Wacana Literasi Seputar Turunnya Al-Quran

Otong Sulaeman, MA, Peneliti Departemen Riset STFI Sadra, Dosen Logika STFI Sadra, aktif menulis sosial dan politik Timur Tengah. Konsentrasi penelitian manuskrip

Abstract
The revelation of the Qur’an has created excitement among the Muslims to protect and maintain this Holy Book. Such great care and meticulousness was very necessary in order to guard this book against any distortion throughout the time. Interestingly, the revelation of Qur’an showed a new model of text transmission. Firstly, the text was only in the form of memory of Prophet Muhammad and transmitted to his follower and the people through the medium of human memory. Long after that, the Muslims began to codify it along with the  cultural revolution literacy. This retarded society then suddenly showed a huge passion for mastering literalism. The early generations of Muslims also perform large-scale and fast revolution in improving the script (khath) they newly knew.
Keywords : Al -Qur’an, philology, discourse analysis, literacy, codification, authenticity, Arabic script

Abstrak
Turunnya al-Qur’an telah menciptakan kegairahan massa di kalangan kaum Muslimin untuk melakukan pemeliharaan atas kitab ini. Situasi kegairahan massa ini sangat diperlukan agar prinsip al-Qur’an sebagai kitab suci pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang masa bisa tetap terjaga. Menariknya, proses turunnya al-Qur’an berikut transmisinya menunjukkan model pemeliharaan teks yang baru. Teks yang turun dalam bentuk memori Nabi Muhammad awalnya disebarkan juga dalam memori secara massal kepada manusia-manusia yang punya kegairahan tinggi untuk menghafalnya. Barulah setelah itu dilakukan kodifikasi atas memori massa. Bersamaan dengan masa kodifikasi itu, terjadilah revolusi budaya literasi. Pada masyarakat yang tadinya sangat terbelakang dan tidak mengenal baca-tulis, tiba-tiba saja muncul kegairahan yang sangat besar untuk menguasai literalisme. Kaum Muslimin generasi awal juga melakukan revolusi besar-besaran dan dalam waktu singkat terhadap aksara (khath) yang baru mereka kenal itu, dalam rangka menutupi kekurangan-kekurangannya.

Kata-kata Kunci: Al-Qur’an, filologi, analisis-wacana, literasi, kodifikasi, otentisitas, aksara Arab

Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kitab suci suci umat Islam yang telah menjadi bahan kajian para ilmuwan sepanjang sejarah keberadaannya. Ada banyak sekali dimensi dari kitab suci ini yang menarik untuk dikaji. Al-Qur’an dikaji mulai dari isinya –yang kemudian melahirkan ribuan kitab tafsir-, ‘ulum al-Qur’an (studi Qur’an), hingga kepada masalah perkembangan aksara yang digunakannya. Masalah terakhir ini cukup menarik untuk dicermati mengingat al-Qur’an menyandang status sebagai mukjizat terbesar ajaran samawi. Salah satu nilai mukjizatnya ada pada jaminan bahwa seluruh isi kitab ini dipastikan akan tetap otentik sepanjang masa. Sementara itu, di sisi lain, sejarah justru mencatat bahwa al-Qur’an turun di tengah-tengah sebuah entitas yang hampir bisa dikatakan tidak memiliki budaya literasi. Bagaimana mungkin sebuah otentisitas sebuah kitab bisa dijaga oleh sekelompok orang yang illiterate?

Faktanya, al-Qur’an memang tetap terjaga sampai sekarang. Di sisi inilah kita bisa melihat betapa menariknya melihat kultur literasi yang muncul di masa-masa kodifikasi dan pemeliharaan al-Qur’an.

Otentisitas al-Qur’an Versus Teori Filologi
Dalam kredo umat Islam, al-Qur’an adalah mukjizat paling besar yang dimiliki oleh Nabi Muhammad, sebagai nabi pembawa ajaran ini. Salah satu nilai mukjizat dari kitab ini adalah otentisitas teks dan keterjagaannya dari perubahan, meskipun mengalami proses penyalinan selama berabad-abad.

Akan tetapi, keyakinan tersebut menyalahi salah satu prinsip utama filologi, yaitu bahwa  teks yang mengalami proses penyalinan yang berulang-ulang pastilah akan mengalami perubahan. Kalaulah tidak mengalami perubahan secara nonmekanis, pastilah akan terjadi perubahan secara mekanis. Semakin panjang usia teks, semakin banyak perubahan yang terjadi.

Perubahan yang dimaksud tentunya terkait dengan teks, bukan naskah . Hal ini bisa dilihat dari model-model perubahan yang dikemukakan oleh para ilmuwan filologi ketika membahas masalah-masalah yang terkait dengan perubahan dalam penyalinan atau yang terkait dengan kasus-kasus salah tulis/salin. Lakuna, substitusi, adisi, omisi, interpolasi, substitusi, ditografi, dan metatesis adalah istilah-istilah yang terkait dengan perubahan teks, bukan perubahan naskah.

Prinsip filologis ini menjadi “masalah teologis” bagi kaum Muslimin yang meyakini bahwa kitab suci mereka, yaitu al-Qur’an, bersifat abadi dan tidak mengalami perubahan sedikitpun. Mempercayai prinsip filologis ini berarti menggugurkan banyak sekali pilar-pilar agama. Jika al-Qur’an yang ada pada umat Islam ini memiliki kemungkinan berbeda dengan al-Qur’an yang dulu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, berarti umat Islam tidak bisa menjadikan seluruh ayat al Quran sebagai kitab acuan. Berikut ini adalah sejumlah konsekuensi teologis ketika kitab suci al-Qur’an diasumsikan sebagai kitab yang pasti tidak lagi otentik sebagaimana yang dulu pertama kali diturunkan.

1. Ribuan kitab tafsir akan kehilangan nilainya, karena yang selama ini ditafsirkan ternyata teks yang bukan lagi kata-kata Tuhan.
2. Hukum-hukum fiqih yang disusun oleh ulama generasi pasca era Rasulullah SAW menjadi tidak menjadi tidak bernilai, karena yang menjadi rujukan utama pengambilan hukum-hukum fiqih adalah al-Qur’an sebagai kalam Ilahi. Padahal, al-Qur’an yang dipakai oleh generasi kemudian itu, ternyata tidak otentik lagi.
3. Kitab al-Qur’an kehilangan nilai mukjizatnya. Salah satu nilai mukjizat kitab ini, sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh kitab ini, adalah keabadiannya atau keterjagaannya dari perubahan teks.
4. Nabi Muhammad bukan lagi nabi terakhir, karena kitab suci yang dibawanya sudah mengalami perubahan atau tidak lagi otentik. Dalam konteks ilmu kalam, Muhammad dinyatakan sebagai nabi terakhir karena ajaran yang dibawanya adalah ajaran yang yang paripurna, dan dijamin tidak akan mengalami perubahan sampai akhir zaman.

