Sekilas Kitab-Kitab Tafsir Indonesia
Sejarah tafsir dan awal mula kronologis penjelasan atas ayat-ayat Al-Quran tidak terpaut jauh dengan awal penurunan wahyu. Nabi SAW, selain sebagai penerima wahyu, juga penyampai (muballigh) yang sekaligus menerangkan kandungan dan bahkan menjelaskan penerapannya secara kauistik. Karena itu, dapat dikatakan bahwa tafsir merupakan satu atau satu-satunya bidang ilmu yang pertama kali lahir dalam tradisi Islam.
Selanjutnya, kitab-kitab tafsir diusahakan pada masa sahabat dan tabiin, ditulis masih dalam bahasa Arab karena mereka hidup dikalangan orang-orang yang berbahasa Arab. Tentu saja, tafsir mereka hanya dapat dipahami oleh orang yang punya, setidaknya, kemampuan berbahasa Arab. Tujuan tafsir sendiri ialah mengungkap dan memperjelas makna teks Al-Quran sehingga harus bisa dengan lebih mudah dipahami umat Islam dengan berbagai latar belakang bahasa dan budaya.
Tafsir ulama Indonesia cenderung lebih mudah difahami oleh masyarakat Indonesia dan orang-orang yang berbahasa Indonesia dan Melayu. H. Kerja dan karsa penuh berkah ini patut dipertahankan sebagai bagian dari pengembangan tradisi dan peradaban agung Islam yang kontekstual dengan budaya dan kondisi lokal yang kian dinamis. Ini merupakan salah satu cara menampilkan Al-Quran serba baru dan segar
Atas kesadaran ini pula usaha penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dengan Bahasa Indonesia juga dilakukan oleh para cendikia Muslim yang berbahasa Indonesia, baik oleh perorangan maupun kelompok. Penerjemahan dan penafsiran Al-Quran oleh mufasir Tanah Air tidak hanya ditransfer ke dalam Bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa daerah dan bahasa Melayu.
Penulisan kitab terjemahan dan tafsir Al-Quran dalam Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Melayu sebenarnya sudah dimulai pada abad ke-17 M. Pada masa itu, Syekh Abdur Rauf Singkily seorang ulama asal Singkil di Aceh menyusun sebuah kitab tafsir pertama berbahasa Melayu yang diberi judul Turjuman al-Mustafid.
Upaya penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Melayu diteruskan pada periode selanjutnya oleh Muhammad bin Umar yang terkenal dengan nama Syekh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kitab Tafsir Al-Munir li Ma’alim Al-Tanzil Al-Musfir ‘an Wujuh Mahasin Al-Ta’wil yang disusun Syekh Nawawi ini diterbitkan di Makkah pada permulaan 1880-an. Hingga kini, sudah beberapa kali dicetak ulang dan banyak beredar di kawasan Timur Tengah.
Sementara itu, pada abad ke-19 M hingga memasuki abad ke-20 M, mulai bermunculan berbagai macam kitab terjemahan dan tafsir Al-Quran karya para ulama dalam negeri. Di antaranya, Al-Quran Al-Karim dan Terjemahan Maknanya, karya Prof H Mahmud Yunus yang dirilis pada 1967. Tafsir ini hanya terdiri atas satu jilid, namun penafsirannya mencakup 30 juz.
Pada 1974, umat Islam di Indonesia mulai mengenal kitab tafsir dalam bahasa daerah melalui Al-Kitab al-Mubin Tafsir Al-Quran berbahasa Sunda yang disusun oleh KH MHD Ramli. Kemudian, di tahun 1977, muncul kitab tafsir dalam bahasa Jawa karya Prof KH R Muhammad Adnan yang berjudul Tafsir Al-Quran Suci.
Penulisan tafsir Al-Quran dalam bahasa Indonesia secara lebih lengkap dalam satu jilid baru dilakukan oleh H Oemar Bakry melalui kitab Tafsir Rahmat yang terbit pada tahun 1981. Penafsiran dalam kitab ini dilakukan berdasarkan urutan surah dan ayat dalam Al-Quran tanpa mengelompokkan ayat sesuai dengan masalah yang dikandungnya. Yang membedakan kitab tafsir ini dari kitab-kitab tafsir karya ulama Indonesia sebelumnya adalah setiap surah yang akan ditafsirkan didahului oleh suatu pendahuluan yang berisi uraian tentang nama atau nama-nama lain surah tersebut, jumlah ayat, hubungan antarsurah, dan pokok isi surah. Penafsiran surah diakhiri dengan penutup yang berisi kesimpulan mengenai kandungannya.
