Sufisme, Perempuan dan Turki Kekinian

Oleh: Andi Herawati

Salah satu kenangan yang paling kuat dari kunjungan pertama penulis ke Istanbul pada tahun 2014 adalah suara ezan (adzan), terutama di saat fajar awal sebelum kebisingan dari jalan-jalan. Satu musim semi di saat saya berkunjung dan menginap di Hich Hotel yang artinya ketiadaan. Jarak hotel hanya 100 meter dari makam dan museum Maulana Rumi di Konya sehingga kerap terdengar suara azan yang indah serta musik “ney” yang dimainkan dengan syahdunya.

Tulisan singkat ini sebenarnya lebih merupakan ringkasan dari kunjungan singkat sebagai bahan awal penelitian menyangkut sufi perempuan, bagaimana peran mereka dalam domain spiritual keagamaan di tengah kehidupan dan praktek Islam di masyarakat. Saya coba ungkap secara garis besar saja.

Perjalanan tidak akan menjadi pengalaman hingga ia diberitakan. Oleh karena itu tulisan ini disamping bersifat gambaran perjalanan dalam rangka ziarah dan kegiatan akademik, juga bermaksud memberikan gambaran umum tentang tema penelitian terkait. Sebuah kunjungan selain memperkaya pengalaman personal (intelektual dan spiritual), tentunya juga bisa membuka pandangan kita terhadap realitas dan fenomena yang terjadi yang terkadang satu arah hanya melalui media.
Melihat secara langsung juga akan membuka pandangan kita akan keindahan-keindahan yang sudah ada sejak lama di sana selama berabad-abad dan mewakili beberapa peradaban dunia. Keindahan itu memberi kesan singkat di benak saya, “kamu hanya sebentar saja di sini. Janganlah terburu-buru. Janganlah khawatir dan pastikan engkau mencium bau wewangian para darwis di Konya, bunga-bunga tulip Istanbul atau salju wangi nan dingin yang kerap menusuk tubuhmu dan membawa ingatan dan kesadaranmu kembali pada sebuah ketenangan yang lembut”.

Tiga kota besar yang sempat dikunjungi penulis sejak 2 tahun lalu, yakni Istanbul, Bursa dan Konya, cukup representatif untuk menggambarkan situasi terkini Turki dan terutama gerakan sufi perempua. Istanbul, yang terletak di jantung Turki memiliki keindahan gabungan dari beberapa peradaban dan agama-agama besar, Kristen dan Islam. Alasan lain yang bisa mengantarkan kita mengunjungi Istanbul pastinya adalah Hagia Sophia atau Aya Sofya (Holy Wisdom), sebuah bangunan bekas basilika, yang sebelumnya adalah gereja Megale Eclesia (Great Church) , lalu masjid dan sekarang menjadi museum. Dengan gaya arsitek Arsitektur Romawi Timur, lukisan-lukisan di seluruh dinding dan atapnya merefleksikan kisah-kisah dalam peradaban dua agama besar dunia. Tempat bersejarah ini sempat pula diceritakan oleh Dan Brown di novelnya, Inferno.

Sementara Konya, kota peradaban, dari awal sejarah hingga era modern, orang orang dari berbagai bangsa berpindah dan menetap di daerah ini. Bahauddin Walad, ayah Rumi yang tercatat menerima undangan dari Sultan Seljuk, Sultan Alauddin Kaikobad untuk menetap di Konya bersama keluarganya pada tahun 1228 bisa dikatakan menjadi awal bagaimana Maulana Jalaluddin Rumi saat ini disebut sebagai pemilik rumah Konya. Tiada Konya tanpa Rumi. Keterkaitan ajaran dan praktek tasawuf (spiritualitas) Rumi, seorang Persia yang hidup dan tumbuh di Turki yang sebenarnya juga menarik untuk menjadi bahan penelitian, namun karena keterbatasan ruang dan waktu, maka sulit bagi saya untuk menjangkaunya.

