Tragedi Ibn Rusyd, Antara Fukaha dan Penguasa

Oleh: Ali Zaenal Abidin, MA
Editor Sadra Press, Penulis aktif Filsafat Islam

“Tamūtu rūhī bi mawti al-falsafah”
(Jiwaku tiada seiring dengan kematian filsafat)
Ibn Rusyd

Di akhir tahun ini, saya ingin mengajak pembaca sejenak mengarungi masa-masa menjelang akhir hayat Ibn Rusyd, masa-masa yang cukup membetot perhatian sejarawan dan menarik untuk dikaji. Pasalnya, di bulan ini, pada Desember 1198 M/595 H, filsuf dan ulama besar ini, yang memiliki pengetahuan ensiklopedis lantaran menguasai matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, kedokteran, dan ilmu-ilmu agama, telah wafat.

Dialah Ibn Rusyd, yang jasadnya mengiringi ‘kematian’ jiwanya, yang menurutnya, lebih dahulu tiada dengan ‘kematian’ filsafat. “Jiwaku tiada seiring dengan kematian filsafat”, begitu dia pernah berucap.

Ungkapan di atas dilontarkan Ibn Rusyd pada saat menjelang akhir kehidupannya. Saat ketika kondisi politik sarat dengan tindakan anarkis yang dapat mengancam kehidupannya dan saat ketika filsafat mendapat hujatan dan serangan tajam dari ulama-ulama fikih (fukaha). Kondisi yang demikian oleh Ibn Rusyd, dalam bukunya yang berjudul al-Mukhtashar fī ‘Ilm al-Nafs (atau: al-Dharūrī fī ‘Ilm al-Nafs), disebut sebagai masa yang melahirkan keterhimpitan.

 Filsafat yang merupakan kajian sehari-hari dan pada tahap tertentu telah menjadi laku Ibn Rusyd, dipandang sinis dan tak jarang dicela oleh fukaha. Kondisi yang demikian sampai-sampai membuat Ibn Rusyd mengeluh, sebagaimana terbersit dalam Talkhīsh Kitāb al-Muzāj li Jālīnūs. Dalam buku ini ia menyatakan,
“…menyebut istilah itu (filsafat) akan membuat geram ahli fikih, karena istilah filsafat pada masa kita sekarang selalu dicela oleh kalangan yang mengklaim dirinya menguasai ilmu syariat, mereka adalah para ulama yang dikenal banyak orang.”

 Menurut penelitian Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jurr dalam kitab Tārīkh al-Falsafah al-‘Arabiyyah V.II, tahun 1195 M dan setelahnya merupakan masa ketika keadaan yang awalnya sangat menghormati Ibn Rusyd, berubah drastis menjadi pencampakan terhadapnya. Pasalnya, para ulama fikih dan orang-orang kolot melancarkan tuduhan-tuduhan terhadap Ibn Rusyd sebagai seorang kafir dan ateis. Bahkan, mereka juga mencoba memprovokasi Sultan Abu Yusuf, yang bergelar al-Manshur, agar percaya pada tuduhan-tuduhan yang mereka lontarkan pada Ibn Rusyd.

 Sultan pun terprovokasi. Imbasnya, Ibn Rusyd dilaknat dan dihina, begitu pula orang-orang yang membaca ajaran-ajarannya. Karya-karyanya dibakar di depan umum dan ia sendiri diasingkan ke Lucena, Cordoba (Andalusia), selama dua tahun.

Padahal, jauh sebelum kondisi semacam ini, yang dalam literatur-literatur sejarah dikenal dengan mihnah (cobaan besar atau tragedi), Ibn Rusyd sudah berupaya menetralisir pemahaman yang salah terhadap filsafat. Semasa hidupnya, tujuan utama pemikirannya adalah untuk mengharmoniskan antara agama dan filsafat, dua tradisi yang kala itu dipertentangkan oleh banyak orang, bahkan khususnya filsafat yang sempat dilabeli ‘kafir’ dan dianggap sebagai ilmu yang tidak islami.

Upaya yang serupa sebelumnya telah digagas oleh Ibn Thufail, masih di tanah Andalusia, yang dengan elegan dalam karya novel alegoris-filosofisnya Hayy bin Yaqzan membersitkan pemahaman bahwa antara filsafat dan agama, atau antara akal dan wahyu, tidaklah bertentangan, justru keduanya dengan caranya sendiri dapat mengantarkan pada kebenaran.

Namun, upaya ini tampak tak berarti. Banyak orang tak mengerti, atau bahkan tak mau mengerti, ide-ide brilian yang digagasnya. Sinisme terhadap filsafat terlanjur begitu dominan, seiring dengan fanatisme terhadap keyakinan yang juga begitu domininan. Dalam konteks yang semacam inilah dapat dipahami mengapa menurutnya filsafat telah mati.
Tapi, begitulah Ibn Rusyd, ungkapan ini tampaknya lebih pada satire. Betapa tidak, catatan sejarah menunjukkan bahwa bahkan dengan segenap keterhimpitan yang menimpanya dan pandangan yang negatif terhadap filsafat, tetapi ia tetap produkif mengarang kitab, bahkan lagi-lagi seputar filsafat.

 Sebelum ajal menjemput, ia menulis karya politik yang mengomentari diktum-diktum inti politik Plato dalam karyanya The Republic. Buku ini berjudul al-Dharūrī fī al-Siyāsah: Mukhtashar Kitāb al-Siyāsah li Aflāthūn (kitab ini sudah diterbitkan oleh Sadra Press dengan judul “Republic Plato ala Ibn Rusyd: Komentar atas Diktum-diktum Inti Politik Plato”).

