RUU HIP, “Beyond” Trias Politika
Kemunculan Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP)memanen respon negatif dari masyarakat. Banyaknya opini yang berkembang di masyarakat untuk menghentikan RUU HIP membuat Presiden menunda untuk disahkan. Meski terkesan gaduh di masyarakat, sebenarnya gejala ini positif karena mencerminkan kepedulian dan kebutuhan masyarakat akan ideologi bagi negara dan bangsa. Pemerintah juga memberi signal untuk mendengarkan partisipasi luas dari suara rakyat. Wacana ini menurut penulis harus di terus kawal sehingga gagasan penguatan ideologi Pancasila semakin berbobot dan tidak kehilangan momentum.
Gagasan pokok “penguatan ideologi” harus terus berkembang secara sehat dan rasional dengan diskusi publik sampai tuntas, alih alih terjebak dan menjebakkan diri pada wacana “politik konsideran”[1] undang-undang (komunis versus khilafah).
Inti dari masalah yang dipersoalkan masyarakat tentang kemunculan RUU HIP adalah posisi ideologi dalam Tata Negara dan politik konsideran (menimbang). Bagaimana meletakkan “ideologi” dalam Tata Negara sehingga beban sejarah politik konsideran dapat diselesaikan secara rasional dan konstitusional.
Ideologi dalam wadah “Beyond” Trias Politika
Gagasan penguatan Ideologi Pancasila menurut pandangan penulis bisa diselesaikan dengan beyond trias politika dalam skema Tata Negara. Melampaui sekaligus menyelesaikan (beyond) deadlock ketika proses check and balance tiga lembaga (eksekutif, legislatif dan yudikatif) mengalami turbulensi. Sementara ideologi dalam skema logika beyond trias politika berfungsi mengarahkan sekaligus menyeimbangkan jalanya tiga lembaga negara yang setara melalui “sebuah lembaga negara”.
Ketika ideologi Pancasila menjadi ideologi negara dan bangsa pastilah dimaksudkan dalam arti positif, bukan ideologi dalam arti negatif seperti dipakai oleh penguasa Komunis dan Fasis. Hanya saja pada saat Ideologi apapun ketika dipegang oleh lembaga eksekutif, akan campur aduk dengan logika manegemen administrasi aparatur negara. Rakyat memilih presiden mengharapkan presiden menjalankan good goverment. Sementara kualifikasi dan otoritas pengarah ideologi berbeda dengan kualifikisi seorang presiden. Tugas pengarah ideologi bersifat umum, menjalankan visi dan doktrin bangsa dan negara. Sementara eksekutif bersifat operatif dan administratif.
Dalam skema trias politika, eksekutif di desain to execute (pelaksana kebijakan negara), legislatif, to legislate (pembuat undang-undang dan pengawas exsekutif) dan yudikatif, to judge-(pembuat keputusan keadilan). Akan tetapi skema triaspolitika tidak mengantisipasi ketika check and balance mengalami kemacetan. Keseimbangan kekuasaan politik lebih rumit dan tidak sama dengan keseimbangan ketika suply and demand bekerja dalam sistem ekonomi.
Trias politika memperlakukan “ideologi” sebagai barang asing yang tidak ada sangkut pautnya dengan rasionalitas keseimbangan tiga lembaga negara. Trias politika tidak membayangkan sebuah “otoritas” dewan pengarah tiga lembaga tersebut ketika terjadi dispute yang berkenaan dengan visi besar negara.
Dewan Pengarah Kebijakan (Ideologi)
Olehkarena itu secara praktis, penulis mengusulkan pembentukan (DPK) Dewan Pengarah Kebijakan (Ideologi) yang bertugas mengarahkan tiga lembaga trias politika. Tugas ini berbeda dengan tugas MK yang menyelesaikan dispute antar lembaga dalam sebuah pengadilan (court).
Ideologi berkaitan dengan gagasan guidance cita-cita negara, sementara itu ketika cita-cita negara sedemikian tinggi dan praktek konvensional trias politik tidak bisa mengakomodasi cita-cita tersebut, maka trias politik perlu dinaikkan levelnya. Untuk itulah gagasan “emergence of beyond triaspolitika” menjadi penting.
Ideologi berkaitan dengan supremasi manusia (rakyat) yang mendelegasikan kewenangan tugasnya pada Dewan Pengarah Kebijakan Ideologi yang mengarahkan jalanya supremasi hukum (MK) dan supremasi dewan (DPR). Supremasi rakyat diejawantahkan dalam tiga saluran (DPR, Presiden dan Dewan Pengarah Ideologi). Olehkarena itu dibutuhkan pemilu legislatif, eksekutif dan DPK.
