpin oleh moderator Syarif Hidayatullah, MAg., MA. Hadir sebagai pembuka Dr. Arqom Kuswanjono selaku dekan Fakultas Filsafat UGM yang belum lama dilantik menggantikan Dr. Mukhtasar Syamsuddin, mendukung dan mendorong penguatan kembali ragam pemikiran filsafat Islam. Dr. Arqom sempat membacakan beberapa bait puisi Iqbal dan memberi penekaanan akan pentingnya menghidupkan kembali pemikiran Iqbal.
Diteruskan pembacaan paper Dr. Haidar Baigar sebagai wakil pihak Mizan yang terkendala tehnis tidak bisa hadir. Syamsum Ma’arif, MA mewakili panitia membacakanya dengan lirih lima butir pemikiran Iqbal yang dirangkum oleh Dr. Haidar Bagir;
Pertama, Iqbal saya kira secara kreatif memandang sejarah sebagai pergerakan progresif. Iqbal mengawali argumentasinya dengan menunjukkan sifat teleologis (kebertujuanan) alam semesta ciptaan Tuhan. Selanjutnya, dalam proses pergerakan menuju tujuan penciptaan itu, Iqbal menunjukkan sifat dinamis penciptaan itu sendiri. Dengan mengutip beberapa ayat al Qur’an tertentu, dia berupaya membuktikan bahwa alam semesta ini tidak diciptakan sekali jadi, alam semesta bukanlah suatu block universe. Bahwa dalam proses, Allah – yang disebut dalam al Qur’an, “setiap hari selalu sibuk” – terus-menerus menambahkan ciptaan baru ke dalamnya. Bersamaan dengan itu, ditegaskan oleh Kitab Suci ini bahwa manusia ditakdirkan untuk melewati satu demi satu satu tahap (thabaq ‘an thabaq) dalam kehidupannya, seolah-olah sejalan dengan penambahan terus-menerus ciptaan-ciptaan baru itu. Gagasan Iqbal ini menunjukkan terpengaruhnya Iqbal oleh Ibn Arabi. Konsep alam semesta tidak diciptakan sekali jadi terpengaruh atas konsep Ibn Arabi tentang kerja Tuhan dalam penciptaan, yaitu la tikrar fi tajalli –tidak ada pengulangan dalam tajalli. Dalam kerangka inilah Iqbal mengidentikkan sejarah dengan istilah ayyam Allah (hari-hari Allah) dalam al-Qur’an. Sejalan dengan itu, Iqbal melihat bahwa waktu bersifat sakral. Untuk menegaskan pandangannya itu Iqbal mengutip sebuah hadis Qudsi yang melarang “mencaci waktu (dahr)” karena “waktu adalah Allah”.
Kedua, oleh karena alam semesta ini tak diciptakan dalam proses sekali jadi lalu ditinggalkan oleh penciptanya. Maka prinsip gerakan dalam Islam adalah ijtihad, yang selalu melakukan eksperimen dan usaha-usaha. Mengapa? karena Tuhan tidak pernah berhenti membubuhkan hal-hal baru dalam alam semesta. Kalau mau menjadi manusia yang lebih baik dan masyarakat yang lebih baik kita harus merespons, karena Tuhan memberikan sesuatu yang baru supaya kita terus merespon. Jika kita terus merespons maka kita akan naik tingkat dan berkembang. Pemikiran Iqbal ini menekankan pada umat Islam pentingnya berijtihad.
Manusia harus terus menerus bergerak, berusaha dan merespons segala apa yang dibubuhkan Tuhan secara menerus di alam semesta ini. Tuhan tidak pernah berhenti untuk menaburkan sesuatu yang baru dalam alam semesta ini. Dengan terus berusaha dan melakukan kreatifitas, sesungguhnya manusia sedang merespons bubuhan Tuhan. Ijtihad dengan demikian adalah “sekedar” memenuhi undangan Allah. Dengan demikian, ijtihad, bukannya mengandung potensi distorsi terhadap ajaran Islam yang autentik sebagaimana diyakini oleh kaum tradisionalis-konservatif, justru merupakan inti khilafah – secara puitis Iqbal menyebutnya kemitraan (partnership) dengan Allah – manusia di atas bumi.
