FILSAFAT PANCASILA DAN PANCASILAIS: antara Realitas, Realistis dan Utopis
Oleh, Ammar Fauzi
ammarfauziheryadi@gmail.com
Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jakarta, Direktur Indonesia BerFilsafat (IBF), Agustus, 2020
Genap 11 tahun dari usia Pancasila, Soekarno berkehormatan pidato di Kongres Amerika Serikat, “Pancasila is, Panca Means Five, Sila is Principles.” Kongres itu seolah podium “abadi” Indonesia mengekspesikan mimpi dan ikrar akbar bangsa untuk kesekian kalinya di hadapan masyarakat dunia.
Dalam potongan dokumenter itu, setiap sila diejakan oleh Soekarno satu per satu dan disambut tepuk tangan meriah pejabat tinggi AS. Moment haru-biru dan wibawa pidato di sana sesungguhnya tidak lebih membanggakan dari saat awal kali digagas konsepnya dan dipidatokan 1 Juni 1945. Di sidang BPUPK itulah layar bahtera kebangsaan dan kenegaraan mulai dirajut.
Sekali lagi, itu baru mulai dirajut. Bangsa ini berdaulat dan bernegara (nation-state) satu hari setelah Hari Proklamasi, 18 Agustus 1945. Tanpa sidang-sidang Panitia Sembilan 22 Juni dan PPKI 18 Agustus, pidato dan suasana sidang 1 Juni itu seperti suara tanpa isi. Namun, tanpa rumusan dan gelora pidato 1 Juni juga sulit mengkalkulasi kapan bangsa ini mau menyeberangi “jembatan emas” menuju eksistensi bangsa terhormat dan identitas negara berdaulat.
Gugus pengalaman itu sama-sama krusial kendati jelas berbeda kekuatan hukum dan politiknya. Ada kemauan, ada ketegangan, ada kealotan dan ketegasan, ada juga kesabaran dan, tentu saja, kesalingmengertian antartokoh sepanjang sidang-sidang maraton. Sebuah model semangat bersatu yang monemental. Tetapi setelah itu, Soekarno sendiri sejauh ini tidak sempat lagi menjabarkan luas kandungan dan kekuatan filosofis, sekali lagi filosofis, yang kelak menjadi salah satu referensi autentik bagi generasi masa depan Pancasila.
Kekuatan filosofis Pancasila perlu dipertimbangkan dan diuji sebagai konsekuensi logis dari konsep-konsep kuncinya yang nyaris semuanya berkarakter filosofis. Mulai dari ketuhanan, keesaan, kemanusiaan, keadilan, keberadaban, persatuan, kerakyatan, kepemimpinan, musyawarah, sampai perwakilan dan sosial merupakan konsep-konsep filosofis yang bersifat abstrak, universal, relasional dan, kebanyakan, gradasional.
Apalagi hikmat dan kebijaksanaan adalah dua nama yang sinonim dengan filsafat itu sendiri. Tidak berlebihan bila filsafat dikenal di Republik ini bersamaan dengan lahirnya Pancasila. Masih juga tidak berlebihan bila dasar negara ini bahkan dibuka dengan nama lain dari filsafat, tepatnya ketika ilmu filsafat utama yang didisiplinkan untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat juga dinamai oleh Aristoteles dalam Metaphysics dengan Theologiké, nama yang secara harfiah sepadan sepenuhnya dengan kata pembuka Pancasila: Ketuhanan.
Bagaimana filsafat lantas menjangkau dan menggali anasir filosofis Pancasila adalah tugas yang tidak mudah dan, karena itu, setiap upaya penggalian ilmiah sangat berharga, tidak kurang berharganya dari gagasan dan argumen yang turut menyertai diskusi, perdebatan, perancangan dan perumusan Pancasila oleh para bapak pendiri bangsa. Keragaman perspektif mereka hingga hasil-hasil telaah para pakar sekarang agaknya terangkum dalam satu prosedur penelitian paling klasik dalam tradisi logika dan filsafat Islam: apakah, adakah, dan mengapa (AAM).