Dewan Pengawal Konstitusi (DPK)
Selain Dewan Pengarah Kebijakan (DPK), penulis juga mengusulkan Dewan Pengawal Konstitusi (DPK). Jika Dewan Pengarah Kebijakan (DPK) bertugas mengarahkan ideologi, maka Dewan Pengawal Konstitusi (DPK) bertugas mengarahkan konstitusi secara operasional, mengawasi dan menyelesaikan dispute hukum, mengajukan persoalan konstitusi secara terprogam, mengkualifikasi perundangan logika hirarkis dan horisontal agar sesuai cita-cita ideologi. Jika terjadi dispute hukum antara DPK dan legislatif maka penyelesaian akhir di MK (Mahkamah Konstitusi).
Hirarkis dan horisontal perundangan
Keberatan masyarakat soal RUU HIP tentang “mengundangkan ideologi”, yang dikawatirkan mendowngrade Pancasila, dan bertabrakan hirarki hukum dalam skema Pancasila sebagai sumber dari segala hukum bisa diselesaikan dengan frame konstitusi.
Pancasila itu konstitusi sekaligus metakonstitusi. Pancasila itu konstitusi karena terdapat dalam pembukaan undang-undang 1945 alinia keempat. Pancasila itu metakonstitusi, artinya tafsir dan makna bisa melampaui bunyi tek konstitusi, sebagai sumber insiprasi hukum. Olehkarena itu nilai Pancasila bisa menjadi premis mayor di luar bunyi tek konstitusi sejauh tidak bertentangan dengan tek konstitusi lain. Jika kita menganggap Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, artinya Pancasila bukan hukum itu sendiri, tetapi sumber nilai hukum. Jika nilai Pancasila sudah menjadi undang-undang, artinya nilai Pancasila menjadi bagian dari hukum (ada nilai luhur Pancasila dalam konstitusi). Pancasila adalah bagian dari konstitusi sekaligus diluar konstitusi yang bisa membingkai (dinamis) konstitusi.
Persolan dispute hirarkis dan horisontal logika perudangan menjadi tugas domain anggota DPI dan anggota DPR, diselesaikan secara musyawarah, penyelesaian terakhir ada pada keputusan MK. Persolan premis mayor (grund norm Pancasila, nilai proklamasi, kebebasan manusia, hak dan kewajiban dll), serta premis minor undang-undang bisa dicari argumentasinya tanpa ada kekawatiran mengubah pembukaan Undang-undang 1945. Sementara itu, eksekutif tidak boleh terbebani dispute pembuatan konstitusi dalam logika hukum Tata Negara dan beban otoritas penuh mengarahkan ideologi negara dan bangsa.
Singkatnya, menguatkan ideologi Pancasila dengan RUU HIP, artinya pertama, bagaimana menyelesaikan logika hirarki konstitusi, vertikal (prinsip dan inspirasi)-horisontal (saling mengkualifikasi) ada pada Dewan Pengawal Konstitusi (DPK) dan DPR, bukan domain tugas Presiden. Kedua, menaikkan level kelembagaan BPIP menjadi Dewan Pengarah Kebijakan (DPK) agar sesuai logika tata negara berbasis beyond trias politika.
Berikut gambaran penulis simpulkan alur masalah dan solusi wacana RUU HIP dengan skema DIM (Daftar Inventaris Masalah) dan DSM (Daftar Solusi Masalah).
DIM (Daftar Inventaris Masalah)
- Penguatan Ideologi Pancasila melalui RUU HIP mengalami kendala logika hirarki hukum
- Jalur kekuasaan ideologi melalui kekuasaan eksekutif menimbulkan masalah vested interest periodik setiap penguasa pemerintah yang berganti ganti (orde baru -BP7) dan orde lama-Manipol USDEK, Nasakom)
- Akibat ideologi dipegang jalur eksekutif menimbulkan dampak tumbuhnya politik konsideran-menimbang-historis (Komunis, Khilafah dll)
- Resistensi kelompok Islam
- Kampanye ideologi negatif (ideologi di sosialisasikan secara negatif dengan tendensi fasis dan komunis)
DSM (Daftar Solusi Masalah)
- Penguatan ideologi Pancasila melalui lembaga beyond triaspolitika, dengan membentuk Dewan Pengarah Kebijakan (DPK). Anggota dewan dipilih secara langsung oleh rakyat. Dasar hukumnya sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinia keempat, negara diselenggarakan berdasarkan kedaulatan rakyat. Pancasila berasal dan menjadi milik rakyat. Rakyat memberi mandat para pemegang otoritas ideologi untuk menjalanan garis-garis besar haluan ideologi negara dan bangsa. Ideologi berasal dari tenaga rakyat ditegakkan oleh elit sebagai pelayan rakyat.