Bulan Desember tahun 2016 merupakan momen yang tepat untuk sebuah kunjungan, mengingat di bulan ini terjadi dua peristiwa besar, yakni maulid Nabi Muhammad dan haul Jalaluddin Rumi. Peristiwa penting ini menjadi salah satu pemicu datangnya pengunjung dan turis meski peristiwa-peristiwa politik, teror beruntun terjadi di sana. Tempat-tempat religius seperti seperti Makam dan Museum Maulana Jalaluddin Rumi dan Makam Shamz Tabriz masih dan selalu menarik hati-hati para pengunjung, pengikut dan pecintanya yang sekedar hanya ingin tahu atau lebih jauh, mencari barakah spiritual. Begitu juga kegiatan akademik seperti simposium sufisme, contohnya, yang diadakan setiap tahun oleh sebuah organisasi sufi perempuan di Turki yang sangat terkenal, TURKKAD (Turkish Women’s Cultural Association) . Sebuah lembaga yang didirikan oleh seorang sufi perempuan, Samiha Ayverdi pada tahun 1966. TURKKAD kini berkembang pesat di bawah pimpinan muridnya, Cemalnur Sargut, seorang sufi perempuan yang berpengaruh hingga di beberapa bagian wilayah Turki dengan banyak pengikutnya.

Sufisme di Turki

Sufisme (tasavvuf/tasawwuf) adalah aspek Islam yang menekankan disiplin diri dan reformasi pribadi melalui praktek-praktek spiritual di samping praktek penting yang mencakup ortopraksi Islam. Praktik spiritual ini termasuk dzikir, wirid individual atau kolektif terdiri dari doa bersifat memohon, ayat-ayat al-Quran, dan nama-nama Allah. Disamping reformasi yang meghilangkan tarekat sufi Turki dan larangan praktek Sufi pada tahun 1925, tasawuf selamat melalui jaringan bawah tanah dan berkembang di Turki hingga hari ini.

Perkembangan sufisme di Turki tentu tidak terlepas dari peran seorang sufi Ahmad al-Rifa’i pendiri Tarekat Rifaiyah. Tarekat yang awalnya berbasis di Irak ini memainkan peran penting dalam perkembangan sufisme. Di bawah bimbingan al-Rifa’i, tarekat bahkan melebarkan sayapnya hingga keluar Irak, di antaranya ke Mesir dan Suriah. Hal ini disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah. Perkembagan selanjutnya sampai ke kawasan Anatolia di Turki, Eropa Timur, Kaukakus dan wilayah Amerika Utara. Murid-murid tarekat membentuk cabang-cabang baru di tempat-tempat tersebut. Menurut Esposito, tarekat Rifa’iyyah paling signifikan berada di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriah, Irak dan Amerika Serikat. Di Turki sendiri, pada akhir masa kekuasaan Turki Usmaniyyah (Ottoman), Rifa’iyyah merupakan tarekat penting yang keanggotaannya mencapai 7% dari jumlah orang yang masuk tarekat sufi di Istanbul.

Jika kita ingin melihat bagaimana keterlibatan tarekat ini dalam kehidupan masyarakat, di luar dari sihbet-sohbet personal atau kelompok yang mereka adakan khusus untuk kelompok mereka sendiri, maka datang dan lihatlah tepat di perayaan hari besar seperti Maulid Nabi atau Sab e-ruz.

Pada Peringatan Maulid Nabi, kita bisa melihat Upacara Darwis berputar yang dikenal sebagai Sema. The Whirling Dervishes Festival merupakan satu dari pemandangan yang indah. Namun ia sejatinya bukan sebuah petunjukan, melainkan ekspresi tingkat-tingkat kesadaran dalam perjalanan spiritual. Tarian para darwis yang disebut ”Sema” dikenalkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi, seorang mistik Sufi, menetap di Konya, Turki yang belakangan kemudian menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman. Ia mengembangkan meditasi berputar dengan yang darwis yang melambangkan berlangsungnya perjalanan mistis, meninggalkan ego di belakang dan naik dalam pikiran dan cinta kepada Allah. Hal ini juga tak lepas dari pengalaman hidup dan perjalanan spiritual Rumi sendiri yang karena pengalaman ia kembali berubah, lebih dewasa, dan cenderung untuk mencintai dan menjadi pelayanan kepada seluruh ciptaan. Pengikut Rumi terus menjaga tradisi setelah kematiannya pada 1273 dan bahkan hingga hari ini para darwis berputar terkenal jauh melampaui dunia tasawuf.