Ketiga, tampaknya juga berkat ilham Ibn ‘Arabi, Iqbal menegaskan kembali konsep al Qur’an mengenai alam semesta empiris (afaq) – di samping jiwa-jiwa (anfus) manusia dan sejarah tersebut di atas – sebagai tanda-tanda (ayat) Allah. Dalam konteks ini ia menunjukkan bahwa, betapa pun pada awalnya para pemikir Islam awal belajar dari filsafat Yunani (Platonik) yang spekulatif dan anti empiris, mereka tak bisa gagal untuk melihat sifat ajaran al Qur’an yang memberikan peran penting terhadap alam empiris ini. Kendatipun demikian, penghargaan al Qur’an terhadap empiria sama sekali tak mengurangi penekanannya kepada rasio sebagai fakultas untuk mendapatkan kebenaran.
Lebih dari itu, Iqbal menunjuk pada peran intelek (intuisi atau qalb/fuad) yang mampu mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi. Tapi, berbeda dari sebagian pemikir Muslim lain – seperti Imam Ghazali, yang kadang terkesan mempertentangkan rasio dengan intuisi – Iqbal melihat intuisi sebagai kelanjutan rasio, meski pada tataran yang lebih tinggi. Pada akhirnya, Iqbal disebut dengan filsuf yang mengkritik tasawuf dan sufi yang mengkritik filsafat. Ia menggunakan akal dalam penjelajahan kebenaran tentang Tuhan dalam tasawuf, dan membuktikan rasionalitas intuisi dalam filsafat. Iqbal menolak dipertentangkannya akal dan intuisi. Untuk hal ini bisa dilihat saat Iqbal mengkritik Imam Ghozali dan Immanuel Kant yang kedua-duanya terlalu mengagungkan salah satu di antara hati dan akal atau tasawuf dan filsafat. Inilah butir keempat pemikiran Iqbal.
Akhirnya, sebagai prinsip kelima pemikirannya, Iqbal menegaskan penekanan al Qur’an kepada amal. Yakni, setelah segenap penghargaannya kepada alam empiris, rasio, dan intuisi itu, akhirnya keberadaan seseorang dinilai dari kualitas amalnya. Butir terakhir ini kiranya melengkapi sifat pemikiran Iqbal yang, dalam segenap intelektualismenya yang kadang amat liberal, dinamistik dan aktivistik.
Selanjutnya pemaparan pembicara kedua Dr. Mukhtasar Syamsudin. Mengatakan, “Iqbal kritis dan mengkritik pemikiran barat, tapi tidak juga serta merta mengganti dengan Filsafat Timur atau Filsafat Islam. Pemikiran Iqbal tidak bisa ditarik ke timur dan barat. Dalam rekonstruksinya, peran intuisi sangat dekat dengan manusia. Iqbal memperkenalkan fisafat diri, padananya intuisi diri, asrar-i khudi, know yourself seperti halnya Aristoteles, sebuah jembatan antara intuisi dan empirisme”.
Meski pemikiran Iqbal terpengaruh oleh filsuf barat seperti Nietzsche, Bergson dan Hegel. Akan tetapi menurut Mukhtasar, Iqbal tidak segan mengkritik intuisi Bergson yang menurutnya terlalu jauh dan spekulatif sehingga harus di dekatkan kedalam diri (self) manusia. Begitu juga dengan absolulatisme ego Hegel yang tidak bisa menyambungkan dengan diri manusia.
Tidak seperti Ibnu Rusdi yang membebek pada Aristoteles. Iqbal adalah seorang Iqbalis. Hidup dalam pandangan Iqbal haruslah mempunya kehendak yang kreatif sebagaimana will to powernya Nietche.”
Senada dengan pembicara kedua, pembicara ketiga Ammar Fauzi, Ph.D mewakili Riset STFI Sadra mengatakan, “jika kita menyimak pemaparan Dr. Mukhtasar, maka jantungnya sudah diangkat oleh pk Mukhtasar, sekarang tugas saya untuk mengangkat karatnya. “ tambah Ammar.
Menurut Ammar, salah satu ciri pemikir besar adalah biasanya hanya dengan satu terma, kemudian dengan terma tersebut bisa dibawa kemana-mana, seperti ketika menyebut “wahdatul wujud” maka langsung menunjuk Ibnu Arabi. Begitu juga dengan Iqbal, dengan filsafaf diri (khudi)nya.
Akan tetapi apakah Iqbal sendiri memberi nama filsafatnya dengan filsafat quhdi, sejauh pengamatan Ammar tidak ditemukan.
