Wawancara Prof. Farid: Erosentrisme dan Ilmuwan Sosial Asia

Problem ilmu sosial di dunia ketiga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kolonialisme. Indonesia, Malaysia, Filipina mengalami masalah Erosentrisme atau ketergantungan terhadap teori sosial Eropa. Saintisme, Sekulerisme Barat menggoda sebagian kalangan muslim untuk melakukan Islamisasi sains. Sebagian lain merespon dengan cara mengkombinasikan khazanal lokal dan impor. Setelah diskusi bedah Buku Ibn Khaldun, 23/2/2017 di STFI Sadra, panitia diskusi sempat mewancarai Profesor Sosiologi dari NUS (National University of Singapore), Prof. Dr. Syed Farid Alatas.

Bagaimana pandangan Prof. Farid, menyikapi posisi kita sebagai bangsa Asia yang terasing secara akademik dari sumber kita sendiri?
Saya akan bicara di Singapura dan Malaysia, karena saya banyak mengajar di dua tempat tersebut. Saya rasa kedua institusi pendidikan di tempat saya masih berorientasi pada Erosentris dan segala biasnya. Masih sedikit yang melirik ilmu sosial non barat. Sehingga, ketika kita berbicara Ibnu Khaldun,  dimasukkan disiplin Middle East Studies, dan tidak dianggap sebagai mainstream studies.

Tapi ketika berbicara Marx Weber tidak masuk kajian Eropa Studies, meskipun Marx Weber sendiri berasal dari dan berbicara tentang masyarakat Eropa.
Karl Marx berbicara tentang kapitalisme barat, tapi tidak ada yang memasukan Karl Marx sebagai kajian Eropa,  atau hanya relevan dengan kajian Eropa. Sedang Eropa dan Barat masuk kategori mainstream. Tapi begitu kajian Indonesia hanya relevan untuk kajian Indonesia, begitu juga Ibnu Khaldun tidak relevan dengan kajian Eropa atau Afrika.

Jadi kalau begitu apakah seharusnya bisa diterima secara akademis dan bersifat universal?
Ya,.. seharusnya dipertimbangkan relevan secara universal dan dibawa ke level internasional. Sehingga untuk Malaysia dan Singapura saya rasa masih jauh dari usaha ke arah sana.

Bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
Jika saya lihat Asia tenggara secara umum, saya rasa Philipina yang paling sensitif terhadap isu Erosentrisme. Karena pada abad 19 ada tokoh seperti Joze Rizal, pemikir sosial serius, dia menjadi bagian perlawanan terhadap kolonialisme Spanyol dan banyak berbicara masyarakat kolonial. Dia yang pertama berbicara dari dunia ketiga yang mengkritik wacana kolonial, dan pemikiranya berpengaruh terhadap kesadaran masyarakat Philipina terhadap erosentrisisme.

Setelah Filipina, baru Indonesia, Malaysia dan Singapura. Isu ini berkembang di Indonesia pada periode kolonial Belanda. Sosok Cokroaminoto abad 19, tertarik mengkombinasikan Islam dan Sosialisme, tapi Cokro tidak terlalu mengkritik sosialisme barat. Dia mengislamkan sosialisme. Ini bagus saya rasa, buat proses indegienitas, karenanya penting menciptakan lokalitas secara proporsional.Contoh lain, Indonesia menerima demokrasi parlementer dari barat kemudian disesuaikan dengan iklim Indonesia, atau parlementer Iran, sebuah kombinasi barat dan Islam.

Apa respon Prof. Farid terhadap pandangan bahwa anda sedang melakukan Islamisasi Pengetahuan?
Saya bukan bagian darinya, karena itu reaksi dari Erosentrisme, Saintisme, Sekulerisme. Dalam pemikiran Ibnu Khaldun, “alijtima’ al insani”, (ilmu masyarakat,atau sosialogi), dinyatakan bahwa ilmu ini bukan bagian dari “ulumul anaqliyah”, tapi ini bagian dari “ulumul aqliyah”.

Bagaimana anda mengidentifikasi pemikiran anda, jika bukan bagian dari Islamisasi sains?
Saya mengindentifikasi saya, bahwa saya anti pemikiran terbelenggu, terdominasi oleh pemikiran meinstreim. Generasi ayah saya, dan generasi saya terlalu terdominasi oleh pemikiran Barat, mereka tidak melihat tradisi kita sendiri, mereka tidak menggali khazanah Ibn Khaldun, Jose Rizal, Al-Biruni. kemudian berusaha untuk membuat konsep dan teori baru.

Mereka tahu Erosentrisme tapi tidak membuat alternatif wacana, bahkan para pengkaji Ibn Khaldun menganggapnya sebagai seorang sosiolog tapi tidak membuat modernisasi teori Ibnu Khladun. Oleh karena itu saya mencoba terutama dalam buku kedua saya, aplikasi teori Ibnu Khaldun secara sistematis. Itulah kontribusi saya.

Apa metodologi untuk mempromosikan ide anda?
Tentu saja dalam seminar, publikasi artikel, melakukan studi tur untuk membangun kesadaran, tapi ini tidak cukup. Kita harus naik pada step yang lebih tinggi, publikasi textbook yang mencerminkan keseimbangan tradisi barat dan tradisi kita sendiri.
Coba kita perhatikan, jika kita mempunyai buku teks Sosiologi dalam bahasa Indonesia, tapi isinya sama semua; Mark, Weber, Zimmer. Ya,.. kita punya Al-Biruni, Marx, tapi kita harus universal dan menjadi kosmopolitan, sehingga ratusan textbook, bahkan ribuan akan diakses oleh pelajar selanjutnya. Jadi dengan menjadi kosmopolitan tidak Erosentrime akan menjadi ideal. (mp)

Share your thoughts