Menarik melihat bagaimana para darwis menari-nari di bawah salju tanpa memakai pakaian tebal disekitar Mesjid Maulana di awal pagi (sekitar pukul 01.00) dini hari. Waktu shubuh di Konya sekitar pukul 07.20. Memandang dari dalam kamar dengan penghangat ruangan yang lumayan, sudah cukup bagi saya dapat merasakan bagaiamana dinginnya cuaca diluar apalagi harus menari di bawah salju tanpa memakai baju hangat.
Mari kita ingat kata Rumi,

Aku tadinya mati, tetapi menjadi hidup, Aku tadinya air mata tetapi menjadi senyum,
Aku mengarungi lautan cinta, Dan aku meraih kebahagiaan abadi!
Ketika kami meninggal, jangan arahkan pandanganmu ke tanah, carilah kuburanku!
Kuburanku terletak di hati para arifin.

Perkataan Rumi ini menunjukkan keyakinan Rumi, bahwa hari kematian sesungguhnya merupakan hari kelahiran. Kematian akan membawa manusia ke hadirat yang dicintainya, yakni Tuhan sang Kekasih. Dengan keyakinan ini dia merujukkan hari kematian sebagai hari pernikahan“ Şeb-i Aruz yang berarti hari pernikahan atau malam pengantin, dan berharap sahabat-sahabatnya tidak menangis dan meratapinya. Oleh karena itu bagi pengikut jalan cinta Maulana, Şeb i-Aruz adalah sebuah peringatan, seperti layaknya festival keindahan-keindahan yang dianugerahkan kepada para Pecinta Tuhan.

The Whirling Dervishes Festival atau adalah salah satu pemandangan dunia yang paling menarik, sebuah tontonan irama tarian yang berputar-putar diiringi oleh alunan ney . Tarian yang selalu memesona ini masuk ke Turki dan berkembang di Konya, rumah bagi Maulana Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar Persia abad 13. Rumi mengajarkan cinta, toleransi, dan pengampunan, dan sebagai cara untuk menghubungkan diri dengan Allah berputar di jalan-jalan kota di sukacita. Setiap Desember pada hari ulang tahun kematian Rumi dikenal sebagai Seb-i Aruz, ribuan peziarah mendatangi Konya untuk menyaksikan ritual berputar-putar di Makamnya. Seb-i Aruz sendiri diperingati sebagai ingatan kembali terhadap pandangan Rumi mengenai kematian. Kata-kata yang diucapkan untuk meringkas kehidupannya,

Tarian oleh para darwis yang dikenal dengan ”Sema” ini biasanya berlangsung di malam hari melalui tradisi tarian mistis yang rumit. Ia terbagi menjadi tujuh bagian dan mencakup empat gerakan musikal yang berbeda. Suara suling buluh mengambang yang lembut nan menusuk jiwa mengiringi alunan musik tarian. Meskipun tidak berputar-putar sendiri, hanya dengan melihat para darwis yang berputar selama beberapa jam tanpa henti, melepaskan kita dari diri dan dunia fisik, dan inilah tepatnya tujuan dari ritual tersebut. Diamnya mereka yang melihat tarian tersebut sebetulnya adalah bentuk partisipasi tidak langsung dalam tarian. Setidaknya ibarat orang yang berdiri di tepian pantai, tanpa berenang pun merasakan barakah percikan air samudera, yang menyegarkan. Ya, begitukah tarian itu menyebarkan barakah spiritual kepada mereka yang tidak berpartisipasi langsung. Meskipun beberapa hal penting mungkin hilang pada banyak orang yang mendapat kesempatan untuk mengambil pengalaman ini, musik yang memukau, kaki yang lincah dalam tahap yang sempurna, dan ungkapan hormat berkomitmen untuk membangkitkan rasa penghargaan baru yang hebat.

