Wawancara Wardah Al-Katiri Ph. D: Filsafat, Irfan, dan Lingkungan


“Setiap generasi mempunyai kecerdasan masing-masing dalam menangkap zaman. Kimia, industrialisasi, Pembangunan, Filsafat Islam, Irfan, pecinta alam dan bertani. Sederet pengalaman inilah yang mewarna perjalanan hidup Wardah-dari teori hingga praktek. Sidang pembaca terhormat, mungkin ada yang frustasi dan bosan belajar Filsafat Islam dan Irfan. Tapi tidak bagi ibu pecinta lingkungan ini, karena rasa empati terhadap masalah kerusakan alam selalu di pupuk. Meski usia terus menua, Wardah masih giat meneliti. Singkat kata, kesimpulan sementara redaksi, Irfan itu ujungnya tanggung jawab semampunya, bukan persoalan kognitif semata. Benarkah?, ..bu Wardah berbagi pengalaman dengan kita…”

Bu Wardah, bisa diceritakan kenapa anda tertarik masuk di bidang kimia, lalu menggeluti isu-isu filsafat, irfan, dan lingkungan ?
Hmmm… sebetulnya saya dulu milih Teknik Kimia itu semata2 karena tertarik dengan gemerlapnya program Pembangunan yang digagas oleh para developmentalis ,..  yang akhirnya justru saya kritik habis di disertasi PhD saya…..

Di masa saya kecil dan remaja (thn 70-80) itu, pembangunan terlihat hebat … bahkan waktu saya diterima masuk ITS tahun 1985, tiga jurusan Fakultas Teknik Industri, yaitu, Teknik Kimia, Teknik Elektro dan Teknik Mesin sedang ada ‘crash program’ – jadi ketika itu pemerintah butuh banget menghasilkan sebanyak-banyakya insinyur kimia, elektro dan mesin untuk Industrialisasi yang saat itu mulai digerakkan. Jadi kebayang kan, lulus trus langsung kerja.

Dari situ jugalah ketika saya belajar Development Studies di Lincoln dan Canterbury university di New Zealand, saya jadi memahami betul persoalan ‘subyektifitas’ (bukan cuma obyektifitas) pembangunan di Dunia Ketiga – yang kini akhirnya memusingkan ilmuwan lintas disiplin di Barat sana, karena ternyata dampak sosial-ekologis yang ditimbulkan pembangunan luar biasa besar, yaitu, dari makin lebarnya gap antara kaya-miskin hingga kerusakan lingkungan yang massif tak terbendung– nah padahal orang-orangnya udah kadung nggak mau diajak balik lagi – bahkan diajak berfikir diluar paradigma developmentalisme pun udah nggak bias,…  Jadilah paradigma pembangunan ini sebuah mesin besar yang terus berjalan menggilas dan merusak apa saja tanpa bisa di stop lagi. Ini kecelakaan dunia ilmu pengetahuan yang luar biasa.

Gimana ceritanya bisa masuk di ICAS Paramadina? Sebagian mahasiswa/mahasiswi  tidak sampai lulus, banyak  yang coba-coba, kelihatanya anda begitu antusias, apa menariknya anda kuliah di ICAS Paramadina, toh  tidak akan menaikkan karir anda(banyak rugi secara materi)?
Karena saya datang ke ICAS memang benar-benar mencari ilmu yang ada di situ – yaitu, Filsafat, Irfan dan Tasawwuf. Sebelum ketemu ICAS, bertahun-tahun saya sudah mencarinya ke mana mana.. – saya bahkan pernah berfikir keras mencari di negara manakah ada sekolah dimana saya bisa belajar ilmu-ilmu seperti itu…. Bayangkan saja, saya adalah orang yang benar2 berada di dunia industri sejak tamat kuliah S1, baik itu IT  maupun oil and gas  – sama sekali buta tentang ketiga ilmu tadi, dan bahkan nggak kenal siapapun orang-orang yang ada dalam komunitas yang kemudian mendirikan ICAS, seperti Pak Haidar, Cak Nur, dll.