Apakah Pancasila? Adakah Pancasila? Mengapa Pancasila? Tidak mengurai pertanyaan ini dengan baik atau mengacaknya akan berdampak kesalahpahaman, bahkan bisa berbuntut ancaman pengaduan. Contoh kecil saja, ketika Pancasila belakangan ini dinilai “bisa mengizinkan ateisme” dan “membolehkan tidak beragama”, itu lebih karena kurang lugas saja, tanpa perlu menelitinya secara terminologis dan teknis, yakni meninjau sekedar lapisan leksikal dari “Apakah” seperti yang diejakan Soekarno di Kongres AS dahulu. Dengan lapisan yang sama semestinya ketegangan seputar Trisila dan Ekasila juga bisa segera disudahi.
Sepanjang urat AAM inilah denyut berbagai tantangan dan peluang dapat ditelusuri dalam tubuh Pancasila. Namun, menyoal Pancasila dengan pola ini bukan tidak ada kendala, di antaranya:
1. Gejala fatalisme, entah menyandarkan masalah Pancasila kepada takdir Tuhan atau kepada takdir sejarah kemufakatan orang tua. Gejala ini selanjutnya memicu sikap apatisme, menyerah atau masabodoh. Oleh seorang fatalis, Pancasila itu dianggap sudah tuntas sepenuhnya sehingga dia skeptis dan tidak punya tanggung jawab merespon relasi aktualitasnya dengan dinamika mutakhir.
2. Sebaliknya gejala dogmatisme dan radikalisme buta tidak kurang kuatnya menanamkan tekad berpancasila dengan semangat “final” serta “harga mati” tanpa diimbangi tanggung jawab rasional. Dogmatisme ini bukan lagi gejala bagi kalangan yang mengharamkan filsafat dan berfilsafat. Artinya, di sisi lain, seorang dogmatis nasionalis bersama dogmatis agamis diam-diam bermufakat dengan fatalis untuk sama-sama percaya bahwa Pancasila sepenuhnya sudah tuntas; tidak perlu pengujian di dalam ataupun di luar filsafat dan dengan ideologi asing manapun.
3. Gejala kultusisme, sejenis fideisme dan keyakinan mutlak pada para pendahulu serta kecenderungan mengglorifikasi mereka sebagai sosok yang seolah sakral, penjamin masa depan bangsa sehingga menjadi referensi tunggal dalam upaya memahami kandungan Pancasila di era mutakhir dengan segenap peluang, tantangan dan masalah-masalah laten dan serbabaru. Tentu saja, kritik sekalipun terhadap bapak-bapak pendiri bangsa, selain tidak mengurangi jasa dan legasi mereka, justru salah satu ekspresi mulia dari penghormatan tulus atas karsa agung mereka serta pengakuan jujur atas peran luar biasa progresif mereka dalam, banyak batas dan momentum tertentu, mengantisipasi dinamika kontemporer dan masa depan bangsa.
4. Gejala relativisme yang cenderung permisif mengakomodasi penafsiran apa pun atas Pancasila. Penempatan dasar negara ini sebagai ideologi terbuka perlu diperjelas aspek keterbukaannya. Sebagai ideologi, maka betapapun Pancasila itu terbuka, ada ketertutupan di dalamnya. Dengan kata lain, Pancasila adalah ideologi terbuka juga tertutup. Terbuka yakni sejauh teks-teks Pancasila itu berbunyi tanpa mengabaikan konteks dan cacatan kesejarahannya, dan sebatas teks literal itu pula Pancasila ini tertutup.
5. Gejala nihilisme yang kerap menyerang filsafat juga Pancasila dengan beragama narasi seperti: filsafat itu ruwet, ngawang, melangit, tidak membumi, dan Pancasila itu ekspresi angan-angan, mimpi, dan utopia. Satu saja dari lima ini dipertahankan sudah cukup menghambat upaya menggali lebih fundamental nilai-nilai luhur Pancasila. Ini artinya, tanpa filsafat dan pengujian filosofis, Pancasila hanya kokoh di permukaan, tanpa tersentuh kekuatan akar-akarnya. Dengan filsafat, Pancasila lebih siap dan tebal lagi dindingnya untuk diuji basis-basis filosofisnya di dalam maupun di hadapan ideologi asing.