Musik dan tarian adalah dua hal yang sangat dan bahkan penting dalam tradisi sufi dan tarekat-tarekat, meski tidak sedikit juga yang menganggap keduanya tidak mendasar atau bahkan berlebihan. Seorang sufi penyair Persia, Shaykh Shahab al-Din Abu Hafs Umar Suhrawardi (d. 1234) pernah berkata mengenai musik,

Musik tidak menimbulkan, di dalam hati, apapun yang belum ada. Jadi dia, yang batinnya sendiri sudah terikat pada hal lain selain Tuhan, diaduk oleh musik untuk merasakan hasrat indrawi. Tetapi, bagi ia yang secara batin melekat pada kasih Tuhan, akan digerakkan oleh musik untuk melakukan kehendakNya …. Orang biasa mendengarkan musik menurut tabiat, dan para pemula mendengarkan dengan penuh hasrat keinginan dan kekaguman, sementara pendengaran orang-orang kudus membawakan mereka visi tentang karunia dan rahmat Ilahi, dan inilah kaum gnostik pendengarannya berarti kontemplasi. Tapi akhirnya, ada pendengaran yang secara spiritual sempurna, yang kepadanya, melalui musik, Tuhan mengungkapkan diriNya.

Sufi Perempuan dan Gerakannya
Berbicara tentang sufisme dan perempuan di Turki tentunya tidak lepas dari peran seorang Sufi intelektual, Ken’an Rifai (d.1867-1950), seorang guru Sufi, penulis dan penerjemah yang diakui sebagai intelektual terkemuka di antara sezamannya. Rifai, yang meninggal pada tahun 1950, mendorong pendidikan dan pengembangan profesional perempuan di Turki pada awal abad 20, ketika perempuan ditolak keterlibatannya dalam kehidupan publik.

Menarik mengetahui bahwa Kenan meneruskan inisiasi kepada murid perempuannya ini. Samiva sendiri bertutur bahwa guru (hodja) nya berkata kepadanya, “Saya hanya mempunyai satu kesenangan, yakni mengajarimu ilmu spiritual (‘irfan). Lalu Semiha Cemal bertanya, “Lantas apa yang aku lakukan untuk membalasnya?” dan Ken’an Rifai menjawab, “Belajar untuk tidak mengejar jiwa hewanimu (nafs). Jangan menjadi seorang yang kenyang dengan satu teguk air. Cintailah aku! Cintai aku hingga aku mencintaimu juga. Ketahuilah maksud dari “Cintai aku” dengan sungguh-sungguh. Mencintaiku berarti mencintai kekasihku, mencintai umat manusia, dan mencintai Tuhan”.

Lantas mengapa pula Rifa’i memilih seorang perempuan untuk pergantian ini? Perempuan baginya merupakan media yang tepat dan platform yang lebih subur untuk pertukaran ide, emosi dan iman dari manusia. Intinya adalah bahwa Rifa’i cocok dengan perempuan dari sisi bahwa ia melihat mereka sebagai penentu dan konstruktor dari masa depan umat manusia. Harapannya, kedua wanita tersebut, Hatice Cenan dan Semiha Cemal adalah kunci bagi guru sufi perempuan masa depan dan mempersiapkan kita bagi mereka.

Gerakan sufi perempuan di Turki tentunya tidak lepas dari sosok Samiha Averdi. Melalui gurunya, Kenan Rifa’i, Ia memulai mengkaji studi al-Qur’an, lalu komparatif studi Mastnawi karya Rumi dan memulai memberikan pengajaran tentang Mastnawi kepada anak-anak muda diusianya yang masih terbilang muda, 24 tahun. Sejak saat itu Samiha sudah memiliki ribuan pengikut.

