Teori Gradasi: Komparasi antara Ibnu Sina, Suhrawardi dan Mulla Sadra

 

Oleh: Dr. Benny Susilo, Dosen dan Peneliti Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Email: bennysusilo66@gmail.com

 

ABSTRACT

Prior to Mullā Ṣadrā, the discussion of the gradation (al-tashkīk) was limited on the category of quality and that of quantity, both are known as the differential gradation (al-tashkīk al-tafāḍulī). In Ibn Sīnā’s point of view, the gradation occurs in the accidental matters (al-tashkīk al-‘araḍī) while in Suhrawardi’s, it occurs in the quiddity (al-tashkīk fī al-māhiyyah). Mullā Ṣadrā rejects both views and proves that essentially (bi al-dhāt) the gradation, in the specific sense, occurs in the reality of existence (tashkīk fī ḥaqīqat al-wujūd), while the gradation in the general sense just follows (bi al-ilḥaq) it. Using descriptive-analytical method and comparative approache, this article is aimed to show the meeting points as well as separating ones of the thoughts of the three philosophers concerning gradation; also, to point out that Mullā Ṣadrā proceeds to elaborate two other kinds of gradation after proving the oneness in the reality of existence and asserting the differential gradation in it.

Keywords: gradation, the gradation in matters,  the causal gradation, the accidental gradation 

ABSTRAK

Pembahasan gradasi (al-tasykīk) sebelum periode Mullā Shadrā terbatas pada kategori kualitas dan kuantitas, atau dikenal dengan istilah gradasi diferensial (al-tasykīk al-tafādhulī). Dalam pandangan Ibn Sīnā, gradasi terjadi pada hal-hal aksidental (al-tasykīk fī al-‘aradhī); sementara menurut Suhrawardī, gradasi terjadi pada quiditas (al-tasykīk fī al-māhiyyah). Mullā Shadrā menolak kedua pandangan tersebut dan membuktikan bahwa gradasi, dalam makna spesifik,  secara esensial (bi al-dzāt) terjadi pada hakikat eksistensi (tasykīk fī ḥaqīqat al-wujūd), sedangkan gradasi dalam makna umum terjadi tidak secara esensial melainkan hanya mengikuti (bi al-ilḥaq). Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis dan pendekatan komparatif, ulasan artikel ini ditujukan untuk memperlihatkan titik temu dan perbedaan pandangan ketiga filsuf tersebut seputar gradasi; juga, menunjukkan  bahwa Mullā Shadrā melanjutkan mengelaborasi dua gradasi lainnya setelah membuktikan klaim adanya kesatuan pada hakikat eksistensi dan menyatakan gradasi diferensial pada hakikat eksistensi.

Kata-kata Kunci: gradasi, gradasi dalam materi, gradasi kausal, gradasi aksidental 

How to Cite: Susilo, Benny. 2015. “Teori Gradasi : Komparasi Antara Ibn Sina, Suhrawardi Dan Mulla Sadra.” Kanz Philosophia : A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 5 (2). doi:10.20871/kpjipm.v5i2.139.

doi:10.20871/kpjipm.v5i2.139

Pendahuluan

Metafisika (al-ilāhiyyāt)yang merupakan ilmu dengan obyek material terluas cakupannya, yaitu eksistensi per se, dengan tujuan menyingkapkan hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, sesuai kenyataan ( al-wāqi‘) dan fakta (nafs al-amr)—telah menempatkan masalah kesatuan (al-waḥdah) dan keragaman (al-katsrah) sebagai salah satu persoalan terpenting. Ketika indera kita menyaksikan alam materi, maka, tidak bisa tidak, akal pun akan mengafirmasi adanya keragaman. Keswabuktian (badāhat) keragaman hakikat-hakikat konkret seperti halnya keswabuktian  realitas (al-wāqi‘) itu sendiri. Apakah di balik keragaman tersbeuut terdapat kesatuan, merupakan pertanyaan yang muncul kemudian, setelah diterimanya eksistensi keragaman. Penyelidikan rasional lebih mendalam menyangkut kesatuan dan keragaman telah menghasilkan berbagai kesimpulan berbeda, terlihat dari beragamnya pandangan para filsuf maupun ‘urafā’ (ahli hikmah) dalam persoalan ini.

Diskursus seputar kesatuan dan keragaman dalam hakikat eksistensi sendiri memiliki rentang sejarah yang panjang. Masalah ini telah muncul dalam pemikiran para filsuf Yunani kuno, misalnya Pythagoras, maupun para filsuf Hindu dan Persia. Secara umum, pandangan yang beredar terbagi kepada tiga: pertama, bahwa kesatuan pada hakikat eksistensi adalah yang riil, sedangkan  keragaman hanyalah ilusi. Kedua, keragaman pada hakikat eksistensi adalah riil sedangkan kesatuan hanyalah muncul dalam level konseptual. Ketiga, baik kesatuan maupun keragaman adalah riil pada hakikat eksistensi.

Dalam tradisi ilmiah Muslim, kita menemukan ketiga pandangan di atas. Kaum ‘urafā meyakini kesatuan terletak pada hakikat eksistensi, sedangkan keragaman terletak pada derajat manifestasi eksistensi; bahkan, sebagian sufi menyakini pandangan pertama. Para filsuf Peripatetik memandang keragamanlah yang terdapat pada hakikat eksistensi, sedangkan kesatuan ada secara konseptual, dalam pikiran. Adapun para filsuf pendukung Filsafat Transendental (al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah) meyakini keduanya, kesatuan maupun keragaman, sebagai riil pada hakikat eksistensi. Pandangan terakhir ini dikenal dengan gradasi pada hakikat eksistensi.

Artikel ini berupaya mengelaborasi pandangan terakhir tersebut dari pendiri filsafat transendental, Shadr al-Dīn Muḥammad Ibrahim Syirazī atau Mullā Shadrā. Untuk melihat kekhasan pandangan Mullā Shadrā, digunakan pendekatan komparatif terhadap pemikiran-pemikiran filosofis tiga filsuf dari tiga aliran filsafat: Ibn Sīnā (Filsafat Peripatetik), Suhrawardī (Filsafat Iluminasi), dan Mullā Shadrā (Filsafat Transendental). Bersamaan dengan itu, pemikiran-pemikiran tersebut dianalisa dan dipaparkan dengan metode deskriptif-analitis.

Modus-modus Perbedaan (al-Imtiyāz/al-Ikhtilāf)

Ketika kita menerima adanya keragaman (al-katsrah) pada berbagai objek, maka kita pun menerima adanya hal-hal yang membedakan objek-objek tersebut satu sama lain. Karenanya, keragaman merupakan cabang dari perbedaan (far‘ al-ikhtilāfiyyah).

Perbedaan antar individu satu sama lain dapat terjadi dalam empat modus:

Pertama, perbedaan dalam hal-hal aksidental (al-‘aradhī). Misalnya, keragaman berbagai individu dari satu spesies (al-naw‘) dengan aksiden-aksiden individuasi (al-awāridh al-musyakhkhishāt) yang berlainan pada setiap individu. Sisi kesamaan yang menyatukan (wajh al-isytirāk) antara individu-individu tersebut adalah seluruh zat-nya (tamām al-dzāt) (Rāzī 1408 HS, 61–63; Ḥillī 1413 HS, 17–18; Yazdī 1412 HS, 233).

Kedua, perbedaan dalam zat secara parsial (jūz’ al-dzāt), yaitu pada diferensia (al-fashl). Misalnya, keragaman spesies pada satu genus (al-jins) seperti: manusia, kuda, kucing, katak dan sebagainya, yang sama-sama bergenus hewan. Sisi kesamaan (al-wajh al-musytarak) dari spesies-spesies tersebut terdapat pada bagian lain dari zatnya (juz’ ākhar min al-dzāt), yaitu pada genusnya (Rāzī 1408 HS, 64; Ḥillī 1413 HS, 19; Yazdī 1412 HS, 234).

Ketiga, perbedaan dalam keseluruhan zat. Dalam hal ini, antara individu-individu yang berbeda sepenuhnya tidak memiliki kesatuan quiditas sama sekali. Misalnya, keragaman pada genus-genus tertinggi (al-ajnās al-‘āliyyah), keragaman spesies dari setiap genus tertinggi tersebut dan keragaman individu dari spesies-spesies tersebut. Pada modus ketiga ini, sisi kesamaan terletak pada hal-hal aksidental, di luar quiditasnya. Misalnya, sebuah kertas putih dengan ukuran 10 cm x 10 cm. “Kertas ini” adalah substansi, “putih ini” adalah individu dari spesies warna putih, dan “ukuran 10 cm x 10 cm ini” adalah individu dari bidang berukuran 10 cm x 10 cm. Ketiga individu tersebut adalah individu dari tiga genus tertinggi yang satu sama lainnya, dalam keseluruhan zatnya, berbeda. Adapun sisi kesamaan ketiganya terletak pada “aksiden umum” (‘aradh ‘ām), yaitu sesuatu (syai’) (Syirazī, t.t., 206). Jika kita analisa maka untuk tiga modus perbedaan tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa sisi perbedaan (wajh al-ikhtilāf) bukanlah sisi kesamaan .

Keempat, perbedaan dalam gradasi (al-ikhltilāf al-tasykīkī), di mana sisi yang membedakan antar individu berbeda adalah juga sisi yang membuat individu- individu tersebut memiliki kesamaan. Modus ini diajukan oleh Suhrawardī dan dikenal sebagai gradasi dalam quiditas (al-tasykīk fī al-māhiyyah), atau gradasi dalam hal-hal esensial (al-tasykīk fī al-dzātiyyāt). Berikut ini pernyataan Suhrawardi perihal empat modus perbedaan:

Dua individu yang sama (disatukan) dalam satu konsep universal akan memiliki perbedaan pada salah satu dari empat kemungkinan: Apabila kesamaannya [hanya] pada hal-hal aksidental, tidak pada hal lain, maka keduanya berbeda dalam quiditas. Jika kesamaannya tidak pada hal-hal aksidental di luar quiditas, maka keduanya berbeda dalam diferensia, jika kesamaannya pada makna genus (ma‘nā jinsī); atau, keduanya berbeda dalam aksiden non-lazim (‘aradhī ghayr lāzim) bagi quiditas, jika kesamaannya pada makna spesies (ma‘nā naw‘ī), karena aksiden lazim seluruh individu dari suatu quiditas disatukan dalam kesamaan padanya. Apabila suatu lazim menjadi pembeda, maka ia adalah lazim individu (lāzim shakhsh) bukannya lazim spesies (lāzim naw‘). Dan hal yang keempat yang membedakan antar individu yang disatukan oleh suatu kesamaan adalah  kesempurnaan (al-atammiyyah) dan kekurangan (al-nuqsh) (Suhrawardī 1417 HS, 333–334).