Para anggota dipilih harus memiliki kualifikasi sesuai dengan orang yang paling memiliki “hikmah” untuk mengarahkan demokrasi sesuai sila keempat Pancasila. Para anggota terdiri dari golongan nasionalis dan Islam sesuai dengan konsideran kesepakatan Pancasila dan UUD 1945 pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Para anggota dewan yang terpilih memilih satu orang pemegang otoritas ideologi bangsa dan negara.
- Penguatan nilai ideologi Pancasila dengan mengkualifikasi produk hukum nilai hirarkis dan horisontal dengan membuat Dewan Pengawal Konstitusi (DPK). Anggota Dewan terdiri dari pakar hukum konvensional, hukum agama, hukum adat, dipilih oleh Dewan Pengarah Kebijakan (DPK) dan anggota legislatif. Potensi dispute produk hukum hirarkis (Pancasila dan UUD serta perundangan dibawahnya) dan kontradiksi antar perundangan (horisontal) diselesaikan antara anggota legislatif dan DPK. Jika tidak bisa diselesaikan akan dibawa ke MK untuk mendapatkan keputusan final. Lembaga ini akan mengurangi potensi heavy executive.
Titik pijak grundnorm bisa diambil dari sila pertama “Ketuhanan” dan nilai kemerdekaan manusia seperti yang tertera dalam proklamasi sebagai awal keberlakukan hukum negara Indonesia 1945. Logika grundnorm yang diadopsi dari Hans Kelsen mengunci titik pijak “tafsir konstitusi” awal para founding father sebagai pembuat hukum pertama (premis mayor) bisa diperluas dengan sila pertama dan kedua sebagai satu kesatuan (Tuhan dan manusia) dan kemerdekaan manusia sesuai subtansi proklamasi.
- Resistensi kelompok Islam terhadap RUU HIP bisa diselesaikan dengan mengakomodasi golongan nasionalis dan Islam melalui lembaga DPK. Dengan mengembalikan stakeholders utama Pancasila sebagai kesepakatan golongan Islam dan nasionalis akan menyelesaikan politik konsideran-“beban sejarah dispute dasar negara”.
- Meyakinkan pada rakyat Indonesia bahwa negara dan bangsa masih butuh “ideologi” dengan cara rasional dan penuh hikmah. Mensosialisasi ideologi Pancasila sesuai dengan perkembangan pikiran masyarakat kontemporer dengan mempertimbangkan kondisi geopolitik terkini. Kegagalan ideologi Kapitalis dan Komunis sebagai emergence of Pancasila dijelaskan secara tuntas, baik secara aktual dan teoritik, level individu dan negara, serta menjelaskan dan menaikkan “level”[2] ideologi Pancasila secara meyakinkan sesuai tuntutan zaman.
(Oleh, Muhammad Ma’ruf, Peneliti Pancasila, PSP UGM)
———————————————————————————————-
[1] “Politik konsideran” berasal usulan untuk memasukkan kondiseran Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA, PERNYATAAN SEBAGAI ORGANISASI TERLARANG DISELURUH WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAGI PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN LARANGAN SETIAP KEGIATAN UNTUK MENYEBARKAN ATAU MENGEMBANGKAN FAHAM ATAU AJARAN KOMUNIS/MARXISME-LENINISME kedalam RUU HIP. Usulan ini bergandengan dengan tafsir “Ketuhanan yang berkebudayaan” dan “keadilan sosial” yang di curigai mengganti sendi utama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Gagasan penguatan ideologi Pancasila bergeser sebagai momentum kelompok Islam tertentu dicurigai oleh kelompok nasionalis telah melakukan deSukarnoisasi jilid kedua setelah deSukarnoisasi jilid pertama oleh Suharto zaman orde baru. Sementara kelompok Islam mencurigai kemunculan RUU HIP sebagai penguatan Pancasila melalui Ideologi monolitik Sukarno. Politik konsideran (menimbang) tidak sekedar istilah hukum tapi bermuatan historis-politis.
[2] Menaikkan level ideologi artinya “merefresh” pemahaman internal ideologi Pancasila disesuaian tuntutan zaman, tidak sekedar menyamakan dan mengharmoniskan pemahaman lama, tapi membuka kemungkinan generasi sekarang memperolah pemahaman yang lebih utuh dan lebih tinggi tentang arti penting sebuah ideologi bagi negara dan bangsa.