Diperlukan upaya-upaya ilmiah dalam rangka menjawab tantangan di atas. Salah satu cara ilmiah tersebut adalah melakukan penelitian empiris terhadap teks al-Qur’an yang terdapat pada naskah-naskah kuna. Bagaimanapun juga, dalam konteks epistemologis, data-data empiris lebih diutamakan dibandingkan dengan penalaran rasional. Artinya, sekuat apapun penalaran yang dikembangkan para filolog untuk menunjukkan ketidakotentikan al-Qur’an, semuanya akan menjadi gugur manakala dihadapkan kepada data empiris yang menunjukkan bahwa teks al-Qur’an pada naskah-naskah kuna ternyata persis sama dengan teks yang digunakan kaum Muslimin sepanjang masa.

Hanya saja, penelitian empiris ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Meneliti sebuah naskah kuna artinya artinya meneliti segala aspek yang secara kultural sudah sangat berbeda dengan masa zaman sekarang. Salah satu masalah yang kita dapati dalam meneliti naskah al-Qur’an kuna adalah keberaksaraan.
Akan tetapi, menariknya, analisis wacana terhadap akasara pada naskah al-Qur’an kuna menimbulkan hal-hal yang menakjubkan. Di satu sisi, kita akan memahami betapa sangat mustahil sebenarnya menuliskan teks al-Qur’an pada masa itu. Di sisi lain, justru di sini akan terlihat bagaimana mukjizat Ilahi “melaksanakan tugasnya” dalam menjaga al-Qur’an.

Analisis Wacana
Kata ‘wacana’ dalam bahasa Indonesia secara umum dipakai sebagai padanan kata ‘discourse’ dalam bahasa Inggris. Sebagian orang menerjemahkan kata discourse tadi dengan diskursus. Jadi, dalam bahasa Indonesia, diskursus dan wacana adalah dua hal yang sama.

Dalam pengertian di atas, wacana secara umum dapat berarti  (1) komunikasi verbal atau percakapan;  (2)  keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan/ satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan utuh; (3)  kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis dan kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat . Namun dalam konteks Analisis Wacana (discourse analysis), para ahli umumnya menyatakan bahwa wacana adalah konsep yang mengaitkan pemakaian bahasa dengan konteks sosialnya. Oleh karena itu, analisis wacana dapat diartikan sebagai sebuah cara untuk memahami interaksi sosial dengan menganalisis medium yang dipakainya, yaitu bahasa. Di sini, wacana diartikan sebagai “bahasa ujar”, bukan bahasa teks.

Karena dalam analisis wacana bahasa dipakai sekaligus sebagai medium yang dianalisis dan medium analisis, maka bahasa memiliki kedudukan yang kompleks dalam analisis wacana. Pertanyaannya adalah: apakah bahasa merupakan realitas objektif yang berdiri sendiri yang  terlepas dari subjek (yaitu pemakai bahasa) dan objek (realitas di luar bahasa atau yang dibicarakan/direpresentasikan oleh bahasa)?

Ada tiga pandangan berbeda mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pertama adalah aliran positivisme-empiris. Aliran ini menyatakan bahwa bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa adanya hambatan. Hal ini berlaku selama ia dinyatakan dengan logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah orang tidak perlu memahami makna subjektif dari sebuah pernyataan, sebab yang paling penting adalah apakah pernyataan itu sudah benar menurut kaidah semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan bahasa sebagaimana dalam pandangan formal terhadap bahasa. Analisis wacana di sini dikembangkan berdasarkan pandangan atau pendekatan formal.

Aliran kedua adalah konstruktivisme. Dalam aliran ini, bahasa tidak dipandang sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan oleh subjek sebagai penyampai pernyataan. Justru, konstruksivisme memandang subjek sebagai sentral utama dalam kegiatan wacana. Dalam hal ini, bahasa dipahami sebagai pernyataan yang dihidupkan dengan tujuan tertentu. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan realitas sosial. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan untuk mengungkapkan makna dan maksud tertentu. Analisis wacana adalah suatu upaya untuk membongkar maksud penulis yang tersembunyi dalam wacana itu. Analisis wacana seperti ini dikembangkan berdasarkan pandangan fungsional atau pandangan interpretivisme.

Sementara itu, aliran ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Aliran ini mengoreksi pandangan konstruksivisme yang kurang sensitif pada produksi dan reproduksi makna yang terjadi, baik secara historis maupun institusional. Menurut aliran ini, paham konstruksivisme belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan atau semacam ideologi yang inheren dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu. Pemikiran inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Pemilihan bahasa dalam paradigma kritis dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subjek dan strategi tertentu. Oleh karena itulah, analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar praktik kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi dalam wacana.

Dengan demikian, maka konsep sentral dalam analisis wacana kritis adalah ideologi. Pada hakikatnya, setiap bentuk teks, percakapan, dan sebagainya adalah salah satu praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi adalah medium bagi kelompok dominan untuk mempersuasi dan mengomunikasikan kepada khalayak kekuasaan yang mereka miliki, sehingga absah dan benar. Semua karakteristik penting dari analisis wacana kritis, tentunya membutuhkan pola pendekatan analisis. Hal ini diperlukan untuk memberi penjelasan bagaimana wacana dikembangkan dan memengaruhi khalayak

Dalam kaitannya dengan keberaksaraan al-Qur’an, analisis wacana berbicara mengenai konteks sosio-kultural yang membingkai muncul dan berkembangnya aksara Arab sebagai aksara al-Qur’an.

Tugas Kaum Muslimin terkait Pemeliharaan Teks al-Qur’an
Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab kuna yang tidak mengalami perubahan teks sedikitpun meskipun telah mengalami proses penyalinan ribuan kali selama berabad-abad. Masalah ini bukan hanya sebuah kepercayaan, melainkan bisa dibuktikan secara empiris. Para sejarawan mencatat, salah satu faktor yang menyebabkan keterjagaan teks al-Qur’an hingga bisa awet selama belasan abad adalah adanya komitmen kaum Muslimin untuk menjaga dengan cara menghafalnya. Jadi, terkait dengan kitab suci ini, para penganut agama Islam bukan hanya diperintahkan untuk menjadikannya sebagai kitab pedoman hidup, melainkan juga diperintahkan untuk menjaga dengan cara menghafalnya (tahfizh).

Tahfizh sendiri adalah fenomena yang sangat menakjubkan. Jauh sebelum ditemukan alat tulis, kaum muslimin sudah menemukan satu cara memelihara kitab suci mereka yaitu dengan cara menghafal. Dengan metode tahfizh ini pula, kaum muslimin berhasil melestarikan dan mewariskan al-Qur’an dari generasi ke generasi dan dari masa ke masa.