Kemudian Ammar memetakan Pemikiran Iqbal dalam bagan berikut:
Peta Iqbal bisa dilacak dari kata rekontruksi, re artinya kembali, maksudnya ingin mengembalikan kejayaan Islam pada era nabi dan sahabat. Tidak seperti Seyyed Hosein Nasr dengan sains sakralnya yang ingin mengembalikan pada masa kejayaan abad pertengahan Islam. Iqbal melihat kegemilangan Islam dari aspek batin Islam, tidak hanya aspek luarnya.
Maka sebagai awal rekontruki, Iqbal memulai dengan dekontruksi, yaitu melakukan autokritik internal dunia Islam yang mengalami keterpurukan selama 500 th. Penyebab kemunduran dunia Islam dalam padangan Iqbal disebabkan oleh, pertama, berpikir abstrak seperti yang dilakukan oleh filsuf klasik; Plato, Alfarabi dan Aristoteles. Iqbal tidak setuju dengan cara AlGhazali yang ingin menghidupkan agama dengan menggunakan logika Aristoteles- karena upaya tersebut hanya akan mengalami degradasi.
Kedua, hidup negatif dalam tasawuf, yaitu negasi diri, ketiadaan diri, konsep fana, sebuah konsep yang merujuk pada wahdatul wujud. Negasi juga berlaku pada alam, ketiadaan hubungan dengan alam empiris. Inilah yang dalam pandangan Iqbal menyumbangkan kemunduruan Islam.
Sebagai solusi, Iqbal menawarkan kembali pada Alquran, karena Alquran adalah kitab perbuatan. Sedangkan peradaban Islam dapat disi dengan mengembangkan epistemologi diri, pengalaman religius (batin diri), pengamatan dangan indera dan menarik pelajaran dari sejarah. Karakter berpikir muslim harus merdeka, kritis, mendengar dan hormat.
Maka dalan rangka membangun filsafatnya, Iqbal melakukan afirmasi, meneguhkan kedirian manusia, “aku ada”, bukan aku tidak ada. Selanjutnya Ammar kembali memetakan dalam bagan,
Dalam pandangan Ammar, peta proses perjalan kesempurnaan manusia Iqbal dapat dipetakan lagi. Bahwa awal hidup manusia harus mengalami keguncangan sufi- yang akan membentuk kesadaran diri, setelah kesadaran tumbuh-terjadi hubungan cinta dengan Tuhanya, maka dalam kesadaranya tumbuh diam, kemudian negasi terhadap manusia dan alam, lalu dirinya lenyap secara eksistensial melalui empat tahap. Pertama, naik menuju Tuhan, kedua bersama Tuhan, ketiga kembali ke manusia, keempat sebagai puncaknya-menyempurnakan masyarakat bersama Tuhan.
Pada titik puncak perjalanan manusia, maka cita-cita besar Iqbal memperoleh persinggungan dalam pemetaan Ammar yakni setelah meneguhkan kedirianya (afirmasi diri bersama Tuhan), manusia harus membangun kesadaran akan kehendak dalam rangka membangun masyarakat muslim Internasional. Maka dalam pandangan Iqbal, nasionalisme dipakai sebagai alat untuk mencapai Internasionalisme. Kemudian dalam hal asas kemanfaatan nampak Filsafat Iqbal mempunyai irisan dengan Filsafat Pragmatisme William James.
Meski nampak hidup dan menjanjikan pemikiran Iqbal pada eranya, Iqbal tidak luput dari kelemahan. Prediksi dengan intuisi politiknya sering kali meleset seperti dalam kasus sanjunganya pada Kemal Attaturk dan Musolini. Meski begitu, menurut pandangan Ammar Fauzi, Iqbal tetaplah seorang pemikir besar karena cita-cita universalitas Islamnya. Tidak setiap pemikir besar dengan cita-cita besarnya dapat diterapkan dengan mudah dalam kontek negara modern. Jika pemimpin ideal versi Plato seorang Filsuf Raja, maka dalam peta Iqbal seharusnya pemimpin itu seorang yang sudah merampungkan empat perjalanan manusia. Hubungan pemimpin dan yang dipimpin (dalam terma wali bukan rhais) adalah hubungan cinta, maka tidak akan mungkin ada penindasan.
Setelah kurang lebih empat jam berdiskusi dengan peserta. Acara kemudian ditutup. Anemo kedatangan peserta diluar ekpektasi panitia. Bedah buku Iqbal ini membludak, dihadiri kurang lebih 300 peserta dari berbagai Fakultas UGM, UIN Sunan Kali Jaga, UII, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan UII. (Ma’ruf)