Namun demikian, modus terakhir ini ditolak oleh Ibn Sīnā yang hanya menerima tiga modus perbedaan saja. Apa yang Suhrawardī kemukakan sebagai modus keempat tersebut, dilihat dari sudut pandang Ibn Sīnā, dapat dikembalikan kepada salah satu dari tiga modus sebelumnya dan dinamakan sebagai gradasi dalam hal-hal aksidental (al-tasykīk fī al-‘aradhī), bukannya gradasi dalam quiditas (al-tasykīk fī al-māhiyyah). Hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada bagian berikutnya.

Untuk memahami modus perbedaan keempat, gradasi dalam quiditas, kemudian melihat bagaimana tertolaknya modus ini dari sudut pandang Ibn Sīnā, disusul bagaimana Mullā Ṣadrā menolak kedua pandangan tersebut, baik pandangan Ibn Sīnā maupun Suhrawardī, lalu mengambil jalannya sendiri yaitu gradasi pada hakikat eksistensi (tasykīk fī aqīqat al-wujūd), maka pertama-tama yang perlu dipahami adalah konsep gradasi (tasykīk) itu sendiri.

Modus Perbedaan Modus Kesamaan
1. Pada hal-hal aksidental. Pada keseluruhan zat.
2. Pada sebagian zat, yaitu direfensia. Pada lainnya dari zat,

yaitu genus.

3. Pada keseluruhan zat. Pada hal-hal aksidental.
4. Pada sisi kesempurnaan-kekurangan, sisi terdahulu-terkemudian, intensitas kuat-lemah. Sisi keberbedaan adalah sisi kesamaan itu sendiri (modus ini diajukan Suhrawardī).

Tabel 1. Modus Perbedaan (Anhā’ al-Tamayyuz) dan Kesamaan (Anhā’ al-Isytirāk)

Gradasi (al-Tasykīk)

Salah satu pembagian konsep universal (mafhūm kullī) dalam logika adalah pembagian berdasarkan kesamaan penerapan dan aplikasinya (tasāwī shidq) terhadap individu-individunya (afrād) yang terbagi menjadi dua macam, yaitu konsep universal dengan aplikasi seragam (mutawāthi‘) dan konsep universal dengan aplikasi bergradasi (musyakkik). Apabila suatu konsep universal diaplikasikan secara seragam pada individu-individunya, baik pada realitas eksternal (kongkret) maupun pada realitas mental, maka ia disebut konsep universal seragam. Apabila suatu konsep universal diaplikasikan secara bergradasi pada individu-individunya, baik dalam realitas eksternal maupun realitas mental, maka ia disebut konsep universal bergradasi.

Sebagai contoh, konsep universal “manusia” yang diaplikasikan pada individunya, Amir dan ayahnya, Umar. Umar lebih tua, bertubuh lebih tinggi dan lebih gemuk dari anaknya, Umar.  Ketika kita mengatakan, “Amir adalah manusia” dan “Umar adalah manusia”, kita tidak berpikir karena Amir adalah ayah Umar maka Amir lebih manusia dari Umar; atau sebaliknya, karena ukuran tubuh Umar lebih kecil dari Amir maka Umar kurang manusia dibandingkan Amir. Konsep manusia yang diaplikasikan secara seragam pada kedua individunya dalam contoh ini disebut sebagai konsep universal seragam. Hal ini berlaku bagi seluruh individu dari konsep universal manusia lainnya.

Berbeda dari contoh di atas, apabila konsep universal eksistensi (mafhūm al-wujūd), misalnya, diaplikasikan pada instansi-instansinya dalam realitas eksternal maka kita tidak dapat menerapkan konsep tersebut secara seragam. Ketika kita mengatakan, “Eksistensi Niscaya ada” (wājib al-wujūd mawjūd) dan “eksistensi kontingen ada” (mumkin al-wujūd mawjūd), maka terdapat perbedaan aplikasi (shidq) konsep universal “ada” terhadap individu-individunya pada kedua proposisi tersebut. Oleh sebab itu, adanya perbedaan penerapan tersebut menjadikan konsep “ada” bersifat gradatif (tasykīkī). Hal ini dikarenakan “eksistensi” pada Eksistensi Niscaya (wājib al-wujūd) lebih utama (awlā) secara derajat, lebih terdahulu (aqdam), dan intensitasnya lebih kuat (asyadd) dari eksistensi kontingen (mumkin al-wujūd). Konsep universal pada eksistensi disebut sebagai konsep universal bergradasi (musyakkik).

Gradasi ini dapat terjadi pada tiga sisi yaitu: keutamaan (awlāwiyyah), sisi terdahulu-terkemudian (taqaddum wa taakhkhur) dan intensitas kuat-lemah (syiddah wa dha’f) (Rāzī 1426 HS, 112; Syirazī 1425 HS, 48; Syirazī 1403 HS, 5). Ketiga sisi ini disebut modus gradasi (anḥā’ al-tasykīk) (Shadrā, 26). Penyebutan gradasi untuk peristiwa perbedaan sisi penerapan (shidq) suatu konsep universal terhadap individu-individunya adalah karena individu-individu tersebut tergabung dalam konsep yang sama; atau, dengan  kata lain, masing-masing individu tersebut memiliki kekhususan (khushūshiyyat) yang menjadikan mereka instansi esensial (mishdaq bi al-dzāt) bagi konsep tersebut, akan tetapi mereka berbeda pada sisi lain yang termasuk dalam tiga modus gradasi (Rāzī 1426 HS, 112).

Al-Tasykīk al-Manthiqī dan al-Tasykīk al-Falsafī

Terdapat beberapa aspek yang membedakan gradasi dalam istilah logika (al-tasykīk al-manthiqī) dan gradasi dalam istilah filsafat (al-tasykīk al-falsafī). Perbedaan itu antara lain:

Pertama, gradasi dalam logika adalah keadaan konsep universal yang mempunyai banyak individu dan diterapkan secara berbeda-beda. Sedangkan dalam filsafat, gradasi adalah keragaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam keragaman (Fayyādhī 1428 HS, 85).

Kedua, gradasi dalam logika dapat dilihat dari segi sifat konsep universal yang diaplikasikan pada individu-individu di bawahnya. Sedangkan dalam filsafat, gradasi adalah sifat dari hakikat eksistensi per se (Fayyādhī 1428 HS, 85).

Ketiga, gradasi dalam logika mencakup gradasi umum (al-tasykīk al-‘āmmī) dan gradasi khusus (al-tasykīk al-khāshshī). Tentang gradasi umum dan gradasi khusus dapat dilihat pada karya Mulla Shadra (Syirazī 1981, 1:36–37). Jika sisi kesamaan yang menjadi pemersatu individu-individu pada saat yang sama adalah juga sisi yang membedakan mereka (mā bihi al-isytirāk ‘ayn mā bihi al-imtiyāz) atau, dengan kata lain, perbedaan dan kesamaan terjadi pada satu hakikat saja, maka hal ini dinamakan gradasi khusus. Modus kesatuan/kesamaan hakikat ini disebut dengan kesatuan afinitas (al-waḥdah al-sinkhiyyah). Akan tetapi, jika sisi kesamaan dan sisi perbedaan terjadi bukan pada satu hakikat maka disebut gradasi umum (Fayyādhī 1428 HS, 85). Contoh gradasi khusus adalah gradasi pada ukuran, angka, dan gerak. Yaitu, sisi kesamaan  pada beberapa objek terdapat dalam ukuran, angka, dan gerak; namun, perbedaan mereka pun terletak pada ukuran, angka, dan gerak. Gradasi yang disebabkan oleh tiga modus gradasi di atas dinamakan juga gradasi vertikal (al-tasykīk al-thūlī) atau gradasi diferensial (al-tasykīk al-tafādhulī) (‘Ubūdiyyat 2010, 194). Namun, jika sisi kesamaan bukanlah sisi yang membedakan, maka dinamakan gradasi umum. Contoh gradasi umum, konsep eksistensi (mafhūm al-wujūd) diterapkan pada ayah dan anak. Penerapan konsep eksistensi pada ayah mendahului (mutaqaddim) penerapan konsep pada anak. Di sini, sisi kesamaan terletak pada eksistensi (wujūd), sedangkan sisi perbedaan bukanlah pada eksistensi melainkan pada zaman (Ḥaydarī 1428 HS, 36–37). Adapun gradasi dalam pembahasan filsafat hanya terbatas pada gradasi khusus saja (Fayyādhī 1428 HS, 85) .

Keempat, padanan oposisi dari gradasi, dalam istilah logika, adalah keseragaman (al-tawāthu‘), sedangkan dalam istilah filsafat gradasi adalah keberlainan (al-tabāyun) (Ḥaydarī 1428 HS, 69–71; Fayyādhī 1428 HS, 85).

