Perempuan diantara Modifikasi dan Komodifikasi
Perempuan Diantara Modifikasi dan Komodifikasi
Catatan Singkat Kursus Perempaun
Oleh; Nurhasanah, M.Ud
Kursus perempuan, sebuah proses mendalami problem perempuan. Diprakarsai oleh komunitas Agenda 18 bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia. Bertempat di Kantor Penerbit Obor jalan Plaju Kebon Melati Jakarta Selatan. Beberapa pemateri dan fasilitator, Ruth I Rahayu, Rumenta Santyani, Maria Brigita Blessty, Gloria Fransisca Katharina, dan Jenni Anggita.
Mengangkat beragam tema: Perempuan, Komoditas dan Gerakan Feminis, Perjuangan Feminis: Gerakan Sebelum Pertengahan Abad 20. Perjuangan Feminis: Gerakan Pembebasan Nasional Abad 20, Perjuangan Feminis: Berselancar Menuju Abad 21.
Saya berkesempatan mengikuti kursus pada level kedua. Kursus ini mempertemukan saya dengan materi komoditas dan komodifikasi. Apa itu?. Makna dari komoditas secara harfiah diartikan sebagai suatu barang atau jasa yang bernilai ekonomis menurut pasar. Sementara komodifikasi merupakan penyatuan antara dua kata yang berasal arti komoditi dan modifikasi, artinya perubahan fungsi atau bentuk dari suatu barang atau jasa, dari yang bernilai non-ekonomis menjadi sesuatu yang bernilai fantastis.
Dalam teori Marxisme, komodifikasi adalah pertukaran atas sesuatu yang sebelumnya tak bernilai perdagangan menjadi bernilai pertukaran komersil. Dapat dikatakan jika segala sesuatu memiliki nilai ekonomis berarti dapat dikategorikan sebagai klasifikasi dari proses komodifikasi. Contohnya: baru- baru ini ada tempat wisata yang terbilang masih sangat baru. Tempat wisata ini disebut Telaga Cisoka, letaknya di kawasan Tangerang. Dulunya, telaga Cisoka merupakan tempat galian pasir selama bertahun-tahun, lantas beberapa tahun belakangan tempat tersebut dibiarkan oleh penambang karena tidak dapat menghasilkan pasir lagi. Sehingga bekas galian pasir lama-kelamaan menampung air hujan yang akhirnya berubah wujud menjadi seperti sebuah telaga yang berwarna hijau dan biru.
Setelah berbagai macam foto Telaga Cisoka terpampang dengan menawan di media sosial dan menjadi populer, dengan inisiatif warga setempat, mereka membuat karcis masuk meskipun masih ala kadarnya, menyiapkan lahan parkir serta menjaga keamanan, memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh para pengunjung.
Ada beberapa hal yang menjadi syarat komodifikasi, yaitu; adanya penciptaan kriteria yang berhubungan dengan teknologi infrastruktur, pengadaan fasilitas yang memadai, dan kategorisasi baik fisik maupun non-fisik bilamana berhubungan dengan manusia.
Tiga hal tersebut menjadi komposisi untuk memulai proses komodifikasi agar tercapai sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Selain komodifikasi tadi, masih ada hal lain yang dapat melengkapi dan menyempurnakannya, yakni fetishisme yang berarti proses pemujaan atas suatu produk baik barang ataupun jasa yang diciptakan agar bernilai komoditas tinggi.
Sebutlah misalnya saat musim batu cincin yang secara khusus menyihir kaum lelaki. Batu-batu tersebut memiliki tempat special di hati dan saku para pemujanya. Mulai dari yang berharga murah sampai yang seharga mobil atau rumah mewah. Kondisi masyarakat Indonesia memang masih lekat dengan hal-hal yang berbau fanatisme, termasuk penyembahan terhadap benda mati.
Namun, sekarang ini eksistensi batu-batu mahal itu hanya lebih mirip benda purbakala, mengalami degradasi bahkan hampir hilang pamor dan nilainya. Tidak seperti nilai emas yang mampu menjadi primadona sepanjang masa. Komodifikasi juga memiliki peran penting dalam upaya menciptakan sesuatu yang bernilai, bukan berarti komodifikasi selalu bernilai materialistis. Sebaliknya, sebagian pelaku usaha menjadikan komodifikasi memberikan harapan agar sesuatu yang sedang dalam tahap proses komodifikasi menjadi lebih bermanfaat dan digunakan banyak orang. Setiap orang memiliki hasrat dan tujuan yang berbeda tergantung dari mana sudut pandang itu dilihat.
Nah, mengapa komodifikasi? – menurut Marx dan George Lucas, komodifikasi merupakan metode yang khas dalam sebuah perdagangan yang berada dibawah sistem kapitalisme yang bertujuan untuk mentransformasi sesuatu untuk menghasilkan nilai lebih atau profit yang sebesar-besarnya. Pada intinya, segala sesuatu yang bisa memberikan nilai jual lebih dapat dikategorisasikan menjadi komodifikasi.
Komodifikasi dan Perempuan
Lalu bagaimana relasi perempuan dengan komodifikasi? Banyak sisi yang dapat kita amati tentang perempuan dan isu-isu yang terkait, dan komodifikasi adalah salah satu aspek yang terdekat. Sebagai contoh, kita lebih memperhatikan sosok seorang perempuan yang disandarkan pada sifat-sifat lahiriah; cantik, indah, lembut, gemulai, sedap dipandang, lekuk tubuh, dan lain sebagainya.