Dalam praktiknya, tahfizh jelas bukan hal yang mudah. Dalam ukuran normal, jumlah halaman keseluruhan  al-Qur’an adalah sekitar 600 halaman. Masing-masing halaman terdiri dari sekitar 15 baris kalimat. Tentu saja diperlukan keseriusan, kesabaran, kedisiplinan, dan kecerdasan agar bisa melaksanakan perintah agama ini. Karena beratnya pekerjaan ini, para penghafal al-Qur’an diapresiasi secara luar biasa oleh Islam. Ada banyak hadis Rasulullah yang terkait dengan kemuliaan dan pahala bagi penghafal al-Qur’an. Sejarah mencatat, kaum Muslimin sepanjang masa terus menghafal al-Qur’an. Saat ini, jumlah penghafal al-Qur’an di seluruh dunia mencapai angka puluhan ribu. Dari sisi ini, al-Qur’an adalah buku tebal yang paling banyak dihafal di seluruh dunia.

Dari pemaparan di atas, terlihat dengan sangat jelas bahwa Al-Qur’an mendorong terciptanya kegairahan massa yang luar biasa besar untuk melakukan pemeliharaan atasnya. Situasi kegairahan massa ini sangat diperlukan agar prinsip Al-Qur’an sebagai kitab suci pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang masa bisa tetap terjaga. Tanpa adanya kegairahan ini, al-Qur’an akan bernasib sama seperti kitab-kitab suci sebelumnya, yang terpecah ke dalam beberapa versi.

Cara Turunnya al-Qur’an
Ada sejumlah pendapat ulama mengenai cara turunnya al-Qur’an. Umumnya, mereka berkeyakinan bahwa proses turunnya al-Qur’an melalui dua tahapan. Pertama, al-Qur’an diturunkan dari tempatnya yang asli di Lauh al-Mahfuzh ke sebuah tempat lain di ‘langit dunia’ secara sekaligus. Kedua, al-Qur’an diturunkan dari langit dunia itu kepada Nabi Muhammad di bumi secara bertahap atau berangsur-angsur. Pada tahap yang pertama, al-Qur’an turun di suatu malam yang disebut Lailat al-Qadar. Sedangkan pada tahapan kedua, al-Qur’an turun selama 23 tahun ketika Nabi Muhammad menyampaikan risalah agama Islam.

Menurut para ulama, diturunkannya al-Qur’an pada malam Qadr itu disebut dengan inzal (sebagian orang menyebutnya nuzul). Setelah itu, untuk kedua kalinya, al-Qur’an diturunkan secara bertahap sepanjang masa kenabian Muhammad. Proses turunnya al-Qur’an secara bertahap ini dikenal dengan istilah tanzil. Ini adalah pendapat yang paling populer di kalangan ahli hadis. Sumbernya adalah riwayat-riwayat yang mereka sebutkan. Sebagian dari mereka berpendapat dengan apa yang bisa didapat dari pemahaman lahiriah riwayat dan sebagian yang lain menerima riwayat-riwayat tersebut dengan penakwilan. Jalaluddin Suyuthi menyebutkan bahwa pendapat ini adalah paling sahih, terkenal dan banyak sekali riwayat yang mendukungnya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa al-Qur’an diturunkan pada malam Qadr secara utuh ke langit dunia dan diletakkan di Baitul Izzah, kemudian diturunkan secara bertahap kepada Nabi dalam rentang waktu dua puluh tahun.  Menurut riwayat-riwayat Ahlusunnah, al-Qur’an diturunkan dari Arsy ke langit pertama (langit yang paling bawah), setelah itu diletakkan di suatu tempat bernama Baitul Izzah.

Menurut riwayat-riwayat Syi’ah, al-Qur’an turun dari Arsy ke langit keempat dan diletakkan di Baitul Makmur. Syeikh Shaduq menganggap hal ini sebagai bagian dari ideologi Syi’ah, bahwa al-Qur’an diturunkan secara utuh di bulan Ramadhan pada malam Qadr di Baitul Makmur, langit keempat. Setelah dari Baitul Makmur, al-Qur’an diturunkan dalam rentang waktu selama dua puluh tahun.

Berkenaan dengan pendapat bahwa al-Qur’an diturunkan sekaligus dan berangsur-angsur, para ulama besar memiliki penjelasan-penjelasan yang secara umum mengungkapkan makna batin dari hadis-hadis tersebut di atas. Menurut pendapat para ulama ini, al-Qur’an tidak turun dua kali seperti yang diisyaratkan oleh makna lahiriah teks hadis. Ada makna lain yang dimaksud oleh riwayat-riwayat itu.  Berikut ini pendapat para ulama besar tersebut.

1. Maksud dari al-Qur’an turun sekaligus kepada Rasulullah di malam Qadr adalah pengetahuan tentang kandungan al-Qur’an secara universal diberikan kepada Rasulullah. Penafsiran ini diungkapkan oleh Syekh Shaduq. Menurutnya, sesungguhnya Allah telah menganugerahkan ilmu (al-Qur’an) secara universal. Pada malam itu al-Qur’an diturunkan kepada Nabi tidak dengan lafazh-lafazh dan kalimat atau frase, namun hanya “ilmu tentang (kandungan) al-Qur’an” yang diberikan kepada Rasulullah secara universal. Oleh karena Ia memiliki pengetahuan yang sempurna tentang kandungan al-Qur’an sebelum diturunkan secara berangsur-angsur.

2. Faidh Kasyani berpendapat bahwa yang dimaksud Baitul Makmur adalah “hati Rasulullah”, karena hati beliau adalah Baitul Makmur milik Allah yang terletak di langit keempat. Rasulullah telah melampaui tingkatan benda padat, tumbuhan, dan hewan. Beliau telah mencapai tingkatan keempat yaitu alam manusia. Setelah dua puluh tahun, setiap kali Jibril menurunkan al-Qur’an, maka al-Qur’an itu keluar dari hati Rasulullah melalui lisan beliau.

3. Abu Abdillah Zanjani menjelaskan al-Qur’an memiliki “ruh” yang merupakan tujuan-tujuan tinggi kitab ini serta memiliki sisi universal. Pada malam itu, keuniversalan tersebut menjelma dalam hati Rasulullah. Inilah yang dimaksud dengan ayat: “Telah turun al-Ruh al-Amin dengannya (al-Qur’an) ke hatimu”  (Al-Syu’ara: 193). Kemudian al-Qur’an terujar dari lisan beliau sepanjang tahun. Dan al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian (al-Isra’: 106).