Berikut tabel pemetaan perbedaan antara istilah gradasi dalam logika dan filsafat:

Perbedaan Gradasi dalam Logika dan Filsafat
No. al-Tasykīk al-Manthiqī al-Tasykīk al-Falsafī
1. Perbedaan penerapan konsep universal pada individu-individunya. Keragaman dalam kesatuan dan kesatuan dalam keragaman.
2. Sifat konsep universal. Sifat hakikat eksistensi per se. 
3. Mencakup gradasi umum  dan gradasi khusus. Hanya gradasi khusus saja.
4. Oposisi: konsep universal seragam

(al-mafhūm al-kullī al-mutawāthi’) 

Oposisi: hakikat eksistensi berbeda secara eksklusif dan esensial

(aqā’iq mutabāyinah bi tamām dzawātihā)

Tabel 2. Perbedaan Gradasi dalam Logika dan Filsafat

Jika kita kerucutkan pembahasan pada gradasi khusus saja, maka kita dapat nyatakan bahwa gradasi khusus dapat terealisasi jika terpenuhi lima syarat hal:

  1. 1. Konsep universal bergradasi (al-kullī al-musyakkik).
  2. 2. Individu-individu yang atasnya konsep universal bergradasi tersebut diterapkan.
  3. 3. Sisi kesamaan yang menyatukan (jihhat al-isytirāk) antar individu.
  4. 4. Sisi perbedaan (jihhat al-ikhtilāf) antar individu.
  5. 5. Sisi kesamaan adalah sisi perbedaan itu sendiri (mā bihi al-isytirāk ‘ayn mā bihi al-imtiyāz)

Jika kita analisis lebih lanjut kelima syarat tersebut, maka secara intuitif (ḥads) kita dapat mendeskripsikan kerja pikiran ketika mengaplikasikan suatu konsep universal bergradasi, sebagai berikut (‘Ubūdiyyat 2010, 196–199):

  1. 1. Sebut saja konsep universal X dengan individu x1 dan x2, di mana x1 lebih kuat instensitasnya (asyad) dari x2. Ini berarti, x1 dan x2 masing-masing memiliki kekhususan (khushūshiyyat) yang membuat keduanya sahih menjadi instansi esensial (mishdāq bi al-dzāt) dari X.
  2. 2. Adanya X, x1 dan x2 tidak cukup untuk menjelaskan aplikasi gradatif. Kita memerlukan dua konsep universal lain. Konsep yang merefleksikan x1 memiliki intensitas lebih kuat dari x2 menyangkut hakikat yang direfleksikan oleh X, sebut saja Y1 dan konsep yang merefleksikan x2 memiliki instensitas lebih lemah dari x1 menyangkut hakikat yang direfleksikan oleh X, sebut saja Y2. Sehingga, Y1 adalah konsep “lebih kuat intensitas” dan Y2 adalah konsep “lebih lemah intensitas”.
  3. 3. x1 bukanlah komposisi hakikat X dan hakikat Y1; dan, x2 bukanlah komposisi hakikat X dan hakikat Y2. Jika tidak, maka melazimkan susunan (tarkīb) hakikat pada x1 dan x1 yang menegasikan kesatuan afinitas (al-waḥdah al-sinkhiyyah).
  4. 4. x1 haruslah pada saat yang sama instansi esensial (mishdāq bi al-dzāt)  dari X dan Y1.
  5. 5. x2 haruslah pada saat yang sama instansi esensial  (mishdāq bi al-dzāt) dari X dan Y2.
  6. 6. Dari paparan (3), (4) dan (5) kita dapat menyimpulkan Y1 dan Y2  adalah jenis konsep sekunder filosofis (al-mafhūm al-tsānī al-falsafī) yang diperoleh melalui suatu perbandingan (muqāyasat) oleh pikiran.

Berdasarkan tiga modus perbedaan yang dijelaskan di atas—hal-hal  aksidental (al-‘arādhī), bagian zat (jūz’ al-dzāt), dan keseluruhan zat (tamām al-dzāt)— Suhrawardī memandang tidaklah mungkin akan tercapai sisi perbedaan yang juga pada saat yang sama merupakan sisi kesamaan itu sendiri. Hal ini dikarenakan jika sisi perbedaan antar individu adalah hal-hal aksidental, maka sisi kesamaan mereka tentunya adalah keseluruhan zat. Tentunya, keseluruhan zat dan hal aksidental merupakan dua hakikat yang berbeda. Demikian juga untuk modus lain, perbedaan seperti bagian zat dan hal-hal aksidental, maka kesamaannya terdapat pada hakikat yang lain.

Atas dasar pertimbangan ini, maka terjadinya gradasi haruslah pada modus perbedaan yang keempat, yaitu baik sisi perbedaan maupun kesamaan terdapat pada quiditas. Dengan kata lain, kesempurnaan dan kekurangan terletak pada quiditas. Berkata Suhrawardī:

Perbedaan dalam ukuran-ukuran (al-maqādir) terjadi karena ukuran itu sendiri, bukan oleh sesuatu di luar zat ukuran. Bahkan, hakikat yang menjadikan sebuah ukuran “lebih” [dari yang lain] adalah juga yang membuatnya “sama” [dengan yang lain tersebut]. Tidak ada yang membedakan dua ukuran berbeda kecuali kesempurnaan ukuran (kamāliyyat al-miqdār) dan kekurangannya (nuqshuh). Demikian pula halnya dengan hitam (sawād) yang sempurna dan hitam (sawād) yang kurang sempurna, keduanya sama-sama disatukan dalam kehitaman (al-sawādiyyat). Keduanya berbeda bukan karena hal di luar zat kehitaman itu sendiri, baik itu adalah diferensia maupun selain diferensia; karena, perbedaan itu memang terdapat pada kehitaman itu sendiri. Satu kalimat untuk menyimpulkan semuanya ini: “kesempurnaan (al-tamāmiyyat) dan kekurangan (al-nuqsh) letaknya pada quiditas” (Suhrawardī 1417 HS, 299–300).

Akan tetapi, perlu dicatat di sini, apa yang dimaksud oleh Suhrawardī sebagai gradasi pada quiditas (al-tasykīk fī al-māhiyyah) tersebut bukanlah gradasi pada quiditas per se (bimā hiya hiya), tanpa mempertimbangkan individu-individunya sama sekali. Atau, dengan kata lain, terjadi diferensialitas (tafādhul) antar quiditas, di mana satu quiditas “lebih” dari quiditas lain dalam aspek kesempurnaan atau kekurangan, tanpa merujuk pada individu-individunya; seperti, quiditas per se manusia lebih sempurna dari quiditas per se katak, tanpa merujuk pada individu-individu dari kedua quiditas tersebut. Gradasi seperti ini jelas tidak masuk akal, karena antara satu konsep dengan konsep yang lain tidak mungkin dikatakan bahwa konsep yang satu lebih kuat dari konsep yang lain (‘Ubūdiyyat 2010, 203).

Demikian pula gradasi pada quiditas (al-tasykīk fī al-māhiyyah) yang dimaksud Suhrawardī bukan dalam pengertian adanya satu quiditas yang menjadi sisi kesamaan dan perbedaan bagi quiditas-quiditas yang merupakan individu, di mana individu-individu tersebut pun merupakan quiditas-quiditas. Misalnya, X adalah quiditas “manusia” (hewan rasional), A dan B adalah quiditas “manusia” juga, yaitu A dan B adalah individu-individu dari X. A lebih sempurna kemanusiaannya dari B dan B kurang sempurna dari A. Baik A dan B memiliki kesaman pada kemanusiaan dan berbeda juga pada kemanusiaan. Gradasi seperti ini pun tidak masuk akal karena melazimkan masuknya definisi A (kemanusiaan yang lebih sempurna dari kemanusiaan B) dalam definisi B dan definisi B (kemanusiaan yang kurang sempurna dari kemanusiaan A) dalam definisi A, dan hal ini membuat keduanya termasuk konsep dalam kategori relasi (maqūlat al-mudhāf) yang tidak dapat dipikirkan kecuali secara bersamaan, satu dengan yang lain. Ini berlawanan dengan asumsi sebelumnya (khulf), karena A dan B dalam hal quiditas adalah “manusia” yang dapat dipikirkan tanpa memikirkan yang lain (‘Ubūdiyyat 2010, 203-204).

Gradasi pada quiditas yang dimaksud Suhrawardī pun bukanlah dalam aplikasi (shidq). Misalnya, satu quiditas yang memiliki beragam individu tapi semuanya disatukan dengan kesamaan pada quiditas tersebut. Ketika quiditas tersebut diaplikasikan pada individu-individunya, maka aplikasi itu sendiri adalah hakikat gradatif dan diferensiatif (Suhrawardī 1417 HS, 22; Syirazī 1981, 1:445).

Gradasi pada tiga pengertian di atas tidaklah masuk akal (‘Ubūdiyyat 2010, 203-204). Sederhananya, jika kita bermaksud menganalisis hakikat gradasi maka kita dapat mengarahkan pikiran kita pada tiga lokus: lokus mental (dzihn), lokus aplikasi dan lokus realitas eksternal. Gradasi pada lokus mental, yaitu gradasi antar makna dan quiditas per se, jelas tidak masuk akal. Sama halnya dengan gradasi pada lokus aplikasi juga tidak masuk akal. Hanya gradasi pada lokus realitas eksternal saja yang mungkin untuk digagas, dan inilah sebenarnya yang menjadi medan perbedaan (maḥl al-nizā’) konseptual antara para filsuf Peripatetik dan Iluminatif.

Dalam pandangan Ibn Sīnā, perbedaan yang terjadi antar quiditas atau antar individu dari suatu quiditas yang menyebabkan terjadinya gradasi diferensial tidak mungkin keluar dari tiga modus saja. Pandangan ini tentu dengan sendirinya menolak modus keempat gradasi Suhrawardī, gradasi pada quiditas/esensi. Ibn Sīnā dan para filsuf Peripatetik berpendapat bahwa perbedaan yang terjadi akibat gradasi diferensial pada kuantitas terpisah (al-kam al-munfashil) atau pada kualitas keduanya dapat dikembalikan pada perbedaan dalam diferensia (fushūl) saja. Sedangkan perbedaan pada kuantitas bersambung (al-kam al-muttashil) dapat dikembalikan pada perbedaan pada hal-hal aksidental (al-‘umūr al-‘aradhiyyah) (Ibn Sīnā 1404 HS, 130–132; ‘Ubūdiyyat 2010, 207-208).

Misalkan angka (kuantitas terpisah) adalah genus (al-jins)  dan setiap angka adalah spesies dari genus tersebut (Ibn Sīnā 1404 HSb, 119). Semua angka memiliki kesamaan dalam hal pengulangan satu-satu (tikrār al-wāidāt), tetapi berbeda dalam hal pengulangan beberapa kali. Perbedaan ini terjadi pada diferensia (Ibn Sīnā 1404 HSc, 93). Demikian pula dengan warna putih, hitam, merah, dan sebagainya; masing-masing derajat dari warna-warna tersebut adalah spesiesnya (Ibn Sīnā 1404 HSc, 44). Warna putih, misalnya, karena warna bersifat sederhana (basīth) maka genus dan spesies terjadi secara i‘tibār, yaitu ketika kita lihat secara mutlak (lā bi syarth) maka putih bertindak sebagai genus, tetapi bila kita lihat dengan syarat derajat putih (bi syarth al-syay’) maka ia adalah spesies. Ini berlaku untuk seluruh spesies dari kualitas-kualitas (al-kayfiyyāt) yang bergradasi secara diferensial.

