Wawancara Dr. Haidar Bagir; Filsafat, Agama, Film dan Kreatifitas

Filsafat Islam dan Tasawuf memang bukan hanya persoalan teori, dimensi praksisnya bisa terartikulasikan dengan dahsyat manakala medianya dapat dinikmati jutaan penonton. Film sebagai salah satu karya seni, membutuhkan kejeniusan kreatifitas yang bisa terkondisikan oleh hasil olah berteori dan berfilsafat. Hasil gabungan kejeniusan “kreatifitas seni dan insting pasar” membuat Dr. Haidar tidak saja lihai ceramah Filsafat di ruang kelas, tapi filmnya juga mampu menghibur penonton bioskop menikmati film bertema agama. Ya,.. Dr. Haidar yang juga pengajar Filsafat Agama, resah, pengajaran Filsafat Agama di kampus hanya membuat mahasiswa terlatih secara intelektual bahkan sebagian malah lari dari agama – tapi tidak dapat memberi dampak di luar dinding kelas. Dr. Haidar Bagir adalah sosok hasil campuran Filsafat, Agama dan Film. Ketiganya bahan bakar kreatifitas, mesinya industri film.

Riset STFI Sadra 7/4/2017berkesempatan berbicang dengan Dr. Haidar seputar kaitan Filsafat, Film, Kreatifitas serta urgensi pengajaran Filsafat Agama di Barat dan Indonesia.

Apa urgensi Filsafat Agama di ajarkan di universitas-universitas di Indonesia?
Pertama, ini suatu zaman dimana agama tidak bisa diajarkan secara dogmatik. Berbeda dengan zaman kakek saya, lebih mudah mengajarkan agama secara dogmatik. Tapi di zaman level anak saya, apalagi cucu saya, sangat sulit menjelaskan kebenaran agama secara dogmatik. Pemaparan rasional menjadi sangat penting. Salah satu fungsi pengajaran Filsafat Agama baik di dunia muslim maupun barat- memahamkan agama baik dari aspek psikologi, ruhani, dan etis.

Ada bahaya jika agama tidak diajarkan kepada generasi muda secara rasional, agama akan di tinggalkan. Karena semangat zaman sekarang, apa-apa harus bisa diterima secara rasional.

Sifat rasional agama bukan berarti aspek tidak rasional dari agama ditolak. Karena agama akan kehilangan sifat keagamaanya, karena puncaknya agama itu kan keimanan. Karena ada loncatan dari sesuatu yang bersifat rasional menuju iman, kita tidak mengatakan tidak rasional tapi suprarasional. Pada saat yang sama, orang harus diantar sampai pada satu titik, dimana akan terjadi lompatan keimanan, diantarkan pada suatu prosedur,memahami agama secara rasional. Itu urgensi pertama.

Urgensi kedua, karena dikaitkan dengan pengajaran di Barat, Filsafat agama di Barat itu ketika agama di bahas – ada kecenderunan, agama itu diletakkan di bawahnya filsafat. Filsafat mempunyai kekuasaan membedah-bedah agama. Tidak hanya mengkritisi kalau perlu memfonis, ini bagian yang bisa diterima,.. ini tidak bisa diterima. Bagi orang beriman, pendekatan seperti ini tidak bisa diterima. Karena itu menjadi penting Filsafat Agama itu dikembangkan di negara-negara muslim dimana keduanya harus ditempatkan, tanpa meletakkan yang satu secara semena-mena terhadap yang lain.
Di Barat, agama di letakkan dibawah pisau bedahnya filsafat. Padahal keduanya bisa berbarengan.

Bagaimana bapak melihat pengajaran Filsafat Agama di universitas di Indonesia jika dibandingkan dengan pengajaran Filafat Agama di Barat?
Sehubungan dengan pengajaran Filsafat Agama di institusi perguruan tinggi di Indonesia, saya lihat semata intelectual exercise, di sisi lain tidak punya dampak pada pelaku agama diluar dinding-dinding akademik. Bahkan orang yang semula yakin dengan agama setelah belajar Filsafat Agama di perguruan tinggi, malah lari dari agama. Menurut saya selain Filsafat Agama di bahas secara akademik ( untuk melatih memahami agama secara rasional), tapi juga harus bersifat transformatif. Sehingga mahasiswa tidak hanya terlatih secara rasional dalam memahami agama, akan tetapi ketika lulus dapat memenuhi kebutuhan yang lebih besar yaitu peradaban. Inilah pentingnya agama diajarkan secara rasional, sehingga tidak akan kehilangan legitimasinya ditengah zaman yang menuntut rasional.