Baik disadari atau tidak, kaum perempuan menjadi sasaran empuk bagi proses komodifikasi. Kita dapat menyebut bahwa kaum perempuan dianggap sebagai barang atau sesuatu yang dapat menghasilkan nilai jual tinggi setelah melalui komodifikasi. Jika saya perhatikan, hal ini tidak hanya berlaku pada dunia materialistis, namun sudah merembet pada dunia yang bernilai syariah.
Perhatikan saja syarat-syarat untuk menjadi Putri Muslimah, sebuah ajang pencarian bakat melalui keahlian dalam berbagai macam bidang dan kecerdasan. Namun diantara syarat-syarat tersebut tinggi dan berat badan juga ditentukan, rupa wajah, bentuk gigi dan senyuman juga menjadi penilaian. Bukankah ini termasuk sebagai bentuk pelanggaran HAM? Bagaimana dengan para perempuan muda yang hanya memiliki bakat namun tidak memenuhi kriteria sudah ditetapkan panitia dan juri?
Bagi saya pribadi sebagai muslimah, ajang tersebut tidak ada bedanya dengan ajang puteri-puterian yang lain atau ratu sejagat sekalipun. Saya tidak temukan wujud keadilan didalamnya.
Melalui ajang tersebut perempuan bukan berangkat dari kesadaran yang paling dalam dan dasar, para perempuan muda akhirnya terlena dan cukup nyaman untuk mengikuti “permainan” yang sudah diatur sedemikian rapi dan elegan. Meskipun kaum mudi tersebut dikategorisasikan sebagai orang yang cakap dan pandai, namun sebenarnya mereka pun tertipu dengan keadaan dan tawaran menggiurkan yang menjanjikan kepopuleran.
Masalah lain, egosentrisme yang berkembang dalam perempuan. Kaum hawa ini memiliki standar atau angan-angan yang membumbung tinggi tentang konsep kesempurnaan dan membuatnya sulit untuk berpijak pada realita. Deskripsi tentang jati diri manusia yang paripurna belum sepenuhnya dapat dipahami oleh perempuan-perempuan terutama di negara saya, Indonesia.
Menurut pandangan saya, sebagian perempuan masih belum bisa membedakan hal-hal yang menjadikan diri mereka sendiri sebagai objek eksploitasi. Dalam pandangan mereka, kesenangan untuk menjadi populer adalah segalanya, sementara berkutat dalam bidang yang lebih ilmiah adalah hal yang membosankan, seakan hidup terasa hampa.
Bagi pemilik modal sudah sangat mengetahui apa saja yang laku di pasaran dengan membidik para perempuan muda dari barat hingga timur Indonesia, dan menyertakan embel-embel syariah, atau muslimah idaman. Menurut hemat saya, mengapa kita selalu berpikir untuk menyalin apa yang sudah dibuat orang lain, sedangkan kita masih dapat melakukan hal yang lebih bernilai? Tentunya dengan cara yang berbeda, misalnya dengan kompetisi yang melibatkan aspek intelektualitas dan bakat serta diukur dengan nilai-nilai akademis.
Ketika sebuah aktivitas disulap menjadi konsumsi industri media, atau industri kreatif- hal itu tidak menjamin adanya kekayaan nilai spiritual dan agamis. Sebaliknya, aktivitas tersebut tak lagi berada pada tataran “fastabiqul khayrat” atau berlomba-lomba dalam kebaikan, tetapi berlomba-lomba dalam menciptakan pasar. Saat inilah momen lahirnya kesan pragmatis, “ini dia yang lebih islami”.
Dalam sistem kapitalisme, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Coba kita gerakkan sedikit saja potensi kreatifitas yang Tuhan berikan kepada kita, niscaya akan ada jalan- terlepas dari pembodohan masal para kapitalis. Untuk para perempuan, ciptakan sendiri impian dan cita-cita dengan cara yang lebih bisa memuliakan sebagai manusia, bukan sebagai budak manusia yang menjatuhkan nilai-nilai substansi kemanusiaan.
Islam dengan segala ajarannya sudah sangat jelas mengabarkan kepada umat manusia bagaimana cara memperlakukan perempuan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: Aku dibuat cinta oleh tiga hal dari duniamu, kesejukan mataku saat bersujud, perempuan, dan wewangian. Perempuan telah mendapat kemuliaannya melalui rahmat Allah SWT yang diberitakan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW, kaum Sufi juga bersepakat bahwa perempuan adalah locus manifestasi Tuhan yang paling sempurna. Hal ini menunjukkan jika perempuan memiliki nilai yang tiada tandingannya di mata Allah SWT. Seperti kata Jawadi Amuli, sufi modern; perempuan memiliki aspek jalaliyah dan jamaliyah Allah secara bersamaan. Ya, perempuan memiliki keanggunan dan keindahan dalam dirinya, sehingga memantulkan pancaran yang luar biasa.
Namun sayangnya, ada saja oknum-oknum yang menggunakan ayat-ayat serta seruan Rasulullah SAW dengan cara yang tidak adil, tidak bijaksana, dan bahkan mungkin cenderung menguntungkan kapitalis. Yang perlu dihujat adalah orang-orang yang melakukan pelecehan terhadap ayat-ayat suci tersebut, bukan pada ayat-ayat yang seringkali disalahartikan oleh kaum feminis muslim sendiri.
Akhir kata, kesadaran sangat diperlukan oleh kaum perempuan agar dapat berlaku adil terhadap dirinya sendiri. Sadar akan peran penting dan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah SWT untuk bisa memajukan diri dan kaumnya. Semoga perempuan tak menjadi subordinat dan menjadi beban kehidupan sosial.