Keadaan di atas tidak berlaku untuk kuantitas bersambung: garis, bidang, dan ruang. Perbedaan terjadi bukan oleh diferensia tetapi oleh hal di luar zatnya, yaitu hal-hal aksidental. Misalnya, garis, karena merupakan ekspansi satu arah saja maka ia adalah spesies, sedangkan masing-masing garis dengan panjang tertentu adalah golongan (shinf). Dengan cara yang sama, hal sama pun berlaku pula untuk bidang dan ruang di mana terjadi berbagai golongan (ashnāf) oleh hal-hal aksidental di luar zat quiditas (‘Ubūdiyyat 2010, 207–208).

Dalam pandangan Ibn Sīnā, yang menjadi sisi pembeda (jihhat al-imtiyāz) bukanlah quiditas tetapi eksistensi eksternal dari quiditas tersebut setelah dilakukan perbandingan (muqāyasat) antar satu individu dengan individu lain. Dengan kata lain, satu individu dari quiditas hitam, x1 misalnya, pada dirinya sendiri tidaklah lebih atau kurang hitam; individu tersebut adalah instansi dari quiditas hitam saja. Demikian juga dengan individu lain dari quiditas hitam, x2 misalnya, meskipun dalam perbandingan x2 lebih hitam dari x1, akan tetapi jika dilihat pada dirinya sendiri, x2 hanyalah istansi dari quiditas hitam saja. Dengan i‘tibār ini, melihat individu pada dirinya sendiri (secara mutlak/tanpa syarat), tidak bermakna membicarakan gradasi atau bukan gradasi. Gradasi baru terjadi ketika kita membandingkan invididu-individu dari satu quiditas, barulah dapat dikatakan x2 lebih kuat intensitas hitamnya dibandingkan x1. Dengan kata lain, muncul tambahan perbandingan yang direfleksikan oleh dua konsep sekunder falsafī, yaitu lebih kuat dan lebih lemah dalam intensitas, sehingga barulah diperoleh gradasi dalam aplikasi quiditas hitam pada x1 dan x2. Hitam pada individu-individunya dalam realitas eksternal, jika dilihat dari sudut pandang quiditas per se, adalah aksidental; karena, eksistensi datang pada quiditas atau, dalam istilah Arab, al-wujūd ‘āridh ‘alā al-māhiyyah bimā hiya hiya (baik eksistensi mental maupun eksistensi eksternal). Dengan kata lain, terjadinya gradasi adalah setelah adanya tindak nalar dalam membandingkan beberapa objek, dalam hal ini antar entitas fisik (al-jism) yang memiliki kekhususan hitam yang merupakan instansi esensial (mishdāq bi al-dzāt) dari quiditas hitam (Ibn Sīnā 1404 HSc, 44). Dari tindakan membandingkan itulah diperoleh gradasi pada aksiden, dalam hal ini gradasi dalam tingkat kehitaman.

Dengan demikian, dapat dikatakan, Ibn Sīnā menerima gradasi pada hal-hal aksidental yang dapat dikembalikan pada perbedaan dalam diferensia atau hal-hal yang bersifat aksidental, dan menolak gradasi pada hal-hal esensial (al-tasykīk fī al-dzātī) atau gradasi pada quiditas.

Dalam pandangan Ibn Sīnā dan para pengikutnya, demikian pula Suhrawardī, gradasi diferensial terjadi pada individu-individu pada realitas eksternal, bukan pada quiditas per se. Adapun yang membedakan antara Ibn Sīnā dan Suhrawardī adalah:

  1. 1. Ibn Sīnā berpendapat bahwa gradasi terjadi setelah adanya perbandingan antar individu pada realitas eksternal yang memiliki kekhususan, yang membuatnya menjadi instansi secara esensial (mishdāq bi al-dzāt) bagi suatu quiditas. Baik deferensia atau hal-hal aksidental—yang menjadi pembeda antar individu jika dibandingkan dengan quiditas di mana individu-individu tersebut adalah instansinya—bersifat aksidental.
  2. 2. Suhrawardī berpendapat bahwa gradasi terjadi setelah adanya perbandingan antar individu pada realitas eksternal yang memiliki kekhususan yang membuatnya menjadi instansi secara esensial (mishdāq bi al-dzāt) bagi suatu quiditas di mana sisi keutamaan (awlāwiyyat), terdahulu-terkemudian (taqaddum wa ta’akhkhur) dan intensitas kuat-lemah (syidddah wa dha‘f) terjadi pada quiditas itu sendiri.

Berikut tabel perbandingan keduanya:

Ibn Sīnā Suhrawardī
Modus perbedaan gradatif diferensial Suhrawardī dapat dikembalikan kepada salah satu dari tiga modus pertama; bukan merupakan divisi baru dari keragaman. Terdapat modus keempat perbedaan: perbedaan gradatif diferensial, sebagai modus yang berbeda dengan tiga modus pertama.  Gradasi mustahil terjadi dengan tiga modus pertama, karena sisi keragaman pada tiga modus pertama bukanlah sisi kesamaan.
Gradasi diferensial pada hal-hal aksidental. Gradasi diferensial pada quiditas atau hal-hal esensial.

Tabel 3. Perbedaan Gradatif Differensial: Antara Ibn Sīnā dan Suhrawardī

Baik pendirian IbnSīnā terkait gradasi adalah pada hal aksidental maupun pendirian Suhrawardī terkait gradasi pada quiditas, keduanya tidak memandang gradasi pada realitas kongkret per se (wāqi’iyyāt bi mā hiya hiya) akan tetapi melihat kekhususan pada individu-individu pada realitas kongkret; kekhususan yang menjadi tolok ukur aplikasi konsep universal gradatif.

Demikianlah diskursus gradasi yang berkembang sebelum Mullā Shadrā. Sebelum kemunculan Mullā Shadrā, pembahasan gradasi sebatas terkait kategori aksiden kualitas dan kuantitas yang dikenal sebagai gradasi diferensial.

Adapun Mullā Shadrā berpendapat bahwa—tanpa memandang pada kekhususan pada individu-individu dalam realitas kongkret sebagai tolok ukur aplikasi konsep universal gradatif pun—sebenarnya, gradasi diferensial terjadi pada realitas kongkret itu sendiri. Dengan kata lain, atas dasar fundamentalitas eksistensi (ashālat al-wujūd) di mana eksistensilah yang memenuhi hamparan realitas secara esensial, pada eksistensi itu sendirilah terjadi gradasi diferensial (Syirazī 1417 HS, 1:121).

Gradasi pada Hakikat Eksistensi (al-Tasykīk al-Falsafī)

Mullā pendaShadrā melangkah lebih jauh dari para filsuf sebelumnya dalam pembahasan gradasi. Pada awal pembahasan gradasi dalam karya-karyanya, seperti kebiasaannya, Mullā Shadrā membahas gradasi diferensial dan memberikan tarjī (penegasan dan alasan memilih) terhadap pendapat yang beredar. Pada langkah pertama, berbeda dengan Ibn Sīnā, ia berpendapat bahwa gradasi diferensial mengikuti modus keempat dari perbedaan. Akan tetapi berbeda pula dengan Suhrawardī yang menyatakan gradasi pada quiditas, Mullā Shadrā menolak gradasi pada quiditas. Ia menerima, seperti Ibn Sīnā, gradasi dipersepsi terjadi pada realitas eksternal setelah melalui proses perbandingan nalar antara satu realitas kongkret eketernal lain di bawah satu quiditas yang sama. Akan tetapi pada langkah kedua, ia mengambil langkah yang tidak mungkin dapat dilakukan Ibn Sīnā dan para filsuf Peripatetik karena perbedaan fondasional, yaitu gradasi pada hakikat eksistensi. Ia memperluas gradasi tidak hanya sebatas gradasi diferensial pada kategori aksiden kualitas dan kuantitas saja. Pada langkah terakhir ini, Mullā Shadrā menolak gradasi secara esensial (bi al-dzāt) pada quiditas maupun hal-hal aksidental dan menyatakan bahwa gradasi secara esensial terjadi pada hakikat eksistensi itu sendiri, sedangkan gradasi pada makna universal hanyalah mengikuti (bi al-ilḥaq) (Syirazī 1981, 1:135).

Konsep dan Argumentasi Gradasi pada Hakikat Eksistensi

Pandangan gradasi diferensial pada hakikat eksistensi sangat bertumpu pada klaim bahwa eksistensi adalah hakikat tunggal (aqīqah wāḥidah). Hal ini karena, sebagaimana telah dijelaskan, gradasi khusus yang dibicarakan filsafat disyaratkan oleh sesuatu yang menjadi sisi pemersatu yang menyamakan individu-individu sekaligus merupakan sisi pembeda individu-individu tersebut. Dengan kata lain, perbedaan dan kesamaan harus terjadi pada satu hakikat saja, atau, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, disebut kesatuan afinitas. Dari sudut pandang akal, adanya keragaman pada hakikat eksistensi adalah niscaya, tetapi, sebaliknya, adanya kesatuan eksistensial di balik keragaman tersebut tidaklah niscaya.

Para filsuf yang meyakini eksistensi adalah fundamental (ashīl)—bahwa bahwa  eksistensilah  yang mengisi hamparan realitas kongkret secara esensial (matn al-a‘yān bi al-dzāt), sedangkan quiditas bersifat derivatif (i‘tibārī), sebatas persepsi akal menyangkut batas eksistensi—terpecah kepada dua kelompok. Pertama, kelompok yang dinisbatkan kepada sebagian filsuf Peripatetik ( Syirazī 1422 HS, 288; 1981, 2:219); meyakini bahwa hakikat eksistensi (haqīqat al-wujūd) adalah hakikat-hakikat yang sepenuhnya, secara ekslusif dan esensial, berlainan satu sama lain (haqāiq mutabāyinah bi tamāmi dzawātihā) (Thabāthabā’ī 1414 HS, 15; Syirazī 1417 HS, 2:570). Kedua, kelompok yang dinisbatkan kepada Fahlawiyyūn dari sekelompok filsuf Persia,  meyakini bahwa hakikat eksistensi adalah hakikat tunggal yang bergradasi (haqīqah wāḥidah musyakkikah) (Thabāthabā’ī 1414 HS, 14). Hakikat tunggal tersebut tersebut terdiri dari berbagai derajat berbeda, baik dari sis kuat-lemah, terdahulu-terkemudian, dan lain sebagainya; yaitu, apa yang menjadi pokok perbedaan pada saat yang sama adalah juga yang menjadi pokok persamaan. Mullā Shadrā dan para pengikutnya, para filsuf penganut Filsafat Transendental (al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah) meyakini pandangan yang kedua ini.