4. Allamah Thabathaba’i menakwilkan yang serupa, namun ia memberi penjelasan yang rinci. Menurut Thabathaba’i, pada dasarnya al-Qur’an memiliki wujud dan hakikat yang lain, terselubung oleh tirai wujud lahirnya dan tak terjangkau oleh pandangan dan pengetahuan biasa. Al-Quran dalam wujud batinnya sama sekali tidak punya pembagian dan rincian. Ia tidak parsial, tak memiliki rincian, tidak memiliki ayat dan surah. Ia adalah satu kesatuan hakiki yang satu sama lain saling berkaitan dan tersusun rapi, tersimpan di tempatnya yang sangat tinggi dan tak terjamah oleh siapa pun. Ada beberapa ayat yang menguatkan keterangan mengenai hal ini.

1. Inilah suatu kitab yang ayat-ayatnya tersusun dengan rapi serta di jelaskan secara rinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu (QS. Hud: 1).
2.  Dan sesungguhnya al-Qur’an itu dalam induk al-Kitab (Lauh al-Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi dan amat banyak mengandung hikmah (QS. al-Zukhruf: 4).
3. Sesungguhnya ia adalah al-Qur’an yang mulia yang berada dalam kitab yang terjaga yang tak bisa disentuh kecuali hanya orang-orang yang disucikan (QS. al-Waqi’ah:77-79).
4. Dan sungguh Kami telah membawakan suatu kitab kepada mereka yang telah Kami jelaskan rincian (semua rahasia dan rumus mereka) berdasarkan pengetahuan… (QS. al-A’raf: 52).

Dengan demikian, menurut Allamah Thabathabai, al-Qur’an memiliki dua wujud: pertama adalah wujud lahiriah yang terjelma dalam bentuk lafazh-lafazh dan kalimat-kalimat. Kedua adalah wujud batiniah yang tetap berada dalam posisinya. Al-Qur’an dalam wujud batiniah dan aslinya, menjelma ke hati Rasulullah secara utuh pada malam Qadr. Setelah itu al-Qur’an turun secara berangsur-angsur selama masa kenabian secara rinci dan lahiriah dalam berbagai kesempatan dan peristiwa.

Dari pemaparan terkait proses turunnya al-Qur’an di atas, diketahui bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad tidak dalam bentuk naskah yang tercetak, melainkan dalam bentuk memori. Pada prinsipnya al-Qur’an bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing), tetapi merupakan ‘bacaan’ (qirā’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan.

Dari dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ al-Qur’an adalah “membaca dari ingatan (qarā’ah ‘al zahri qalbin; to recite from memory).” Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat al-Qur’an dicatat—yakni, dituangkan menjadi tulisan di atas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain sebagainya—berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari. Adapun naskah al-Qur’an yang muncul kemudian dan disalin dari generasi ke generasi adalah hasil kodifikasi dari memori tersebut di atas.

Proses turunnya al-Qur’an berikut transmisinya sebagaimana yang dipaparkan di atas sangatlah menarik. Ini adalah sebuah model pemeliharaan teks yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teks yang turun dalam bentuk memori awalnya disebarkan juga dalam memori secara massal kepada manusia-manusia yang punya kegairahan tinggi untuk menghafalnya. Barulah setelah itu dilakukan kodifikasi atas memori massa. Cara baru ini ternyata sangat efektif dalam menjaga otentisitas teks agama.
 
Kodifikasi al-Qur’an
Pada prinsipnya, kodifikasi al-Qur’an dilakukan sebagai upaya untuk menjaga hilangnya al-Qur’an dari memori umat. Sebelumnya sudah dipaparkan bahwa upaya penjagaan al-Qur’an awalnya lebih banyak mengandalkan hafalan para sahabat. Akan tetapi seiring dengan banyaknya para penghafal al-Qur’an yang meninggal dunia (sebagian besar gugur saat perang), al-Qur’an dikhawatirkan akan hilang dari permukaan. Untuk itulah, al-Qur’an dikumpulkan dan dikodifikasikan.

Pengumpulan al-Qur’an sudah dilakukan sejak zaman Nabi Muhammad. Pada zaman ini, tulisan-tulisan ayat suci al-Qur’an yang masih bertebaran di beberapa tempat seperti dinding, pelepah kurma, tulang, bebatuan dan kain-kain, dikumpulkan menjadi satu atas bimbingan Rasulullah.

Setelah Rasulullah wafat, al-Qur’an kemudian dikumpulkan ulang oleh Abu Bakar. Pengumpulan al-Qur’an pada masa ini dilakukan dengan cara menyalin ayat-ayat yang semua masih tertulis di atas pelepah kurma, bebatuan, tulang belulang, kain dan tembok menjadi satu tulisan dalam satu suhuf. Suhuf ini kemudian disimpan oleh Abu Bakar, setelah itu diwariskan kepada Umar, dan kepada Hafshah binti Umar.

Proses pengumpulan al-Qur’an kemudian diteruskan oleh Khalifah Utsman bin Affan. Pada masa Khalifah Utsman ini, proses kodifikasi juga berbarengan dengan upaya penyatuan. Hal ini disebabkan adanya sejumlah mushaf sahabat yang ternyata berbeda satu sama lain. Dengan menunjuk tim panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit, al-Qur’an kembali dikumpulkan. Pengumpulan pada masa ini dilakukan dengan cara menyalin kembali suhuf yang sudah ditulis pada masa Abu Bakar, kemudian menyatukan bacaannya dalam enam mushaf. Lima mushaf kemudian dikirim ke Mekah, Kufah, Syam, Bashrah, dan Yaman. Sedangkan satu mushaf disimpan di Madinah.

 Sejarah Sunni mencatat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang sibuk mengumpulkan al-Qur’an sepeninggal Rasulullah. Menurut banyak riwayat, selama enam bulan Ia menyibukkan diri mengumpulkan al-Qur’an di dalam rumah. Ibnu Nadim berkata, “Mushaf pertama yang terkumpul dengan rapi adalah mushaf Ali. Mushaf ini berada di keluarga Ja’far.”

Mushaf Ali bin Abi Thalib memiliki ciri khusus yang tidak dimiliki oleh mushaf-mushaf lainnya. Pertama, Ayat-ayat dan surah-surah tersusun sesuai dengan urutan turunnya. Dalam mushaf ini Makkiyah diletakkan sebelum Madaniyah. Dalam mushaf ini sangat jelas proses perjalanan sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Melalui mushaf ini, proses sejarah legislasi hukum-hukum Islam, bisa difahami dengan mudah.

 Kedua, dalam mushaf ini tercantum bacaan ayat-ayat, sesuai bacaan Rasulullah, bacaan yang paling murni. Dalam mushaf ini sama sekali tidak ada sesuatu yang menjadi sebab perbedaan bacaan al-Qur’an.Dengan demikian cara untuk memahami kandungan serta penafsiran ayat yang benar menjadi mudah. Masalah ini sangat penting sekali, mengingat banyaknya perbedaan bacaan al-Qur’an bisa menyesatkan mufasir.

