Sisi-Sisi Misterius Ibnu Sina dengan Alquran

Sisi-Sisi Misterius Ibnu Sina dengan Alquran
Mungkin akan dianggap keterlaluan bagi orang yang baru dengar nama Ibnu Sina. Sudah terlalu banyak nama lembaga pendidikan, penelitian, dan pusat-pusat kesehatan diambil dari namanya. Pemiliknya sangat disegani dan mengandang kagum kalangan sarjana dan pakar ilmu. Peradaban pengetahuan dan sains di Barat justru bermula dari terjemahan karya-akryanya. Di Barat, namanya sedikit bergeser jadi Avicenna. Nama lengkapnya Husain bin Abdullah bin Hassan Ali bin Sina, dipanggil dengan Abu Ali.

Ilmuwan berdarah Persia ini lahir pada 980 M atau 370 H di Afsyanah, sebuah kota kecil di dekat Bukhara, di era Dinasti Samaniyah. Di Iran sekarang, ia dikenal dengan Bu-Ali Sina. Sepanjang hidupnya, Muslim jenius ini telah menghasilkan 450 karya ilmiah. Namun dari jumlah itu, hanya sekitar 240 karya yang tersisa.

Ibnu Sina nyaris tidak membiarkan satu bidang ilmu jauh dari jangkauan penelitiannya. Ia dikenal filosof agung bukan karena penguasa ilmu-ilmu fisika, metafisik dan pendiri aliran filsafat Masysya’iyyah di dunia Islam, karena filsafat pada waktu itu identik dengan ilmu pengetahuan. Disebut filosof berarti penguasa berbagai bidang ilmu.

Terjemahan Latin buku al-Qanun Ibnu Sina
Gelar kehormatan Ibnu Sina di kalangan ilmuwan adalah Syaikh Ra’is, yakni pemimpin guru besar. Di dunia Islam atau, kemungkina besar, dalam tradisi ilmu pengetahuan, ia orang pertama yang menulis eksklopedia ilmu-ilmu berjudul al-Syifa’. Buku lain yang dikarang di bidang kedokteran adalah al-Qanun fi al-Thibb. Buku ini masih menjadi referensi untuk kuliah kedokteran di Barat sampai abad 20.

Tapi, tahukah Anda, dari mana ia memulai belajar ilmu? Dari al-Quran. Beberapa sumber menyebut, Ibnu Sina telah hafal al-Quran pada usia 10 tahun. Namun, apa peran dan kontribusinya dalam ilmu-ilmu al-Quran? Sepanjang hidupnya, ia mengkhatam baca al-Quran setiap satu bulan. Namun, bukan hanya hafidz penghafal dan pembaca yang baik, tetapi ia juga mufasir al-Quran. Beberapa risalah pendek masih tertinggal tentang tafsir surah al-Fatihah, surah al-Ikhlas, surah al-A’la, surah Al-Falaq, Surah Al-Nas, beberapa ayat dari surah al-Dukhan.

Uniknya, ia bahkan dan mungkin sarjana pertama yang justru menggunakan metode takwil dalam memaknai ayat dan hadis, jauh sebelum Imam Ghazali menggunakannya dalam, misalnya, Misykat Al-Anwar. Makna-makna takwilnya dapat segara dan dengan mudah dijumpai dalam karya-karya tafsir tersebut tadi. Makna-makna ini tidak diperoleh hanya semata-mata menunggu siratan dari bunyi teks ayat.

Sebagai dokter, Ibnu Sina sangat diandalkan dan dipercaya sultan-sultan di berbagai negeri Islam. Hidup di abad 4-5 merupakan karunia baginya menyaksikan era keemasan (287-700 H / 900-1300 M) dalam kemajuan peradaban Islam. Ilmu kedokteran berkembang pesat. Masuknya tradisi kedokteran Yunani melalui terjemahan karya-karya Hippocrates dan Galen membangkitkan motivasi jajaran ulama untuk juga menciptakan jenis kedokteran dengan nama al-thibb al-nabawiy, kedokteran nabi.

Ibnu Sina merupakan salah satu pelopor kedokteran nabi. Didukung penguasaannya atas berbagai ilmu dan kapasitasnya sebagai filosof, logikawan, matematikawan, astronom, sufi, dan mufasir, ia mengembangkan kedokteran dengan sumber-sumber kewahyuan, yakni ayat dan riwayat. Buku besar kedokteran karya satu tangan, yang dari segi kuantitas, belum ada tandingannya menjadi penting lagi manakala, dalamnya, Ibnu Sina mengkritik Galen dan Aristoteles untuk kemudian menuangkan gagasan baru.

Misalnya, sebuah ayat mendorong kita untuk meninjau apa yang kita makan, “Maka manusia hendaknya melihat makanannya” (QS. Abasa [80]: 23). Ibnu Sina mengatakan, “Makananmu obatmu, dan obatmu makananmu”. Hal serupa juga diungkapkan Zakaria Razi, “Tangani penyakit sedapat mungkin dengan makanan, bukan obat.”

Tidak diragukan lagi komitmen Ibnu Sina pada al-Quran. Kekagumannya pada filsafat tidak membuat menurunkan hormatnya pada kandungan kitab suci terakhir Allah. Ia bahkan kokoh percaya, misalnya, kebangkitan manusia itu dengan ruh dan badan seperti diajarkan al-Quran, kendati menurutnya dimustahilkan nalar filosofis. Demikian, dalam pengelolaan dan politik negara, tidak ada yang layak memegang kewenangan itu selain penerima wahyu, yakni nabi. Ya, ia mengawali segala sesuatu dengan al-Quran dan mengakhiri juga dengan al-Quran.

1 Comment

Join the discussion and tell us your opinion.

Filreply
December 4, 2020 at 7:45 pm

“kendati menurutnya dimustahilkan nalar filosofis” di paragraf terakhir maksudnya gmn ya?

Reply to Fil Cancel reply