Pada perkembangan berikutnya, masyarakat Muslim Indonesia juga mengenal Tafsir Al-Azhar yang disusun oleh Hamka yang terbit pada tahun 1983. Kitab ini terdiri atas 15 jilid dan setiap jilid berisi penafsiran dua juz Al-Quran. Di setiap awal surah yang ditafsirkan, diuraikan lebih dahulu beberapa hal yang berkaitan dengan surah dan pokok isinya. Selain itu, setiap ayat juga disertai dengan terjemahannya. Masalah pokok yang terkandung dalam ayat-ayat tertentu diuraikan dan ditafsirkan secara panjang lebar.
Selain kitab tafsir yang disusun secara perorangan, Muslim di Tanah Air juga mengenal karya tafsir yang dibuat secara kelompok atau oleh lembaga. Di antaranya, Al-Quran dan Terjemahannya yang disusun oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Quran atas penunjukan oleh Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya terbit pertama kali tahun 1971 dan sejak tahun 1990 terjemahannya telah mengalami revisi.
Dari panjangnya perjalanan usaha ulama indonesia dalam menyusun karya penafsiran Al-Quran maka tahapan itu di kelompokkan berdasarkan periode-periode tertentu, akan tetapi pada dasarnya periode awal abad 20 sampai tahun 1960 an cukup memberikan kontribusi yag sangat berharga dan dapat dikatakan penafsiran setelahnya merujuk pada tafsir-tafsir yang mereka buat.
Dalam periode pertama ini, tradisi tafsir di Indonesia bergerak dalam model dan teknis penulisan yang masih sederhana. Dari segi material teks Al-Quran yang menjadi objek tafsir, literature tafsir pada periode pertama ini cukup beragam. Pertama, ada literature tafsir yang berkonsentrasi pada surat-surat tertentu sebagai subjek penafsiran, misalnya Tafsir Al-Quranul Karim, Yaasiin (Medan: Islamiyah, 1951) karya Adnan Yahya lubis; Tafsir Surat Yaasien dengan keterangan (Bangil: Persis, 1951) karya A. Hassan. Kedua literature ini berkonsentrasi pada surat Yaasiin.
Masih dalam konteks subjek tafsir surat tertentu, ada yang berkonsentrasi pada surat Al-Fatihah, yaitu:
Tafsir Al-Quranul karim, surat Al-Fatihah (Jakarta: Widjaja, 1955) karya Muhammad Nur Idris;
Rahasia Ummul Qur’an atau Tafsir Surat Al-Fatihah (Jakarta: Institute Indonesia, 1956) karya A. Bahry;
Kandungan Al-Fatihah (Jakarta: Pustaka Islam, 1960) karya Bahroem Rangkuti;
Tafsir Surat Al-Fatihah (Cirebon: Toko Mesir, 1969) karya H. Hasri.
Kedua, karya tafsir yang berkonsentrasi pada juz-juz tertentu. Pada bagian ini yang muncul hanya juz 30 (Juz ‘Amma) yang menjadi objek tafsir. Beberapa judul di antaranya:
Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (Padang : Al-Munir, 1922) karya H. Abdul karim Amrullah;
Al-Hidayah Tafsir Juz ‘Amma (Bandung: Al-Ma’arif, 1930) karya A. Hassan;
Tafsir Djuz ‘Amma (Medan: Islamiyah, 1954) karya Adnan Yahya Lubis;
Tafsir Al-Quranul Karim: Djuz ‘Amma (Jakarta: Wijaya, 1955) karya Zuber Usman;
Tafsir Juz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1958) karya Iskandar Idris, Al-Abroor;
Tafsir Juz ‘Amma (Surabaya: Usaha Keluarga, 1960) karya Mustafa Baisa;
Tafsir Djuz ‘Amma dalam Bahasa Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1960) karya M. Said.