Kini sosok Cemalnur Sargut, yang sekarang disebut Cemalnur Hoja, merupakan figur guru spiritual perempuan yang sangat disegani dan memiliki pengaruh yang luas di Turki. Pembicaraannya (sohbet) sering mengisi forum-forum resmi dan informal (khusus di kalangan pengikutnya dari tarekat Rifa’iyyah), baik skala nasional dan internasional.

Menurun dari tradisi intelektual gurunyalah, hingga saat ini aktifitas sufi, khususnya rifa’iyyah (guru spiritual dan sebagian fungsionaris) berkecimpung di dunia pendidikan. Mereka menduduki posisi penting sebagai akademisi dan birokrat kampus-kampus di Turki. Jalinan komunikasi dan inisiasi semakin meluas hingga keluar Turki. Cemalnur Sargut meluaskan pengaruhnya hingga ke Jepang bekerjasama dengan Universitas Kyoto.

TURKKAD juga bekerja untuk mengatur simposium internasional dan mengatasi berbagai macam orang yang ingin menerapkan solusi untuk masalah saat ini melalui pandangan Sufi yang melihat pengetahuan sebagai keadaan yang harus diterapkan dan dipraktekkan sebagai ibadah yang merupakan perjalanan menuju cinta. Terlepas dari studinya tentang tasawuf, Cemalnur telah menerbitkan buku dari komentar pada bab Quran yang disusun dengan beberapa komentar dari guru sufi besar seperti Kenan Rifa’i, Rumi, Ahmed-al Rifa’i, Abdulkadir Jilani, Ibn ’Arabi, Misri Niyazi, Jili, Syams dan Sultan Walad.

Peran Cemalnur yang mendunia ini terwujud dengan bagaimana Ia mampu menginisiasi beberapa program di Universitas terkenal. Pada tahun 2009 ia menginisiasi sebuah lembaga gabungan professor Islamic Studies di North Caroline University of Chapel Hill dengan mengatasnamakan Kenan Rifa’i. di Universitas ini, Ia telah memberikan perkuliahan tentang Islam dan Sufisme sejak tahun 2000. Sebuah inisiatif serupa akan diluncurkan di Universitas Peking, Cina, yang menurut mereka upaya akademik ini adalah untuk membangun jembatan spiritual antara timur dan barat dan pengajaran tasawuf melalui praktek sehari-hari selain studi ilmiah.

Menarik mengIkuti perkembangan aktifitas sufi perempuan ini dan organisasinya, yang sebelumnya, yakn di zaman Ottoman, aktifitas resmi sufi dihentikan sehingga mereka tidak lagi beraktifitas di dalam ranah resmi tarekat, tetapi ajaran guru awal mereka, Kenan Rifai justru semakin berkembang luas dengan ribuan pengikut dari berbagai kalangan.

Dari perbincangan singkat penulis dengan saudari cemalnur Hoja yang juga anggota aktif dan seorang dokter, bahwa 10 tahun terakhir ini, mereka semakin mendapat tempat di hati masyarakat Turki dan pemerintah. Terbukti aktifitas-aktifitas mereka didukung oleh pemerintah, termasuk yang terakhir ini berlangsung di Konya. Tradisi pemikiran dan spiritualitas Kenan Rifa’i sendiri diwariskan secara turun temurun dalam lingkungan keluarga sehingga tidak sulit bagi ajaran ini untuk berkembang dan mengambil hati para anak muda dan perempuan di sana. Tidak mengherankan ketika melihat di setiap acara acara keagamaan dan bahkan konferensi-konferensi akademik tentag sufisme yang dibuka untuk umum, maka yang terlihat memnuhi ruangan adalah perempuan. Mereka terkesima, mencatat, mendengarkan dan terkadang menangis mendengarkan kuliah para professor di podium tentang Sufisme.

Demikian tulisan singkat yang seharusnya sudah saya tulis beberapa bulan lalu atau sejak 2 tahun lalu ketika saya berkunjung ke Turki.