 Ketiga, mushaf ini mengandung catatan kaki yang dibuat Ali yang menjelaskan peristiwa serta kondisi yang menyebabkan ayat-ayat dan surah-surah al-Qur’an diturunkan. Penjelasan tersebut berada di tepi mushaf. Penjelasan ini sangat efisien untuk memahami makna-makna Al-Qur’an dan menghilangkan ketidakjelasan.
Lalu, bagaimana nasib mushaf tersebut? Sulaim bin Qais Hilali (w. tahun 90), salah seorang sahabat terdekat Ali bin Abi Thalib meriwayatkan dari Salman Farisi bahwa pada saat Ali bin Abi Thalib merasakan dirinya tidak mendapatkan tempat dan perhatian yang semestinya dari masyarakat, beliau memutuskan untuk berdiam diri di rumah dan tidak pernah keluar sampai menyelesaikan penulisan seluruh al-Qur’an yang sebelumnya beliau kumpulkan dari tulisan di atas sobekan-sobekan kertas, kayu-kayu tipis dan dedaunan dalam bentuk yang tidak beraturan.

Setelah Ali bin Abi Thalib selesai mengumpulkan al-Qur’an, menurut riwayat Ya’qubi, beliau meletakkannya di atas punggung unta dan dibawa ke masjid ketika orang-orang mengelilingi Abu Bakar. Ali bin Abi Thalib berkata kepada mereka, “Setelah Rasulullah wafat, aku sibuk mengumpulkan al-Qur’an dan sekarang aku telah membawanya di dalam bungkusan kain ini. Aku telah mengumpulkan semua ayat yang diturunkan kepada Rasulullah. Tiada satu ayat pun yang diturunkan kecuali Nabi membacakannya untukku dan mengajarkan kepadaku tafsir dan takwil-nya. Jangan sampai esok hari kalian berkata, ‘Kami telah lupa hal itu.’”

Pada saat itu, salah seorang pemimpin kelompok di sana bangkit dari tempatnya melihat apa yang dibawa oleh Ali bin Abi Thalib, kemudian berkata, “Kami tidak membutuhkan apa yang kamu bawa. Cukup bagi kami apa yang ada pada kami.” Ali lalu berkata, “Mulai saat ini kalian tidak akan pernah melihatnya lagi.” Pada saat itulah Ia masuk ke dalam rumah dan setelah itu tak seorang pun melihat mushaf tersebut.

Ketika pada masa Khalifah Utsman dilakukan kodifikasi dan penyatuan mushaf, Thalhah bertanya kepada Ali, bagaimana tanggapannya atas al-Qur’an hasil kodifikasi itu. Ali menjawab bahwa itulah al-Qur’an yang memang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tidak kurang dan tidak lebih.  Setelah itu, Ali juga kemudian menulis mushaf lain dengan cara menyalin dari mushaf al-Qur’an hasil kodifikasi Khalifah Utsman tersebut.

Berikutnya, perlu sedikit ditambahkan terkait aksara yang dipakai oleh Mushaf Utsmani tersebut. Sebagaimana yang dituliskan di atas, naskah al-Qur’an hasil kodifikasi dan penyatuan pada zaman Ustman (Mushaf Utsmani) bukanlah satu-satunya naskah atau mushaf  yang ada pada masa itu. Ada beberapa mushaf lainnya yang cukup terkenal, seperti mushaf Ibnu Mas’ud, mushaf Ubay bin Ka’ab, mushaf Ali bin Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, dan ‘Aisyah binti Abu Bakar. Akan tetapi, secara keseluruhan, tidak ada perbedaan yang berarti di antara mushaf-mushaf tersebut.

Mushaf Utsmani dan juga mushaf para sahabat yang lainnya juga tidak memiliki harakat (tanda baca petunjuk bunyi vokal) dan petunjuk yang sesuai dengan khat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Arab pada waktu itu yang bisa dijadikan sebagai pembeda huruf-huruf yang bertitik dan yang tidak bertitik. Oleh karena itu tidak ada bedanya antara huruf Ba’, Ta’, Ya’ dan Tsa’ dan juga Jim, Ha’, Kho’. Sebagai contoh, tulisan (          ) bisa dibaca “Tablu”, “Nablu”, “Natlu”, “Tatlu”, atau “Yatlu” Huruf-huruf tersebut tidak bisa dibedakan antara satu dengan yang lain. Begitu pula dengan harakat dan i’rāb (konjugasi) huruf-huruf dan kalimat-kalimatnya, tidak ditandai dengan fathah, kasrah, dhammah dan tanwin.

Oleh karena itu pada masa awal Islam, bacaan al-Qur’an itu hanya bergantung kepada pendengaran dan nukilan. Besar kemungkinan, saat itu ada ketentuan tidak diperbolehkan membaca al-Qur’an hanya melalui bacaan naskah. Jika hanya mengandalkan bacaan naskah, kemungkinan terjadinya kesalahan baca akan sangat besar.
Dari pemaparan terkait kodifikasi al-Qur’an di atas, bisa disimpulkan bahwa pertama, Islam punya strategi yang efektif dalam memleihara otentisitas kitab sucinya agar terjaga sepanjang massa. Selain menggunakan memori massa, Islam juga menggunakan media penulisan. Kedua, budaya literer dalam Islam bukanlah budaya elit. Setiap orang boleh, bahkan didorong untuk punya kemampuan baca-tulis.

Aksara (Khath) Arab
Orang-orang Arab Hijaz di masa lampau tidak punya budaya menulis. Mereka baru mengetahui ilmu tulis sejak mendekati munculnya Islam. Alasan mengapa ilmu tulis tidak berlaku di antara orang-orang Arab Hijaz adalah kehidupan tradisional mereka yang bersifat nomaden. Mereka yang selalu menghabiskan waktu dalam perjalanan dan mengembara. Bahkan mereka menghabiskan waktu untuk peperangan dan perampokan. Aktivitas seperti inilah yang menghalangi mereka untuk berpikir tentang seni,di antaranya adalah seni tulis.

kebanyakan dari mereka melakukan perjalanan ke Syam (kini dikenal dengan nama Suriah) dan Irak dengan tujuan berdagang. Lambat laun mereka terpengaruh oleh masyarakat yang berpemikiran maju dan beradab. Mereka lalu belajar menulis kepada orang-orang Syam dan Irak. Ada juga, atau sebagian belajar menulis khat Nabthi atau Suryani dan dua bentuk tulisan ini tetap ada dan terkenal sampai setelah penaklukan Islam di Arab.

