Catatan (1) Desperately Seeking Unity (Cerita Singkat dari Finlandia)-Wardah Alkatiri, Ph.D.

Wardah Al-Katiri memang super woman. Salah satu peneliti Riset STFI Sadra ini tak hentinya aktif meneliti, menulis dan mengirim ke berbagi forum Internasional. Tanggal 12-13 Juni, 2017 Wardah ditemani putri kecilnya terbang ke Finlandia menghadiri seminar “The Religious and Ethnic Future of Europe”. Sekitar 2.5 jam dari kota Helsinki. Tepatnya di kota Turku. Sebuah kota kuno, kota pelabuhan tempat masuknya kapal dari seluruh dunia. Di zaman dulu di bawah kekuasaan Rusia, zaman Tzar. Merdeka tahun 1917.  Wardah berkesempatan untuk mempresentasikan gagasanya. Kali ini Wardah berbagi pengalaman, menulis langsung pengalamanya dari Finlandia untuk redaksi web Riset STFI Sadra.  

Konferensi ini berjudul “The Religious and Ethnic Future of Europe” diselenggarakan oleh gabungan Abo Academy University, Migration Institute of Finland, dan The Donner Institute,  saya sebagai salah satu pembicara. Acara diadakan pada tgl 12-13 Juni, 2017 tepatnya di kota Turku, 2.5 jam perjalanan darat dari Helsinki. Saya ditemani putri terkecil kami, Adibah, tiba di Amsterdam pada tgl 11 Juni – kami langsung melanjutkan terbang ke Helsinki di hari itu juga. Adibah orangnya pemalu, saya suruh foto kegiatan saya pas saya presentasi, katanya “norak kayak gitu ma”. Ya udah akhirnya foto seadanya.

Di tengah bulan puasa 2017, puasa 22 jam, matahari nggak pernah tenggelam. Maghrib jam 1 malam, masih terang juga, jadi buka puasa terus buru-buru sahur lagi, akhirnya saya nggak kuat dan ambil hukum musafir. Dalam kondisi seperti ini saya jadi terus merenung, apa sebenarnya ‘niat’ saya jauh-jauh datang ke acara ini? Bukankah mereka akan bicara soal konflik etnis dan agama di Eropa yang hampir sama sekali tidak ada hubungannya dengan kehidupan kami? Perjalanan kali ini terasa lebih berat dari “journey” serupa yang sering saya lakukan sebelumnya – bukan saja karena waktunya di bulan puasa, melainkan karena belum genap sebulan berduka Ayah saya wafat. Saya jadi terus menerus ‘diinterogasi’ oleh diri sendiri untuk memberi alasan mengapa tetap berangkat-tentu diluar persoalan tiket penerbangan yang sudah terlanjur dibelikan suami beberapa bulan lalu.

Akhirnya, setidaknya satu alasan sederhana ini yang terus muncul di benak saya: “Riset saya mengungkap sebuat ‘kebenaran’ yang harus saya sampaikan kepada dunia – karena tidak banyak orang yang bersedia dan boleh menyampaikannya”Sebagaimana telah kita ketahui, Eropa mengalami apa yang mereka namai “migration and refugee crisis”.

Dalam dua hari konferensi di Turku, saya bisa merasakan betul bagaimana mereka serius mencari solusi persoalan sosial yang ditimbulkan oleh masalah tersebut melalui jalur kelimuan. Berbagai pandangan dan pendapat pun didiskusikan dengan terbuka-hasil riset dan data statistik yang luar biasa komprehensif ditampilkan. Ternyata, persoalan identitas sosial, apakah itu identitas etnis atau agama, adalah tema utama yang mengemuka dalam semua presentasi.  Kebetulan saya sangat familiar dengan fenomena sosial yang satu ini.

Kerangka teori konstruksi sosial yang saya bangun dalam disertasi doktoral saya, dan dipublish oleh sebuah journal di Equinox: “Theorizing Muhammad’s Nation” tidak jauh dari persoalan ini. Berkelompok dan menciptakan keragaman adalah sifat dasar manusia, meniadakannya adalah tidak mungkin, sementara memaksakan ke-Satu-an pada ke-Ragam-an adalah ilusi belaka. Memaksakan ke-Satu-an pada ke-Ragam-an adalah bentuk intoleransi pada perbedaan. Saya khawatir itulah self-contradicton di dalam semangat bhineka-tunggal-ika yang belum pernah diperiksa sungguh-sungguh viability-nya. Dengan demikian, menjadikanya sebagai idea kebangsaan akan melahirkan konstruksi sosial intoleransi yang legitimate.