Biasanya, filsafat berasosiasi dengan kritik. Berfilsafat berarti mengkritik. Ini ada benarnya. Tentu, kritik di sini harus dimaknai secara lengkap, yakni mencermati suatu objek dari berbagai aspek, entah positif ataupun negatif. Maka, berfilsafat yaitu memulai pemeriksaan kebenaran dari posisi netral terhadap objek, tanpa sikap menolak atau menerima nilai objek tersebut. Dalam ruang filsafat itulah objek akan diuji nilai kesahihan dan kompetensinya.
Jika objek itu Pancasila, maka dasar negara ini, dalam studi filosofis tadi, belum sepenuhnya tuntas dan, tentu saja, ada yang sudah tuntas. Ini alternatif yang agaknya moderat dan imbang, yakni memaknai “berpancasila” sebagai proses menjadi pancasilais. Maka, “Saya Pancasila” sepatutnya disadari sebagai aku sedang berproses menjadi insan pancasilais sehingga masing-masing terbuka kritik dan koreksi interpretasi juga implementasi untuk maju bersama. Sekadar makna leksikal proses ini saja selanjutnya akan ditinjau sepintas mana yang sudah tuntas, mana yang belum.
Karena proses, Pancasila punya titik awal sebagai pijakan yang jelas dan kokoh, yaitu teks literal Pancasila dan nilai-nilai aksiomatis di dalamnya yang sudah secara akurat dan teliti disarikan oleh para pendiri bangsa serta disahkan secara legal-formal sebagai dokumen resmi negara. Argumen Soekarno atas lima konsep kunci Pancasila di 1 Juni ’45 tampak sekali mengokohkan keaksiomatisan itu sejauh melacak asalnya hingga budaya leluhur dan suasana kebatinan bangsa.
Karena itu, bukan kekurangan bila lima sila itu disebut sebagai nilai-nilai universal, karena memang semuanya merupakan ekspresi fitrah manusia sebagai manusia. Nilai-nilai Pancasila melampaui wilayah hingga bisa dijumpai nyata di luar negeri kelahirannya. Ini menjadi benar-benar ironis bila ternyata Pancasila di negeri kelahirannya sendiri kesulitan mendapatkan kesempatan tumbuh dan berkembang di tengah bangsa yang paling lantang mengikrarkannya di muka dunia.
Kenyataan ini patut segera diafirmasi oleh tokoh yang mengaku “saya melihat Islam di New Zealand”, yakni dia juga melihat Pancasila di sana, karena para pendiri bangsa hingga generasi bungsu mufakat bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan agama. Maka sebaliknya juga benar bahwa ketakjelasan, kemunduran dan pelemahan Pancasila akan berbanding langsung dengan keadaan-keadaan yang sama pada keagamaan bangsa ini.
Karena, sekali lagi, berupa proses, Pancasila juga punya titik akhir, yakni tujuan yang jelas. Ketakjelasan teleologi, tujuan dan potret negeri impian masa depan adalah sama dengan ketiadaannya. Dengan gambaran yang jelas dari tujuan Pancasila, manusia Indonesia, tanpa ragu, akan mantap bekerja menjalani proses dengan dua kekuatan yang, dalam bahasa Soekarno, disebut iman dan amal.
Dengan kekuatan iman, tidak perlu tersinggung bila janji masa depan Pancasila disebut-sebut sekadar narasi fiksional (catat: bukan fiktif), serupa mimpi dan angan-angan. Justru dalam mimpi itulah iman menjadi berarti serta menyala, dan dengan iman pula angan-angan jadi klimaks harapan rasional, fiksi/fiksional jadi senilai dengan fakta dan realistis.
Bukan hanya rekam jejak leluhur dan suasana kebatinan Nusantara, Pancasila juga nilai-nilai universal bawaan fitrah kemanusiaan yang mengawal fungsi segenap kapasitas manusia dalam mengalami dengan kejernihan indra, berfiksi dengan keliaran imajinasi, berargumen dengan ketegasan akal dan merasa dengan kelembutan hati.
Tampak adanya keseimbangan dalam kelahiran Pancasila. Dasar negara ini tidak hanya dilacak basisnya ke belakang di alam kesadaran leluhur yang melegenda, tetapi juga memacu kolaborasi indra dan imajinasi dengan akal dan hati untuk mewujudkan kreativitas dan cita-cita luhurnya di depan hidupnya, entah di dunia ini ataukah di kehidupan setelah kematian.