Setelah khat Nabthi, muncullah khat Naskhi yang sekarang sudah dikenal dan masih tetap ada. Setelah khat Suryani, muncullah khat Kufi yang diberi nama khat Heiri yang dinisbahkan kepada sebuah kota kuna Arab yang berdekatan dengan Kufah. Karena perubahan khat Suryani itu terjadi di Heirah—setelah kota Kufah dibangun dan kebudayaan Arab berpindah ke kota—maka nama khat itu berubah menjadi khat Kufi. Sejak lama khat ini dikenal dan dipakai oleh orang Arab.

Khat Nabthi yang berubah menjadi khat Naskhi mulai dipelajari oleh orang-orang Arab dari orang-orang Hur di sela-sela mereka melakukan perdagangan ke Syam. Mereka mempelajari khat Heiri atau Kufi dari orang-orang Irak. Pertama-tama, orang-orang Arab menggunakan dua khat tersebut untuk menulis surat dan tulisan biasa, kemudian mereka menggunakannya untuk menulis peristiwa-peristiwa penting seperti al-Qur’an dan hadis.

Pada saat Islam muncul, khat dan tulisan masih belum semarak di kalangan orang-orang Arab Hijaz dan sangat sedikit orang yang bisa menulis. Rasulullah meminta bantuan mereka yang bisa menulis untuk menulis wahyu. Beliau memotivasi kaum muslimin agar belajar menulis. Karena itu, orang-orang yang belajar menulis pada saat itu semakin banyak.

Dua khat Naskhi dan Kufi masih digunakan kaum muslimin. Mereka bekerja keras untuk mengubah, memperbaiki dan memperindah dua khat itu. Ibnu Miqlah pada awal abad keempat Hijriah berusaha keras memperindah khat Naskhi, kemudian dia menjadikan khat Naskhi sesempurna mungkin, sehingga sampai sekarang khat ini masih digunakan.

Berbeda dengan khat Naskhi, khat Kufi pernah mengalami kemunduran dan hanya digunakan selama kurang-lebih dua abad saja. Kemudian menghilang dari peredaran. Sejak saat itu hingga seterusnya mushhaf-mushhaf ditulis dengan khat Naskhi yang indah.

Khat yang dikutip dari Suryani dan Nabthi oleh orang-orang Arab tidak menggunakan titik. Hingga sekarang, khat-khat Suryani juga tanpa titik. Orang-orang Arab, sampai pertengahan abad pertama menulis khat-khat tanpa titik. Setelah itu barulah khat Arab mulai menggunakan titik. Dengan demikian, pada saat al-Qur’an dikodisikasi di zaman Utsman, khat yang digunakan adalah Suryani dan Nabthi yang tanpa titik dan tanda baca.

Ketika Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi menjadi wali kota Irak dari pihak Abdul Malik bin Marwan (75-86 H.), dia menggunakan titik dalam tulisan. Saat itu masyarakat dapat membedakan huruf-huruf yang bertitik dengan yang tidak bertitik. Pekerjaan ini dipopulerkan oleh Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim, dua orang murid Abul Aswad al-Duali.  Alasan pekerjaan ini dilakukan adalah karena mawali (budak-budak Ajam) yang pada waktu itu jumlahnya terus bertambah. Akibatnya negeri Islam dihuni oleh orang-orang asing, namun mereka harus menggunakan bahasa Arab. Sebagian dari mereka masuk dalam jajaran ulama dan Qurra’, padahal bahasa asli mereka bukan bahasa Arab dan sudah pasti banyak terdapat kesalahan dalam mengujarkannya. Karena itu terjadi banyak perubahan dalam bacaan. Fenomena ini mendapat respon serius dari kaum muslimin.

Abu Ahmad al-Askari mengisahkan bahwa selama lebih dari empat puluh tahun masyarakat masih menggunakan mushaf Utsmani sampai pada zaman Abdul Malik bin Marwan. Selama rentang waktu itu telah terjadi banyak perubahan dalam bacaan al-Qur’an. Perubahan ini menyebar hingga ke Irak. Hajjaj bin Yusuf menyampaikan kekhawatiran terhadap masalah ini kepada para penulis dan meminta kepada mereka agar meletakkan tanda-tanda untuk huruf-huruf yang mirip antara satu dengan yang lain agar dapat dibedakan. Sebelumnya sudah dikatakan bahwa Nashr bin Ashim yang menjalankan tugas ini. Dia juga yang menggunakan titik dalam huruf-huruf tersebut.  Ustad Zarkani berkata, “Orang pertama yang menggunakan titik dalam mushhaf adalah Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin Ashim, mereka berdua adalah murid Abul Aswad al-Duali.”

Selain tidak memiliki tanda titik, pada mulanya khat Arab juga tidak memiliki tanda harakat (tanda baca) dan i’rāb (tanda konjugasi). Pada awal-awal masa masa Islam, banyak sekali orang yang membaca al-Qur’an hanya dengan mengandalkan hafalan. Para hafizh kebanyakan adalah orang Arab, sudah tentu mereka membaca al-Qur’an dengan benar.

Pada pertengahan kedua abad pertama, bermunculan orang-orang asing di tengah masyarakat Islam. Mereka juga asing dari bahasa Arab. Hal ini menyebabkan mereka membutuhkan simbol untuk mengenal kalimat-kalimat al-Qur’an agar mereka tidak salah dalam membaca al-Qur’an.

Abul Aswad pernah mendengar seseorang membaca kata “rasuluhu” dalam ayat,  (“Sesunguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin” – al-Taubah: 3) dengan kasrah (rasulihi). Dengan bacaan seperti itu, artinya menjadi jauh berbeda. Jika dibaca “rasulihi”, artinya menjadi: Allah berlepas diri dari “orang-orang musyrikin dan Rasul-Nya”. Melihat kesalahan fatal ini Abul Aswad berkata, “Saya tidak mengira kalau kesalahan itu sampai sefatal ini.” Kemudian dia memberitahu masalah ini kepada Gubernur Kufah Ziyad bin Abih (50-53 H.).

Sebelumnya, Ziyad bin Abih pernah meminta Abul Aswad mencari jalan keluar masalah ini, namun Abul Aswad tidak ingin dilibatkan secara langsung untuk melakukan pekerjaan tersebut. Setelah dia mendengar sendiri kesalahan fatal dalam firman Allah tersebut, dia menyambut keinginan Ziyad bin Abih  dan berkata, “Saya akan menjalankan apa yang Anda perintahkan.” Sejak saat itu hingga seterusnya, masyarakat menggunakan harakat huruf dan kalimat.

Pemaparan di atas memunculkan kesimpulan lain yang sangat menarik, yaitu terjadinya revolusi budaya literer yang mengiringi turunnya kitab suci al-Qur’an. Pada masyarakat yang tadinya sangat terbelakang dan tidak mengenal baca-tulis, tiba-tiba saja muncul kegairahan yang sangat besar untuk menguasai literalisme. Mereka juga melakukan revolusi besar-besaran dan dalam waktu singkat terhadap aksara (khath) yang baru mereka kenal itu, dalam rangka menutupi kekurangannya.