Boleh percaya boleh tidak, saya menemukan sepotong koran secara tidak sengaja dimana di dalamnya ada iklan ICAS membuka pendaftaran mahasiswa baru. Bukan main saya gembiranya – dan langsung mendaftar .  Sejak itu apakah ICAS pernah membuat iklan di koran lagi saya nggak tau – nggak pernah lihat.

Jadi itulah sebabnya kenapa saya begitu antusias – karena saya memang mencari ilmu-ilmu itu, bukan karena mencari gelar Master. Pada akhirnya – ini saya katakan dengan jujur ya, bukan basa-basi – saya sangat bersyukur atas ilmu-ilmu yang saya dapat di ICAS, terutama dari matakuliah Dr. Parsania, Dr. Mohammad Bagir, dan Dr. Seyyed Mosavi.

Anda pernah menggerakkan petani organik cukup lama, apa kegelisahan anda?
Ini berawal dari Teknik Kimia dan industry petro-kimia tadi – dimana saya berada ketika itu.
Mungkin saya memang seorang pencinta alam (ini saya sadari setelah dewasa)  – karena, sejak kecil saya selalu terpesona dan deeply attached pada objek-objek alam seperti pohon, bunga, burung, gunung, sungai dsb. Jadi rupanya saya salah masuk jurusan kuliah – karena Teknik Kimia justru bikin industri yang mencemari dan merusak lingkungan pada akhirnya.

Kegelisahan itu memuncak ketika saya mengandung anak pertama dan melahirkan di tahun 1994. Itu instink ibu, menurut saya, ingin menjaga anaknya se aman mungkin. Saya jadi khawatir pada keamanan pangan karena menyadari banyak pencemaran di lahan pertanian (karena saya tahu betul penggunaan pupuk kimia dan pestisida oleh petani Indonesia itu seperti apa – tidak diawasi, tidak dibimbing); pencemaran di laut karena limbah pabrik dibuang begitu saja (mencemari ikan dan seafood); serta pemakaian bahan2 aditif makanan seperti pewarna, perasa, dsb – inipun tanpa diawasi oleh pihak yang berkewajiban. Jadi sejak itulah saya serius mempelajari pertanian organic – pertanian ramah lingkungan sekaligus sehat karena meminimalkan penggunaan input dari luar seperti pupuk, pestisida, herbisida, dan membuat penggantinya dari alam. Saya memulai eksperimen dengan petani yang masih tersisa di sekitar kompleks perumahan kami di Jatibening waktu itu. Lalu, tahun 1998 saya putuskan untuk benar-benar serius menggerakkan pertanian organik, saya buatlah Yayasan Amani. Nah semakin dalam saya masuk ke kehidupan petani, semakin ter-kuak-lah masalah yang lebih besar. Ternyata ada persoalan yang lebih besar dari sekedar pemakaian bahan kimia di sana, yaitu, kemiskinan eksrim, ketidak-adilan, land grabbing (pendudukan tanah oleh orang kota), dan berbagai masalah sosial lainnya. Rata-rata petani Indonesia itu petani gurem dengan lahan dibawah 0.3 Ha, atau cuma penggarap – nggak punya lahan sama sekali.

Pendek cerita, kita beroperasi di Cisarua Bogor, Sukabumi, Yogya, Magelang, Pekalongan dan Bedugul Bali. Lalu saya juga membuat produk pangan sehat dengan menggerakkan masyarakat di sekitar kebun. Jadilah industri kecil tahu, tempe, kecap, minyak kelapa, tepung, bumbu-bumbu – juga peternakan ayam. Ketika saya tinggalkan Amani untuk melanjutkan studi ke New Zealand di tahun 2009, saya dibantu sampai sekitar 64 karyawan.