Mereka yang berpendapat bahwa eksistensi adalah hakikat-hakikat yang sepenuhnya (secara eksklusif dan esensial) berlainan  satu sama lain memberikan argumentasi, sebagai berikut: Menerima bahwa wujud bersifat fundamental berimplikasi kepada penerimaan eksistensi sebagai sumber efek pada realitas eksternal (wujūd huwa mansya’ al-ātsār fī al-a‘yān al-khārijiyyah). Tidak diragukan, terdapat keragaman pada hakikat-hakikat kongkret. Keswabuktian keragaman hakikat-hakikat kongkret seperti halnya keswabuktian  realitas itu sendiri yang dipersepsi oleh akal melalui perantaraan indera. Keragaman adalah cabang dari perbedaan. Perbedaan efek hanya terjadi apabila terjadi perbedaan pemberi efek. Proposisi “hakikat eksistensi adalah hakikat-hakikat yang berbeda” ini dibuktikan dengan asumsi akan kebenaran “‘Kaidah Satu” (qā‘idat al-wāḥid) (Ibn Sīnā 1413 HS, 112, 253; Dāmād 1409 HS, 351); Syahrazurī 1425 HS, 339) melalui bentuk qiyās al-istitsī berikut ini:

p : Hakikat eksistensi adalah hakikat tunggal (proposisi antiseden/al-muqaddam)

q : Realitas hanya terdapat satu macam efek (proposisi konsekuensi/al-tālî)

p → q
 ̴ q
 ̴ p
  • • Penjelasan implikasi (bayān al-mulāzamah):

Jika eksistensi bersifat fundamental, maka satu-satunya pemberi efek pada realitas eksternal adalah hakikat eksistensi. Selain hakikat eksistensi, secara rasional terasumsikan, yang tersisa hanyalah ketiadaan mutlak dan quiditas. Ketiadaan mutlak bukanlah sesuatu apa pun, apalagi dapat memberi efek pada realitas eksternal. Quiditas hanya bersifat derivatif, bukan pemberi efek pada realitas eksternal.

  • • Penjelasan invaliditas konsekuensi) bayān buthlān al-tālī):

Secara niscaya (dharūriyyat), kita mendapati dalam realitas terdapat efek yang bermacam-macam. Misalnya, ketika tangan memegang es  maka ia akan terasa dingin, namun  akan terasa panas ketika memegang api. Tangan kita bukanlah es atau api itu sendiri. Dalam kondisi tidak menyentuh es atau api, tangan tidak merasakan dingin atau panas. Ketika pengalaman inderawi (tajrubah) seperti ini terjadi secara berulang, akal menyimpulkan sebuah hukum bahwa tangan telah tereaksikan oleh es atau api sehingga ia terasa dingin atau panas. Langkah selanjutnya akal memutuskan hukum: efek aksi bukanlah efek reaksi (āthār al- fi‘li ghayr āthār al-infia‘li).

Dari qiyās al-istithnā‘ī ini didapati: karena efek pada realitas kongkret beragam dan perbedaan efek mencerminkan perbedaan sumber efek, sedangkan sumber efek adalah hakikat eksistensi, maka adanya berbagai efek yang berbeda-beda menunjukkan adanya berbagai hakikat eksistensi yang berlainan pada realitas eksternal.

Argumentasi bahwa hakikat eksistensi sepenuhnya (secara eksklusif dan esensial) berbeda satu sama lain merupakan implikasi dari kesederhanaan (basāthat) hakikat eksistensi; yaitu, ia tidak tersusun dari bagian-bagian, baik yang bersifat rasional (juz’ ‘aqlī), seperti genus dan diferensia; atau, bagian yang bersifat eksternal (juz’ khārijī), seperti materi dan forma maupun, bagian secara ukuran (juz’ miqdāri) seperti garis, bidang dan volume.

Ketika konsep eksistensi secara univokal diterapkan pada berbagai instansinya yang berbeda secara eksklusif dan esensial pada realitas eksternal, maka aplikasi atau penerapan konsep tersebut bersifat aksidental dan lazim. Penerapan ini seperti penerapan konsep “sesuatu” pada instansi-instansinya dan bukan penerapan yang bersifat esensial seperti penerapan quiditas pada individu-individunya.

Demonstrasi seputar hakikat eksistensi di atas, menurut Mullā Shadrā dan para pengikutnya, tidaklah sempurna karena tersebut dianggap lebih luas dari klaim yang dimaksud. Cakupan validitas demostrasi tersebut hanya pada daerah hakikat eksistensi adalah berbeda-beda (mukhtalifah) bukan berlainan (mutabāyinah). Untuk meruntuhkan demonstrasi pendukung gagasan bahwa hakikat eksistensi adalah hakikat-hakikat yang, secara ekslusif dan esensial, berlainan satu sama lain tersebut maka dikemukakanlah sanggahan umum (al-naqdh al-ijmālī) yang memperlihatkan invaliditas kesimpulan demonstrasi bahwa hakikat eksistensi adalah hakikat-hakikat yang, secara ekslusif dan esensial, berlainan satu sama lain. Sanggahan umum ini dijalankan dalam bentuk qiyās al-istitsnā’ī:

Jika hakikat eksistensi bukan hakikat tunggal bergradasi maka hakikat eksistensi adalah hakikat-hakikat yang, secara ekslusif dan esensial, berlainan satu sama lain. Jika hakikat eksistensi adalah hakikat-hakikat yang, secara ekslusif dan esensial, berlainan satu sama lain, maka melazimkan konsep eksistensi yang bersifat univokal telah diabstraksikan dari instansi-instansi yang berlainan dari sisi keberlainan mereka. Yang disebut terakhir ini adalah mustahil.

p: hakikat eksistensi adalah hakikat-hakikat yang berlainan satu sama lain secara ekslusif dan esensial.

q: konsep eksistensi yang bersifat univokal telah diabstraksikan dari instansi-instansi yang berlainan dari sisi keberlainan mereka.

p → q
 ̴ q
 ̴ p
  • • Penjelasan implikasi (bayān al-mulāzamah):

Mereka yang meyakini hakikat eksistensi adalah hakikat-hakikat yang berlainan satu sama lain secara ekslusif dan esensial, maka akan meyakini pula bahwa konsep eksistensi diterapakan kepada instansi-instansinya di realitas eksternal dengan makna yang seragam, atau dengan kata lain konsep eksistensi diterapkan secara univokal pada instansi-instansinya.

Konsep dan instansi mempunyai hubungan yang intrinsik di mana konsep adalah instansi dan instsnsi adalah konsep akan tetapi keduanya berbeda dari sisi modus eksistensi. Konsep berdiri dengan eksistensi mental dan instansi berdiri dengan eksistensi eksternal. Ketika akal mempredikatkan satu konsep tunggal secara univokal pada instansi-instansi yang bermacam-macam maka akal telah menangkap satu kesatuan pada berbagai instansi tersebut.

Relasi lokus eksternal, lokus mental, dan lokus bahasa dapat dideskripsikan  sebagai berikut:

Relasi antara instansi pada realitas eksternal dengan konsepnya pada lokus mental bersifat intrinsik, maksudnya adalah akal secara terpaksa dan niscaya merefleksikan objek pada realitas eksternal tersebut sebagai sebuah konsep milik objek itu. Mustahil bagi akal menolak hal ini. Dan mustahil pula bagi akal untuk mengubahnya menjadi konsep yang lain tanpa sebelumnya menerima konsep yang intrinsik tersebut dan jatuh pada swa-kontradiksi (tanāqudh). Contoh: Jika mengatakan pada diri kita sendiri, setiap saya melihat kucing maka saya akan menerapkan konsep anjing pada kucing tersebut. Pernyataan ini tentu didahului dengan penerimaan kucing adalah kucing dan anjing adalah anjing. Ketika kita melihat seekor kucing lalu kita predikatkan padanya konsep anjing maka sebelumnya kita telah mengetahui secara terpaksa dan niscaya bahwa yang kita lihat adalah instansi dari konsep kucing, lalu secara ikhtiyārī kita mempredikatkan padanya konsep anjing. Ketika kita melakukan predikasi secara ikhtiyārī tersebut pada saat yang sama kita pun melihat kontradiksi di mana kita menerima: ini adalah kucing dan ini adalah bukan kucing.

Berbeda dengan relasi antara lokus mental dengan lokus bahasa yang bersifat konvensional, yaitu kita dapat saja mengganti sebutan untuk konsep kucing dengan kata anjing atau sebaliknya tanpa menimbulkan swa-kontradiksi dalam predikasi. Bahkan kita dapat saja mempertukarkan seluruh kata yang mewakili konsep-konsepnya dengan kata yang lain tanpa menimbulkan swa-kontradiksi pada predikasi yang kita lakukan. Kalau pun terjadi ketidakcocokan akibat perubahan ini pada diri kita tetapi antara diri kita dengan orang lain yang tidak bersepakat menyangkut penggunaan kata-kata baru tersebut.

Atas dasar relasi intrinsik antara lokus mental dengan lokus eksternal ini, maka apabila kita mempredikatkan satu konsep pada berbagai instansinya yang berbeda sebenarnya akal kita menangkap adanya kesatuan (isytirāk) pada berbagai instansi tersebut pada sisi konsep yang sedang kita predikatkan pada berbagai instansi tersebut. Misalkan ketika kita mengatakan: A adalah manusia, B adalah manusia dan C adalah manusia, maka akal kita menangkap pada A, B dan C ada kesatuan, yaitu pada sisi manusia.

Hal yang sama ketika kita mempredikatkan konsep eksistensi pada berbagai instansinya yang beraneka ragam maka akal kita sebenarnya menangkap suatu kesatuan tertentu pada instansi-instansi yang sedang kita amati dari sisi eksistensinya tersebut dan bukan dari sisi lainnya. Kesatuan tertentu (isytirāk mā) pada berbagai mengada (existents/mawjūdāt) tersebut adalah kesatuan dari sisi eksistensi.