Ketiga, ada karya-karya yang menafsirkan Al-Quran utuh 30 juz, yaitu:
Tafsir Qur’an Karim (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1957 cetakan VII) karya H. Mahmud Yunus yang untuk kali pertama diselesaikan penulisannya pada tahun 1938;
Tafsir Al-Quran Al-Karim (Medan: Firma Islamiyah, 1956, edisi ke-9) atau dikenal dengan nama Tafsir Tiga Serangkai, karya H. A. Halim Hassan, H. Zainal Abbas, dan Abdurrahman Haitami;
Tafsir Al-Quran (Jakarta: Wijaya, 1959) karya H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin HS;
Tafsir Qur’an Al-Furqan (Jakarta: Tintamas, 1962) karya Ahmad Hassan;
Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pembina Mas, 1967, cetakan 1) karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka);
Tafsir Al-Bayan (Bandung: Al-Ma’arif, 1966) karya T.M. Hasbi ash-Shiddieqy;
Tafsir Qur’an Indonesia, terbit pada tahun 1932 karya Ahmad Surkati;
Terkait dengan Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan, penulisannya berlangsung dalam kurun waktu 1920-1950-an. Kitab ini terbagi ke dalam empat edisi penerbitan sampai sekarang. Edisi pertama diterbitkan pada tahun 1928, akan tetapi dalam edisi pertama ini belum seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi sebagian ilmu yang diharapkan oleh umat islam Indonesia. Kemudian sebagai pemenuhan desakan anggota Persatuan Islam, edisi kedua tafsir tersebut dapat diterbitkan pada tahun 1941, namun ketika itu hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya pada tahun 1953, penulisan kitab tafsir tersebut dilanjutkan kembali atas bantuan seorang pengusaha yang bernama Sa’ad Nabhan hingga akhirnya Tafsir Al-Furqan dapat diselesaikan secara keseluruhan (30 juz) dan dapat diterbitkan pada tahun 1956, yang kemudian pada tahun 2006, Tafsir Al-Furqan kembali diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama Universitas Al-Azhar Indonesia dalam satu jilid.
Pada masa Prof. H. Mahmud Yunus, boleh dibilang ia adalah satu-satunya intelektual yang melakukan kegiatan penafsiran Al-Quran. Dia memulai kegiatannya dengan menggunakan tulisan pego, yakni bahasa melayu atau bahasa Indonesia yang berbentuk tulisan arab. Kerja keras Mahmud Yunus ini pada tahun 1922 membuahkan karya terjemahan Al-Quran, yang kelak menjadi dasar bagi karya tafsirnya yang berjudul Tafsir Al-Quran Al-Karim dan Terjemahan Maknanya.
Metode tafsir periode pertama, awal abad 20 M sampai tahun 1950-an, ada yang ditulis dengan menggunakan metode ijmali (global) atau tarjamah tafsiriyah (tarjamah maknawi). Di antaranya Tafsir al-Furqan yang ditulis oleh A. Hassan itu dan Tafsir Al-Quran Karim karya H. A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman Haitami pada tahun 1937. Tafsir ini pada mulanya ditulis dalam bentuk majalah 20 halaman, yang terbit tiap bulan.
Dan ada juga yang ditulis dengan menggunakan metode mawdhu’i (tematik). Di antaranya, Tafsir Al-Quranul Karim, Yaasiin (Medan: Islamiyah, 1951) karya Adnan Yahya lubis, dan Tafsir Surat Yaasien dengan Keterangan (Bangil: Persis, 1951) karya A. Hassan.
Selain itu, rujukan ulama-ulama tafsir Indonesia ini merujuk ulama-ulama periode klasik seperti: Ibnu Katsir dan Al-Suyuthi, juga ulama-ulama periode pertengahan seperti: Muhammad Abduh, Sayyid Quthb, dan Ahmad Mushtafa Al-Maragy.
Dan berikutnya, Tafsir Al-Misbah, karya Quraish Shihab, dengan ketebalan 15 jilid, merupakan tafsir Al-Quran lengkap 30 juz pertama dalam 30 tahun terakhir. Ke-Indonesia-an penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khasanah pemahaman dan penghayatan kita terhadap rahasia makna ayat-ayat Allah. Mari terangi jiwa dan keimanan kita dengan tafsir Al-Mishbah sekarang juga. Salah satu rujukan dan referensi utama tafsir Quraish Shihab ini ialah tafsir kontemporer karya Muhammad Husain Al-Thabathaba’i atau dikenal dengan nama Allamah Thabathaba’i, yaitu tafsir Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, berbahasa Arab 20 jilid.
Demikianlah usaha yang telah diawali dan dilanjutkan oleh ulama mufasir Indonesia. Tentunya, penafsiran mereka cenderung lebih mudah difahami oleh masyarakat Indonesia dan orang-orang yang berbahasa Indonesia dan Melayu. H. Kerja dan karsa penuh berkah ini patut dipertahankan sebagai bagian dari pengembangan tradisi dan peradaban agung Islam yang kontekstual dengan budaya dan kondisi lokal yang kian dinamis. Ini merupakan salah satu cara menampilkan Al-Quran serba baru dan segar (dirangkum dari berbagai sumber).