Bisa diceritakan ketersambungan kegelisahan tersebut setelah anda di New Zealand , pengalaman apa yang bisa di share?
O itu – iya – saya merasa kejadian di Swiss itu bagian dari perjalanan spiritual saya. Itu kejadian yang begitu luar biasa sampai-sampai kalau ditanya kayak gini saya tidak tahu akan menyebutnya dengan apa, dan menggambarkannya bagaimana. Yang jelas saya yakin Allah mau menjatuhkan saya sampai di titik nol – sampai benar-benar habis. Waktu itu saya udah semester dua kuliah di ICAS, jadi mungkin itu bagian dari ‘kuliah’ tadi – hahaha – setidaknya dari situlah research questions saya berasal, pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang ke-sementara-an hidup, tentang penderitaan, tentang ketidak-adilan, tentang makna hidup, dsb, yang muncul selama saya di tempat tidur ber-bulan2 itu. Pertanyaan-pertanyaan itu juga yang kemudian terus mendorong saya untuk mencari hingga studi ke NZ setelahnya.
Satu hal yang saya syukuri, Alhamdulillah saya tidak punya trauma sama sekali atas kecelakaan itu karena begitu kecelakaan terjadi saya tidak sadarkan diri sampai sepuluh hari kemudian saya bangun – dan ketika bangun saya amnesia, lupa semua – lalu pelan2 kembali. Butuh hampir setahun untuk memori saya benar2 pulih. Begitulah ceritanya.

Kejadian itu adalah sesuatu yang sangat-sangat besar buat kami sekeluarga – jadi kalau saya jadi orang yang ‘berbeda’ setelahnya, suami dan anak2 sangat mafhum, termasuk membuat suami saya mendukung sepenuhnya studi saya ke New Zealand – suami lah yang membiayai itu.

Setelah lulus S3 dan meninggalkan aktifitas pertanian organik, apa ide anda sekarang, denger-denger anda sudah punya konsep tentang Green Pesantren?
Bukan Green Pesantren, tapi sebuah Institute yang ingin saya beri nama Green Santri Institute – yaitu sebuah sekolah tinggi dimana Muslim Indonesia dari berbagai aliran dan madzhab bisa duduk bersama-sama belajar dan mengkaji semua ilmu praktis yang terkait dengan persoalan sustainabilitas (ke-bisa-berlanjut-an).

Yaitu: Green economics dengan mengkaji Ekonomi Islam (dari pandangan berbagai madzhab); Environmental law degan mengkaji Fiqh al-Biah (dari pandangan berbagai madzhab); Sustainable Community Development dengan mengkaji bagaimana gerakan tsb bisa dan mungkin dijalankan secara massif oleh pesantren dan ormasormas Islam untuk anggotanya masing2, (kajian politik, ekonomi, social, budaya tentang itu).
Saya bahkan sudah menysun silabus yang diperlukan untuk masing2 kajian tsb, termasuk detail programnya – karena ide itu merupakan sisi empiris dan praktis hasil disertasi PhD saya. Yang saya belum punya cuma dana untuk mewujudkannya….

Apa tip-tip anda untuk bisa menjadi peneliti hebat, apa kenikmatan menjadi peneliti, mungkin pengalaman ilmuan-ilmuan luar bisa membantu menjelaskan ?
Saya sih masih berusaha terus memperbaiki kemampuan riset saya. Yang jelas, saya selalu ‘immersed’ (benar-benar masuk) ke dalam apa saja yang sedang saya ‘teliti’ – saya menceburkan diri ke dalam atau berusaha sebisa mungkin mempunyai ‘lifeworld’ di sana.

Karena riset yang saya buat selalu tentang hal-hal yang saya passionate di situ, maka keingintahuan akan ‘kebenaran’ terus menggerakkan saya. Dengan demikian kenikmatan terbesar adalah ketika menemukan yang saya cari itu.

Tentang ilmuan-ilmuan di luar, saya akui sangat terkesan pada totalitas dan disiplin mereka, dalam segala hal, mulai dari luasnya literature yang harus direview untuk sebuah riset, pemilihan metode, hingga disiplin cara penulisan, termasuk quote dan referensi, dsb.(mp)

Share your thoughts