  • • Penjelasan invaliditas konsekuensi  (bayān buthlān al-tālī):

Ketika konsep eksistensi diterapkan secara univokal pada berbagai instansinya maka berarti telah terjadi abstraksi konsep eksistensi dari berbagai instansi tersebut. Jika diasumsikan instansi-instansi itu berlainan satu sama lain secara eksklusif dan esensial, maka berarti tidak ada sisi apa pun yang menyatukan berbagai instansi tersebut pada realitas eksternal. Bagaimana mungkin mengabstraksi satu konsep tunggal yang diterapkan secara univokal pada berbagai instansi yang berbeda jika tidak ada sisi pemersatu yang direfleksikan oleh konsep  tunggal tersebut (Syirazī 1395, 52; Sabzawarī 1411 HS, 114). Juga bagaimana mungkin sebuah konsep tunggal diterapkan secara univokal pada individu-individu yang instansi yang berlainan satu-sama lain secara eksklusif dan esensial. Berkata Mullā Shadrā:

Karena hubungan eksistensi abstraktif (al-wujūd al-intizā’ī) dengan mengada-mengada (mawjūdāt) hakiki seperti hubungan al-insāniyyah al-mashdariyyah dengan al-insan dan seperti hubungan al-hayawāniyyah al-mashdariyyah dengan al-hayawān dimana tempat pengabstraksian konsep tersebut adalah zat obyek itu sendiri tanpa ada tambahan aspek apa pun selain zat, maka eksistensi adalah hakikat tunggal. Hal ini dikarenakan oleh mustahilnya mendapatkan konsep tunggal dari hakikat-hakikat yang berbeda secara eksklusif dan mustahilnya mengabstraksi makna tunggal dari individu-individu yang zatnya murni berbeda tanpa ada sisi yang kolektif yang menjadi sisi kesamaannya (Syirazī 1981, 1:254).

Penerimaan atas konsep eksistensi sebagai sebuah konsep universal yang diaplikasikan secara univokal pada instansi-instansinya menunjukkan adanya suatu jenis kesamaan dan kesatuan kongkret eksternal antar instansi tersebut. Argumentasi atas persoalan ini bekerja di maqam itsbāt (level epistemologi), akan tetapi bagaimana bentuk kesatuan itu di maqam tsubūt (level ontologi) hanya diketahui oleh mereka yang disebut al-rāsikhūn fī al-‘ilm (orang-orang mendalam ilmunya) (Syirazī 1981, 1:257; 6:117;  1419 HS, 274–275). Hal ini dikarenakan hakikat eksistensi ada pada realitas eksternal (kongkret). Semua yang hakikatnya pada realitas eksternal mustahil untuk ada di pikiran, maka  mustahil pula hakikat eksistensi hadir pada pikiran. Apa yang hadir dalam pikiran, berupa konsep universal eskstensi, bukanlah hakikat eksistensi itu sendiri melainkan hanyalah salah satu dari wajah, aspek atau alamat dari hakikat eksistensi saja. Dengan kata lain, hakikat eksistensi hanya dapat dipersepsi secara hudhūrī pada realitas eksternal, bukan secara ushūlī melalui konsep-konsep universal.

Penerimaan adanya suatu kesatuan pada hakikat eksistensi memungkinkan Mullā Shadrā melangkah lebih jauh untuk memajukan struktur eksistensi dalam sistem kesatuan gradatif. Mengenai eksistensi sebagai hakikat tunggal yang bergradasi, Mullā Shadrā menyatakan:

Eksistensi adalah hakikat tunggal bersifat eksternal (kongkret), bukannya konsep mental semata dan bukan pula konsep intelegible sekunder seperti dugaan para filsuf mutakhir. Ada pun perbedaan antar individu dan derajat pada hakikat eksistensi bukanlah perbedaan secara eksklusif esensial dan hakikat, bukan juga berbeda dengan diferensi atau aksiden. Perbedaannya [pada hakikat eksistensi] hanya terjadi dalam [sisi] terdahulu–terkemudian, kesempurnaan – kekurangan, intensitas kuat–lemah semata. Sifat-sifat kesempurnaannya berupa ilmu, kuasa, kehendak adalah identik dengan zatnya. Hal ini karena hakikat eksistensi dan yang sejenisnya, beserta pengejawantahannya, sajalah yang, pada saat yang sama, sekaligus  bertindak sebagai sumber bagi seluruh kesempurnaan eksistensial. Apabila suatu mengada (existent; sesuatu yang ada) memiliki eksistensi yang kuat maka kuatlah pula seluruh sifat kesempurnaannya dan apabila lemah maka lemah pula seluruh sifat kesempurnaannya (Syirazī 1981, 1:121;.2:235; 7: 158; t.t., 99).

Tentang adanya kesatuan afinitas antar mengada pada realitas eksternal dan keberbedaan antar derajat eksistensi tersebut Mullā Shadrā melalui perumpamaan kesatuan afinitas pada angka. Seluruh spesies angka mulai dari angka dua sampai tidak berhingga tidak lain adalah pengulangan angka satu saja. Antar satu angka dengan angka lain dalam hal hakikat yaitu hakikat angka. Perbedaan antara satu derajat angka dengan derajat lain terjadi karena kelaziman (lawāzim) dan sifat yang berbeda antar derajat di mana satu derajat memiliki kelaziman dan sifat yang tidak dimiliki derajat lain. Demikian pula dengan eksistensi di mana keragaman hakikat-hakikat eksistensi sebabnya adalah karena perbedaan pasisi hakikat-hakikat tersebut pada derajat. Jadi perbedaan terjadi oleh identitas derajat itu sendiri tetapi mereka semua memiliki kesamaan dalam kesatuan afinitas eksistensi. Berkata Mulla Sadra: “Seperti halnya perbedaan antara angka terletak pada hakikat di mana angka itu memiliki kesamaan, perbedaan antar mengada adalah karena perbedaan identitas di antara mereka yang semuanya itu memiliki kesamaan, disatukan pada satu afinitas eksistensilitas” (Syirazī 1981, 98–100).

Berikut tabel perbandingan pembahasan gradasi antara Mullā Shadrā dan para filsuf sebelumnya:

Filsuf Pra- Mulla Sadra Mulla Sadra
Meyakini gradasi khusus sebagai sisi keragaman adalah sisi kesamaan itu sendiri, akan tetapi hal itu bukanlah pada hakikat eksistensi per se. Meyakini gradasi khusus, yaitu sisi keragaman adalah sisi kesamaan itu sendiri dan hal itu adalah hakikat eksistensi per se. 
Gradasinya adalah gradasi dalam logika, yaitu al-tasykīk al-manthiqī. . Gradasinya adalah gradasi dalam filsafat, yaitu al-tasykīk al-falsafī.

Tabel 4. Perbandingan Pembahasan Gradasi Mullā Shadrā dan Para Filsuf Sebelumnya

Jenis-Jenis Gradasi Pada Hakikat Eksistensi 

Pada langkah awal pembahasan gradasi yang mengikuti alur pembahasan para filsuf sebelumnya, Mullā Shadrā membahas pula gradasi diferensial. Setelah mentarjī modus keempat dari perbedaan, yaitu perbedaan secara gradasi (al-ikhltilāf al-tasykīkī), di mana sisi yang menjadi pembeda antar individu adalah juga sisi persamaan yang menyatukan antar individu. Mullā Shadrā mengambil langkah lebih maju dengan mengajukan argumentasi bagi gradasi pada hakikat eksistensi atau gradasi filosofis (al-tasykīk al-falsafī) dan menolak pandangan Ibn Sīnā maupun Suhrawardī.

Gradasi diferensial pada hakikat eksistensi hanya dapat dibicarakan setelah menerima asumsi bahwa keragaman pada realitas eksternal adalah hakiki, kesatuan pada realitas eksternal juga adalah hakiki, dan keragaman kembali kepada kesatuan tanpa membatalkan keragaman atau melenyapkan kesatuan. Setelah membuktikan klaim adanya kesatuan pada hakikat eksistensi, Mullā Shadrā bergerak menuju pembuktian gradasi diferensial pada hakikat eksistensi.

Tidak berhenti di sana, Mullā Shadrā  memperluas pembahasan gradasi pada dua macam gradasi lain yang ada di bawah tolok ukur umum gradasi khusus, yaitu sisi yang membedakan antar individu adalah juga sisi kesamaan yang menyatukan antar individu tersebut. Dua macam gradasi tersebut adalah gradasi kausal (al-tasykīk al-‘illī), yaitu gradasi yang lebih khusus dari gradasi diferensial; dan gradasi aksidental (al-tasykīk al-‘aradhī), yaitu gradasi yang tidak termasuk gradasi direfensial.

Di bawah ini bagan  pembagian gradasi pada hakikat eksistensi.

Gradasi Diferensial (al-Tasykīk al-Tafādhulī)

Dalam pandangan Mullā Shadrā, gradasi diferensial terjadi pada eksistensi, baik pada derajat konsep maupun derajat hakikat. Gradasi pada derajat konsep merefleksikan gradasi pada derajat hakikat, yaitu gradasi direfensial antar instansi esksitensi terjadi dengan eksistensinya sendiri. Sedangkan gradasi diferensial pada quiditas terjadi karena eksistensinya bukan karena quiditasnya (Syirazī 1981, 1:37). Dengan kata lain gradasi diferensial pada derajat konsep hanyalah bersifat aksidental (Thabāthabā’ī 1981, 37). Kita dapat mengatakan gradasi pada derajat konsep universal eksistensi ini adalah gradasi umum, sedangkan gradasi pada derajat hakikat eksistensi adalah gradasi diferensial filosofis (al-tasykīk al-tafādhulī al-falsafī).Tentang gradasi diferensial pada konsep universal eksistensi Mullā Shadrā menyatakan: “Konsep eksistensi adalah sebuah konsep universal univokal yang diterapkan pada instansi-instansi di bawahnya dengan aplikasi gradatif bukan aplikasi seragam (Syirazī 1981, 1:35).”

Menyangkut konsep eksistensi sebagai suatu konsep universal yang diterapkan pada quiditas-quiditas secara univokal adalah jelas dalam pikiran kita. Kejelasan predikasi konsep eksistensi secara univokal pada quiditas hampir mendekati jelasnya proposisi-proposisi primer (al-awwaliyyāt). Seperti ketika kita melihat satu individu “manusia” dan satu individu “ayam” di realitas eksterna,l kita menyatakan:

“Manusia ada.”