Ada nggak kaitan bapak ngajar Filsafat Islam dan Irfan, dengan kreatifitas dan produktifitas dalam bidang Film?
Saya teringat ceramahnya Elizabeth Gilbert, penulis buku “Eat, Pray, Love” yang lokasi shootingnya salah satu di Bali. Dia pernah bercerita, apa yang di sebut kerja kejeniusan itu terkait dengan mengalami satu proses alam rasional biasa. Dia menjelaskan kata genius itu berasal dari jini, yaitu jin. Jadi orang yang kreatif itu orang yang kerasukan jin, kira-kira begitu,….
Jadi kreatifitas itu dalam riset modern juga sama, orang yang mengalami proses kreatif itu ketika melewati pemikiran rasional tingkat rendah. Digambarkan suatu keadaan antara tidur dan jaga. Jaga 100% berarti cenderung analitis, kalau tidur ya tidur. Kreatifitas dipelajari ketika otak menayangkan gelombang teta.

Sebetulnya dalam pemikiran biasa, kita mengalami pengalaman yang disebut “aha moment” Ketika tiba-tiba lampu menyala di kepala kita. Kita mendapatkan ilham yang memecahkan persoalan kita. Apalagi dalam seni menjadi sangat penting. Ketika kita belajar filsafat dan tasawuf, sebenarnya kita sedang membangun suasana yang kondusif, bagi masuknya melewati alam rasional. Jadi ada hubungan yang sangat erat antara pemikiran filosofis dan kreatifitas.

Ada mazhab film realis di Eropa, film hollywood di Amerika, kira film-film pak Haidar mau dibawa kemana?
Gini ya kalau di Indonesia ini,… kecuali kalau dapat funding, ada kan di Indonesia film-film pendek yang berani berekperimen, berani melampaui pakem-pakem film-film yang laku. Nah kalau saya, membuat film menjadi bagian dari suatu bisnis ya, meskipun memang Mizan punya idealisme sendiri, filmnya mempunyai pesan yang kuat. Tapi betapapun juga, film harus laku.

Insting laku tidak laku ini di riset apa tidak pak?
Pada kenyataanya memang film kita kadang laku kadang tidak, Laskah Pelangi keberhasilanya di dukung buku. Sekarang trendnya film laku itu, komedi dan roman remaja, nah itu ada feeling ada intuisi disitu, tapi kalau Mizan biasanya mencari jalan di tengah. Di satu sisi kita tidak bisa masuk komedi slepstik, kita juga tidak boleh sok keluar uang 6-14 M untuk membuat film ekperimen yang jelas tidak laku.

Meskipun demikian, namanya juga seni, dalam proses pembuatan itu, ada saat-saat di kepala kita menyala gagasan-gagasan kreatif artistik sekaligus laku. Misal, film “Emak Ingin Naik Haji”, ada karakter harus mencuri untuk menolong ibunya, kemudian dikejar-kejar lalu bersembunyi di suatu tempat, tiba-tiba ada ide musiknya diganti dengan orang humming. Sehingga filmnya mempunyai dampak yang kuat, ketika kita memasukan unsur humming disitu. Kalau dalam seni, faktor kejeniusan itu sesuatu hal yang sangat penting. Apalagi film yang surealistik, unsur ilham menjadi sangat dominan.

Ada anggapan, dulu Film Agama itu kaku dan tidak laku, sejauh mana bapak mengantisipasinya?
Menurut saya, bukan soal agama atau bukan agama, genrenya cocok atau tidak. Film agama jika dikemas roman remaja, seperti “Surga Yang tidak dirindukan” itu laku. Jadi persoalanya, mampukah kita mengemasnya dalam genre yang laku. Jadi kalau Film Agama itu syarat dengan simbol-simbol agama, berarti,.. bisa nggak kita memenuhi syarat membuat film dengan genre laku.

Apa bisa dikatakan film-film Mizan itu cermin dari pemahaman agama bapak?
Gini ya, cermin agama Mizanlah,…saya sebagai pemimpin mempunyai peran paling besar tapi gagasan itu muncul dari mana-mana. Saya mungkin mempunyai peran dalam memutuskan, mungkin saya juga menyumbangkan gagasan, tapi semua hasil kerja bersama.(ma’ruf/mp)

Share your thoughts