Ibn Rusyd bergerak lebih jauh dari pemikiran mengenai kota utama yang pernah digagas oleh Plato. Tak hanya itu, dalam karya ini mengkritik secara tajam penguasa saat itu. Sebagaimana disebutkan Oliver Leaman, “Karya politik Ibn Rusyd ini tidak sekedar pemaparan teoritis, tetapi reformasi politik bagi politik penguasa pada masanya sekaligus kritik terhadap kebusukan politik pada zamannya.” Namun, tak hanya mengkritik, Ibn Rusyd pada saat yang sama juga menawarkan kemungkinan berdirinya atau terealisasinya kota utama, yang keadilan dan kebahagiaan dapat terwujud di dalamnya.

Tentu melihat hal ini, pemerintahan yang berkuasa menjadi ‘kebakaran jenggot’, mereka geram atas sikap politik Ibn Rusyd. Muhammad Abid al-Jabiri memiliki tesis bahwa karya politik Ibn Rusyd inilah yang menjadi sebab utama terjadinya tragedi Ibn Rusyd.
Ironi Ibn Rusyd
Sejatinya, Ibn Rusyd merupakan seorang muslim yang saleh dan taat. Kenyataannya, ia adalah ulama dan ahli fikih yang memiliki otoritas dalam syariat. Ia sangat menggandrungi filsafat dan sangat memerhatikan ilmu pengetahuan. Ia mengajarkan filsafat dan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya dengan sangat antusias dan penuh kecintaan.

Ibn al-Abbar, dalam karyanya al-Takmīlah, menyifati Ibn Rusyd dengan,
“Tidak ada orang seperti diri Ibn Rusyd di Andalusia dari sisi kesempurnaan, keilmuan, dan keutamaan. Dengan kemuliaannya, ia adalah orang yang paling rendah hati. Ia sibuk dengan keilmuan sejak masa kanak-kanak hingga masa tuanya.”
Lebih jauh, kontribusinya bagi keilmuan dan peradaban, baik di Timur maupun di Barat, sangatlah besar. Dante dalam karyanya, Divine Comedy menyebut Ibn Rusyd bersama dengan Euclid, Ptolemeus, Ibn Sina, dan Galen, dengan gelar ‘Sang Komentator Besar’. “Averrois che’l gran comento feo” (Divine Comedy, Inferno; iv, 144).
Pada abad pertengahan di Eropa, gelar ‘Sang Komentator Besar’ masyhur baginya. Bahkan, lantaran terpengaruh oleh pandangan-pandangannya filosofisnya, di Eropa muncul suatu aliran filsafat yang disandarkan pada namanya, yaitu averroism. Dan lantaran sebegitu besar pengaruh Ibn Rusyd terhadap dunia Barat, banyak sarjana Barat percaya bahwa perkembangan Filsafat Islam terhenti dengan meninggalnya Ibn Rusyd.

Popularitas semacam ini, di masa-masa pasca wafatnya Ibn Rusyd, kurang didapatkan di dunia Islam. Kendatipun semasa hidupnya, keterlibatan Ibn Rusyd terhadap kehidupan sosial-praktis tak dapat diragukan. Ia pernah menjadi hakim agama tertinggi pada masa pemerintahan al-Manshur, dokter, ulama, dan bahkan penasehat politik pemerintahan.
Ironis memang, Ibn Rusyd yang notabene Muslim dan seorang Arab, lebih populer dan lebih diapresiasi di Barat ketimbang di dunia Timur-Islam. Setidaknya terdapat beberapa alasan, menurut Ahmed Fouad El-Ehwany, Profesor Filsafat Islam Universitas Kairo, mengapa hal ini terjadi (M.M.Sharif 1963).
Pertama, banyak tulisannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan tersebar serta dilestarikan, sementara teks-teks asli berbahasa Arabnya telah dibakar atau diharamkan karena merebaknya semangat antagonis dalam menentang filsafat dan para filsufnya.

Kedua, Eropa selama Renaisans telah leluasa menerima metode ilmiah  sebagaimana dipahami oleh Ibnu Rusyd, sementara sains dan filsafat mulai di Timur dilarang di dunia Timur karena gerakan mistik (tasawuf) dan agama (teologi).
Untuk itu, barangkali, umat Muslim perlu mencontoh Ibn Arabi, sufi besar sepanjang sejarah Islam, yang pernah berjumpa dengan Ibn Rusyd dan menilainya sebagai ahli pikir dan rasional. Kendati cenderung kritis terhadap pandangan-pandangan filsuf, Ibn Arabi cukup terkesan dan sangat menghormati Ibn Rusyd, bahkan ia memanggilnya dengan sebutan “imam”. Kisah pertemuan ini termaktub dalam al-Futuhāt al-Makkiyyah.

Bahkan, jika dilihat dari catatan sejarah, sejatinya beberapa bulan sebelum Ibn Rusyd meninggal, al-Manshur mengampuninya dan memanggilnya dari pengasingan, bahkan ia kembali ditugas¬kan menjadi hakim agama tertinggi pasca delegasi komunitas intelektual asal Sevilla mendatangi al-Manshur.
Oleh sebab itu, atas segenap kontribusi Ibn Rusyd, sudah sepantasnyalah jika kita mengenang dan memperingatinya. Lahul fatihah!

Share your thoughts