“Ayam ada.”

Ketika kita mengatakan “manusia ada”,  yang terjadi adalah kita menangkap sisi kemanusiaan (al-insāniyyah) pada individu tersebut yang menjadikan ia sebuah instansi esensial (al-mishdāq bi al-dzāt) dari konsep manusia (mafhūm al-insān) yang ada dalam pikiran kita.  Pada saat yang sama, kita pun mendapatkan pada individu tersebut terdapat sisi yang menafikan ketiadaan yang menjadikannya instansi esensial (al-mishdāq bi al-dzāt) dari konsep eksistensi yang ada dipikiran kita. Kita dengan jelas dapat membedakan antara ada (wujūd) dan tiada (‘adam), dan tidak ada stasus antara ada dan tiada. Ketika kita menyaksikan satu individu ayam dan kita menyatakan “ayam ada” maka proses yang terjadi sama halnya seperti yang terjadi pada “manusia ada”. Sisi yang menolak ketiadaan (thāridiyyat al-‘adam) pada “ayam ada” tidak berbeda dengan sisi yang menolak ketiadaan pada “manusia ada”. Kekhususan yang ada pada individu manusia dan individu ayam yang menjadikan kedua individu itu sebagai instansi-instansi esensial bagi konsep eksistensi, yaitu sisi yang menolak ketiadaan bukanlah quiditas manusia atau quiditas ayam, dan bukan pula ketiadaan (‘adam).

Adapun konsep eksistensi adalah sebuah konsep universal bergradasi  di mana konsep eksistensi diterapkan pada instansi-instansi nya tidak secara seragam tetapi secara gradatif menurut modus gradasi keutamaan, terdahulu-terkemudian dan intensitas kuat-lemah. Sebab gradasi ini terletak pada instansi-instansi konsep eksistensi itu sendiri. Instansi tersebut, sebagian ada yang keberadaannya merupakan tuntutan dari zatnya sendiri, sebagian ada pula yang keberadaannya merupakan tambahan di luar zatnya, sebagian lagi merupakan sebab, sebagian lainnya ada yang merupakan akibat (ma’lūl), sebagian ada yang lebih terdahulu dari yang lain, dan sebagian datang setelah yang lainnya.

Menyangkut gradasi diferensial pada derajat hakikat eksistensi atau gradasi diferensial filosofis, Mullā Shadrā menyatakan:

Makna-makna universal tidak menerima intensitas, baik kuat atau lemah, tidak menjadi soal apakah makna-makna tersebut esensial ataukah aksidental. Lain halnya dengan eksistensi, dalam eksistensi terjadi perbedaan karena zatnya sendiri, baik dalam hal kesempurnaan atau kekurangan, hal terdahulu atau terkemudian, kebergantungan atau kemandirian. Penyebabnya adalah eksistensi, dengan zatnya sendiri, berentifikasi; karenanya, dengan zatnya pulalah ia menjadi “yang terdahulu” dan “keterdahuluan”, menjadi “yang terkemudian” dan “keterkemudianan”, sebagaimana halnya zatnya eksistensi menjadi “yang sempurna” atau “kesempurnaan”, menjadi “yang utama” dan “keutamaan”. Ketika kesempurnaan dan keutamaan absen, eksistensi, dengan zatnya sendiri, menjadi “kekurangan” dan “yang kurang”, menjadi “keburukan” dan “yang buruk”.

Adapun menyangkut makna-makna universal, makna apa pun itu, ketika diikuti oleh keterdahuluan, keterkemudianan, kesempurnaan dan kekurangan, maka itu semua adalah dengan perantaraan eksistensi khusus dari makna-makna tersebut (Syirazī 1417 HS, 1:135).

Gradasi Kausal (al-Tasykīk al-‘Illī)/ Gradasi Vertikal (al-Tasykīk al-Thūlī)

Mengada/ hal-hal yang ada (existents/mawjūd) pada realitas eksternal dapat dibagi menjadi tiga golongan:

  1. 1. Mengada-mengada yang memiliki relasi kausal (sebab-akibat) antara satu dengan yang lain.

Jika kita mengamati rantai sebab-akibat vertikal, kita dapati ada mengada yang menjadi agen (fā‘il) dari rantai kausal di bawahnya dan tidak menjadi aktifitas (fi‘l) dari agen apa pun. Ada pula mengada yang menjadi aktifitas dari agen di atasnya dan tidak menjadi agen bagi aktifitas apa pun. Ada pula mengada yang menjadi agen  bagi rantai di bawahnya dan sekaligus menjadi aktifitas dari agen di atasnya. Silsilah relasi sebab-akibat vertikal ini menempatkan Eksistensi Niscaya secara esensial (al-wājib bi al-dzāt) pada puncak silsilah dan Materi Pertama (al-māddat al-Ūlā) pada rantai terbawah. Eksistensi Niscaya secara esensial adalah agen bagi  akal pertama (al-‘aql al-awwal). Akal pertama menjadi perbuatan dari Eksistensi Niscaya dan sekaligus menjadi agen bagi akal kedua (al-‘aql al-tsānī). Akal kedua menjadi perbuatan bagi akal pertama dan sekaligus menjadi agen bagi akal ketiga. Cara yang sama berlaku untuk akal-akal selanjutnya sampai berakhir silsislah akal imaterial disusul rantai mengada-mengada imajinal dan terakhir mengada-mengada material. Sebagaimana terlihat dalam bagan di bawah ini:

  1. 2. Mengada-mengada yang satu sama lain terjadi perbedaan akan tetapi tidak ada relasi kausalitas antara yang satu dengan yang lain.

Mereka adalah individu-individu dari spesies-spesies kategori aksiden kualitas dan kuantitas, sebagaimana telah dibahas pada pembahasan gradasi diferensial. Contohnya, warna putih pada rambut dan warna putih pada salju. Antara putih rambut dan putih salju terjadi perbedaan intensitas tetapi tidak terdapat relasi kausa di antara keduanya. Contoh lain, , dan kecepatan gerak mobil A, 35 Km/ jam, dan kecepatan gerak mobil B, 45 Km/jam. Dalam kecepatan 35 Km/jam dan 45 Km/jam terjadi perbedaan intensitas kecepatan namun tidak melibatkan suatu relasi kausal. Gradasi pada hakikat eksistensi yang terjadi pada golongan inilah yang disebut gradasi diferensial.

  1. 3. Mengada-mengada yang antara satu sama lain terdapat perbedaan, akan tetapi antara satu sama lain tidak terdapat relasi kausal dan tidak pula terdapat perbedaan dalam hal kesempurnaan dan kekurangan.

Hal ini terjadi pada individu-individu dalam satu spesies kategori substansi. Misalnya, ada dua pulpen, A dan B, dengan warna, ukuran dan bahan yang sama. Mungkin pula terjadi antar individu yang berbeda secara spesies, misalnya, Zaid dari spesies manusia dan X dari spesies kuda. Pada contoh pertama, terjadi keragaman pada individu dari satu spesies (pulpen), namun tidak ada relasi kausalitas atau pun perbedaan dalam kesempurnaan atau kekurangan antara satu sama lain. Demikian pula pada contoh kedua, antara Zaid dan kuda X, dua spesies berbeda dan tidak ada relasi kausal atau perbedaan dalam kesempurnaan atau kekurangan.

Keberagaman dan kesatuan pada mengada-mengada golongan (a) ini disebut gradasi kausal dan juga gradasi vertikal. Keragaman pada gradasi ini mempunyai ciri, yaitu:

  1. 1. Derajat-derajat eksistensinya berbeda satu sama lain dalam hal kuat-lemah intensitas, kesempurnaan-kekurangan, di mana antara satu derajat dengan derajat di atas atau di bawahnya, atau atas dan bawahnya, ada relasi kausalitas.
  2. 2. Derajat mengada yang di atasnya lebih kuat intensitas eksistensinya dari mengada pada derajat di bawahnya dan sekaligus menjadi sebab (‘illah) bagi mengada dengan derajat di bawahnya. Sebaliknya mengada dengan derajat di bawahnya lebih lemah intensitas  eksistensinya dan menjadi akibat (ma‘lūl) dari mengada pada derajat di atasnya.

Gradasi kausal atau gradasi vertikal ini mengimplikasikan gradasi diferensial karena relasi sebab-akibat melazimkan perbedaan dalam intensitas kuat-lemah, dalam sisi terdahulu-terkemudian, dan kesempurnaan-kekurangan, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Relasi perbandingan (nisbat) gradasi diferensial dengan gradasi kausal adalah umum dan khusus mutlak (al-‘umūm wa al-khushūsh al-muthlaq). Gradasi diferensial, termasuk gradasi kausal di dalamnya, terjadi oleh zat eksistensi sendiri tanpa ada hal-hal di luar eksistensi. Perbedaan yang terjadi antar mengada dalam gradasi diferensial bersifat hakiki dan esensial.

Gradasi Aksidental (al-Tasykīk al-Aradhī)

Keragaman dan kesatuan mengada-mengada dari golongan (c) disebut gradasi aksidental (al-tasykīk al-‘aradhī). Pada keragaman dalam gradasi aksidental antar mengada ini tidak ada relasi kausalitas dan perbedaan intensitas (kuat-lemah), hal terdahulu-terkemudian, kesempurnaan-kekurangan, tetapi terjadi perbedaan dari sisi eksistensi per se di mana sisi yang membedakan adalah sisi kesamaan yang menyatukan antar mengada. Jika kita perhatikan  penjelasan menyangkut mengada-mengada pada golongan (c), maka keragaman pada mengada-mengada terjadi dengan perantaraan quiditas-quiditas. Perbedaan ini bukan bersifat hakiki dan esensial melainkan derivatif (i‘tibārī) dan aksidental (bi al-‘aradh).