Catatan

1. 29 Mei 1453 CE, Kerajaan Ottoman dibawah kepemimpinan Sultan Mehmet II atau Muhammad al-Fatihmenduduki Konstantinopel (kini Istanbul).  Tindakan pertamanya setelah menduduki Konstantinopel adalah mengalihkan gereja Hagia Sophia menjadi Mesjid. lihat http://www.sacred-destinations.com/turkey/istanbul-hagia-sophia (diakses pada 9 Desember 2016) Hagia Sophia, dengan demikian adalah bangunan yang menjadi saksi sejarah peralihan peradaban dari Kristen, Islam dan Sekuler. Mustafa Kemal Attaturk lah yang menandakan peralihan sekularisasi Turki dengan mengalihkan Hagia Sophia menjadi museum

2. Simposium ini merupakan kali kedua yang dihadiri oleh penulis. Kelompok sufi ini juga sangat professional dan serius dalam mengorganisir perhelatan besar ini, karena menyangkut Nabi Muhammad “peygamber”. Sebagai bagian dari acara, setiap tahun mereka juga memberi penghargaan kepada para ulama dan para intelektual yang berjuang demi Islam cinta melalui karya-karya intelektual mereka. “dost” award  tahun 2016 ini diberikan kepada Allamah Muhammad Iqbal karena kontribusinya terhadap pemikiran filsafat, sosial politiknya yang masih mempengaruhi masyarakat Muslim di dunia hingga saat ini.

3. Di usia yang cukup muda, ia bertemu Kenan Rifai, seorang guru Sufi yang mengubah jalan hidupnya dengan membawa dia kembali ke apa yang sekarang digambarkan sebagai Islam moderat, yang dia paraktekkan bertahun-tahun dan ia melihatnya sebagai elemen dalam mendefenisikan identitas Turki, karena ia merangkul perbedaan etnik yang ada di sana. Ketika Rifai meninggal, Ayverdi menjadi pemimpin kelompok pengikutnya. Meskipun seperti guru Sufi yang lain, yang sering dituduh melakukan sinkretisme yang menyimpang dari norma-norma agama konservatif dengan menerima sekte lainnya ke dalam ajaran Islam, murid-murid Rifa’i menunjukkan betapa mereka masih melakukan ibadah ritual islam seperti shalat dan puasa selama bulan Ramadhan. Ayverdi juga mendirikan perayaan ulang tahun Rumi di Konya dan

4. Ney adalah alat musik yang berkembang dari Persia

5. Rumi dikutip mengucapkan ini “AKu dulunya mentah [khâm], Aku menjadi masak [pokhta], dan terbakar [sokht]. Nicholson menjabarkan keadaan pokhta sebagai maqam kematangan, kedewasaan dan kemurnian spiritual. Hal ini kontras dengan keadaaan mentah/kham, yang belum matang dan belum berpengalaman, ibarat seseorang yang tidak berbuah. Sebagaimana sering dikutip bahwa Rumi mengatakan,-meski hal ini tidak didukung oleh naskah awal (Dikumpulkan oleh Faruzanfar), hanya satu yang berisi berikut: ”Hasil dari kehidupanku adalah tidak lebih dari tiga kata: ”Hasil hidupku tidak lebih dari tiga kata: Aku mentah, aku tidak menjadi matang, aku terbakar.” atau dengan kata lain, ”aku meradang, aku terbakar dan terlahap” (Diwan, Ghazal 1768, baris 18521).

6.Dalam cerita Rumi yang terkenal, seorang teman yang ingin mengunjungi temannya kemudian mengetuk pintu. Sang pengunjung ditanya “siapakah dia” lantas menjawab, “Aku”. Ia kemudian diminta pergi oleh pemilik rumah, karena ia terlalu ”mentah” [khâm].Orang itupun lalu ”dimasak” oleh api perpisahan dan kembali setahun kemudian. Menaarik

 

Share your thoughts