Masalah Seputar Qira’ah
Masalah lain yang terkait al-Qur’an adalah qira’ah. Istilah ini merujuk kepada “gaya” membaca. Qira’ah sebenarnya juga terjadi pada pembacaan teks-teks bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia atau Sunda, kita mengenal cara pembacaan yang berbeda untuk satu huruf. Contohnya adalah huruf “e” yang terkadang dibaca pepet, terkadang dibaca taling. Orang Malaysia umumnya membaca huruf vokal “a” yang terdapat di akhir kata dengan bacaan “e pepet”.

Seharusnya, perbedaan gaya membaca al-Qur’an ini tidak sampai menimbulkan kekhawatiran akan munculnya “teks baru”. Akan tetapi, qira’ah menjadi bahan kajian khusus dalam studi ilmu-ilmu al-Qur’an karena kasus perbedaan gaya membaca ini cukup kompleks dan terkadang menimbulkan perselisihan pendapat. Sedemikian kompleksnya perbedaan itu hingga menimbulkan kekhawatiran akan munculnya teks baru. Hal ini tentu saja sangat berbahaya dan mengancam prinsip otentisitas teks al-Qur’an. Akhirnya, agar potensi buruk ini bisa teredam, para ulama menetapkan tujuh qira’ah resmi, yang kemudian dikenal dengan nama qira’ah sab’ah. Dengan ketetapan ini, gaya baca yang lainnya dilarang. Di sisi lain, model pembacaan al-Qur’an yang berbeda tidak akan dipersalahkan selama gaya bacanya itu sesuai dengan salah satu dari tujuh qira’ah resmi.

Sekarang, masalah ragam qira’ah bisa dikatakan telah selesai dalam arti tidak sampai menimbulkan perbedaan. Berbagai komunitas Muslim di dunia membaca al-Qur’an dengan gaya baca yang terkadang berbeda satu sama lain di beberapa ayatnya. Perbedaan itu ternyata tidak sampai menimbulkan perpecahan sedikitpun. Akan tetapi, jika kita merunut sejarah perkembangan qira’ah, kita akan menemukan bahwa masalah ini termasuk di antara tantangan sangat besar bagi generasi awal umat Islam dalam rangka menjaga keutuhan al-Qur’an.

Faktor-faktor perbedaan dalam bacaan al-Qur’an mulai terjadi pada masa sahabat, setelah wafatnya Rasulullah. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, pada zaman itu, para sahabat berselisih tentang pengumpulan dan penyusunan al-Qur’an. Masalah ini menjadi sebab adanya perbedaan bacaan al-Qur’an dikalangan para pembaca dari dua kelompok. Setiap kelompok merasa bacaannya lebih benar dari selainnya. Perbedan-perbedaan ini menyebabkan Khalifah Usman berinisiatif untuk melakukan penyatuan kodifikasi al-Qur’an. Naskah al-Qur’an hasil penyatuan itu kemudian diduplikasi (disalin) dalam beberapa naskah, lalu dikirim ke kota-kota penting kawasan Islam, yaitu Mekah, Syam (sekarang Suriah), Yaman, Kufah (Irak), dan Bashrah (Irak). Naskah-naskah yang seharusnya sama itu, ternyata memiliki sejumlah perbedaan tulisan. Akibatnya, terjadilah sejumlah kecil perbedaan bacaan al-Qur’an.

Selain masalah perbedaan kecil teks di antara mushaf-mushaf duplikasi itu, ada masalah lain yang menyebabkan terjadinya ragam qira’ah, yaitu:

a. Bentuk Khath Arab yang Masih Sederhana
Pada waktu itu, khat dikalangan Arab masih berbentuk sangat sederhana. Karenanya dasar-dasarnya masih belum kuat. Apalagi orang-orang Arab masih belum mengetahui seni tulis dan cara penulisan yang benar. Banyak sekali kata-kata yang mereka tulis berdasarkan analogi pengungkapannya. Dalam kaligrafi sekarang, masih tersisa bekas-bekas itu. “Nun” yang ada di akhir kalimat ditulis dengan bentuk yang tidak berbeda dengan “Ra’”, demikian juga dengan bentuk “Wawu” atau “Ya” yang pada saat itu adalah satu. Betapa banyak “Mim” di akhir kalimat ditulis dengan bentuk “Wawu”, dan “Dal” dengan bentuk “Kaf” dan “‘Ain” yang berada di tengah ditulis dengan bentuk “Ha’”. Kadangkala mereka menuliskan huruf-huruf dalam satu kata secara terpisah satu sama lain saling berpisah.
Hal-hal yang tidak selayaknya terjadi pada mushhaf-mushaf terdahulu itu jelas menimbulkan banyak kesulitan dalam pembacaan. Inilah yang menjadi salah satu penyebab lain dari munculnya perbedaan yang begitu mencolok di antara para pembaca Al-Qur’an, khususnya mereka yang bukan orang Arab.

b. Tidak Adanya Titik yang Membedakan Huruf-Huruf
Sebagaimana yang sudah dituliskan di atas, aksara Arab saat Al-Qur’an dikodifikasi sama sekali tidak mengenal titik. Masalah ini kemudian menjadi salah satu faktor penyebab munculnya ragam qira’ah Al-Qur’an. Dalam Mushaf Utsmani,  س  dan ش sama-sama ditulis س . Begitu juga dengan ب , ت , dan  ث; kemudian antara  ج ,  حdan , خ;  ص dan ض ; ط dan ظ;  ع dan  غ ; ف  dan ق; serta ن  dan ى . Pembaca harus bisa membedakannya setelah tahu makna kata sesuai dengan yang diujarkan dengan jeli, apakah huruf ini adalah Jim,  Ha’ atau Kha.
Pembaca non-Arab tentu saja akan menemui kesulitan saat berhadapan dengan teks seperti itu. Situasi seperti inilah yang menyebabkan sebab lain munculnya ragam qira’ah.

c. Tidak Adanya Harakat (Tanda Baca Vokal)
Tidak adanya harakat juga menjadi salah satu sebab lain dari ragam qira’ah. Seperti yang juga dibahas di atas, aksara pada Mushaf Utsmani tidak mengenal harakat. Sebagai contoh, pada waktu itu tidak jelas apakah tulisan اعلم  itu dibaca a’lamu (saya mengetahui), i’lam (ketahuilah), ataukah u’lima (saya diberitahu).
Untuk masyarakat Indonesia, aksara seperti ini dikenal dengan istilah “Arab gundul”. Orang yang tidak belajar bahasa Arab tentulah sulit untuk membaca Arab gundul tersebut. Jika al-Qur’an disajikan dengan menggunakan Arab gundul, dipastikan akan muncul ragam bacaan dalam skala yang tidak bisa dibayangkan.

d. Tidak Dikenalnya Huruf Alif di Tengah Kata
Faktor lain yang menimbulkan masalah dalam penulisan al-Qur’an adalah tidak dipakinya Alif di tengah kata. Khat Arab Kufi diambil dari khat Suryani. Dalam khat Suryani, tidak lazim menulis Alif di tengah-tengah kata.. Ketika Al-Qur’an ditulis dengan khat Kufi, maka para penulis mushhaf itu tidak menulis Alif di tengah kalimat sepertiسماوات  , mereka menulisnya  سموت . Kemudian ketika tanda-tanda penjelas itu sudah dibuat, maka mereka menentukan Alif hanya dengan tanda Alif kecil di atas kalimat, sepertiسموت  .