Dengan kata lain, benih intoleransi itu ditumbuhkan oleh negara, jadi bukan semata-mata agama. Semangat ‘negara kesatuan’ lah yang lebih bertanggung jawab atas intoleransi pada masyarakatnya. Dari sana bisa dibuatlah kritik pada konsep ‘nation-state’ modern – konsep negara kesatuan J.J. Rousseau, dimana keragaman dianggap sebagai antitesis modernisme. Judul presentasi saya adalah “Desperately seeking unity. A postmodern critique of modern nation-state”.  Syukurlah, pengorbanan saya tidak sia-sia.

Presentasi ini sangat dihargai dan diakhiri dengan diskusi yang seru hingga menimbulkan ketegangan kecil seorang penanya, Professor dari Katholische Universität Eichstätt-Ingolstadt dengan moderator, karena si moderator menutup sesi saya, sementara pertanyaannya belum diberi waktu untuk didiskusikan. Peserta konferensi datang dari berbagai perguruan tinggi dan pusat riset di Eropa Barat dan Timur – Jerman, Inggris, Swiss, Belgia, Swedia, Denmark, Scotland, Norwegia, Hungaria, Austria, Belanda, termasuk juga Turki.

Dengan demikian, saya adalah satu-satunya peserta dari luar Eropa dan satu-satunya pembicara yang menyampaikan perspektif post-colonial atas persoalan konflik etnis dan agama dengan menampilkan studi kasus negara-negara Afrika dan Indonesia, vis-à-vis latar belakang sejarah kolonial, post-kolonial and neo-colonial negara tsb. Pada akhirnya, saya juga satu-satunya pembicara yang mengemukakan perspektif Qurani atas persoalan keberagaman etnis dan agama di tengah realitas sosial. Singkatnya, dua persoalan besar dan filosofis, saya angkat untuk minta diperhatikan oleh pendengar adalah:

1. Bagaimana kita bisa ‘mendamaikan’ dua tradisi yang sangat bertentangan antara:a. Kristen yang menuntut ‘pemisahan negara dan gereja’, danb. Islam sebagai agama politik (e.g. QS: Al-Maidah 51) di samping agama hukum (e.g. Shariah) dan tentu saja spiritual dan intelektual on its own terms.

2. Bagaimana kita bisa ‘mendamaikan’ konsep agama sebagai al-din dalam Islam, yang secara luas berarti ‘tradisi’, dan konsep agama modern yang meminimalkan peran tradisi.Setelah mengkaji beberapa ayat Quran yang memerdekakan perbedaan dan keragaman, presentasi saya tutup dengan pertanyaan: “jadi, mengapa kita tidak bisa membiarkan saja kebhinekaan itu ada tanpa harus memaksa mereka menjadi ‘satu’ dan ‘sama’?”

Sebagai penutup, saya mengusulkan dua solusi untuk persoalan dunia ke depan, seperti yang telah saya paparkan dalam disertasi doktoral saya, yaitu: 1. Negara ronda-malam (night-watchman state) atau negara minimal, sebagai konsep negara yang paling mendekati prinsip Islam, dimana semua warga bebas memilih social arrangement nya sendiri-sendiri dan tidak perlu mempunyai satu ideologi negara untuk semua. 2. Relocalisation – sebuah pendekatan dalam studi lingkungan dan studi pembangunan (lihat disertasi saya). Saya paparkan bahwa hanya para ‘relokalisasionis’ lah yang mengerti akan jaringan ekologi bumi yang saling kait-mengkait, sehingga menyadari betul perlunya kerjasama antar umat manusia untuk bekerjasama menghadapi ancaman kirisis ekologis global yang luar biasa besar di hadapan umat manusia saat ini

Wa-Allah a’lam.Helsinki, Ramadan 20, 1438

Wardah Alkatiri, Ph.D.

4 Comments

Join the discussion and tell us your opinion.

Nurhasanahreply
July 13, 2017 at 1:26 pm

subhanallah wa bihamdih… so proud of you bu Wardah

marufreply
July 14, 2017 at 11:29 am
– In reply to: Nurhasanah

khonum una,,,..bu wardah memang super sperti khonum una

ABARreply
July 18, 2017 at 11:46 am

KEREN

Cialis canadareply
March 26, 2018 at 3:59 am

WONDERFUL Post.thanks for share..more wait .. …

Leave a reply