Tdalam āāāāīSeperti contoh sebelumnya, adanya keragaman pada satu spesies pulpen, A dan B, di mana A bukanlah B. Eksistensi disifatkan dengan keragaman pada contoh ini, akan tetapi secara aksidental, bukan secara esensial. Demikian pula dengan keragaman pada Zaid (spesies manusia) dan X (spesies kuda). Keragaman eksistensi karena keragaman pada quiditas dapat terjadi karena quiditas menyatu dengan eksistensi pada realitas eksternal. Hukum dari salah satunya mengalir pada yang lain. Seperti halnya pada kasus di mana hukum eksistensi mengalir pada quiditas, misalnya pada proposisi “Manusia ada” di pikiran kita ketika melihat satu individu manusia. Manusia pada definisi, ḥayawān nāthiq (hewan rasional), tidak memberikan eksistensi. Sedangkan “eksistensi manusia ada” (wujūd al-insān mawjūd), di mana “eksistensi ada” adalah hukum milik eksistensi; itulah yang benar pada faktanya (fī nafs al-amr). Karena eksistensi dan quiditas manusia menyatu pada realitas eksternal, maka hukum eksistensi mengalir ke quiditas, sehingga kita katakan “manusia ada”.

Keragaman yang mengalir pada eksistensi dari keragaman pada quiditas, disebut keragaman eksistensi secara aksidental, mengingat fondasi fundamentalitas eksistensi (ashālat al-wujūd), bahwa quiditas bersifat derivatif (i’tibārī), maka keragaman eksistensi akibat keragaman quiditas bersifat derivatif pula (Rifā’ī 1421 HS, 185–186). Dengan kata lain, atas dasar fundamentalitas eksistensi, keragaman yang terjadi pada quiditas pada realitas eksternal adalah karena datangnya eksistensi (bi ‘aradh al-wujūd), sedangkan eksistensi disifatkan dengan keragaman secara aksidental karena datangnya keberagaman quiditas secara esensial (Yazdī 1405 HS, 51).

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa baik Ibn Sīnā, Suhrawardī maupun Mullā Shadrā bertemu pada gagasan bahwa gradasi terjadi pada lokus realitas eksternal. Ketiganya menolak gradasi pada lokus mental yaitu gradasi antar makna dan quiditas per se serta gradasi pada lokus aplikasi.

Dalam pandangan Ibn Sīnā perbedaan yang terjadi antar quiditas atau individu-individu dari suatu quiditas yang menyebabkan terjadinya gradasi diferensial tidak mungkin keluar dari tiga modus saja. Pandangan ini tentu dengan sendirinya menolak modus keempat gradasi Suhrawardī, gradasi pada quiditas atau gradasi pada esensi

Ibn Sīnā berbeda dengan Suhrawardī terkait dalam persoalan gradasi khusus. Suhrawardī menegaskan adanya gradasi khusus yang ditolak Ibn Sīnā. Ibn Sīnā hanya menerima gradasi pada hal-hal aksidental yang dapat dikembalikan pada perbedaan secara diferensial (pada hal-hal aksidental), dan menolak gradasi  pada hal-hal esensial (gradasi pada quiditas).

Mullā Shadrā berbeda dengan Ibn Sīnā dan sependapat dengan Suhrawardī dalam menerima gradasi khusus, meskipun, berbeda dengan Suhrawardī, ia menolak gradasi pada quiditas. Mullā Shadrā sepakat dengan Ibn Sīnā dalam menerima gradasi pada realitas eksternal setelah terjadinya perbandingan antara realitas-realitas eksternal di bawah satu quiditas yang sama.

Keluar dari gradasi dalam logika (tasykīk manthiqī) secara total, Mullā Shadrā  mengambil langkah yang tidak mungkin dilakukan Ibn Sīnā karena perbedaan fondasional: membuktikan gradasi pada hakikat eksistensi (gradasi dalam filsafat (tasykīk falsafī)). Kemudian ia memperluas persoalan gradasi dengan menggagas gradasi yang lebih khusus (akhāshsh) dari gradasi diferensial pada kategori kualitas dan kuantitas (aksiden), yaitu gradasi kausal (al-tasykīk al-‘illī) dan gradasi non direfensial yaitu gradasi aksidental (al-tasykīk al-‘aradhi).

Pada langkah terakhir Mullā Shadrā menolak baik gradasi secara esensial (pada quiditas) maupun hal-hal aksidental, dan memandang bahwa gradasi secara esensial terjadi pada hakikat eksistensi itu sendiri. Adapun gradasi pada makna universal hanyalah mengikuti (bi al-ilḥaq).

Kita dapat menggolongkan gradasi diferensial Ibn Sīnā maupun Suhrawardī sebagai gradasi dalam logika, dengan perbedaan bahwa gradasi diferensial Ibn Sīnā tergolong gradasi umum sedangkan gradasi diferensial Suhrawardi tergolong gradasi khusus. Adapun gradasi Mullā Shadrā tergolong gradasi filosofis atau al-tasykīk al-falsafī.

DAFTAR RUJUKAN

‘Ubūdiyyat, Abd al-Rasūl. 2010. Al-Nizhām al-Falsafī li Madrasat al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah. Qum: Mu’assasat-i Āmūzisyī wa Pazūhisyī Imām Khumaynī.

Dāmād, Muḥammd Baqir Mīr. 1409 HS. Al-Qabasāt. Tehran: Jāmi’at Tehrān Publisher.

Fayyādhī, Ghulam Ridhā. 1428 HS. Catatan Kaki atas Nihāyat al-Ḥikmah. Jilid. I. Qum: Markaz-i Nasyr-i Muassasat al-Imām al-Khumaynī li al-Ta’līm wa al-Baḥts.

Ḥaydarī, Kamāl. 1428 HS. Durūs fī al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah. Jilid.I. Qum: Dār Furāqad.

Ḥillī, al-Ḥasan Ibn Yūsuf. 1413 HS. Al-Jawhar al-Nadhīd. Qum: Bidār Publisher.

Ibn Sīnā, Ḥusain Ibn ‘Abd Allāh. 1404 HSa. Al-Shifā (al-Manthiq), al-Ma’qūlāt. Qum: Maktabah Ᾱyat Allāh al-Mar’asyī.

—. 1404 HSb. Al-Syifā (al-Ilāhiyyāt). Qum: Library of Ayatullāh al-Mar’asyī.

—. 1404 HSc. Ta’līqāt. Qum: Maktabat al-I’lām al-Islāmī.

—. 1413 HS. Al-Mubāatsāt. Qum: Bidār Publisher.

Rāzī, Quthb al-Dīn. 1408 HS. Syarḥ Mathāli‘ al-Anwār fī al-Manthiq. Qum: Kutub al-Najāfī Publiser.

—. 1417 HS. Al-Muḥakimāt bayn Syarḥay al-Isyārāt, Cetakan pada margin Buku al-Thūsī, Syarḥ al-Isyārāt Wa al-Tanbīhāt. Qum: Nasyr al-Balāghah H.

—. 1426 HS. Taḥrīr al-Qawā‘id al-Manthiqiyyah fī Syarḥ al-Risālah al-Syamsiyyah. Qum: Bidār Publisher.

Rifā’ī, Abd al-Jabbar. 1421 HS. Durūs fī al-Falsafah al-Islāmiyyah: Syar Tawdhīī li Kitāb Bidāyat al-Ḥikmah. Tehran: Muassasah al-Hudā li al-Nasyr wa al-Tawzī’.

Sabzawarī, Mullā Hādi. 1411 HS. Syarḥ al-Manzhūmah. Diedit oleh Āyatullāh Hasan Zādeh Āmulī. Tehran: Tehran.

Suhrawardī, Syihab al-Dīn Yaḥyā. 1417 HS. Majmū‘ah Mushannafāt Syaikh al-Isyrāq. Tehran: Mu’assasat al-Abḥāts wa al-Dirāsāt al-Tsaqāfiyyah.

Syahrazurī, Syams al-Dīn. 1425 HS. Al-Syajarah al-Ilāhiyyah fī Ulūm al-Ḥaqā‘iq al-Rabbāniyyah. Tehran: Mu’assasat al-Ḥikmah wa al-Falsafah al-Īrāniyah.

Syirazī, Quthb al-Dīn. 1425 HS. Syarḥ Ḥikmat al-Isyrāq. Tehran: Muntadā al-Ᾱtsār wa al-Mufākhir al-Tsaqāfiyyah.

Syirazī, Shadr al-Dīn Muḥammad Ibrahim. t.t. Al-Ḥāsyiyyah ‘alā Ilāhiyyāt al-Syifā. Qum: Bidār Publisher.

—. 1395 HS. Al-Mabda’ wa al-Ma’ād. Tehran: al-Jam’iyyah al-Islāmiyyah li al-Ḥikmah wa al-Falsafah fī Īrān.

—. 1403 HS. Al-Lama’āt al-Masyriqiyyah fī al-Funūn al-Manthiqiyyah. Tehran: Muntasyirāt Ᾱqhāh.

—. 1417 HS. Al-Syawāhid al-Rubūbiyyah fī al-Manāhij al-Sulūkiyyah. Beirut: Mu’assasat al-Tārīkh al-‘Arabī.

—. 1419 HS. Majmū‘ah Rasā‘ili Falsafī Shadr al-Muta’allihīn. Tehran: Ḥikmat Publisher.

—. 1422 HS. Syarḥ al-Hidāyah al-Atsīriyyah. Beirut:Muassasah al-Tārīkh al-‘Arabi. Beirut: Muassasah al-Tārīkh al-‘ Arabī.

—. 1981. Al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah fī al-Asfār al-‘Aqliyyah Al-Arba’ah. Beirut: Dār Ihyā’i al-Turāts.

Thabāthabā’ī, Muḥammad Ḥusayn. 1414 HS. Bidāyat al-Ḥikmah. Qum: Muassasah al-Nashr al-Islāmī al-Tābi’ah li Jamā’at al-Mudarrisīn bi Qum.

—. 1981. Al-Hikmah al-Muta‘āliyyah fī al-Asfār al-‘Aqliyyah al-Arba’ah. Beirut: Dār Ihyā’i al-Turāth.

Yazdī, Mawla ‘Abd Allah Ibn Syihāb al-Dīn al-Ḥusayn. 1412 HS. Al-Ḥasyiyyah ‘alā Tadzīb al-Manthiq. Qumī: Mu’assasat al-Nasyr al-Islāmī.

Yazdī, Muḥammad Taqī Mishbāḥ. 1405 HS. Catatan Kaki Terhadap Nihāyat al-Ḥikmah. Qum: Muḥammad Ḥusayn Thabāthabā’ī Intisyārāt al-Zahrā.

Share your thoughts