Masalah ini (membuang Alif yang ada ditengah-tengah kalimat) akhirnya menjadi sumber banyaknya perbedaan bacaan. Sebagai contoh, Nafi’, Abu Amr dan Ibnu Katsir membaca ayatوما يخدعون   (al-Baqarah: 9) dengan bacaan وما يخادعون إلاّ انفسهم  .

Faktor-faktor seperti tersebut menjadi sebab para qari’ berselisih tentang bacaan yang benar. Masing-masing menejalankan ijtihadnya sendiri, membaca berdasarkan dalil-dalil yang mereka miliki.

Pemaparan pada bagian ini yang terkait dengan qira’ah juga memunculkan simpulan lain, yaitu bahwa betapa beratnya tantangan yang dihadapi kaum Muslimin dalam rangka menjaga keutuhan al-Qur’an. Mendeteksi kekurangan aksara sebagai simbol bunyi serta melakukan penyempurnaan atasnya tentulah bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi, itulah yang memang faktanya bisa dijalani oleh kaum Muslimin.

Penutup
Al-Qur’an telah menciptakan kegairahan massa yang luar biasa besar untuk melakukan pemeliharaan atasnya. Situasi kegairahan massa ini sangat diperlukan agar prinsip al-Qur’an sebagai kitab suci pegangan umat Islam yang berlaku sepanjang masa bisa tetap terjaga. Tanpa adanya kegairahan ini, al-Qur’an akan bernasib sama seperti kitab-kitab suci sebelumnya, yang terpecah ke dalam beberapa versi.

Proses turunnya al-Qur’an berikut transmisinya menunjukkan model pemeliharaan teks yang baru. Teks yang turun dalam bentuk memori Nabi Muhammad awalnya disebarkan juga dalam memori secara massal kepada manusia-manusia yang punya kegairahan tinggi untuk menghafalnya. Barulah setelah itu dilakukan kodifikasi atas memori massa.

Islam memiliki strategi yang efektif dalam memelihara otentisitas kitab sucinya agar terjaga sepanjang massa. Selain menggunakan memori massa, Islam juga menggunakan media penulisan. Budaya literer dalam Islam bukanlah budaya elit. Setiap orang boleh, bahkan didorong untuk punya kemampuan baca-tulis.
Terjadinya revolusi budaya literasi yang mengiringi turunnya kitab suci al-Qur’an dapat dilihat pada masyarakat yang tadinya sangat terbelakang dan tidak mengenal baca-tulis, tiba-tiba saja muncul kegairahan yang sangat besar untuk menguasai literalisme. Mereka juga melakukan revolusi besar-besaran dan dalam waktu singkat terhadap aksara (khath) yang baru mereka kenal itu, dalam rangka menutupi kekurangan-kekurangannya.

Namun perkembangan ini bukannya tanpa tantangan. Tantangan yang dihadapi kaum Muslimin dalam rangka menjaga keutuhan al-Qur’an sangatlah berat. Mendeteksi kekurangan aksara sebagai simbol bunyi serta melakukan penyempurnaan atasnya tentulah bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi, kaum Muslimin berhasil mengatasi tantangan itu, karena faktanya, al-Qur’an memang terpelihara sampai sekarang.
______________

DAFTAR RUJUKAN
Abud, Turki Athiyah. Al-Khat al-‘Arabī al-Islāmī. Beirut: Dar al-Turats al-Islami, 1975
Askari, Abu Ahmad al-. Al-Tashhif wa al-Tahrif. Beirut: Dar Al Lughah, t.t.
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS, 2001
Hashem, Omar. Saqifah Bani Saidah. Jogjakarta: Rausyan Fikr, 1990
Ibn Khaldun, Abd Al-Rahman. Muqaddimah Ibn khaldun. Kairo: Dar al-Nahdhah, T.t
Ibn Khalqan. Wafiyat al-A‘yān wa Anba’ Abna’ al Zamān. Kairo: Bulaq, 1878
Kurdi, Muhammad Thahir. Tārīkh al-Kath al-‘Arabī wa Adābuhu. Riyadh: Jam’iyah al-Arabiyah al-Su’udiyah, 1982
Ma’rifat, Hadi. Sejarah Al-Quran. Jakarta: Nur Al Huda, 2008
Nadim, Muhammad bin Ishaq.  Al Fihrist. Tehran, 1972
Saduq,  al-Shaykh. Al-I’tiqadat. Beirut: Dar al-Jawadayn, T.t
Sulaeman, Dina. Mukjizat Abad 20: Doktor Cilik, Hafal dan Paham al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Iiman, 2007
Suyuthi, Al, Abdurrahman Jalaluddin. 1951. Al-Itqan fi Ulūm Al-Qur’ān. Beirut: Dar Al-Fikr
Thabathaba’i, Allamah Muhammad Husein. 2006. Tafsīr Al-Mīzān. Beirut: Dar Ihya’ Al Turats
Wajdi, Muhammad Farid. 1990, Dai’rāt al-Mā’ārif al-Qarnil Isyrīn. Kairo: Dar Al Ma’arif
Ya‘qubi, Al. Tārīkh al-Ya‘qūbi. Beirut: Dar Beirut, 1980.
Yahya, Khalil. 1935. Ashl al-Khat al-‘Arabī wa Tārīkh Tathawwurihi ilā Mā Qabla al-Islām.  Kairo: Bul Barbih
Zaidan, George. 1973. Tārīkh-e Tamaddun-e Islāmī. Tehran: Amir Kabir
Zarqani, Abdul Azhim Al. 1988.  Manahil al-Irfān fī Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Dar el-Kutub al-Ilmiyah
Zen, Muhaimin. 2012.  Al-Quran 100% Asli: Sunni-Syi’ah Satu Kitab Suci. Jakarta: Nur Al-Huda.

Share your thoughts